Kalam Jadid: Pendekatan Baru Dalam Isu-Isu Agama

BOOK ID

سرشناسه:یوسفیان، حسن، 1361-

Yusufiyan, Hasan

عنوان قراردادی:کلام جدید . اندونزیایی

عنوان و نام پدیدآور:Kalam Jadid[Book]: Pendekatan Baru Dalam Isu-Isu Agama/ Hasan Yusufiyan; penterjemah : Ali Passolowangi.

مشخصات نشر:Qom: pusat penerbitan danpenterjemahan internasional al Musthafa, 2014= 1393.

مشخصات ظاهری:484 ص.

فروست:مرکز بین المللی ترجمه و نشر المصطفی صلی الله علیه و آله؛ پ1393/280/187، نمایندگی المصطفی در اندونزی؛ 26.

شابک:978-964-195-063-9

وضعیت فهرست نویسی:فیپا

یادداشت:اندونزیایی.

موضوع:کلام

موضوع:دین -- فلسفه

شناسه افزوده:پسولواغی، علی، مترجم

شناسه افزوده:Passolowangi, Ali

شناسه افزوده:جامعة المصطفی(ص) العالمیة. مرکز بین المللی ترجمه و نشر المصطفی(ص)

شناسه افزوده:Almustafa International University‪Almustafa International Translation and Publication center

رده بندی کنگره:BP203/ی9ک7049519 1393

رده بندی دیویی:297/4

شماره کتابشناسی ملی:3649510

p:1

point

بسم الله الرحمن الرحیم

p: 2

Kalam Jadid

Pendekatan Baru Dalam Isu-Isu Agama

Dr. Hasan Yusufiyan

penerjemah:

Ali Passolowangi

pusat penerbitan dan

penerjem ah an internasional al Musthafa

p: 3

Kalam Jadid Pendekatan Baru Dalam Isu-Isu Agama

penulis: Dr. Hasan Yusufiyan

penerjemah: Ali Passolowangi

cetakan: pertama, 1393 sh/2014

penerbit: pusat penerbitan dan penerjemahan internasional al Musthafa

percetakan: Norenghestan

jumlah cetak: 300

ISBN: 978-964-195-063-9

کلام جدید

ناشر: مرکز بین المللی ترجمه و نشر المصطفی اعه

تیراژ: 300

قیمت: 145000 ریال

مؤلف: حسن یوسفیان

مترجم: علی پسولواغی

چاپ اول: 1393 ش / 2014م

چاپخانه: نارنجستان

© Al-Mustafa International Publication and Translation Center

Stores:

ORAN, Qom; Muallim avenue western , (Hujjatia). Tel-Fax: +98 25-37839305 - 9

OIRAN, Qom; Boulevard Muhammad Ameen, Y-track Salariyah. Tel: +98 25-32133106,

Fax: +98 25-32133146

IRAN, Tehran; Inqilab Avenue, midway Wisal Shirazi and Quds, off Osko Street, Block 1003.

Tel: +98 21-66978920

OIRAN, Mashad; Imam Reza (a.s) Avenue, Danish Avenue Eastern, midway Danish 15 and 17.

Tel: +98 51-38543059

www.pub.miu.ac.ir miup@pub.miu.ac.ir

kepada semua pihak yang turut andil dalam penerbitan buku ini kami haturkan banyak terima kasih

p: 4

TRANSLITERASI ARAB DAN PERSIA

p: 5

p: 6

DAFTAR ISI

TRANSLITERASI ARAB DAN PERSIA – vii

PRAKATA – XV

BAGIAN 1: AGAMA DAN TELAAH KEAGAMAAN – 1

Definisi agama – 2

Pelbagai Definisi Agama (Berdasarkan Ruang Lingkupnya) – 3

Aliran-Aliran Kepercayaan yang Menerima Tuhan (Teisme) dan

yang Menolaknya (Ateisme) – 4

Aliran-Aliran yang Menyakini Keberadaan Supra-Insani – 5

Aliran-Aliran yang Percaya Tuhan (Teisme): Tauhid dan Non-

Tauhid – 6

Aliran-Aliran Kepercayaan yang Bertauhid (Monoteis) – 7

Definisi Agama Berdasarkan Teori Kemiripan Keluarga – 9

Agama dan Pertanyaan-Pertanyaan Mendasar Manusia – 11

Filsafat Agama dan Kalam Jadid – 13

Teologi Filsafat – 17

Studi Agama-Agama – 18

Kesimpulan – 19

Pertanyaan – 21

BAGIAN 2: ASAL USUL AGAMA – 23

Pelbagai Macam Pandangan tentang Asal Usul Agama – 24

Ketakutan pada Peristiwa-peristiwa Alam – 24

Ketidaktahuan Sebab-Sebab Riil dari Fenomena-Fenomena – 28

Kalam Jadid: Pendekatan Baru dalam Isu-Isu Agama X

p: 7

Kompleks-Kompleks Psikis – 33

Alienasi – 44

Wahyu, Akal, dan Fitrah – 54

Kesimpulan – 57

Pertanyaan – 58

BAGIAN 3: PEMBUKTIAN WUJUD TUHAN – 61

Beberapa Argumen Pembuktian Wujud Tuhan – 65

Argumen Ontologis – 67

Argumen Shiddiqin – 72

Argumen Kosmologis – 77

Argumen Keteraturan (Argument from Design) – 88

Argumen Fitrah – 97

Beberapa Argumen Lainnya – 105

Kesimpulan – 109

Pertanyaan – 112

BAGIAN 4 SIFAT-SIFAT TUHAN – 115

Pelbagai Macam Dimensi Pembahasan Sifat-Sifat Tuhan – 116

Kepemilikan Tuhan atas Sifat-Sifat – 116

Hubungan Sifat-Sifat antara Satu dengan Lainnya dan dengan

Dzat – 118

Mungkinnya Mengetahui Sifat-Sifat Tuhan – 123

Jalan Mengenal Sifat-Sifat Tuhan – 124

Sifat-Sifat Ilahi dan Insani (Komparasi Etimologis) – 128

Kesesuaian Internal dan Eksternal – 128

Keselarasan Internal Sifat-Sifat Tuhan – 129

Paradoks Kekuasaan Mutlak – 132

Permasalahan-Permasalahan Ilmu Azali dan Menyeluruh – 136

Tuhan dan Pengetahuan tentang Kejadian-kejadian

Partikular – 137

Pengetahuan Apriori Tuhan dan Ikhtiar Manusia – 140

Tidak Berubah, Kesempurnaan atau Kekurangan? — 143

Kesimpulan – 148

Pertanyaan – 149

p: 8

BAGIAN 5: POSISI KEBURUKAN DALAM SISTEM

PENCIPTAAN – 151

Mengingkari Keburukan atau Mengingkari Sifat-Sifat Tuhan? – 153

Keselarasan Keburukan-Keburukan dengan Tuhan Agama-

Agama Tauhid - 158

Tiadanya Keburukan – 158

Relativitas Keburukan – 161

Keburukan Adalah Prasyarat bagi Terwujudnya Kebaikan-

Kebaikan – 163

Keburukan Merupakan Instrumen untuk Penyempurnaan

Manusia – 169

Kesimpulan – 173

Pertanyaan – 174

BAGIAN 6: KEBUTUHAN TERHADAP AGAMA – 177

Dalil Kebutuhan terhadap Agama Wahyu – 179

Jawaban Agama atas Kebutuhan Mendasar Jiwa – 183

Memberi Makna bagi Kehidupan – 184

Mengurangi Dahaga akan Keabadian – 188

Menguatkan Kesabaran dan Ketabahan – 190

Mengurangi Kecemasan dan Kekhawatiran – 192

Selamat dari Pusaran Kesepian – 192

Fungsi Sosial Agama – 194

Mewujudkan Persatuan dan Kesatuan – 195

Jaminan Pemenuhan Keadilan dan Peradilan – 198

Jaminan Keriangan dan Dinamisasi – 200

Mendukung Moralitas Mulia – 203

Mengatur Hubungan-Hubungan Sosial – 205

Harapan Manusia terhadap Agama – 208

Kesimpulan – 212

Pertanyaan – 213

BAGIAN 7: BAHASA AGAMA – 215

Bahasa Wahyu – 217

Peran Budaya Zaman – 218

Agama dan Bahasa Simbolis – 222

p: 9

Kebutuhan atas Takwil – 228

Bahasa Manusia dan Sifat-Sifat Ilahi – 229

Teologi Penegasian – 230

Kesamaan Makna – 233

Predikasi Analogis – 237

Kebermaknaan Proposisi-Proposisi Religius – 240

Kesimpulan – 244

Pertanyaan – 245

BAGIAN 8: AKAL DAN WAHYU – 247

Terminologi – 249

Akal dan Wahyu – 250

Akal dan Agama – 251

Agama dan Filsafat – 252

Ilmu dan Agama – 254

Pelbagai Macam Cara Pandang terhadap Masalah "Akal dan

Wahyu" – 255

Rasionalisme – 256

Fideisme – 264

Literalisme – 268

Kesimpulan – 274

Pertanyaan – 275

BAGIAN 9: PENGALAMAN KEAGAMAAN – 277

Faktor-Faktor yang Berpengaruh atas Cara Pandang Empiris

terhadap Agama – 280

Lemahnya Sistem-Sistem Filosofis dalam Melakukan Pembelaan

Rasional terhadap Doktrin-Doktrin Keagamaan — 280

Kritik terhadap Kitab Suci – 281

Perjumpaan dengan Agama-Agama Lain – 283

Kebersamaan dalam Kafilah Ilmu Empiris – 283

Antroposentrisme Menggantikan Teosentrisme – 284

Analisis Materialistis terhadap Fenomena-Fenomena yang

Tampak Bersifat Supranatural – 285

Klasifikasi Beberapa Pengalaman Keagamaan – 286

p: 10

Pengalaman-Pengalaman Indriawi (Pseudo Indriawi) dan Bukan

Indriawi – 286

Pengalaman Religius yang Orisinal dan Pengalaman

Pengalaman yang Bersifat Tafsiran – 292

Pengalaman-Pengalaman yang Menghasilkan Pengetahuan serta

Menghidupkan – 295

Watak Pengalaman Keagamaan – 296

Pandangan tentang Pengalaman Wahyu dalam Dunia Islam – 298

Tafsiran Pengalaman Keagamaan dan Batasan-Batasan

Manusiawi – 300

Kesimpulan – 305

Pertanyaan – 307

BAGIAN 10: PLURALISME AGAMA – 309

Ragam Pandangan Ihwal Kebenaran dan Keselamatan Agama-

Agama – 310

Eksklusivisme – 310

Inklusivisme – 313

Pluralisme – 315

Jenis-Jenis Pluralisme Agama – 317

Pluralisme dalam Perilaku – 318

Pluralisme dalam Keselamatan – 320

Pluralisme dalam Kebenaran – 323

Dasar-Dasar Filosofis-Teologis Pluralisme Agama – 326

Relativitas Hakikat – 327

Kesempitan-Kesempitan Persepsi Manusiawi – 329

Keluasan Rahmat dan Hidayah Ilahi – 332

Pluralisme dalam Agama (Variasi Tafsiran) – 335

Kesimpulan – 339

Pertanyaan – 341

BAGIAN 11: AGAMA DALAM ARENA SOSIAL – 343

Terminologi – 344

Sekularisme dan Sekularisasi – 345

Laisisme dan Laisisasi – 350

Almāniyah – 351

p: 11

Dukungan-Dukungan Pemikiran bagi Sekularisme – 352

Humanisme – 353

Rasionalisme – 357

Liberalisme – 359

Agama dan Politik dalam Islam – 361

Ruang Lingkup Agama, Kajian Eksternal Agama atau Internal

Agama? – 362

Nabi Islam dan Pembentukan Pemerintahan – 366

Hubungan Agama dan Politik dalam Beberapa Ayat dan

Riwayat – 367

Lampiran: Uraian tentang Liberalisme – 372

Kesimpulan – 376

Pertanyaan – 377

BAGIAN 12: AGAMA DAN MORALITAS – 379

Kebutuhan Moralitas kepada Agama – 381

Dalam Defenisi Konsep-konsep – 382

Dalam Benarnya Proposisi-Proposisi – 383

Dalam Menyingkap Proposisi-Proposisi – 390

Dalam Kenyataan Praktis – 392

Moralitas dan Bantuan Kepada Agama – 393

Argumen Moral Pembuktian Wujud Tuhan – 394

Tiadanya Keselarasan antara Klaim Agama dan Moral – 396

Lemahnya Fondasi-Fondasi Moralitas Akibat Keterjauhan

Agama dari Akal – 397

Pengetahuan Primordial Ilahi, Perusak Moral – 398

Agama, Pencetus Moralitas yang Bersifat Niaga – 399

Keteguhan Etika Religius dan Perubahan pada Alam – 402

Tiadanya Perhatian Etika Religius atas Kemuliaan Manusia – 403

Agama dan Promosi Moralitas Perbudakan – 405

Kesimpulan – 411

Pertanyaan – 413

DAFTAR PUSTAKA – 415

INDEKS – 463

p: 12

PRAKATA

Alhamdulillāh al-ladzī hadāna lihadzā wa mā kunnā linahtadiya laulā an hadānaLlāh (QS Al-A'rāf [7]: 43).

Buku yang ada di depan Anda merupakan buku pelajaran (daras) yang disusun berdasarkan penelitian dalam tema Kalām Jadīd (filsafat agama).

Apa yang populer sebagai ilmu Kalam di tengah-tengah kaum Muslim, setidaknya semenjak abad kedua hijriah,(1) merupakan ilmu yang membahas tentang penjelasan dan pembuktian akidah-akidah Islam serta pembelaan atasnya. Ilmu ini, dengan alasan mengkaji dasar-dasar akidah dan "prinsip-prinsip agama atau ushuluddin" (dan puncaknya adalah masalah tauhid dan sifat-sifat Tuhan) —disebut pula dengan nama-nama seperti "fikih agung (fiqh al-akbar)(2) sebagai bandingan dari fikih kecil (fiqh al-ashgar) yang bertanggung jawab menjelaskan tugas-tugas praktis dan cabang-cabang agama (furū'uddīn),

p: 13


1- Sebagian penulis, dengan merujuk kepada suatu riwayat, menyebut zaman kemunculan istilah kalām pada periode masa hidup Nabi Islam. Silakan lihat, Muhammad Abdul Halim, "Kalām Qadim", terjemahan Persia oleh Muhsin Jahangiri, dalam: Tarikh Falsafah Islāmi, di bawah pengawasan Sayyed Hossein Nasr, jil.1, hlm. 131-133.
2- Sebagaimana dua orang dari imam-imam fikih Ahlussunnah, Abu Hanifah (w. 150 H) dan Muhammad bin Idris Syafi'i (150-204 H), menamakan kitab akidahnya dengan al-Fiqh al-Akbar. Silakan lihat, Ali Qari Qadiri, Syarh al-Fiqh al-Akbār li al-Imām Abi Hanifah; Muhammad bin Yasn bin Abdullah, al-Kaukab al-Azhār Syarh al-Fiqh al-Akbār li al-Imām al-Syafi i. Meskipun kebenaran penis bahan kedua kitab ini kepada Abu Hanifah dan Syafi'i terdapat keraguan. Silakan lihat, Haji Khalifah, Kasyf al-Dzunun an Asami al-Kitab wa al-Funun, jil. 2, hlm. 1287–1288; Ali Syami Nisyar, Nisyah al-Fikri al-Falsafi fi al-Islām, jil. 1, hlm. 238.

'ilmu tauhid dan sifat', 'ilmu ushuluddin'.(1)" Dalil-dalil penamaan ilmu ini dengan “Kalām" (Teologi) dapat disebutkan dalam bentuk sebagaimana berikut ini :

1. Pada karya-karya awal yang ditulis dalam tema ini, bagian-bagian berbeda-beda dari tulisan tersebut dipisahkan antara satu dengan lainnya dengan judul "al-Kalām fi .... "(2) 2. Salah satu masalah awal dan menjadi perdebatan sengit dalam ilmu ini ialah masalah kekekalan (qadim) dan kebaruan (hadits) "kalām" Tuhan.

3. Mempelajari ilmu ini, dapat menjadikan seseorang mampu berbicara (takallum) dalam hal-hal yang bersifat akidah atau kepercayaan.

4. Kekuatan argumen-argumen yang diterapkan dalam ilmu ini sedemikian rupa sehingga seolah nama kalām (pembicaraan), dibandingkan dengan ilmu ini, tidak dapat diletakkan bagi doktrin-doktrin ilmu-ilmu lainnya.

5. Sebagaimana para filsuf menggunakan suatu ilmu yang dinamakan dengan "logika (mantiq)", para ilmuwan agama pun memilih suatu nama yang serupa bagi pengetahuan mereka (kalām-sebagaimana mantiq [logika]—dalam kamus bermakna "pembicaraan atau percakapan"). Dengan penjelasan lain, sebagaimana mantiq (logika) menjadikan seseorang mampu berbicara dalam hal-hal yang bersifat rasional ('aqliyyat), "kalām" akan melebihkan kemampuan dialog tentang hal-hal yang bercorak syar'i. (syar`iyyat).(3) Bagaimanapun, dewasa ini terkadang sifat "jadīd (baru)" ditambahkan pula pada "kalam" dan dipakai dengan sebutan "kalām

p: 14


1- Silakan lihat, Nashiruddin al-Thusi, Talhish al-Muhasshil, hlm. 1; Ibn Maitsam Bahrani, Qawū id al-Marām fi Ilm al-Kalām, hlm. 20; Saiduddin Taftazani, Syarh al-Maqūsid, jil. 1, hlm. 164; Abdurrazak Lahiji, Syawāriq al-Ilhām, hlm. 6.
2- Tipologi ini sampai sekarang masih terlihat dalam karya-karya di bawah (terkait dengan abad keempat hijriah): Abu al-Hasan al-Asy'ari, al-Ibānah 'an Ushūl al-Diyānah; Abu al-Hasan al- Asy'ari, al-Luma 'fi al-Raddi ala Ahli al-Zig wa al-Badā, Qadhi Abu Bakr Baqilany, Tamhid al- Awā il; Qadhi Abdul Jabbar Mu'tazili, al-Mughnī.
3- Muhammad Abdul Karim Syahristani, al-Milal wa al-Nihal, jil. 1, hlm. 30; Qadhi Adziduddin lji, al-Mawāgif, hlm. 8-9; Saiduddin Taftazani, Syarh al-Maqāsid, jil. 1, hlm. 164-165; Saiduddin Taftazani, Syarh al-Aqā id al-Nasafiyah, dalam: Hāsyiyah al-Kastali ala Syarh al-Aqā `id, hlm. 15. Begitu pula, silakan lihat, Abdurrahman bin Khaldun, Tārīkh Ibn Khaldun, jil. 1, hlm. 497.

jadīd." Maksud dari istilah ini serta hubungannya dengan istilah-istilah seperti "filsafat agama" dan "teologi filosofis" akan dijelaskan pada bagian pertama buku ini.

Mengawali pembicaraan, dengan tujuan pengenalan secara global atas kekhususan-kekhususan karya ini serta pengajuan saran-saran guna pemanfaatan semaksimal mungkin darinya, kami mengajak para pembaca untuk memperhatikan beberapa poin berikut ini :

1. Tujuan penulisan buku ini bukan hanya sekedar mengadakan suatu teks pelajaran dalam tema yang telah disebutkan, salah satu tujuan utama penulis adalah ikut andil dalam penelitian-penelitian yang dilakukan dalam tema ini khususnya dalam upaya pembumian pembahasan-pembahasan yang mempunyai warna dan bau Barat.

2. Bagian-bagian yang berbeda-beda dalam buku ini, di samping menjaga kesingkatannya, secara relatif terbilang lengkap atau menyeluruh; di mana terkadang di bawah suatu tema dapat ditemukan poin-poin yang tidak terlihat dalam karya-karya tersendiri yang membahas tema yang sama. Pengabungan antara dua kekhususan ini (singkat dan menyeluruh) mungkin saja menyulitkan bagi sebagian pelajar (mahasiswa) dalam menelaah karya ini (khususnya bagi mereka yang menganggap sama antara "buku daras" dan "buku pelajaran untuk belajar sendiri (otodidak)".

Bahkan, dalam pembahasan-pembahasan yang bersifat cabang dan catatan pinggir pun, kebanyakan kami dasarkan pada "kelengkapan dalam penelitian" dan "pemilihan ucapan dalam penulisan." Terkadang gagasan-gagasan dalam satu bingkai atau catatan kaki pendek merupakan hasil dari beberapa jam penelitian disertai dengan pemakaian kitab-kitab dalam bentuk software komputer.

3. Sedapat mungkin kami berupaya merujukkan pembaca pada sumber-sumber awal. Begitu pula, guna memperhatikan kondisi para pembaca, di samping penggunaan sumber dengan bahasa asli, terkadang kami rujukkan pula kepada terjemahan Persia-nya.

Poin yang perlu kami tegaskan di sini adalah bahwa penggunaan buku-buku yang diterjemahkan dari bahasa lain, tidak mesti bermakna sebagai pengesahan terjemahan mereka.

p: 15

4. Gagasan-gagasan yang terdapat pada bingkai (frame) kebanyakan dirancang untuk memancing atau mengajak partisipasi para pelajar (mahasiswa) dan keaktifan mereka. Tulisan dalam bingkai ini terkadang mengisyaratkan poin komplementer dan terkadang pula memberi kedalaman pada gagasan-gagasan teks inti. Saran atau rekomendasi kami kepada para dosen (guru) yang terhormat adalah agar tidak melewatkan begitu saja aktivitas-aktivitas dalam kelas ini dan sedapat mungkin memanfaatkannya secara maksimal. Walaupun demikian, tulisan-tulisan dalam bingkai- bingkai ini menjadikan teks pelajaran lebih fleksibel dan jika dalam pandangan para dosen (guru) yang mulia lebih maslahat [tidak memasukkannya], anda dapat menghapus sebagiannya atau menyerahkannya kepada para pelajar (mahasiswa).

5. Pengajaran secara sempurna buku ini, setidaknya memerlukan waktu yang setara dengan empat SKS mata kuliah. Meskipun demikian, para dosen (guru) yang terhormat dapat memilih bagian- bagian tertentu untuk diajarkan dengan memperhatikan aspek aspek, seperti tingkat pembelajaran para pelajar (mahasiswa) serta bacaan-bacaan (penelaahan) mereka sebelumnya.

Terakhir, saya merasa berkewajiban untuk mengucapkan terima kasih dan penghargaan atas upaya semua orang-orang yang turut andil dalam penyusunan atau penyelesaian karya ini, khususnya kepada para guru yang mulia bapak Dr. Ahmad Ahmadi dan Dr. Mahmud Fath Ali—atas petunjuk dan arahan-arahan berharga mereka. Tindak lanjut dan penanganan yang sungguh-sungguh bapak Sayyid Abul Fadhil Hasani, pimpinan pengadaan teks-teks (daras] Yayasan Pendidikan dan Penelitian Imam Khomeini beserta rekan-rekan beliau dan penghargaan yang layak pula atas usaha para penanggung jawab lembaga pengkajian dan pengadaan buku-buku ilmu-ilmu humaniora universitas.

Tentunya penulisan buku ini-yang kadang-kadang terhenti dalam rentang waktu yang cukup lama-dilakukan selama lima tahun dan sekitar setengah darinya (lima bagian dari dua belas bagian) terpilih sebagai penelitian terbaik pada tahun 1383 S. oleh kongres peneliti agama dalam negeri.

Wa akhir da wānā 'anil hamdu lillāhi rabbil alamin Dr. Hasan Yusufiyan

p: 16

BAGIAN 1: AGAMA DAN TELAAH KEAGAMAAN

Point

Semoga Allah mengasihi orang yang mengetahui dari mana ia datang, di mana ia sedang berada, dan kemana ia akan pergi.(1) hasil penelitian para ilmuwan menunjukkan bahwa sejarah manusia sejak awal telah berkelindan dengan agama dan seseorang tak pernah mendapati dirinya tidak butuh dengannya.(2) Bahkan, banyak pula di antara kaum ateis yang meyakini bahwa "kosongnya dunia dari agama" merupakan angan-angan absurd lantaran masa depan masyarakat manusia sebagaimana masa lalunya-senantiasa bersama atau beriringan dengan kepercayaan-kepercayaan agama.

Penelitian tentang fenomena lama (tua) ini (dengan memanfaatkan akal dan teks-teks agama) senantiasa menyita pikiran manusia dan tulisan ini sendiri merupakan sebuah usaha untuk menempuh jalan tersebut. Sebelum melangkah lebih jauh, ada baiknya kita menganalisis kembali definisi agama dan meninjau lagi pelbagai term yang terkait dengan studi keagamaan.

p: 1


1- Riwayat ini-yang literaturnya akan segera disebutkan-terkadang dilaporkan dalam bentuk seperti ini: "Rahimallāhu imrā'an ... àlima min aina wa ilā ain wa mā al-hāshilu fil bayni” (Silakan lihat: Sayid Haidar Amuli, al-Muqaddimāt min Kitābi Nasshun Nushus, hlm. 486, simpul 1024).
2- Misalnya, silakan lihat: Will Durant, Tarikh Tamaddun [History of Civilization), jil.1, terjemahan Parsi oleh Ahmad Aram et. al., hlm. 70; Samuel Kenik, Jāmi'ah Syināsi Sociology), terjemahan Pearsi oleh Musyfak Hamadani, hlm. 126; Antonio Gidden, Jāmi'ahh Syināsi, terjemahan Parsi oleh Manucher Shaburi, hlm. 513; Sayid Muhammad Husain Thabathabai, Ushul Falsafah wa Rawesy Realism, jil. 5, hlm.3-4.

Definisi agama

Betapa banyak term yang digunakan secara berulang-ulang dalam obrolan sehari-hari, tetapi pengajuan definisi yang tepat dan akurat terhadap term-term tersebut bukanlah pekerjaan mudah. Menurut sebagian peneliti, agama berada dalam deretan term-term yang penggunaannya mudah, tetapi merefleksikan hakikat-hakikat yang begitu variatif dan beragam bukanlah hal yang mudah.(1) Agama Islam dengan pandangan ketauhidan (Monoteisme) menekankan wahyu dan teosentris, orang-orang Kristen berpijak kuat pada doktrin Trinitas (meskipun mereka menyebut hal itu tidak bertentangan dengan tauhid), para pengikut ajaran Zoroaster cenderung kepada konsep Dualisme serta menggambarkan pencipta keburukan dan kebaikan terpisah antara satu dengan lainnya.(2) Pada sebagian sekte-sekte ajaran Budha, tidak dapat ditemui adanya jejak Tuhan (dalam pengertian yang sesungguhnya dari kata ini),(3) dari sisi lain August Comte (1798—1857 M) mendirikan agama "pemuja manusia"(4) dan Karl Marx (1818–1883 M) yang memandang agama-agama pada masa itu sebagai candu masyarakat,(5)telah menjadi perintis dan pendiri sebuah agama baru.(6) Kebanyakan di antara orang-orang yang mendefinisikan agama, mengamati sekte yang ia terima dan menutup mata dari agama-agama lainnya. Walaupun demikian, apabila kita ingin mengajukan suatu definisi universal atas agama (bukan hanya pada agama benar) dari sudut pandang seorang peneliti agama, kita akan diperhadapkan dengan pertanyaan-pertanyaan sebagaimana berikut:

p: 2


1- Stanley L. Jaki, “Science and Religion” dalam The Encyclopedia of Religion, vol.13, hlm. 122.
2- Menurut sebagian peneliti, Zoroaster sendiri tidak mengenal tuhan selain Mazda. Muhammad Muin, Majmu' Maqālāt, jil.1, hlm.59.
3- William P. Alston, "Religion” dalam The Encyclopedia of Philosophy, vol.7, hlm. 140.
4- Lihat, William P. Alston, “Religion Naturalistic Reconstructions of dalam The Encyclopedia of Philosophy, vol. 7, hlm. 145.
5- Daniel L. Pals, Seven Theories of Religion, hlm. 141.
6- Silahkan lihat, Malcolm Hamilton, Jāmi'ah Syināsi Dīni (The Sociology of Religion), terjemahan Persia oleh Muhsin Sulasi, hlm. 206-207; Michael Peterson et al, 'Aql wa I'tiqad Dini [Reason and Religious Belief: an Introduction to the Philosophy of Religion), terjemahan Persia oleh Ahmad Naraqi dan Ibrahim Sulthani, hlm.21.

Apakah sebuah definisi yang mencakup seluruh aliran-aliran kepercayaan memungkinkan disebut sebagai agama? Kesamaan ciri-ciri manakah yang menghubungkan antara agama-agama langit yang percaya Tuhan (theism) dengan aliran-aliran keagamaan bumi yang humanis? Sebelum kita berupaya mencari sebuah jawaban atas pertanyaan-pertanyaan ini, terlebih dahulu kita tinjau sebagian di antara definisi-definisi yang diajukan oleh para pemikir Muslim maupun non-Muslim.

Pelbagai Definisi Agama (Berdasarkan Ruang Lingkupnya)

Definisi agama dapat diklasifikasi berdasarkan sudut pandang yang beragam.(1) Misalnya, sebagian di antara definisi membahas fungsi agama dan sebagiannya lagi menganalisis tentang esensi agama.(2) Begitu pula, berdasarkan sebagian definisi, agama merupakan sesuatu yang bersifat personal dan terbatas pada hubungan antara manusia dengan Tuhan; sementara pada saat yang sama menurut sebagian definisi lainnya, agama merupakan suatu petunjuk praktis yang komprehensif yang mencakup segala sesuatu sedemikian sehingga tak ada satu pun masalah-masalah duniawi atau ukhrawi yang terlewatkan di dalamnya tanpa sebuah jawaban.

PIKIRKAN DAN DISKUSIKAN Merenungkan Kembali Sebagian dari Definisi- Definisi Agama Dengan menyebutkan beberapa definisi psikologis, sosiologis, dan naturalistis (materialistis) dari agama, John Hick (1922 M) mengajukan beberapa contoh berikut ini untuk setiap masing-masing darinya:

1. Definisi psikologis: Perasaan-perasaan, perbuatan- perbuatan, serta pengalaman pengalaman individu

p: 3


1- Tentang hal ini, pembahasan cukup terperinci tetapi tidak begitu akurat terdapat pada literatur berikut ini: Ali Ridha Syujai Zend, Din, Jami'ah wa Urfi Syudan, hlm.8-81.
2- Silahkan lihat, Malcolm Hamilton, Jāmi'ah Syināsi Dini [The Sociology of Religion), Terjemahan Persia oleh Muhsin Sulasi, hlm.30.

ketika berada dalam kesendirian, pada saat ketika mereka mendapati diri mereka berhadapan dengan setiap apa yang mereka namakan Tuhan (William James).

2. Definisi sosiologis: Sekumpulan keyakinan-keyakinan, perbuatan-perbuatan, syair-syair, serta institusi- institusi religius yang dibangun oleh individu-individu manusia dalam masyarakat yang berbeda-beda (Parsons).

3. Definisi naturalistis (materialistis): Sekumpulan perintah-perintah dan larangan-larangan yang mencegah bekerjanya potensi-potensi kita secara bebas (Reinach).(1) Dengan membandingkan ketiga definisi di atas, diskusikanlah tentang sisi perbedaannya! Dari sudut pandang lain, sebagian definisi mencakup banyak di antara aliran-aliran yang heterogen (misalnya: penyembah Tuhan dan penyembah manusia); sementara sebagian lainnya mengeluarkan sebagian besar aliran-aliran ini dari lingkaran cakupan agama. Berdasarkan kriteria yang terakhir, beragam definisi tentang agama dapat dibagi atau dikelompokkan sebagai berikut:

Aliran-Aliran Kepercayaan yang Menerima Tuhan (Teisme) dan yang Menolaknya (Ateisme)

Sebagian pemikir memaknai istilah agama dengan begitu luas hingga meliputi banyak aliran-aliran kepercayaan yang umumnya tidak disebut sebagai agama, Allamah Thabathabai (1281–1360 S) berpendapat bahwa menurut pandangan al-Qur'an, agama disebut sebagai jalan dan tata cara kehidupan serta berdasarkan hal ini

p: 4


1- John Hick, Falsafah Din [The Philosophy of Religion], Penerjemah Persia oleh Behzad Saliki, hlm. 15.

Mukmin dan kafir (bahkan mereka yang sama sekali ingkar terhadap wujud Pencipta) bukanlah tanpa agama. (1) Tak dapat dipungkiri bahwa manusia dalam kehidupannya memiliki jalan dan tata cara sendiri serta menggunakan metode atau cara-cara yang tipikal. Menurut Allamah Thabathabai, "agama adalah cara hidup itu sendiri"(2) entah itu berasal atau diperoleh dari kenabian dan wahyu atau dengan jalan penetapan dan kesepakatan manusia. (3) Tentu sangat jelas bahwa pengajuan definisi seperti ini tidaklah bermakna sebagai pengakuan atau penerimaan atas seluruh cara-cara dan jalan-jalan yang ada, karena pada tahap selanjutnya, dengan pembagian agama menjadi "Ilahi" dan "insani"(4) begitu pula "agama benar" dan "agama batil"(5) menjadi jelas, bahwa tidak setiap agama dapat diterima.

Sebagian pemikir Kristen berkeyakinan bahwa agama setiap orang adalah ketundukan atau penyerahan diri terhadap sesuatu yang diyakini sebagai tujuan akhir kehidupannya. Berdasarkan hal ini, "permasalahan kita bukan pada tidak adanya jalan atau mazhab", tetapi pada "adanya mazhab tidak benar." (6)

Aliran-Aliran yang Menyakini Keberadaan Supra-Insani

Terdapat segolongan penulis yang sedikit membatasi atau mempersempit cakupan definisi agama dan menyebut kepercayaan terhadap suatu eksistensi suprainsani atau supranatural(7)—yang tidak mesti sama dengan konsep Tuhan-sebagai faktor pembentuk agama.

Berdasarkan hal ini, James J. Prizer (1854—1941 M) seorang antropolog Inggris menulis: "Agama adalah sejenis pengaduan

p: 5


1- Muhammad Husain Thabathabai, Quran dar Islām, hlm.5.
2- Muhammad Husain Thabathabai, Quran dar Islām, hlm.5. Syiah dar Islām, hlm.3.
3- Syiah dar Islām, hlm.3., Qurān dar Islām, hlm.5.
4- Syiah dar Islām, hlm.3., Quran dar Islām, hlm.5.
5- Abdullah Jawadi Amuli, Syariat dar Āyine Ma rifat, hlm.93.
6- William, E. Hordern, Rāhnemā Ilahiyat-e Protestan [A Layman's Guide to Protestant Theology)] Terjemahan Persia oleh Thathahves Mikailiyan, hlm.148.
7- Kedua kata ini tidak boleh dianggap sebagai padanan antara satu dengan lainnya, sebagaimana menurut sebagian penulis, dalam sekte Budha Trivida "Budha, jika bukan supra natural, dapat disebut entitas supra insani" Malcolm Hamilton, Jāmi'ah Syināsi Dini [The Sociology of Religion), hlm.25.

hati terhadap kekuatan-kekuatan yang lebih unggul dari manusia serta menganggap bahwa kendali alam dan kehidupan manusia berada ditangannya."(1) Dalam suatu definisi lain yang searus dan sealiran dengan ini disebutkan: "Agama terbentuk dari sekumpulan kepercayaan-kepercayaan, perbuatan-perbuatan, dan perasaan perasaan (individual dan kolektif) yang terangkai di seputar konsep hakikat akhir."(2) Penulis buku "Reason and Religious Belief" menambahkan penjelasan berikut ini pada definisi yang terakhir, bahwa hakikat akhir ini-bergantung pada pelbagai macam kepercayaan-kepercayaan agama yang berbeda-beda-bisa "satu atau banyak", "tertentu atau tidak tertentu", "Ilahi atau non-Ilahi."

Aliran-Aliran yang Percaya Tuhan (Teisme): Tauhid dan Non-Tauhid

Sebagian dari pemikir berkeyakinan bahwa apabila dalam suatu ideologi atau aliran keagamaan jejak-jejak kepercayaan akan adanya Tuhan tidak dapat ditemukan, maka ia tidak pantas dinamakan sebagai agama. Berdasarkan hal ini, salah seorang pemikir Muslim berkata, "Agama ... secara terminologis bermakna kepercayaan atau keyakinan atas adanya pencipta bagi alam semesta dan manusia, begitu pula dengan petunjuk-petunjuk praktis yang bersesuaian dengan keyakinan tersebut. Oleh karena itu, orang-orang yang secara mutlak tidak memercayai eksistensi pencipta dan menyatakan kemunculan fenomena-fenomena alam sebagai suatu kebetulan atau hanya sebagai akibat dari aksi reaksi materi yang bersifat natural, dikatakan sebagai orang-orang yang tidak beragama. Berlawanan dengan itu, orang- orang yang percaya dengan keberadaan pencipta alam semesta- meskipun kepercayaan-kepercayaan religius mereka disertai dengan penyimpangan-penyimpangan dan berbagai bentuk khurafat-disebut sebagai orang-orang yang beragama. Atas dasar itu, agama-agama yang

p: 6


1- William P. Alston, "Religion", dalam The Encyclopedia of Philosophy, vol. 7, hlm. 140.
2- Michael Peterson et al, Aql wa I'tiqad Dīnī [Reason and Religious Belief: an Introduction to the Philosophy of Religion), hlm.20.

hadir di tengah-tengah umat manusia kita bagi menjadi benar dan batil. "(1) Kebanyakan di antara pemikir Barat memasukkan pula unsur kepercayaan terhadap eksistensi Tuhan ke dalam definisi-definisi agama. Sebagai contoh, mereka mengatakan: "Agama yakni percaya kepada Tuhan atau tuhan-tuhan tertentu yang layak ditaati dan disembah."(2)

Aliran-Aliran Kepercayaan yang Bertauhid (Monoteis)

Kebanyakan ulama atau pemikir Muslim mengemukakan defenisi- definisi agama yang tidak mencakup aliran-aliran kepercayaan non-Ilahi dan non-Tauhid.(3) Sebagai contoh, Ibn Maitsam Bahrani (636–699 H) menyebut agama (dīn) setara atau sama dengan syariat-syariat yang telah disampaikan nabi-nabi Tuhan(4) dan istilah ini sendiri oleh sebagian ulama Syiah dan Sunni ditafsirkan seperti ini: "Agama merupakan nama bagi segala sesuatu di mana penyembahan di dalamnya diinginkan Allah dari makhluk-Nya dan diperintahkan penegakannya. "(5) Berdasarkan hal ini, seorang pemikir Muslim-dalam suatu pernyataan di mana pernyataan semacam ini banyak pula ditemui dalam perkataan para pemikir lainnya mengungkapkan bahwa agama mempunyai dua rukun dasar, 1) Percaya dengan keberadaan Tuhan Yang Esa, pemilik seluruh sifat-sifat kesempurnaan. 2) Program atau tuntunan praktis dalam rangka bergerak ke arah tujuan (meliputi moralitas dan hukum-hukum fikih).(6) Para pemikir non-Muslim pun terkadang mengaitkan agama dengan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Esa. Sebagai contoh, mereka berkata seperti ini: "Agama adalah kepercayaan terhadap

p: 7


1- Muhammad Taqi Misbah Yazdi, Amuzesy Agā id [Iman Semesta], Pelajaran Pertama (dengan sedikit perubahan)
2- Silahkkan lihat, John Hick, Falsafah Dīn [The Philosophy of Religion, Penerjemah Persia oleh Behzad Saliki, hlm. 15.
3- Terdapat empat belas definisi dari jenis ini pada literatur berikut ini: Ali Rabbani Gulpaigani, "Ta rif Dīn az Negāh Dīn Syināsān Islāmi" dalam Kalām Islāmi, hlm. 22-25.
4- Ibn Maitsam Bahrani, Syarh Nahj al-Balāghah, jil.1, hlm.108.
5- Syaikh Tusi, al-Tibyān, jil. 3, hlm. 434; Ibn Jauzi, Zād al-Masir, hlm.183; Fadhl bin Hasan Thabarsi, Majma' al-Bayān, jil. 3-4, hlm. 245.
6- Muhammad Taqi Ja'fari, Falsafah Dīn, hlm.95.

Tuhan yang senantiasa hidup, menguasai alam semesta, dan memiliki jalinan atau hubungan-hubungan etis dengan golongan manusia. (1) Poin penting yang patut diperhatikan ialah bahwa mereka yang di suatu waktu menunjuk beberapa objek (mishdāq) dari istilah agama ini dengan begitu luas-misalnya; "Setiap bentuk metode atau cara hidup disebutnya sebagai agama" — tetapi pada waktu lain menjadikannya begitu sempit, yaitu "Suatu dasar-dasar dan aturan-aturan ilmiah di mana dengan meyakini dan beramal dengannya, akan menjamin kebahagiaan hakiki manusia."(2) Diajukannya berbagai macam definisi ini, tidak serta-merta bermakna timbulnya suatu perubahan atau adanya sikap inkonsistensi dalam pandangan para pemikir ini, tetapi yang sebenarnya ialah sesuatu yang didefinisikan itu terkadang adalah "agama nyata" (agama secara mutlak) dan terkadang pula "agama benar." Bagaimanapun, kesulitan-kesulitan mendefinisikan agama dengan jalan menunjuk unsur kesamaan di antara agama-agama, menyebabkan sebagian pemikir menempuh jalan lain dan dengan menghitung tipologi khusus yang bersifat fleksibel, seluruh atau sebagian di antara tipologi tersebut, mereka sebut sebagai unsur-unsur pembentuk agama. (3) Misalnya, sebagian peneliti agama dari Barat menyebutkan bahwa keenam dimensi di bawah ini (tentunya dengan berbagai manifestasi dan penampakan yang sangat beragam) dapat ditemukan pada seluruh agama, (4)yaitu syiar-syiar (ritual dan peribadatan), mitos-mitos (cerita dan kisah-kisah yang bersifat metaforis serta enigmatis), kepercayaan,

p: 8


1- Michael Peterson et al, 'Aql wa I'tiqad Din (Reason and Religious Belief: an Introduction to the Philosophy of Religion), hlm.18.
2- Muhammad Husain Thabathabai, al-Mizān, jil.16, hlm.193.
3- Sebagian lainnya di sini mengarah kepada definisi secara misdāq (definisi dengan contoh), mereka mengatakan seperti ini: "Alih-alih sejak awal kita mengajukan suatu definisi yang terbatas pada bagian-bagian pembentuk agama, malah lebih baik kita merujuk hanya kepada contoh-contoh untuk pembatasan dan pendefinisian dimana orang-orang lebih banyak menerimanya sebagai agama. ... dengan demikian, definisi umum tentang agama adalah seperti di bawah ini: Agama-agama ialah terdiri dari Yahudi, Kristen dan Islam, ajaran Hindu, ajaran Budha dan tradisi-tradisi yang memiliki kemiripan dengan bentuk atau bentuk- bentuk dari agama-agama ini." Charles Taliaferro, Falsafah Din dar Qarn Bistum, (Contemporary Philosophy of Religion: An Introduction Contemporary Philosophy]) Terjemahan Persia oleh Inshaallah Rahmati, hlm.52-53.
4- Silahkan lihat, Michael Peterson et al, Aql wa I'tiqād-e Dini (Reason and Religious Belief: an Introduction to the Philosophy of Religion), hlm.20.

etika, urusan-urusan sosial, dan urusan-urusan yang berkenaan dengan pengalaman (penyaksian-penyaksian batin). (1) Sebagian lain, setelah menghitung sembilan ciri-ciri khusus, menekankan poin ini bahwa sesuatu yang menjadikan sebuah agama itu agama, bukan semuanya tetapi seukuran yang diperlukan dari pelbagai tipologi tersebut, sesuai dengan takaran secukupnya. (2) Pendapat ini-yang akan dijelaskan sekarang-menjadi lebih jelas dalam kerangka "teori kemiripan keluarga (family resemblances)."

Definisi Agama Berdasarkan Teori Kemiripan Keluarga

Wittgenstein seorang filsuf terkenal Austria, dengan mengemukakan suatu teori yang ia namakan dengan teori "kemiripan keluarga" (family resemblances),(3) berkeyakinan bahwa hakikat-hakikat yang beraneka ragam yang terhubungkan antara satu dengan lainnya dalam satu jaringan, tetapi tidak mempunyai kesamaan menyeluruh, dapat disebut dengan satu nama.

Ia menjelaskan teori ini dengan menggunakan term yang sebelumnya telah dikenal yaitu "permainan" (game). Pertanyaan yang jawabannya ia cari adalah kesamaan ciri-ciri manakah yang menghubungkan ragam fenomena yang dinamakan sebagai permainan antara satu dengan lainnya; menang dan kalah, menggunakan bola, berkelompok serta lain sebagainya? Sebagaimana yang diungkapkan Wittgenstein, tipologi atau ciri- ciri manapun yang kita tunjuk di antara pelbagai tipologi ini dan istilah "permainan" itu kita definisikan dengannya, maka sebagian dari permainan-permainan yang ada yang tidak memiliki ciri-ciri ini- tidak termasuk dalam amatan kita. Lalu bagaimanakah seharusnya mendefinisikan istilah ini? Jalan keluar yang digagas oleh Wittgenstein adalah secara prinsip kita tidak perlu mencari kesamaan tipologi.

Menurut keyakinannya, kemiripan (resemblance) yang terdapat di

p: 9


1- Ninian Smart, The Religious Experience, hlm-hlm. 6-12.
2- William Alston et al, Din wa Cyesmandāzhā Nu, Terjemahan Persia oleh Ghulam Mohsen Tawakkuli, hlm. 26-27. Terdapat pula beberapa pandangan lainnya tentang dimensi-dimensi agama, untuk telaah lebih jauh, silahkan lihat, David.
3- Ludwig Wittgenstein, Philosophical Investigations, Diterjemahkan oleh G. Anscombe, hlm.32, No. 67.

antara permainan-permainan, sama dengan kemiripan yang ada di tengah-tengah anggota sebuah keluarga. Apakah beberapa orang yang merupakan sesama saudara (saudari) semuanya harus memiliki kesamaan pada salah satu di antara tipologi atau ciri-ciri (seperti warna rambut dan mata, ukuran badan dan lain sebagainya)? Jawabannya adalah negatif (tidak), meskipun tipologi atau ciri-ciri yang berbeda- beda telah menghubungkan mereka semua dalam bentuk satu jaringan.

Bagan di bawah ini adalah bukti atau penjelasan bahwa kelima fenomena-fenomena gambaran yang setidaknya sama dalam tiga kekhususan dengan fenomena-fenomena lainnya, tetapi pada saat yang sama, tak satu pun ciri atau tipologi yang ditemukan dapat menghubungkan setiap dari lima fenomena antara satu dengan lainnya:(1)

PIKIRKAN DAN DISKUSIKAN

Pengunaan Teori Kemiripan Keluarga dalam Definisi Agama Bagaimana dapat menggunakan teori kemiripan keluarga dalam masalah definisi agama?(2) Dalam bagan di atas nama salah satu di antara agama-agama dapat ditempatkan pada posisi angka dan sebagian di antara doktrin agama (seperti kepercayaan pada tauhid, hari

p: 10


1- Lihat, Robert J. Fogelin, Wittgenstein, hlm. 133.
2- Silahkan lihat, John Hick, Falsafah Din, Terjemahan Persia oleh Behzat Saleki, hlm.16-17; William Alston et al, Din wa Cyesmandāzhā Nu, hlm.28.

kiamat, reinkarnasi, wahyu, dan seterusnya) dapat ditempatkan pada posisi huruf (abjad). Tentunya tidak mudah melakukan hal ini secara tepat (akurat) dan memerlukan pengenalan terhadap agama-agama yang beraneka ragam serta pengetahuan terhadap doktrin- doktrin dasar mereka; meskipun demikian, buatlah latihan bersama teman-teman Anda dan diskusikanlah tentang hasilnya! Untuk mengetahui lebih jauh tentang teori kemiripan keluarga dan bagaimana penerapannya secara praktis, Anda dapat memulainya dengan contoh-contoh yang lebih mudah (misalnya: definisi meja dengan menggunakan ciri- ciri khusus seperti jumlah kakinya, bentuk bundar, atau segiempatnya)

Agama dan Pertanyaan-pertanyaan Mendasar Manusia

Sepertinya dengan teori kemiripan keluarga, suatu definisi dari agama yang mencakup seluruh agama-agama dunia dapat diajukan, (1) yaitu "agama adalah sekumpulan dari suatu ajaran-ajaran yang akan menjawab pertanyaan-pertanyaan mendasar manusia tentang awal dan akhir eksistensi serta menampakkan jalan guna mencapai tujuan penciptaan."(2) Jawaban dari pelbagai macam agama atas pertanyaan- pertanyaan ini beraneka ragam, tetapi aliran kepercayaan (maktab) yang membiarkan pertanyaan-pertanyaan ini tanpa jawaban, secara terminologis tidak bisa dinamakan agama.

Definisi yang telah disebutkan di atas diambil dari sebuah hadis terkenal yang disandarkan kepada Imam Ali, "Rahimallahu imrā'an ...

‘alima min aina wa fi aina wa ilā aina"( Semoga rahmat Tuhan tercurah

p: 11


1- Setidaknya dapat dikatakan bahwa definisi di atas mencakup semua aliran-aliran di mana para peneliti agama sepakat dalam menamainya sebagai agama.
2- Dalam tafsiran sebagian penulis: "Agama menjawab pertanyaan-pertanyaan yang terkait dengan asal usul alam, jenis manusia serta makna kehidupan dan kematian," Bates dan Plog, Insan Shenasi Farhanggi [Cultural Antrhopology), Terjemahan Persia oleh Mohsen Sulasi,hlm.687.

atas orang yang ... tahu dari mana ia datang, di mana ia sedang berada, dan kemana ia akan pergi). (1) Pertanyaan-pertanyaan ini-sebagaimana yang telah disinggung pada hadis-melihat batasan ruang dan waktu dalam cahaya, serta senantiasa memaksa kebanyakan pemikir untuk merenung dan berpikir, sebagaimana Alexis Carrel (1873–1944 M) seorang pemikir Prancis berkata, "Manusia bertanya kepada dirinya tentang apa makna kehidupan? Mengapa dan dari mana kita datang? Bahwa kita ada? Bagaimana kedudukan akal dalam semesta? Semua kesulitan kesedihan, dan kegalauan ini ... untuk apa? Apa makna kematian? Jika harus cepat kembali pada ketiadaan, apa untungnya membangun jiwa dan raga sesuai dengan kebaikan ideal? Apakah kepahlawanan, iman, dan patriotisme bukan olok-olokan alam? Kemana kita akan pergi? Apakah setelah kematian, jiwa pun seperti halnya tubuh akan hancur berserakan atau tetap utuh?"(2) Blaise Pascal (1623–1662 M) menuliskan pikirannya tentang pertanyaan-pertanyaan eksistensial dan fundamental manusia, seperti "Aku berada di salah satu sudut alam ini ... tanpa kutahu mengapa aku ada di sini, ... dalam keadaan itu pula tak tahu dari mana aku datang, aku tak tahu kemana akan pergi."(3) Pertanyaan semacam ini oleh seorang penyair dan penulis Spanyol, Miguel Unamuno (1864—1936 M), dinyatakan seperti ini, "Aku datang dari mana dan dari manakah alam yang di dalam dan dengannya aku hidup, mengada? Kemanakah aku akan pergi? Kemudian, sesuatu yang meliputiku, kemanakah ia akan pergi? ... Apa maksud semua ini?" (4) Poin penting yang perlu kami tekankan di akhir bagian ini adalah bahwa kebenaran atau kesetaraan agama-agama tidak akan pernah dapat dihasilkan dari definisi agama. Tolok ukur "kebenaran" dan

p: 12


1- Hadis ini tidak terlihat dalam literatur-literatur yang ada. Sebagian ulama Syiah dan Sunni menis bahkan hadis ini kepada Imam Ali. Silahkan lihat, Sayyid Haidar Amuli, Jāmi' al-Asrar, hlm.486; Saiduddin Taftazani, Syarh al-Maqāsid, jil.1, hlm.158; Shadr al-Mutaallihin Shirazi (Mulla Sadra), al-Hikmat al-Muta āliyah, jil.1, hlm.22-23 dan jil.8, hlm.355.
2- Alexis Carrel, Majmu'Atsar wa Afkar (Rāh wa Rasm Zendegi), Terjemahan Persia oleh Parwiz Dabiri, hlm.156.
3- Pascal, Andisyehā wa Risālat [Thoughts, Letters and Minor Works), terjemahan Parsi oleh Ridha Mushayekhi, hlm. 315.
4- Miguel Unamuno, Dard Jāvidaneghi [The Tragic Sense of Life), terjemahan Parsi oleh Bahauddin Khurramsyahi, hlm. 66.

"kesetaraan atau ketidaksetaraan" agama-agama adalah suatu bahasan tersendiri yang mesti dikaji atau dibahas pada tempatnya tersendiri.

Terkadang sebagian orang tidak memperhatikan poin penting ini dan dengan hanya mengajukan suatu definisi umum dari agama, mereka menyatakan bahwa yang terpenting adalah "beragama" bukan jenis agamanya!

Filsafat Agama dan Kalam Jadid

Pembahasan-pembahasan yang akan diketengahkan dalam tulisan (buku) ini, dewasa ini umumnya terhimpun dalam suatu kumpulan- kumpulan pembahasan dengan tema filsafat agama. Filsafat agama adalah suatu istilah yang setidaknya sejak zaman ketika Hegel (1770- 1831 M) seorang filsuf kenamaan Jerman, memilih nama ini untuk rangkaian ceramah-ceramah ilmiahnya tentang agama, menjejakkan kaki dalam ranah kajian-kajian studi keagamaan.(1) Setelah mengalami dan melalui berbagai bentuk perubahan, sebutan tersebut sekarang ini bermakna sebagai(2) "berpikir rasional dan filosofis tentang agama" (3) dan menempatkan tema-tema berikut ini ke dalam cakupan bahasannya: definisi agama, sumber agama, kebutuhan manusia terhadap agama, pengalaman religius, bahasa agama, argumen-argumen pembuktian eksistensi Tuhan, dalil-dalil orang-orang yang mengingkari eksistensi Tuhan, masalah keburukan, akal dan wahyu (iman), ilmu dan agama, mukjizat, agama dan moralitas, pluralisme agama, kehidupan setelah kematian (keabadian ruh).

Sebagian peneliti agama menekankan adanya perbedaan antara filsafat agama dengan Teologi (Kalām)(4) dan mengatakan bahwa "keyakinan atau keterikatan pada agama tertentu" serta "cara pandang

p: 13


1- Silsilah pelajaran ini dikemukakan dalam empat kesempatan (1821,1824,1827, dan 1831) di Universitas Berlin. Silakan lihat Peter C. Hodgson (ed.), Hegel Lectures on the Philosophy of Religion, vol. 1, hlm. 83.
2- Sebagian secara mendasar mengganti penggunaan istilah Philosophy of Religion dengan redaksi Philosophic Study of Religion. Silakan lihat: William Ernest, Hocking, Meaning of God in Human Experience (A Philosophic Study of Religion).
3- "Philosophical Thinking about Religion", John Hick, Philosophy of Religion, hlm. 83.
4- Tentu saja redaksi kalām bukan padanan yang tepat bagi Teologi. Silakan lihat Shahram Pazuki, “Muqaddimah | Dar Bāb-e Ilahiyyāt" dalam majalah Arghanun, No. 5 dan 6, hlm. 8.

berpihak" merupakan ciri khas dalam pembahasan-pembahasan teologi. (1) Sebagian lainnya menyatakan ketidakpuasannya dengan kenyataan bahwa pada tingkat praktis filsafat agama telah terbatas pada wilayah agama-agama tauhid.(2) Walaupun demikian, pemilahan atau pembatasan-pembatasan semacam ini masih belum diterima oleh semua pihak;(3) sebagian kalangan pemikir Kristen pun dalam buku- buku filsafat agama mereka bahkan membahas doktrin-doktrin seperti "inkarnasi dan penebusan" di mana hal itu tidak mempunyai dasar kecuali iman agama.(4) Sebagian lainnya menyebut filsafat agama sebagai bentuk atau tahapan sempurna dari teologi.(5) Meskipun demikian, filsuf agama tidaklah mesti seorang penganut agama apatah lagi harus menyusun argumen-argumen rasionalnya demi keuntungan agama tertentu.

Bagaimanapun, mereka yang dari kalangan muslim memilih istilah "Kalām" (Teologi) untuk kajian dan pembahasan masalah- masalah tersebut dan kebanyakan pula menambahkannya dengan kata sifat "jadīd (baru)". Syibli Nu'mani (1857–1914 M) seorang pemikir India adalah salah seorang yang pertama kali menggunakan istilah Kalām Jadīd (Teologi Baru) di dunia Islam. (6) Jilid ke-2 dari buku sejarah ilmu Kalām-nya ia namakan dengan "Kalām Jadīd" dan di dalamnya ia membahas sebagian permasalahan-permasalahan penting yang sedang dihadapi agama dalam dunia modern.

p: 14


1- Lihat Edgar Sheffiel Brightman, A Philosophy of Religion, hlm. viii; John Hick, Philosophy of Religion, hlm. 1-2.
2- Lihat: Gary E. Kessler (ed.), Philosophy of Religion, hlm. xv.
3- David Pailin, Mabāni Falsafah Dīn (The Groundwork of Philosophy of Religion), terjemahan Parsi oleh kelompok Penerjemah Persia, hlm. 18; lc.J. Hubbling, "Mafāhim wa Masāil Falsafah Din", terjemahan Parsi oleh Hamid Ridha Ayatullahi, dalam: Qabasāt,No.2, hlm. 68-70; Shadiq Larijani, "TaAmmuli dar Kalām Jadīd", dalam: Andisyeh Hauzah, No. 5, hlm. 102; Jonathan Z. Smith (ed.), The Harper Collins Dictionary of Religion, hlm. 899.
4- Sebagai contoh, silakan rujuk Michael Peterson et al., 'Aql wa I'tiqad Dīnī (Dar Amadi bar Falsafah Dīn), terjemahan Parsi oleh Ahmad Naraqi dan Ibrahim Sultani, hlm. 463-475.
5- “Philosophy of religion ... is the highest stage or from of theology" D. S. Adam, “Theology" dalam James Hastings (ed.), Encyclopedia of Religion and Ethics, vol. 12, hlm. 299.
6- Dalam salah satu ceramah Sayid Ahmad Khan Hindi (1817–1898 M) juga terdapat seperti ini: "Hari ini kita memerlukan teologi dan kalam baru di mana dengan bantuannya kita mampu, entah membuktikan kebatilan ilmu modern, ... atau menunjukkan bahwa ajaran-ajaran ini selaras dengan tingkatan-tingkatan iman Islam.” Miyane Muhammad Syarif (penyunting), Tārīkh Falsafah dar Islām, terjemahan Sekelompok Penerjemah Persia, jil.4, hlm. 202.

Murtadha Muthahhari (1299–1358 S) menyebutkan bahwa salah satu tugas penting para pemikir Muslim saat ini adalah membangun "Kalām Jadīd" serta mengajak mereka memperhatikan masalah- masalah berikut ini: merancang dan mengkaji masalah-masalah baru (seperti berbagai pandangan tentang sebab-sebab kemunculan agama), mengkaji ulang sebagian masalah-masalah klasik (seperti wahyu dan ilham, dalil-dalil pembuktian wujud Tuhan, imāmah, dan kepemimpinan) dengan memperhatikan pelbagai kesamaran (syubhat) dan wacana-wacana baru. (1) PIKIRKAN DAN DISKUSIKAN Teologi Baru atau Masalah-Masalah Baru Teologi? Tak syak lagi, ilmu Kalām (Teologi) —sebagaimana ilmu-ilmu lainnya-telah melalui suatu tahapan-tahapan penyempurnaan dan berbagai bentuk perubahan.

Sebagaimana Ibn Khaldun membedakan antara cara atau metode para mutakallim (teolog) awal dan belakangan serta masalah-masalah yang dikemukakan dari mereka.(2) Sebagai contoh: masalah-masalah seperti "qadim atau hadits-nya kalam Ilahi" yang merupakan salah satu pembahasan teologi yang paling diributkan, pada zaman- zaman berikutnya berubah menjadi bahasan-bahasan yang bersifat selingan dan historis serta posisinya tergantikan dengan masalah-masalah lain.

Perubahan mencengangkan yang saat ini timbul dalam ilmu Kalam, memunculkan sebuah pertanyaan bagi kalangan pemikir yang maknanya seperti ini: Apakah sesuatu yang baru tersebut, ilmu itu sendiri ataukah masalah-masalahnya? Dengan kata lain, manakah yang lebih benar di antara dua penyebutan ini: Teologi baru (Kalām Jadīd), atau masalah-masalah baru teologi (Masā'il

p: 15


1- Murtadha Muthahhari, Pairamun Jumhuri Islāmī, hlm. 37-39.
2- Tārīkh Ibn Khaldun, jil. 1, hlm. 498-499

Jadid Kalāmī)? Terdapat segolongan-dengan berbagai macam kriteria-yang cenderung dengan perubahan esensial pada ilmu ini dan segolongan lainnya tidak melihat adanya perubahan selain daripada masalah-masalah yang dikemukakan. (1) Dalam pandangan golongan kedua, penerapan istilah "Kalām Jadīd" tidak tepat dan tidak dapat diterima, kecuali jika ajektif "jadīd" tersebut tidak berhubungan dengan ilmu Kalām itu sendiri, melainkan terkait dengan masalah-masalahnya. (Dalam bahasa Arab terkadang kita mengatakan: "Zaidun Qāimun" dan terkadang "Zaidun Qāimun Abūhu." Pada kalimat kedua, qiyām [berdiri] tampak secara formal dinisbahkan kepada Zaid, tetapi pada hakikatnya terkait dengan ayahnya [Abūhu]. Dalam pembahasan yang telah disebutkan juga dapat dikatakan: "Kalāmun Jadīdun Masāiluhu") Sebelum Anda mencari dalil-dalil dari kedua golongan ini dengan merujuk pada literatur-literatur lainnya, dalam pandangan awal, manakah di antara pandangan-pandangan tersebut yang Anda dapati lebih benar? Para penulis Kristen-guna mengisyaratkan wajah baru "Teologi"-memakai pula istilah "Modern Theology" (Teologi Modern) dalam karya-karya mereka dan menyebut Schleiermacher (1768-1834 M) sebagai peletak dasarnya.(2) Term ini—dibandingkan dengan filsafat agama-tidak begitu populer dan penekanannya lebih banyak pada pembahasan-pembahasan seperti pengalaman keagamaan, kristologi, demitologisasi kitab suci, dan pengajuan tafsiran-tafsiran baru atas doktrin-doktrin Kristen-semisal: Doktrin wahyu, keselamatan (salvation), dan Trinitas. (3)

p: 16


1- Tentang tema ini, terdapat beberapa makalah pada literatur berikut: Ali Aujabi (ed.), Kalām Jadīd dar Guzār Andisyehā. Begitu pula, silakan lihat William Nicholls, Systematic and Philosophical Theology, hlm. 17.
2- Lihat B.A. Gerrish, “Schleiermacher, Friedrich” dalam Mircea Eliade (ed.), The Encyclopedia of Religion, vol. 13, hlm. 108.
3- See: David F. Ford (ed.), The Modern Theologians, hlm. 4.

Dengan demikian, apa yang kita sebut sebagai "Kalām Jadīd" di negeri Iran pada umumnya adalah apa yang orang-orang Barat namakan sebagai "Filsafat Agama." Hal lain yang juga patut diperhatikan ialah filsuf-filsuf agama kebanyakan berbahasa Inggris, tetapi istilah "Teologi Modern (Kalām Jadīd)" dikaitkan dengan nama orang-orang yang bermazhab Protestan dan bahasa asli mereka adalah bahasa Jerman. (1)

Teologi Filsafat

Seiring dengan apa yang telah disampaikan sebelumnya, dalam khazanah budaya Barat terdapat pula beberapa term lainnya yang kadang digunakan seakan-akan sejajar dengan filsafat agama, salah satu di antaranya ialah "Teologi Filsafat."(2) Antony Flew (1923 M) dan MacIntyre (1929 M) dalam menamai sebuah buku yang diterbitkan dengan penyuntingan mereka berdua (pada tahun 1955 M) menggunakan istilah tersebut dan menyebutnya telah dipinjam dari Paul Tilich.

Dalam pengantar (mukadimah) buku tersebut, mereka menegaskan bahwa sekiranya istilah Filsafat Agama tidak disertai dengan gagasan-gagasan idealis Hegelian, maka istilah tersebut bisa menjadi judul yang tepat bagi buku tersebut. (3) Sebelum dua orang ini pun, sebagian penulis Barat(4) menggunakan judul "Teologi Filsafat" dalam menamai karya-karya mereka.

Dalam budaya Islam, istilah "Kalām Falsafi" (Teologi Filsafat) mempunyai latar belakang yang cukup lama, sebagaimana Muhammad bin Ishaq al-Nadim (w 438 H) menamakan kalam (teologi) Muktazilah

p: 17


1- Di tengah-tengah kelompok ini-selain dari pada Schleiermacher-terlihat pula tokoh-tokoh terkenal di bawah ini: Rudolf Bultmann (1884-1976 M), Paul Tilich (1886-1965 M), Karl Bart (1886–1968 M), dan Emeil Brouner (1889-1966 M).
2- Istilah ini terkadang-seperti halnya teologi rasional-mengisyaratkan suatu ilmu yang bertujuan menelaah dan meneliti tentang eksistensi Tuhan dengan bersandar pada argumen- argumen filosofis. Silakan lihat lc. J. Hubbling, Ilāhiyāt Falsafah Thomas Aquinas, terjemahan Parsi oleh Syahabuddin Abbasi, hlm. 21 dan 71.
3- Antony Flew dan Alasdair Mac Intyre, New Essays in Philosophical Theology, hlm. x.
4- Seperti filsuf dan teolog Inggris, Frederick Robert Tennant (1866–1957 M). Pada jilid pertama bukunya yang terbit pada tahun 1928.

dengan Teologi Filsafat-yang boleh jadi menggunakan metode dan pembahasan-pembahasan filsafat.(1)

Studi Agama-Agama

Para penulis berbahasa Parsi dalam menamakan buku-buku yang mengkaji masalah-masalah yang telah disebutkan dengan pendekatan atau cara pandang yang sama, selain dari pada beberapa term sebelumnya (Filsafat Agama, Kalām Jadīd, Teologi Filsafat) mereka juga menggunakan istilah-istilah lainnya seperti "Dīn Syināsi" (Studi Agama).

Term terakhir terkadang disepadankan dengan istilah Filsafat Agama dan terkadang pula dianggap memiliki ruang lingkup yang lebih luas di mana ilmu-ilmu seperti Sosiologi Agama, Psikologi Agama, Filsafat Agama, dan Sejarah Agama-Agama disebut sebagai cabang-cabangnya.

Kendati demikian, penamaan ini sepertinya diadopsi dari "The (Scientific) Study of Religion" atau "Religious Studies." Terlebih hal itu menggiring benak kita pada pahaman "Kajian Perbandingan Agama- Agama", sebagaimana halnya dalam sebutan bahasa Inggrisnya pun kebanyakan digunakan dalam makna seperti ini.(2) Bagaimanapun, di tempat kelahirannya, jurusan "Studi Agama" berbeda dengan "Filsafat Agama"(3) walaupun masih berhubungan dengannya. (4)

p: 18


1- Muhammad bin Ishaq al-Nadim, Al-Fahrast, hlm. 206.
2- Eric J. Sharpe, "Comparative Religion” dalam Mircea Eliade (ed.), The Encyclopedia of Religion, V. 3, hlm. 580.
3- Untuk lebih mengenal ilmu ini, silakan lihat Seymur kin dan Eric Sharpe, “Dīn pazuhi” dalam Dīn Pazuhi, terjemahan Parsi oleh Bahauddin Khurramsyahi, jil. 1, hlm. 125-198.
4- Lihat: Gary E. Kessler (ed.), Philosophy of Religion, hlm. xix.

PIKIRKAN DAN DISKUSIKAN Memilih Salah Satu dari Istilah-Istilah Tanpa Melihat Latar Belakang Ke-Barat-annya Sebagaimana yang telah lalu, Syahid Muthahhari mengajak para pemikir Muslim untuk membangun "Kalām Jadīd" atau "Neo-Teologi" atau "Teologi Modern" dan kemudian menempatkan beberapa masalah di dalamnya yang belum dibahas dalam Filsafat Agama dan Teologi Modern Kristen, menurut Anda, apakah latar belakang ke-Barat-an istilah-istilah tersebut dapat dikesampingkan? Kemudian, masalah-masalah yang dianggap penting oleh para teolog Muslim ditempatkan di bawah salah satu dari istilah-istilah tersebut? Jika jawabannya positif, term manakah yang Anda pilih?

Kesimpulan

1. Menurut sebagian kalangan peneliti, agama berada dalam deretan istilah-istilah yang meskipun penggunaan mereka mudah, tetapi mencerminkan hakikat-hakikat yang beragam dan sangat variatif.

2. Definisi-definisi agama yang beragam dapat dikelompokkan berdasarkan sudut pandang yang berbeda-beda.

3. Berdasarkan salah satu dari pengelompokan ini, dari satu sisi, terdapat beberapa definisi di mana segala bentuk jalan dan cara hidup dinamakan dengan agama; dan pada sisi lain, definisi- definisi yang menyesuaikan agama dengan salah satu di antara objek-objeknya (seperti Islam).

4. Guna mendefinisikan agama secara universal (bukan hanya agama yang benar) para peneliti agama dihadapkan dengan pertanyaan-pertanyaan semacam ini, kesamaan ciri manakah yang

p: 19

menghubungkan agama-agama tauhid dengan agama-agama yang mengandung kesyirikan atau nonteistik? 5. Berdasarkan teori kemiripan keluarga, untuk mendefinisikan agama, tidak perlu menemukan kesamaan ciri di antara semua agama-agama; hakikat-hakikat beragam yang saling berhubungan antara satu dengan lainnya dalam bentuk sebuah jaringan, tetapi tidak memiliki sisi kesamaan umum, dapat disebut dengan satu nama.

6. Salah satu di antara definisi agama (meskipun tidak sesuai dengan teori kemiripan keluarga), Agama ialah sekumpulan doktrin doktrin yang menjawab pertanyaan-pertanyaan mendasar manusia tentang awal dan akhir eksistensi serta menampakkan jalan untuk mencapai tujuan penciptaan.

7. Tema-tema pembahasan yang dibahas dalam buku ini (asal-usul agama, kebutuhan manusia terhadap agama, pengalaman religius, bahasa agama, akal dan wahyu, agama dan moralitas, pluralisme agama, dan lain sebagainya) sekarang ini umumnya terhimpun dalam suatu kumpulan-kumpulan dengan judul "Filsafat Agama".

Istilah ini setelah melalui pelbagai perubahan, lebih banyak digunakan dengan makna perenungan rasional dan filosofis tentang agama.

Sebagian peneliti agama menegaskan perbedaan antara Filsafat Agama dan Teologi (kalam) dan menyebut "kewajiban (tersyarati) dengan agama tertentu" dan "cara pandang memihak" sebagai ciri- ciri pembahasan-pembahasan teologis.

9. Mereka yang dari kalangan muslim, memilih istilah "Kalām" untuk pembahasan masalah-masalah tersebut dan kebanyakan menambahkannya pula dengan sifat "jadīd".

10. Penulis-penulis Kristen pun-guna menunjukkan wajah baru teologi (Ilāhiyyat) - menggunakan sebutan "Teologi Modern (Kalām Jadīd)" dalam karya-karya mereka, tetapi apa yang sekarang ini di Iran disebut dengan "Kalām Jadīd", pada umumnya adalah apa yang dinamakan orang-orang Barat dengan "Filsafat Agama."

p: 20

11. Dalam budaya Barat, istilah Kalām Falsafī (Teologi Filosofis) terkadang juga digunakan sebagai padanan dari Filsafat Agama.

12. Istilah studi agama (studi perbandingan agama) di tempat kelahiran aslinya berbeda dari Filsafat Agama, meskipun masih berhubungan dengannya.

Pertanyaan

1. Mengapa para peneliti agama menyebut pendefinisian agama sebagai sesuatu yang sulit dilakukan? 2. Definisi-definisi agama yang bervariasi dapat dibagi atau dikelompokkan dari sudut pandang yang berbeda-beda.

Tunjukkanlah salah satu dari pengelompokan atau pembagian- pembagian tersebut! 3. Bagaimana Allamah Thabathabai mendefinisikan agama? 4. Mengapa sebagian di antara para penulis memuat konsep "hakikat akhir" menggantikan "Tuhan" dalam definisi agama? 5. Orang-orang yang terkadang menamakan "segala bentuk cara hidup" sebagai agama dan terkadang pula menyelaraskannya terhadap agama-agama tauhid atau mengkhususkannya pada agama Islam, apakah pembicaraan mereka kontradiksi? Mengapa? 6. Jelaskanlah maksud dari penyataan ini: "sebagian kalangan peneliti agama dengan menyebutkan kekhususan-kekhususan yang fleksibel, menyebut keberadaan semua atau sebagian mereka sebagai penegak agama".

7. Jelaskanlah teori kemiripan keluarga dengan bantuan bagan dan dalam bentuk satu contoh! 8. Definisi manakah di antara definisi-definisi agama yang dipilih oleh penulis? Tulislah pendapat Anda tentangnya! 9. Dalam makna apakah istilah filsafat agama diterapkan oleh orang- orang Barat? Apakah dapat dikatakan bahwa dalam perbuatan, semua filsuf-filsuf agama memiliki cara pandang yang tidak memihak? Jelaskan!

p: 21

10. Apa perbedaan fungsi istilah kalām jadīd bagi kalangan Muslim dan non-Muslim antara satu dengan lainnya? 11. Apa maksud dari Kalām Falsafi (Teologi Filosofis)? Mengapa sebagian penulis mengutamakan rangkapan (istilah) ini dari istilah filsafat agama? 12. Apakah istilah "studi agama" dapat disebut sebagai padanan atas istilah "Filsafat Agama"? Mengapa?

p: 22

BAGIAN 2: ASAL USUL AGAMA

Point

Maka hadapkanlah wajahmu dengan kecondongan penuh atas haq (kebenaran), kepada agama ini, dengan fitrah di mana Allah menciptakan manusia menurut fitrah itu; tidak ada perubahan pada penciptaan Allah (QS Al-Rūm [30]: 30).(1) Sebagaimana telah lalu, kebanyakan pemikir berpendapat bahwa bukan hanya pada masa lalu, bahkan di masa mendatang pun, dunia tidak akan dapat ditemukan kosong tanpa agama di dalamnya.(2) Menurut Ernest Remnant (1823–1892 M) seorang filsuf dan sejarawan Prancis, "Mustahil hubungan terhadap agama menjadi terputus atau terhapus, sebaliknya (agama) senantiasa dan selalu akan tinggal."(3) Realitas ini mengundang kebanyakan di antara pemikir untuk melakukan perenungan tentang rahasia religiusitas da usul agama (mazhab) serta memunculkan pelbagai ragam pandangan-

p: 23


1- Dalam tulisan ini, terjemahan ayat-ayat al-Qur'an pada tulisan (buku) ini-selain hal-hal yang secara gamblang dijelaskan berlawanan dengannya-menggunakan terjemahan Persia Muhammad Mahdi Fuladuwand.
2- Will dan Arill Durant menulis, "Satu pelajaran sejarah ialah bahwa agama memiliki beberapa jiwa dan setelah setiap kematian biasanya hidup kembali. Tuhan dan agama di masa-masa sebelumnya telah berkali-kali mati dan hidup kembali.” Will dan Arill Durant, Darshā Tārikh [The Lessons of History], penerjemah Parsi Ahmad Bathhai, hlm. 66.
3- Muhammad Taqi Syariati, Faideh wa Luzām Dīn, hlm. 23; Muhammad Farid Wajdi, Dairāt al- Ma ārif al-Qur'ān al-Asyrin, jil. 4, hlm. 111.

pandangan. Segolongan pemikir dengan cara pandang ateistik,(1) menyebut faktor-faktor psikis seperti rasa takut dari peristiwa-peristiwa alam sebagai faktor yang berpengaruh dalam kemunculan agama serta kecenderungan kepadanya(2) dan segolongan lainnya menunjuk fungsi-fungsi sosialnya.(3) Dari sisi lain, tidak sedikit di antara pemikir yang dengan bersandar pada faktor-faktor seperti akal dan fitrah menegaskan sumber agama yang bersifat Ilahi.

Pelbagai Macam Pandangan tentang Asal Usul Agama

Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, sebagian kaum ateis, mencari atau meneliti asal usul agama-agama dengan praasumsi bahwa Tuhan dan agama-wahyu tidak lebih dari sebuah fatamorgana, menyebut faktor-faktor psikologis dan sosiologis berpengaruh atas munculnya agama dan begitu pula dengan kecenderungan kepadanya.

Sebelum kami mengetengahkan pandangan yang benar dalam masalah ini, sepintas kami akan menyebutkan sebagian di antara faktor-faktor tersebut:

Ketakutan pada Peristiwa-peristiwa Alam

Merujuk pada manuskrip yang ada, penyair Roma, Titus Lucretius (sekitar tahun 55—94 SM) adalah salah seorang yang pertama kali mengorelasikan doktrin-doktrin religius dengan fenomena ketakutan.

Ia yang menamakan ketakutan sebagai "ibu para tuhan"(4) dan menyebut "keterbebasan manusia dari ketakutan terhadap tuhan-tuhan"(5) sebagai

p: 24


1- Mengingat bahwa pembahasan "asal-mula" agama pada umumnya mengemuka dari kalangan pengingkar Tuhan dan dengan cara pandang ateistik, sebagian penulis memuatnya dalam sebuah pasal dengan judul "Dalil-Dalil Tiadanya kepercayaan terhadap Wujud Tuhan." Silakan lihat John Hick, Falsafah Dīn The Philosophy of Religion], terjemahan Parsi oleh Behzad Saleki, hlm. 75–86.
2- Silakan lihat Bertrand Russell, Cherā Masīhi Nistam [Why am I Not Christian], terjemahan Parsi oleh S. Thahiri, hlm. 37.
3- Silakan lihat Malcolm Hamilton, Jami'ah Syināsi Dīn [The Sociology of Religion terjemahan Parsi oleh Muhsin Tsulasi, hlm. 169–273.
4- Will dan Arill Durant, Darshā Tārīkh, hlm. 56; Manucer Hudayar Mohebbi, Bunyād Dīn wa Jāmi'ah Syināsi, hlm. 15.
5- Frederick Copleston, Tārīkh Falsafah [A History of Philosophy, jil. 1, terjemahan Parsi oleh Sayid Jalaluddin Mujtabawi, hlm. 461. Menurut sebagian penulis, Lucretius tidak mengingkari keberadaan tuhan-tuhan, tetapi berkeyakinan bahwa mereka tidak punya hubungan dengan nasib eksistensi-eksistensi yang dapat sirna. Oleh sebab itu, peristiwa-peristiwa seperti banjir, petir, dan gempa bumi tidak boleh disebut bersumber dari kemurkaan tuhan-tuhan, silakan lihat “Lucretius" dalam Microsoft Encarta Reference Library 2004.

tujuan aslinya, menyanjung permusuhan Epicure (270—341 SM) terhadap agama seperti ini.

Ketika agama dari balik (atas) bintang-bintang dengan suatu keadaan dan bentuk yang menakutkan, menampakkan cakar dan taring pada manusia; pada saat yang sama, seorang pria Yunani mengangkat kepala dan berdiri tegak. Dari mata fana-nya (mata matinya), terlihat kemurkaan pada dirinya. Ia adalah orang yang pertama kali melakukan perlawanan terhadap agama. Bukan legenda-legenda Tuhan, bukan petir dan kilat, dan bukan langit dengan gemuruh halilintarnya yang menakutkan, tak satu pun dapat merobohkannya dengan hina, bahkan keberanian semakin membangkitkan spiritnya karena ia ingin menjadi orang yang pertama kali mematahkan pintu-pintu alam natural yang tertutup. ... oleh sebab itulah, sekarang ini agama telah runtuh di hadapan kaki masyarakat.(1) David Hume (1711-1776 M) kendati menerima kenyataan bahwa totalitas sistem alam memberi kesaksian atas keberadaan Tuhan yang sadar, (2) berkeyakinan bahwa apa yang benar-benar sedang terjadi, bukan bersumber dari kedalaman berpikir dan rasionalitas, melainkan berasal dari suatu kekhawatiran tentang peristiwa-peristiwa kehidupan serta ketakutan-ketakutan dan harapan-harapan yang mendorong pemikiran-pemikiran seseorang untuk semakin berkembang. (3) Menurut keyakinannya, manusia-manusia awal berpaling pada pemujaan dan doa-doa demi meredam kemarahan tuhan-tuhan serta membuatnya jadi penyayang.

Sigmund Freud (1856–1939 M), seorang psikoanalis Austria adalah di antara orang-orang yang menyerang dari sudut pandang ini dan membahas teori tersebut dalam buku The Future of an Illusion.(4)

p: 25


1- Bertrand Russel, Tārīkh Falsafah Gharb [History of Western Philosophy), terjemahan Parsi oleh Najaf Daryabandari, hlm. 359–360; Titus Lucretius, The Way Things Are, Book 1 (dalam Great Books, v.11, hlm. 2)
2- David Hume, Tārikh Thabi'i Dīn The Natural History of Religion terjemahan Parsi oleh Hamid Inayat, hlm. 28
3- David Hume, Tārīkh Thabi'i Dīn, hlm. 38.
4- Daniel L. Pals, Seven Theories of Religion, hlm. 73; Michael D. Clifford, "Psychotherapy and Religion" dalam The Encyclopedia of Religion, v.12, hlm. 75.

Dalam pandangannya, manusia menciptakan tuhan-dengan cita pikirannya-untuk mengurangi rasa kecewa mereka terhadap alam dan guna membalas penderitaan-penderitaan yang didesakkan oleh kehidupan sosial terhadap manusia. (1) Berdasarkan pandangan ini, sebagaimana seorang anak kecil mengalahkan rasa tidak aman dengan bersandar pada seorang ayah, manusia-manusia yang secara rasional tidak berkembang pun, menganggap tuhan sangkaan mereka sebagai pelindung bagi keamanan mereka dari kekerasan alam. (2) Akhirnya, filsuf kontemporer Inggris, Bertrand Russell (1872– 1970 M) pun menyebut agama atau mazhab sebagai sesuatu yang lahir dari rasa takut (ketakutan) manusia dan menyerupakan Tuhan seperti saudara tua (sulung) yang senantiasa hadir dan menemani manusia dalam seluruh kesulitan dan hal-hal yang tidak baik baginya.

Ia kemudian menambahkan, ilmu dapat menyelamatkan manusia dari ketakutan yang telah menyesatkan sangat banyak generasi ini serta mengarahkan kedua mata mereka ke bumi ketimbang ke langit.(3) Telaah dan Kritik Dalam mengkritisi pandangan-pandangan tersebut, kami akan mengemukakan beberapa poin:

1. Praasumsi analisis-analisis tentang asal usul agama seperti ini, yang terkadang pula disebut the scientific study of religion(4)– adalah tiadanya prakondisi-prakondisi yang bersifat rasional dan fitrawi; apabila kecenderungan fitrawi manusia terhadap Tuhan dan pandangan rasional seseorang dalam mengesahkan doktrin-doktrin religius terbukti, maka dengan sendirinya, ruang bagi estimasi-estimasi semacam ini tidak tersisa lagi. Murtadha Muthahhari (1299-1358 S) berkata: "Kelompok ini berasumsi

p: 26


1- William Alston et. al., Dīn wa Cyesmandāzhā Nu', terjemahan Parsi oleh Ghulam Muhsen Tawakkuli, hlm. 168.
2- Silakan lihat Sigmund Freud, Tamaddun wa Malālat-hā An [Civilization and Its Discontents], terjemahan Prsi oleh Muhammad Mubassheri, hlm. 26; Erich Fromm, Rawānkāwi wa Dīn [Psychoanalysis and Religion), terjemahan Parsi oleh Arsen Nazarian, hlm. 1-22; Anthony Stewart, Freud, terjemahan Parsi oleh Hasan Marandi, hlm. 123.
3- Bertrand Russell, Why I am not a Christian, hlm. 16.
4- Lihat Daniel L.Pals, Seven Theories of Religion, hlm. 3 dan 10. 26

ihwal kepercayaan terhadap Tuhan dan konsep-konsep religius lainnya sebagaimana halnya dalam berasumsi tentang angka tiga belas dan ketika itu, mereka melakukan rasionalisasi atau justifikasi atasnya; jika tidak demikian halnya dengan adanya faktor logis atau fitrawi, ruang untuk asumsi-asumsi seperti ini menjadi mentah dengan sendirinya."(1) 2. Meskipun di tengah-tengah sebagian masyarakat dapat ditemui orang-orang yang berpaling kepada agama demi mengalahkan rasa takut, estimasi semacam ini secara logis tidak dapat digeneralisasikan kepada semua manusia dan dengan generalisasi tak beralasan, menyebut relegiusitas seluruh manusia bersumber dari "rasa takut."(2) Bahkan, sebagian di antara orang-orang ateis pun menegaskan tiadanya dukungan terhadap pandangan ini.

Sebagian orang berusaha mengembalikan pemahaman- pemahaman awal religiusitas, yaitu perasaan lemah dan bergantung kepada ketakutan dan kegundahan yang ditunjukkan manusia dalam interaksinya dengan alam. Dengan demikian, manusia seakan-akan membayangkan-korban mimpi buruk yang ia buat bagi dirinya sendiri ini—di mana hal-hal yang berkenaan dengannya dipenuhi kekuatan-kekuatan permusuhan dan menakutkan yang dengan bermediakan adab-adab penghambaan dan penyembahan dapat menenangkan mereka ... kaidah terkenal "ketakutan adalah yang pertama kali menciptakan tuhan-tuhan di alam semesta" merupakan suatu kaidah yang tidak bisa terjelaskan dengan penyaksian riil (nyata) apa pun dari realitas-realitas yang ada (3)

p: 27


1- Murtadha Muthahhari, Majmu'Ātsār, jil. 6, (Ushul Falsafah wa Rawesy Realism), hlm. 905.
2- Selain itu, secara mendasar ketakutan dapat menjadi suatu faktor bagi perkembangan atau mekarnya pengetahuan fitrawi terhadap Tuhan. Begitu pula, segolongan ilmuwan menyebut prinsip adanya ketakutan sebagai bagian dari fitrah manusia dengan berangkat dari suatu premis-premis mereka berkesimpulan seperti ini bahwa ketakutan fitrawi merupakan dalil yang kokoh atas eksistensi Tuhan. Silakan lihat Muhammad Ali Syah Abadi, Rusyhat al-Bihār, al-Insān wa al-Fitrah, hlm. 236-240. Argumentasi yang sama (Fitrah mencari kesempurnaan adalah dalil adanya kesempurnaan mutlak) akan dibahas pada bagian mendatang.
3- Emile Durkheim, Shuwar Bunyādi Hayāt Dīni [The Elementary Forms of Religious Life), terjemahan Parsi oleh Baqir Parham, hlm. 307.

3. Perkataan ini pun dapat diterima bahwa agama mampu menyingkirkan kebanyakan ketakutan manusia dan menjadi tempat berlindung yang menenangkan dalam berbagai kesulitan dan permasalahan, tetapi jarak perkataan ini dengan anggapan bahwa agama merupakan sesuatu yang lahir dari ketakutan sangatlah jauh.

PIKIRKAN DAN DISKUSIKAN Pada proposisi-proposisi berikut ini, tentukanlah mana yang benar dan mana yang tidak benar serta jelaskanlah dalil-dalil Anda:

a. Semua agama-agama muncul akibat faktor-faktor seperti ketakutan atas peristiwa-peristiwa alam.

b. Sebagian dari agama-agama mempunyai asal usul yang bersifat rasional dan fitrawi, tetapi kepercayaan orang-orang beriman senantiasa bertumpu di atas faktor-faktor seperti ketakutan.

C. Meskipun keberadaan agama bersifat rasional dan fitrawi, sebagian di antara orang-orang beriman berpaling kepadanya dengan dalil masalah-masalah seperti ketakutan.

d. Semua orang-orang beriman dengan keyakinan kepada Tuhan dapat menyingkirkan ketakutan pada selain-Nya dari dalam hati mereka.(1)

Ketidaktahuan Sebab-Sebab Riil dari Fenomena-Fenomena

Kebanyakan di antara orang yang memandang agama dengan pandangan ateistik, menyebut kebodohan dan ketidaktahuan masyarakat sebagai faktor yang berpengaruh dalam religiusitas. Secara spesifik, korelasi agama dengan kebodohan lebih sering dihubungkan dengan nama sosiolog Prancis, Auguste Comte (1798—1857 M) dan

p: 28


1- Terdapat sebuah hadis dari Imam Shadiq seperti ini, “Siapa yang takut kepada Allah, Allah akan menjadikan segala sesuatu takut kepadanya dan siapa yang tidak takut pada Allah, Allah akan membuatnya takut terhadap segala sesuatu" Muhammad bin Ya'qub Kulaini, al-Kāfi, jil.2, hlm. 68.

pernyataan-pernyataannya menjadi referensi penting bagi kebanyakan teoretikus-teoretikus lainnya. (1) Auguste Comte dalam kaitannya dengan proses perubahan dan perkembangan pemikiran manusia, membedakan tiga tahapan antara satu dengan lainnya:

a. Tahapan rabbani (imajinatif). Tahapan ini merupakan suatu esensi yang secara sempurna bersifat religius, tahapan ini sendiri terbagi ke dalam tiga bagian yang lebih kecil. Pada tahapan kecil pertama, manusia menganggap benda-benda tak bernyawa hidup dan memiliki ruh serta jiwa di mana dalam berhadapan dengan kepatuhannya menunjukkan respon atau reaksi. Pada tahapan kecil kedua yang disertai dengan pemujaan tuhan-tuhan tak terlihat-memalingkan perhatian manusia dari faktor-faktor sebab yang terdapat dalam benda-benda kepada faktor-faktor sebab yang berada di luarnya. Dengan kata lain, pada tahapan kecil pertama, berangkat dari suatu kepercayaan bahwa-sebagai contoh- pada batin setiap pohon Ek terdapat suatu ruh, pada tahapan selanjutnya ruh yang bersifat umum dan meliputi dinisbahkan kepada semua pohon Ek hingga pada akhirnya dinisbahkan kepada seluruh pohon dan memunculkan konsep "Tuhan hutan." Tahapan kecil ketiga merupakan penjelasan tentang keterhubungan di antara tuhan-tuhan yang beragam (seperti tuhan hutan, tuhan laut, dan lain sebagainya) dan dengan terbentuknya konsep Tuhan satu, kemudian terwujudlah agama-agama tauhid (theisme).

Tahapan filosofis (rasional). Pada tahapan ini manusia melakukan penelitian tentang sebab-sebab dari fenomena-fenomena ketimbang menisbahkan fenomena atau kejadian-kejadian alam kepada tuhan-tuhan serta menggantikan takhayul dengan aktivitas berpikir. Walaupun demikian, di sini pun perhatian senantiasa tertuju pada faktor-faktor gaib (rahasia) dan ke-"mengapa"-an fenomena-fenomena tetap dipertanyakan.

p: 29


1- Sebagai contoh, George Frizer (1854–1941 M) dipengaruhi oleh pandangan August Comte, berbicara tentang tiga tahapan-tahapan "sihir", "agama" dan "ilmu." Silakan lihat John Macquarrie, Tafakkur Dīnī dar Qarn Bistum [Twentieth Century Religious Thought], terjemahan Parsi oleh Abbas Syeikhshua'i dan Muhammad Muhammad Ridhai, hlm. 211; Bottomore, Jāmi'ah Syināsi Sociology) terjemahan Parsi oleh Hasan Mansur dan Hasan Husaini, hlm. 271.

C. Tahapan ilmu (studi). Sebagaimana yang diakui oleh Comte, manusia pada tahap ketiga akan melewati kepercayaan atau anggapan tentang adanya ruh pada benda-benda serta kebergantungan mereka pada kehendak tuhan-tuhan, begitu pula dengan upaya pencarian sebabnya, mereka tidak lagi berbicara tentang ke-"mengapa"-an, tetapi menggantinya dengan ke-"bagaimana"-an. Sebagai contoh, orang yang menjejakkan kaki pada tahapan ini, tidak lagi mencari sebab-muasal "efek menidurkan [pada] heroin" dalam kehendak Tuhan (seperti pada tahap pertama) dan tidak pula menisbahkannya (seperti pada tahap kedua) kepada suatu kekuatan tak dikenal seperti kekuatan yang membuat lengar atau linglung, tetapi dengan cara atau metode eksperimen berupaya menguak korelasi antara penggunaan heroin dengan efek menidurkan dan dengan bantuan proposisi-proposisi empiris lainnya, lalu menyimpulkan suatu kaidah universal.(1) Berdasarkan pandangan ini, setiap kali ilmu menjejakkan langkah ke depan, Tuhan selangkah menjejakkan kaki ke belakang, sebagaimana yang diungkapkan sendiri oleh Comte: "Ilmu, memisahkan bapak alam dan seluruh eksisten (yaitu Tuhan) dari pekerjaannya; mendesaknya menuju tempat pengasingan dan dalam kondisi di mana ia menyatakan rasa terima kasih atas segala khidmat dan pelayanannya yang sementara, menuntun Tuhan hingga ujung batas keagungannya."(2) Gaung pernyataan ini, sebelumnya juga terdengar dalam kalimat-kalimat Epicur: "Ilmu dapat menjustifikasi suatu fenomena yang disandarkan oleh kaum pemuja khurafat kepada kekuatan tuhan-tuhan, melalui cara-cara natural." (3)

p: 30


1- Malcolm Hamilton, Jāmi'ah Syināsi Dīn, hlm. 38-40; Muhammad Ali Furughi, Seir-e Hekmat dar Urupa, hlm. 448-452; Bottomore, Jāmi'ah Syināsi, terjemahan Parsi oleh Hasan Mansur dan Hasan Husaini, hlm. 270.
2- Silakan lihat Murtadha Muthahhari, Majmu' Atsār, jil. 1, (Ilal Gherāyesy beh Māddighari [Kritik atas Materialisme]), hlm. 482 (dinukil dari Flammarion, Khudā dar Tabiat [God in The Nature]).
3- Bertrand Russell, Why I am not a Christian, hlm. 358.

PIKIRKAN DAN DISKUSIKAN Tuhan Penutup Celah Salah satu konsepsi tidak benar tentang Tuhan ialah apa yang dalam budaya Barat dinamakan sebagai "The God of gaps. "(1) Istilah ini bermakna bahwa kita menganggap Tuhan sebagai penutup celah ketidaktahuan dan setiap kali kita tidak mengetahui sebab suatu fenomena, kita merujukkannya pada keinginan dan kehendak Tuhan.

Menurut Anda pengaruh apa yang ditimbulkan oleh interpretasi-interpretasi seperti ini terhadap religiusitas?(2) Tentu saja Comte, kendati menyebut perkembangan dan perluasan ilmu sebagai penyebab punahnya agama-agama tradisional, ia sendiri tengah berupaya membangun fondasi suatu agama baru di mana para sosiolog adalah pendeta-pendetanya. Menurut pernyataan sebagian penulis, ia "terlihat sangat sungguh-sungguh dengan pandangannya ini hingga bahkan telah mendesain pakaian resmi para pendeta-pendeta sosiolog, begitu pula dengan ritual-ritual yang mesti dilakukannya."(3) Telaah dan Kritik Pendapat atau teori ini, sebagaimana pandangan sebelumnya, dihadapkan pula dengan kritik mendasar bahwa ia tidak mempunyai alasan atau argumen yang jelas bagi klaimnya serta bertumpu pada asumsi bahwa agama-agama tidak dilatari dengan suatu sumber atau pijakan yang bersifat rasional dan fitrawi. Selain itu, kebanyakan pemikir telah mencatat kekurangan-kekurangan lainnya dari teori ini, di mana sebagian di antaranya akan kami tunjukkan di sini:

p: 31


1- lan Barbour, 'Ilm wa Dīn Science and Religion), terjemahan Parsi oleh Bahauddin Khurramsyahi, hlm. 52.
2- Murthada Muthahhari, Majmu' Ātsūr, jil. 1, hlm. 479-485.
3- Malcom Hamilton, Jāmi'ah Syināsi Dīn, hlm. 40. Begitu pula, silakan lihat Etienne Gilson, Naqd Tafakkur Falsafi Gharb, terjemahan Parsi oleh Ahmad Ahmadi, hlm. 247.

1. Berdasarkan pandangan ini, pemikiran religius manusia dimulai sebelum era filsafat, sementara menurut kesaksian sejarah, munculnya kebanyakan agama besar terjadi pada masa-masa kejayaan pemikiran filsafat. Sebagai contoh, sebelum agama Ibrahim, filsafat telah dikenal luas di India, Mesir, dan Kasdim; Kristen lahir setelah masa filsafat Yunani; dan Islam memulai dakwahnya juga setelah kejayaan filsafat Yunani dan Iskandariah.(1) Demikian juga, berdasarkan fondasi teori ini, dengan munculnya ilmu, ruang bagi agama dan kepercayaan terhadap sesuatu yang bersifat supranatural tidak lagi tersisa, sementara betapa banyak di antara orang-orang yang dalam disiplin keilmuannya sangat dihormati oleh kalangan ilmuwan dan dalam kondisi itu pula, menaruh hati dalam jaminan salah satu dari agama-agama yang telah dikenal luas.(2) Secara global, jejak ketiga jenis pemikiran ini dapat ditemukan pada semua masa, sebagaimana yang dikatakan oleh salah seorang pemikir Barat:

"Ketiga pola berpikir; rabbani, metafisik, dan temuan (ilmiah) saling berbaur dan saling bersesuaian bahkan dalam satu masa dan pada satu orang. Sebagaimana yang kita saksikan pada masyarakat primitif yang menerangkan penjelasan-penjelasan metafisika disertai dengan penjelasan-penjelasan logis, misalnya, Apabila masyarakat primitif dalam menjelaskan suara-yang sebabnya tidak tampak-berperantarakan Tuhan, pada saat yang sama mereka meyakini jatuhnya benda-benda disebabkan oleh gravitasi dan lain sebagainya. Dalam era metafisika, Aristoteles dan St. Albertus, mereka bukan hanya ahli dalam penyaksian dan pengalaman, tetapi juga ahli dalam metafisika ... Pemikiran abad pertengahan yang merupakan pemikiran yang bersifat takhayul (rabbani), terilhami pula oleh pemikiran-pemikiran metafisika lama ... Pada zaman sekarang di mana sains atau ilmu-ilmu studi telah melahirkan pelbagai kemajuan ini, kita

p: 32


1- Muhammad Husain Thabathabai, al-Mīzān, jil. 1, hlm. 424.
2- Murtadha Muthahhari, Fithtrat, hlm. 173.

tengah menyaksikan kegandrungan dan pembaruan metafisika."(1) 2. Berdasarkan pemikiran orisinal Islam, ketiga penjelasan teologis, filosofis, dan ilmiah tersebut bersesuaian antara satu dengan lainnya; sedemikian sehingga Tuhan dapat disebut sebagai sebab hakiki seluruh fenomena-fenomena dan pada saat yang sama, menyatakan pula kecenderungan atas "sebab" (cause) yang diperkenalkan sains dan filsafat.(2) Tuhan bukanlah dalam posisi horizontal berhadap-hadapan dengan fenomena-fenomena alam sehingga pembuktian kausalitas salah satu dari keduanya akan berujung kepada penafian yang lain; semua keberadaan- keberadaan mumkin memperoleh wujud mereka dari Dia serta merupakan hubungan itu sendiri kepada-Nya dan dari sisi ini, Tuhan disebut sebagai sebab dari semua sebab seluruh fenomena- fenomena alam semesta.

Kompleks-Kompleks Psikis

Sigmund Freud, selain dari pada apa yang telah lalu, mengemukakan analisis lain tentang asal usul agama di mana berdasarkan itu, akar kepercayaan terhadap Tuhan harus ditelusuri dalam kesalahan-kesalahan normatif psikis manusia serta keinginan- keinginan seksual yang telah dikekang. Ia berkeyakinan bahwa anak laki-laki pada masa kecilnya memiliki sejenis kecenderungan seksual terhadap ibunya dan menganggap ayah dalam hal ini sebagai rivalnya.

Ia menamakan kesalahan bentuk atau formasi ini dengan "oedipus complex" di mana hal yang mirip dengan itu ditemukan pula pada anak-anak perempuan dengan nama "electra complex". (3)

p: 33


1- Paul Poulquie, Falsafah Umumi ya Ma Ba dat Tabiat [Treatise on Metaphysics], terjemahan Parsi oleh Yahya Mahdawi, hlm. 163
2- Murtadha Muthahhari, Majmu'Atsār, hlm. 486-487.
3- Tampaknya istilah “Electra Complex" pertama kali digunakan oleh Carl Gustav Jung (1875–1961 M) dan Freud tidak begitu menerimanya. (Silakan lihat Sigmund Freud, Ru'us Nazhariyah Rawānkāwi [Psychoanalytic Theory] terjemahan Parsi oleh Husein Payande, dalam: Arghanun, No,22, hal 59) bagaimanapun, Freud dalam analisisnya tentang asal usul agama, kebanyakan tidak mengindahkan masalah electra complex.

UNTUK KITA KETAHUI:

Legenda Oedipus dan Electra Nama Oedipus dalam perkataan-perkataan Freud diambil dari suatu legenda Yunani. Menurut legenda ini, Layus (Raja Tebs) meninggalkan putranya yang baru lahir, Oedipus, di atas puncak sebuah gunung karena para pendeta telah meramalkan bahwa anak ini kelak akan membunuh ayahnya dan menjadikan ibunya sebagai istri. Setelah sekian tahun lamanya berlalu, Oedipus yang sudah mengetahui tentang rahasia ini, ingin menjauh dari wilayah kekuasaan ayahnya, tetapi takdir memperhadapkan keduanya antara satu dengan yang lain dan selain dari terbunuhnya sang ayah, dengan tanpa sadar pernikahan dengan sang ibu pun terjadi. (1) Begitu pula, dalam legenda-legenda Yunani, Electra, nama seorang putri raja yang terbunuh akibat konspirasi yang dilakukan wanitanya sendiri. Pada akhirnya saudara laki-laki Electra-dengan dorongan dan kerjasama saudara perempuannya,membalaskan dendam sang ayah dan membunuh sang ibu. "(2) Menurut Freud, keinginan seksual anak-anak -yang telah ada sejak lahir(3)– dalam usia yang berbeda-beda akan tampak dalam pelbagai ragam bentuk. (4) Freud kadang-kadang menegaskan perbedaan antara

p: 34


1- Silakan lihat Lucilla Barn, Usturehā Yunāni [Greek Myths), terjemahan Parsi oleh Abbas Muhber, hlm. 92-96.
2- Lucilla Barn, Usturehā Yunāni, hlm. 54-55.
3- Aku meyakinkan kalian bahwa masalah ini tidak sama dengan suatu riwayat yang terdapat dalam Injil. Insting atau kecenderungan seksual-berlawanan dengan setan yang menguasai batin orang jahat dan serakah tidak akan berpengaruh (menembus) pada anak-anak dalam masa balig. Insting atau kecenderungan seksual dan tindakan-tindakannya sejak awal telah terbawa dan lahir bersamanya, Panj Guftūr az Sigmund freud, terjemahan Parsi oleh Houra Rahbari, hlm. 84.
4- Menurut Freud, kehidupan seksual anak-anak hingga sekitar umur benam tahun, terdiri atas tiga tahapan-tahapan "oral", "anal", dan "phalus." Dari situlah, masa-masa ketersembunyian dimulai yang disertai dengan turunnya aktivitas-aktivitas seksual dan berlanjut hingga sekitar umur dua belas tahun (Silakan lihat Sigmund Freud, Mafhum Sādeh Rawānkāwi, terjemahan Parsi oleh Farid Jawahir Kalam, hlm.111; Sigmund Freud, Tajzi wa Tahlil Rawān Jensi, terjemahan Parsi oleh Ali Dashsetani, hlm. 95-109; Sigmund Freud, "Ru'us Nazariyah RawānkāwiſAn Outline of Psychoanalysis), terjemahan Parsi oleh Husain Payande, dalam: Arghanun, No.22, hlm. 11-16).

dua konsep "seksual" dan "reproduksi" dan menyebut kecenderungan seksual memiliki makna umum meliputi segala jenis keinginan untuk mendapatkan kelezatan dari berbagai bagian sisi tubuh.(1) Walaupun demikian, dalam menjelaskan kecenderungan seksual anak-anak serta akibat-akibat yang timbul dari pengekangan kecenderungan ini, Freud menggunakan perumpamaan- perumpamaan(2) yang berdasarkan itu perbedaan esensial antara kecenderungan-kecenderungan ini dengan keinginan-keinginan syahwat orang-orang dewasa tidak bisa ditunjukkan.(3) Menurut Freud, rivalitas atau perasaan bersaing inilah yang menggiring anak laki-laki untuk takut kepada ayah. Dengan merujuk pada sebagian eksperimen- eksperimen psikologis, bahkan ketakutan anak pada binatang-binatang sekalipun, ia telusuri dalam ketakutan yang bersumber dari rivalitas seksual dengan sang ayah.(4)

p: 35


1- Sigmund Freud, "Ru'us Nazhariyah Rawānkāwi", terjemahan Parsi oleh Husain Payande, dalam: Arghanun, No.22, hlm. 11–12
2- Memperhatikan kehormatan pena kami, mencegah penukilan kebanyakan dari ungkapan- ungkapan ini. Untuk telaah lebih jauh, silakan lihat Sigmund Freud, Mafhume Sādeh Rawānkūwi, terjemahan Parsi oleh Farid Jawahir Kalam, hlm. 114; Sigmund Freud, "Ru'use Nazhariyah Rawānkāwi", terjemahan Parsi oleh Husain Payande, dalam: Arghanun, No.22, hlm. 14.
3- Freud sendiri melakukan kritik terhadap orang-orang yang membuat gap antara seksual dari makna aslinya dan berkata, "Sebagian orang yang dalam suatu masa adalah murid-muridku, terjebak dalam pemikiran ini bahwa mereka harus membebaskan manusia dari bawah belenggu teka-teki masalah seksual, sebuah belenggu yang digambarkan sebagai psikoanalisis yang diletakkan di atas tengkuknya. Salah seorang murid tersebut mengemukakan tesis ini bahwa kata/lafaz seksual tidak memberi makna seksualitas, melainkan yang dimaksud adalah sesuatu yang lain, sesuatu yang metaforis dan abstrak!" Sigmund Freud, Marhum Sūdeh Rawānkāwi, terjemahan Parsi oleh Farid Jawahir Kalam, hlm. 103-104.
4- Freud pada tahun 1909 menerbitkan hasil pengkajiannya tentang seorang anak yang takut dengan kuda, dalam sebuah tulisan yang bertema "Analisis Ketakutan pada Anak Lelaki Umur Lima Tahun" (Makalah ini terdapat dalam sumber-sumber berikut ini: Muhimtarin Ghozareshhū-e Amuzeshi Tārikhe Rawānkūwi, penyusun dan penerjemah: Said Shuja Shafti, hlm. 157-274. Demikian juga, silakan lihat Sigmund Freud, Totem wa Tabu Totem and Tabu), terjemahan Parsi oleh Iraj Pur Baqir, hlm. 213. Psikoanalisis terkemuka, Erich Fromm (1900-1980 M) dengan mengkaji klaim Freud dalam makalah ini, merangkumkan kritikan-kritikannya seperti ini, "Sepertinya Freud-yang di bawah pengaruh dan fanatisme patriaki dan supremasi jenis laki- laki-menafsirkan satu arah bukti-bukti klinik dan belum menjawab subjek atau tema-tema yang kontradiksi dengan ungkapan-ungkapannya." Erich Fromm, Buhrūn Rawānkāwi (Crisis of Psychoanalysis), terjemahan Parsi oleh Akbar Tabrizi, hlm. 138. Tentang hal ini pula, silakah lihat Hans J. Eysenk, Upul Emperaturi Freudi [Decline and Fall of the Freudian), terjemahan Parsi oleh Yusuf Karami, hlm. 125-136.

Dari sisi lain, menurut Freud, dorongan dan dukungan ayah terhadap anak juga merupakan pelayanan berharga yang tidak dapat dipungkiri dan menempatkan kasih sayang ayah di dalam hati anak.

Kedua jenis perasan ini (cinta dan benci) ada pada kedalaman batin manusia dan menjadi sumber kepercayaan kepada Tuhan; Tuhan yang dari satu sisi layak pujian dan kasih sayang dan dari sisi lain menakutkan dan ... Pada hakikatnya, sifat-sifat yang disandarkan manusia kepada Tuhan ini adalah buatan, perlakuan mereka sendiri dan secara tidak sadar diproyeksikan kepada Tuhan. (1) Menurut Freud, keinginan-keinginan yang telah mengalami pengekangan tidak akan hilang, melainkan ada pada bagian "alam bawah sadar" (2) manusia dan pada saat yang tepat tampak dalam bentuk samar.

Untuk penampakan ini terdapat berbagai macam cara di mana salah satu di antaranya dinamakan "sublimasi". Maksud dari sublimasi ialah peninggian atau peluhuran suatu keinginan-keinginan di mana mereka dianggap rendah dan hina oleh dimensi "kesadaran" wujud manusia.(3) Berdasarkan hal ini, manusia secara tak sadar menampakkan keinginan-keinginan yang telah dikekang dalam bentuk-bentuk seperti aktivitas-aktivitas seni(4) atau keyakinan-keyakinan religi. Di antara dalil Freud guna mencari atau menelusuri akar agama pada penyiksaan

p: 36


1- Malcolm Hamilton, Jami'ah Syināsi Dīn, hlm. 101–103.
2- Freud menyebut jiwa manusia memiliki dua bagian; “kesadaran" dan "alam bawah sadar." Menurutnya, manusia tidak punya pengetahuan langsung pada alam bawah sadarnya, tetapi psikoanalis dengan menembus bagian ini, mampu membuka atau menampakkan sebagian makna-maknanya. Bagian ini dibandingkan dengan bagian pertama (alam kesadaran) jauh lebih luas, seperti gunung es yang terapung di atas air, di mana bagian yang tidak tampak darinya jauh lebih besar dari bagian yang menonjol dari air. Keinginan-keinginan yang telah dikekang akan tinggal pada alam bawah sadar, tetapi makna-makna bagian ini tidak boleh dibatasi dengan keinginan keinginan ini.
3- Silakan lihat Sigmund Freud, Tamaddun wa Malālathe An , terjemahan Parsi oleh Muhammad Mubsheri, hlm. 37; Sigmund Freud, "Pish dar Amadi Khudsiftegi" [Studies on Hysteria), terjemahan Parsi oleh Husain Payande, dalam: Arganun, No. 21, hlm. 174; Panj Guftar az Sigmung Freud, terjemahan Parsi oleh Haura Rahbari, hlm. 61.
4- Menurut Freud, "Para seniman ... berada dalam tekanan kebutuhan-kebutuhan insting yang luar biasa kuat. Bercita-cita dapat penghargaan, kekuasaan, harta, ketenaran, dan dicintai para wanita, tetapi tidak memiliki media atau alat yang memberikan kepuasan-kepuasan ini kepadanya. Hasilnya, seperti halnya setiap individu lainnya yang tidak terpuaskan, berbalik dari kenyataan, dan memindahkan semua kesukaan ... dirinya di hadapan fantasi-fantasi kehidupan yang sesuai dengan keinginannya” Anthony Stewart, Freud, hlm. 111.

jiwa adalah suatu kemiripan-kemiripan yang menurut dugaannya tampak atau terlihat di antara para pemeluk agama dan orang-orang yang melakukan penyiksaan jiwa. Sebagai contoh, dua kelompok ini berupaya melakukan perbuatan-perbuatan mereka dalam bentuk suatu ritual (upacara) serta dalam bentuk keteladanan; dua kelompok merasa berdosa dan pada akhirnya, penyiksaan jiwa biasanya berakar pada pengekangan pelbagai stimulus seksual dan agama menuntut pula pengekangan keangkuhan (sikap egois) serta pengendalian insting pribadi. (1) Freud tidak mencukupkan diri dengan apa yang telah lalu, dengan suatu penjelasan berupa kisah legenda terkait dengan manusia-manusia pertama, ia mengembangkan sejenis "alam bawah sadar kelompok"(2) dan menampilkannya seperti ini; bahwa pada masa-masa sebelumnya, kompleks "keinginan terhadap ibu" (Oedipus complex) tampak dalam bentuk kejahatan yang sangat mengerikan dan penyesalan atasnya, menjadi sumber munculnya agama. Ringkasan kisah tersebut sebagaimana berikut:

Suatu hari di kehidupan masa lampau, manusia pertama atau mungkin nenek moyang manusia sebelum manusia menjadi manusia, hidup dalam suatu kondisi yang dinamakan oleh Darwin sebagai "kawanan binatang pertama". Kawanan ini terdiri dari jantan yang berkuasa dengan sejumlah betina-betina yang dikhususkan untuknya dan dengan rakus menginginkan semuanya hanya untuk dirinya. Ayah yang lebih kuat, pendengki, dan lebih kasar menempatkan jantan- jantan lainnya dalam kelompok mereka-yang juga merupakan putra- putra serta anak-anak dari betina-betinanya-jauh dari tempat betina- betina [yang dikhususkan untuknya) dan menyingkirkannya ke bagian pinggiran.

Dengan segala cara, tibalah suatu hari di mana lelaki-lelaki terpinggirkan ini ... bahu membahu dan membunuh sang ayah.

makhluk-makhluk buas kanibal ini memakan korban mereka. ...

setelah mereka menang, beberapa saudara ini kemudian menyesali perbuatan mereka ... mereka lalu menetapkan dua pelarangan:

p: 37


1- Daniel L. Pals, Seven Theories of Religion, hlm. 66.
2- William P. Alston, "Religion, Psychological Explanation of', dalam Paul Edwards (ed.), The Encyclopedia of Philosophy, vol. 7, hlm. 149.

pertama, menempatkan wakil simbolis dalam bentuk jenis hewan(1) pada posisi sang Ayah. Kedua, menutup mata dari buah kemenangan mereka dengan mengharamkan betina-betina yang telah terbebaskan bagi diri mereka. (2) Setelah mengemukakan kisah ini, Freud menyimpulkan bahwa semua aliran humanis merupakan sebuah respon atau reaksi dalam berhadapan dengan peristiwa-peristiwa besar ini di mana peradaban manusia dimulai dengannya dan semenjak hari itu tak pernah mengizinkan manusia untuk tenang sesaat pun.(3) Berdasarkan hal ini, ia menyebut agama sebagai penyiksaan jiwa yang bercampur dengan perasaan-perasaan was-was serta meliputi manusia secara umum."(4) Freud yang lahir dari kalangan keluarga Yahudi, menyebut mesianisme Yahudi bukan tak berhubungan dengan pembunuhan ayah pertama. Ia, dalam Moses and Monotheism, menuduh kaum Yahudi sebagai pembunuh Nabi Musa dan mengemukakannya seperti ini, bahwa "pembunuhan Musa semakin meneguhkan perasaan berdosa yang terwariskan ini-yang tinggal dalam benak dari sejak pembunuhan ayah pertama-dan memunculkan perasaan dosa secara tidak sadar pada diri kaum Yahudi." Menurut Freud "Sesuatu hal yang bisa diterima adalah kita memperkirakan bahwa penyesalan atas pembunuhan Musa adalah suatu perangsang (penggerak) yang menimbulkan fantasi harapan tentang kedatangan sang penyelamat, seorang messiah yang suatu hari akan kembali dan membebaskan kaumnya dan akan memimpin kembalinya kekuasaan atas dunia.(5)

p: 38


1- Hewan yang dinamakan totem ini dan termasuk sebagai simbol kabilah, secara perlahan menemukan kesucian dan dijadikan sesembahan, kebanyakan sosiolog-sosiolog Barat menempatkan pemujaan totem sebagai poros analisisnya sebagai sumber atau asal mula agama, sebagaimana Freud dengan cara pandang ini pula menulis buku Totem and Tabu. Untuk telaah lebih jauh serta mengetahui pandangan orang-orang yang menyebut pemujaan totem sebagai sumber agama-agama lainnya. Silakan lihat: Jamsyid Azadegan, Adyān-e Ibtidai (Tahqiq dar totemism).
2- Malcolm Hamilton, Jāmi'ah Syināsi Dīn, hlm.103-104. Begitu pula, silakan lihat Sigmund Freud, Totem wa Tābu, terjemahan Parsi oleh Iraj Purba qir, hlm. 232-238; Sigmund Freud, Tamaddun wa Malālathā Ān, terjemahan Parsi oleh Muhammad Mubs heri, hlm. 105 dan 119.
3- Sigmund Freud, Totem and Taboo, diterjemahkan oleh James Strachey, hlm. 154.
4- Daniel L. Pals, Seven Theories of Religion, hlm. 54.
5- Anthony Stewart, Freud, hlm. 122.

Freud berusaha pula untuk menggunakan doktrin-doktrin gereja dan dengan bantuan doktrin-doktrin tersebut, menyiapkan bukti- bukti dalam melegitimasi teorinya. Dalam pandangan Freud, dosa asal (the origin of sin) yang dikemukakan dalam Kristen dan keyakinan pengorbanan putra Tuhan (Isa al-masih) sebagai dendanya (kaffarah), merupakan sesuatu yang tak lain adalah pembunuhan ayah pertama itu sendiri.

Akan tetapi, di sini muncul suatu masalah, umat Kristiani dalam upacara ekaristi (misa kudus) menyebut roti dan minuman sebagai ganti dari daging dan darah sang anak, bukan sang ayah.

Freud dalam menanggapi kritikan ini, dengan begitu pandai dan cerdik menggunakan dua jenis perasaan psikis (cinta dan benci) serta mencitrakannya seperti ini bahwa dalam kondisi ketika sang anak membayar denda kepada sang ayah, ia tengah membalas dendam kepadanya dan menjadikan ajarannya sebagai ganti ajaran sang ayah. Seperti ini pulalah dalam upacara misa kudus, ayah tersingkirkan sekali lagi dan mereka menyebut roti dan minuman suci sebagai ganti dari daging dan darah sang anak. (1) Telaah dan Kritik Dalam menganalisis pandangan Freud, Totemisme dapat dipisahkan dari Oedipus Complex dan masing-masingnya dapat dibahas secara terpisah. Namun, mengingat hubungan dekat keduanya antara satu dengan yang lain, kami tidak memilahnya dan akan mengemukakan sebagian kekurangan pandangan Freud.

1. Metode psikoanalisis Freud serta penegasannya terhadap insting seksual telah dihadapkan dengan begitu banyak kritikan serta memiliki penentang-penentang kenamaan. Menurut para kritikusnya, permasalahan yang sangat menonjol pada apa yang dilakukan Freud ialah bahwa dengan mengkaji serta menguji beberapa orang di antara orang-orang yang memiliki perilaku tak normatif, melakukan suatu generalisasi secara luas, dan

p: 39


1- Sigmund Freud, Totem wa Tabu, hlm. 255—256.

menambahkannya dengan dimensi-dimensi global. (1) Sebagaimana yang dikatakan oleh salah seorang psikolog:

"Kenyataan ini bahwa terdapat sejumlah orang yang kebingungan secara psikis (atau orang-orang terkesan atau tertarik dengan pandangan-pandangan Freud atau merasa senang dengan ketidakberaturan dirinya dan berada di bawah psikoanalisis) mengingat kembali hasrat-hasrat seksual mereka di masa kanak- kanak, dan hal ini sama sekali tidak akan membuktikan bahwa hasrat-hasrat tersebut bersifat umum. Selain dari kenyataan ini, yang dikemudian hari ditemukan melalui Freud, bahwa dalam kebanyakan atau lebih banyak di antara hal-hal tersebut 'ingatan' merupakan sesuatu yang bersifat fantasi dan gambaran- gambaran mereka dalam kenyataannya adalah sejenis 'menghayal' (berfantasi), bukti-bukti yang diperoleh melalui pengamatan langsung terhadap anak-anak memiliki norma menunjukkan bahwa adanya hasrat seksual yang mengarah kepada salah seorang dari kedua orang tua, lebih tidak berdasar dari semuanya."(2) 2. Psikoanalis Swiss, Karl Gustav Jung-yang awalnya merupakan sahabat dan murid Freud-memahami agama bukan sejenis penyiksaan diri (jiwa), melainkan pengganti atau alternatif baginya.(3) Sebagian lainnya berkeyakinan bahwa kemiripan lahiriah antara kaum yang menyiksa diri (jiwa) mereka dan kaum religius yang disebutkan Freud terlihat pula pada kebanyakan di antara pemikir yang membenamkan pikiran-pikiran mereka dalam sebuah masalah keilmuan. (4)

p: 40


1- Malcolm Hamilton, Jami'ah Syināsi Dīn, hlm. 108–109.
2- Hans J. Eysenk, Upule Emperaturi Freudi[Decline and Fall of the Freudian), terjemahan Parsi oleh Yusuf Karami, hlm. 116 (dinukil dari Valentine dalam buku The Psychology of Early Childhood).
3- William P. Alston, “Religion, Psychological Explanation of", dalam Paul Edwards (ed.), The Encyclopedia of Philosophy, vol. 7, hlm. 149.
4- William P. Alston, “Religion, Psychological Explanation of", dalam Paul Edwards (ed.), The Encyclopedia of Philosophy, vol. 7, hlm. 149

DISKUSIKAN DAN PIKIRKAN Psikoanalisis dan Psikoanalis! Freud di masa kanak-kanaknya memiliki dua jenis perasaan terhadap saudara kandungnya: Dari satu sisi, ia simpati (tertarik) kepadanya dan dari sisi lain merasa nikmat dengan mengganggunya. Sebagian pemikir menyebut metode psikologi yang diterapkan Freud kepada dirinya, berefek pada bangunan teori pemikirannya selanjutnya.

Kelompok lainnya, dalam kaitan ini menunjuk masalah-masalah seperti kebergantungan Freud kepada ibunya, serta kekesalan atas ayahnya.(1) Sebagian lainnya, dengan berpegang pada kenyataan-kenyataan semacam ini dan dengan ungkapan-ungkapan yang bersifat kecaman, menulis seperti ini "Ribuan manusia sehat dikatakan sakit dengan dalil adanya satu orang yang sakit dan ia menyandarkan seluruh simptom atau tanda-tanda yang bersumber dari masa kanak-kanak kepada seluruh manusia. Seluruh dunia dihubungkan dengan seksualitas dan semua hasrat-hasrat telah menyimpang dari prinsipnya karena setiap manusia otoriter mendesakkan pandangan yang ia terima kepada semua manusia."(2) Dari sisi lain, sebagian penulis tidak menerima cara pandang seperti ini dalam mengkritik pandangan Freud dan mengatakan: "Sekarang, mungkin pengetahuan kita bahwa Freud sendiri adalah seorang yang terganggu secara psikologis, membuat kita ragu atas klaimnya bahwa orang-orang yang percaya agama adalah orang-orang yang mengalami gangguan psikologis, tetapi alasan atau dalil ini tidak membuat keyakinan-keyakinannya kosong dari

p: 41


1- Silakan lihat Erich Fromm, Risālat Zigmund Freud [Treatise on Sigmund Freud), terjemahan Parsi oleh Farid Jawahir Kalam, hlm. 19; Anthony Stewart, Freud, hlm. 120.
2- Michael Palmer, Freud, Jung wa Dīn [Freud and Jung on Religion), terjemahan Parsi oleh Muhammad Dehganpur dan Ghulamridha Mahmudi, hlm. 115 sesuai nukilan dari Emile Ludwig.

validitas. Bahwa, si fulan adalah seorang pencuri, tidak menyebabkan pengakuan atau pernyataan-pernyataannya bahwa yang lain adalah pencuri, menjadi tidak valid serta tidak dapat diterima, mungkin saja hal ini membuat kita lebih berhati-hati dalam kaitannya dengan bukti- bukti yang ia tunjukkan, tetapi dengan sendirinya tidak berimplikasi pada kesalahan mereka. ... pengetahuan akan hal ini bahwa Freud mengalami penderitaan dari Oedipus Complex, (1) dengan sendirinya tidak menjadikan penyimpulan-penyimpulannya tentang kemenduniaan hal itu, tidak valid. Begitu pula dengan temuan ini bahwa Freud sesungguhnya berwatak peragu atau was-was, tidak menyebabkan klaimnya tentang kewas-wasan kaum religius menjadi tidak penting. ... dengan demikian, kritik ini bahwa Freud memulai pekerjaannya dari bukti-bukti kehidupannya sendiri dan tidak mengecualikan dirinya, tidak begitu kuat. ... sesungguhnya, hal ini merupakan aspek-aspek menonjol dari pekerjaan besar Freud di mana dalam seluruh teori atau pandangannya, tidak pernah mengecualikan dirinya."(2) Diskusikanlah dua pandangan tersebut antara satu dengan lainnya, begitu pula dengan keutamaan yang satu dari yang lain! 3. Pemikiran Freud lebih banyak terbentuk dalam kerangka budaya Kristen-Yahudi dan tidak dapat digeneralisasikan kepada agama-agama lainnya. (3) Sebagai contoh, Hubungan ke-'ayah'-an Tuhan dengan manusia-dengan makna tipikalnya-terkhusus kepada Kristen dan Freud-dengan pengakuannya-tidak punya

p: 42


1- Dalam sebuah surat yang ditulis oleh Freud disebutkan, "Saya menemukan... bahwa saya mencintai ibu saya dan cemburu kepada ayah saya. Kemudian, sekarang saya mengira bahwa masalah seperti ini merupakan fenomena umum pada awal-awal pertumbuhan masa kecil" Anthony Stewart, Freud, hlm. 36.
2- Freud, hlm. 26.
3- Malcolm Hamilton, Jāmi'ah Syināsi Dīn, hlm. 112; William Alston et. al., Dīn wa Cyesmandāzhā Nu', hlm. 174; John Macquarrie, Twentieth Century Religious Thought, hlm. 232.

penjelasan atau dalil bagi agama-agama yang menyembah tuhan- tuhan perempuan. (1) 4. Asal usul kisah tentang pembunuhan ayah oleh manusia-manusia awal tidak dapat diperoleh selain dari dugaan dan anggapan, sedemikan sehingga sebagian orang menyebutnya dengan "pernyataan-pernyataan yang bersifat imajinatif" dan "kisah-kisah peri."(2) Secara umum, penggunaan cerita-cerita atau legenda- legenda kuno serta upaya pembuatan legenda-legenda baru untuk menjelaskan dan melegitimasi suatu pandangan yang secara formal bersifat ilmiah, sangat mengurangi nilai analisis-analisis Freud. Cerita-cerita yang digunakan Freud, tidak terbatas pada apa yang hingga saat ini kami nukilkan darinya, efek kebergantungan ini dapat pula dilihat dalam hal-hal lainnya; sebagaimana ia mengatakannya dalam satu kesempatan, "Tak syak lagi kalian akan sangat heran, jika kalian mendengar bahwa kebanyakan anak-anak laki-laki takut jangan sampai ayah mereka memakan mereka! Kalian tentunya akan kembali ragu jika saya menyebut ketakutan ini sebagai bagian dari manifestasi-manifestasi hal- hal yang bersifat seksual. Akan tetapi, sekarang saya akan mengingatkan kisah atau cerita dari legenda-legenda Yunani yang kalian telah baca di sekolah sewaktu masih kanak-kanak, cerita tentang Tuhan bernama Corunus yang menelan dan memakan anak-anaknya."(3) Ia pun berkeyakinan bahwa sebagian dari kisah-kisah ini-meski diasumsikan tidak benar sekalipun-dapat dikatakan sebagai bukti terbaik akan adanya Oedipus Complex. (4) 5. Freud-senada dan seirama dengan sebagian kaum ateis abad sembilan belas dan dua puluh lainnya dan dalam menentang apa yang menjadi kecenderungan agama-agama Ilahi-dengan menelusuri akar agama-agama pada pemujaan totem manusia- manusia awal, menyebut proses perjalanan religius masyarakat manusia dari syirik menuju tauhid, sementara menurut sebagian

p: 43


1- Sigmund Freud, Totem va Tabu, hlm. 245.
2- Malcolm Hamilton, Jāmi'ah Syināsi Dīn, hlm.103; William Alston et. al., Dīn wa Cyesmandāzhā Nu', hlm. 172.
3- Sigmund Freud, Mafhum Sādeh Rawānkāwi, hlm. 112-113.
4- Silakan lihat Freud, Mafhum Sādeh Rawānkāwi, hlm. 121–122.

sosiolog, hingga sekarang belum ada dalil memuaskan yang diajukan, di mana berdasarkan itu totemisme dinyatakan sebagai agama manusia pertama kali dan agama-agama lainnya merupakan penyempurnaan darinya.(1) 6. Tidak ada bukti yang didapatkan guna membuktikan klaim ini bahwa kehidupan awal manusia dulunya berbentuk "kawanan (gerombolan) pertama." Menurut sebagian penulis, sumber konsepsi Darwin ini ialah sebuah pernyataan atau proposisi- proposisi di mana kebohongan atau ketidakbenarannya hari ini telah terbukti. Demikian pula, "teori" Freud bertumpu pada konsep "memori rasial atau kesukuan" dan terwariskannya peristiwa-peristiwa permulaan, suatu kejadian-kejadian yang dari generasi ke generasi melanjutkan pengaruhnya; sekarang, pemikiran ini telah ditolak mentah-mentah oleh ekologi modern". (2)

Alienasi

Ludwig Feurbach (1804–1872 M), filsuf empiris berkebangsaan Jerman, berkeyakinan bahwa filsafat Hegel dan agama-agama seperti Kristen, dengan keterkurungan dalam domain suatu kesalahan merugikan, memproyeksikan sifat-sifat yang selayaknya bagi manusia, kepada suatu wujud asing seperti ruh mutlak atau Tuhan. (3) Menurutnya, hal ini merupakan tanda "alienasi atau

p: 44


1- Silakan lihat Malcolm Hamilton, Jāmi'ah Syināsi Dīn, hlm. 116; Paul Littel, Imāni Muntabiq ba Aql wa Burhān, terjemahan Parsi oleh Khacekiyan, hlm. 3; Ali Syari'ati, Tārīkh wa Syenākht Adyān, jil.1, hlm. 71.
2- Malcolm Hamilton, Jāmi'ah Syināsi Dīn, hlm. 116. Begitu pula, silakan lihat Anthony Stewart, Freud, hlm. 119-120; Jamsyid Azadegan, Adyān Ibtidāi [Tahqiq dar Totemism), hlm. 82.
3- Istilah proyeksi (Projection) - sebagaimana makna yang terdapat dalam teks - diambil dari karya-karya Hegel sendiri. Ia menggunakan istilah ini dalam mengkritik agama-agama yang memosisikan “Tuhan berada di balik alam manusia", berkeyakinan bahwa “sifat- sifat religius Tuhan di mana ia (manusia) dalam menyembah bersimpuh di hadapan-Nya, sesungguhnya adalah sifat-sifat-Nya sendiri. ... Dia telah memproyeksikan fitrah esensial (dzati)-Nya di tempat di mana tangannya selamanya tidak akan pernah sampai kepadanya." Silakan lihat Peter Singer, Hegel, Terjemahan Parsi oleh Izzatullah Foladuwan, hlm. 124. Apa yang tampak dari pernyataan-pernyataan seperti ini di mana Hegel berkompromi dengan agama-agama yang menyatakan "semua Tuhan" atau aliran-aliran yang mendudukkan manusia di tempat Tuhan. Walaupun demikian, Hegel dalam sebagian karya-karyanya, memiliki pandangan positif terhadap Kristen Protestan. Silakan lihat Peter Singer, Hegel, hlm. 125. Bagaimanapun, Feurbach memakai gagasan-gagasan Hegel sendiri dalam menentang dia dan di samping semua agama-agama, akar filsafat Hegel pun ia telusuri dalam keterasingan diri (alienasi) manusia. Silakan lihat Peter Singer, Hegel, hlm. 156-158.

keterasingan diri"(1) manusia di mana sifat-sifat seperti baik, indah, hakikat, dan hikmah yang terkait dengan dirinya, ia nisbahkan kepada wujud lain serta tunduk dalam berhadapan dengannya.

Katanya, "Zat Ilahi bukanlah sesuatu selain dari pada zat manusiawi itu sendiri atau-dengan kata lain,merupakan tabiat (nature) manusia yang telah tersucikan dan bebas dari segala bentuk batasan-batasan individualitas; suatu watak atau tabiat yang berbentuk riil, yaitu sebagai suatu keberadaan berbeda yang direnungi dan dihormati. ... kalian percaya bahwa Tuhan adalah wujud yang bijak serta menginginkan kebaikan karena kalian tidak mengetahui sesuatu yang lebih baik daripada kebijakan dan keinginan baik yang ada pada diri kalian."(2) Erich Fromm (1900–1980 M) seorang psikolog berkebangsaan Jerman, dalam sebuah analisis yang sama, agama-agama yang dinamakannya diktator, ia sebut terjebak dalam alienasi. Dalam kaitannya dengan penyembahan Tuhan, Erich Fromm berkata, "Manusia setelah segala sesuatu yang dimilikinya ia berikan kepada Tuhan, sekarang menginginkan dari-Nya untuk mengembalikan apa yang pada dasarnya terkait dengan dirinya-atau sebagian dari mereka."(3) Karl Marx (1818–1883 M) juga mengemukan teori ini sebagai sesuatu yang sangat bisa diterima dan mengimbuhkan bahwa menurut kepercayaan kaum Kristiani, Tuhan menciptakan manusia dalam bentuk diri-Nya;(4) sementara dalam kenyataannya, manusialah yang telah memberikan esensi ketuhanan pada sifat-sifat mereka serta menciptakan Tuhan dalam bentuk wajah mereka. "(5)

p: 45


1- Konsep 'Alienasi' (alienation) sebelum Feurbach pun telah banyak dijelaskan secara luas dalam perkataan-perkataan Hegel. Untuk telaah tentang tafsiran Hegel tentang istilah ini. Silakan lihat Najaf Daryabandi, Dardbi khishtani (Barrasi Mafhum Alienasion dar Falsafah Gharb), hlm. 155-339.
2- Ludwig Feurbach, “Khudāwand be Mutsābih Farāfkani Dzihn Basyari” [God was Actually Only a Human Projection), dalam: John Hick (ed.), Itsbāt Wujūd Khudāwand [The Existence of God), terjemahan Parsi oleh Abdurrahim Ghowahi, hlm. 235-240 (dengan sedikit perubahan dalam penerjemahan)
3- Erich Fromm, Rawānkāwi wa Dīn [Psychoanalysis and Religion), terjemahan Parsi oleh Arasin Nazariyan, hlm. 66.
4- Alkitab, Kejadian 27:1.
5- Malcolm Hamilton, Jāmi'ah Syināsi Dīn, hlm. 140.

DISKUSIKAN DAN PIKIRKAN Makna Hadis "innallāha khalaga ādama `alā shūratihi" Doktrin Kristen yang sedang diisyaratkan Marx, dalam referensi-referensi Islam dilaporkan pula dalam bentuk seperti ini "innallāha khalaga ādama ‘alā shūratihi" (sesungguhnya Allah menciptakan Adam dengan bentuknya) Imam Ridho dalam menafsirkan hadis yang dinisbahkan kepada Nabi Saw. ini, mengatakan:

Seseorang di hadapan Rasulullah Saw. mengejek orang lain seperti ini: "Qabbahallāhu wajhaka wa wajha man yusyabbihuk (Semoga Allah menjadikan buruk wajahmu dan wajah orang yang sepertimu)." Rasulullah Saw. bersabda: "Jangan katakan seperti itu karena Tuhan juga menciptakan Adam dalam bentuk seperti ini pula."(1) Berdasarkan riwayat ini, kata ganti dalam "shūratihi" merujuk kepada "orang yang diejek." Sebagian lainnya merujukkan kata ganti (dhamir) tersebut kepada Tuhan dan pada saat yang sama berusaha mengajukan tafsiran yang tidak berujung pada penyerupaan Tuhan dengan benda. Kembalinya kata ganti (dhamir) kepada Adam juga dapat mempersiapkan suatu tafsiran yang diterima.

Masing-masing dari dua perkiraan terakhir, memiliki tafsiran-tafsiran yang berbeda-beda di mana untuk masing- masingnya akan kami tunjukkan satu contoh:

a. Tuhan menciptakan manusia sedemikian rupa di mana ia dapat serupa dengan Tuhan (berbentuk Tuhan).

b. Adam -berlawanan dengan manusia-manusia lainnya- sejak awal diciptakan dalam bentuk manusia sempurna dan tidak melalui tahapan-tahapan seperti nutfah dan alaqah.(2)

p: 46


1- Muhammad Baqir Majlisi, Bihār al-Anwār, jil.4, hlm. 11. Demikian juga, silakan lihat Musnad Ahmad bin Hanbal, jil. 2, hlm. 251.
2- Secara keseluruhan, telah diajukan sekitar sepuluh tafsiran berbeda-beda dari hadis ini. Silakan lihat Muhammad bin Ya'qub Kulainy, al-Kafi, jil. 1, hlm. 134; Syekh Shaduq, al-Tawhīd, hlm. 103; Sayid Murtadha, Tanzih al-Anbiyā, hlm. 207–209; Ibn Qutaibah, Ta wil Mukhtalaf al-Hadīts, hlm. 217-221; Ibn Jauzi, Dafu Syubhah al-Tasybīh, hlm. 144-147; Yahya bin Syarif Nuri, Syarh Shahih Muslim, jil. 16, hlm. 166, dan jil. 17, hlm. 178; Ibn Hajar Asqalani, Fath al-Bānī, jil. 5, hlm. 138-139, dan jil. 6, hlm. 281 serta jil. 11, hlm. 2-3.

Dari sisi lain, Marx menyebut ekonomi sebagai infrastruktur masyarakat dan urusan-urusan seperti politik, filsafat, seni, dan agama sebagai suprastruktur.(1) Bagian kedua-di mana ia menamakannya dengan ideologi dan menyebut agama sebagai bagian yang paling merugikan-merupakan alat atau instrumen yang ada di tangan para penguasa yang digunakan dalam menjustifikasi keadaan atau kondisi yang ada serta mencegah masyarakat guna melakukan pemberontakan terhadap pemerintah (kekuasaan). Menurut pandangan ini, agama seperti candu (opium) yang setelah menghadirkan ketenangan yang berlalu begitu cepat, menimbulkan kesengsaraan-kesengsaraan yang menyedot jiwa dan bersifat permanen.

Walaupun demikian, konfrontasi sesungguhnya adalah antara Marx dan sistem kapitalisme karena menurutnya, segala bentuk perubahan dalam infrastruktur masyarakat (ekonomi) akan mengubah pula hal-hal yang bersifat suprastruktur seperti agama (mazhab) dan dengan terwujudnya masyarakat komunis, dengan sendirinya agama dan pemerintahan pun akan sirna.(2) Telaah dan Kritik 1. Apakah hanya dengan merujuk kepada poin ini bahwa "manusia mencintai sifat-sifat yang layak seperti baik, bijak, dan keadilan" dapat disimpulkan bahwa Tuhan yang merupakan sumber dari kesempurnaan-kesempurnaan ini adalah sesuatu hal yang bersifat delusif atau imajinatif tanpa melihat argumen-argumen yang membuktikan keberadaan Tuhan? Dengan kriteria- kriteria rasional empiris manakah pandangan orang-orang seperti Feurbach bisa dikatakan lebih legitimate dari pandangan religius ini, di mana manusia dengan alasan bahwa ia adalah

p: 47


1- Menurut sebagian penulis, Marx dengan mengetengahkan unsur ekonomi, sedang berupaya menyelesaikan pekerjaan Feurbach yang tertunda dan memperjelas sebab keterasingan diri manusia. Silakan lihat Ninian Smart, The Religious Experience, hlm. 538. Meskipun demikian, sebagaimana yang akan datang sepertinya dua analisis tersebut tidak mudah disesuaikan antara satu dengan lainnya.
2- Daniel L. Pals, Seven Theories of Religion, hlm. 136-143.

pencari kebebasan-kebebasan psikologis (kejiwaan), melakukan pengingkaran terhadap Tuhan dan kiamat?(1) "Bal yurīdu al-insānu liyafjura amāmahu. Yas'alu ayyāna yaumul qiyāmah."(2) 2. Tak diragukan lagi, orang-orang yang memiliki kekuatan dalam masyarakat dapat menjadikan agama sebagai mainan dan dengan memanfaatkan teknologi-teknologi, kecenderungan- kecenderungan fitrawi masyarakat mereka jadikan alat atau instrumen guna mencapai tujuan-tujuannya. Sangat jelas bahwa pernyataan ini sama sekali tidak bermakna bahwa agama tidak lain merupakan sumber manipulasi atau penipuan para penguasa(3) dan seperti yang diungkapkan Marx "pemikiran-pemikiran yang mengendalikan atau menguasai masyarakat selalu adalah pemikiran-pemikiran strata penguasa". (4) Berdasarkan bukti-bukti sejarah, kebanyakan agama-agama mengajak masyarakat untuk melawan atau berhadapan dengan para penguasa di zamannya serta menyebarkan suatu ajaran-ajaran yang tidak menguntungkan strata penguasa. (5) 3. Karl Marx dari satu sisi menyebut agama sebagai produk keterasingan diri atau alienasi dan menampakkannya seperti ini bahwa "agama bersumber dari orang-orang yang teralienasi melebihi lainnya, yaitu strata bawah tangan."(6) Dari sisi lain, ia menamakan agama sebagai suatu ideologi dan menyebut ideologi sebagai sesuatu yang diciptakan oleh strata penguasa guna menjustifikasi kondisi yang ada serta menjaga kekuasaannya.

p: 48


1- Dengan penjelasan tersebut, Feurbach menyebut hasrat-hasrat atau kecenderungan- kecenderungan transenden manusia sebagai sebab dalam menemukan Tuhan" dan kaum religius menyebut sebab "hasrat-hasrat rendah" seseorang sebagai sebab dalam mengingkari Tuhan."
2- “Bahkan manusia ingin apa (yang dikatakan Tuhan tentang janji surga dan neraka, semua itu ia pungkiri sehingga tenang dari memikirkan akhirat dan berfoya-foya di dunia atau umurnya berapa pun) yang ada, semuanya itu ia lewatkan dengan maksiat dan hawa nafsu. (yang selalu ragu dan mengingkari) bertanya: kapankah hari kiamat (dan perhitungan)," (QS Al-Qiyāmah [75]: 5-7, terjemahan Parsi oleh Ilahi Qumsyei.
3- Malcolm Hamilton, Jāmi'ah Syināsi Dīn, hlm. 146.
4- Daniel L. Pals, Seven Theories of Religion, hlm. 137.
5- Murtadha Muthahhari, Fithrat, hlm. 205; Ian Robertson, Dar Āmadi bar Jāmi'ah Syināsi, terjemahan Parsi oleh Husain Bahruwan, hlm. 338.
6- Malcolm Hamilton, Jami'ah Syināsi Dīn, hlm. 146.

Kedua pernyataan ini (agama merupakan cabang strata bawah tangan dan agama adalah cabang strata atas tangan) tidak mudah diselaraskan.(1) 4. Pengalaman historis periode kontemporer, khususnya di negara-negara komunis menunjukkan bahwa perubahan sistem perekonomian tidak berpengaruh pada kecenderungan atau tendensi agama dan perkembangan informasi atau pengetahuan tidak berujung kepada keberpalingan dari agama.(2) Selain dari pada itu, sosiolog berkebangsaan Jerman, Max Weber (1864—1920 M) dengan menulis buku "The Protestant Ethic and the Spirit of Capitalism"(3) berhadapan dengan Karl Marx, menggambarkan bagaimana agama menjadi suatu bentuk infrastruktur bagi ekonomi(4) dan etika keagamaan protestan berpengaruh dalam kemunculan sistem kapitalisme. (5) Dengan mengkaji dasar-dasar bangunan pemikiran Marx, kelemahan-kelemahan lainnya pun dapat ditemukan di mana penjelasan tentangnya akan kami lewatkan dan kami mengajak para pembaca untuk menelaah referensi atau sumber-sumber yang membahas subjek pembahasan secara lebih rinci. (6) 5. Kecenderungan dalam menjaga keutuhan sosial. Menurut pandangan Emile Durkheim (1858–1917 M), seorang sosiolog terkemuka berkebangsaan Prancis, jalan terbaik untuk mengetahui unsur-unsur asli agama serta asal usulnya ialah penelitian atas

p: 49


1- Malcolm Hamilton, Jāmi'ah Syināsi Dīn, hlm. 147. Mungkin dengan memperhatikan kritik atau keberatan ini mendorong sebagian penulis mengemukakan justifikasi-justifikasi semacam ini: "Menurut Marx dalam masyarakat sederhana sebelum era industri yang tidak ada stratifikasi sosial, agama merupakan sesuatu hal yang bersifat khurafat serta produk keterasingan diri (alienasi) manusia. Pada masyarakat-masyarakat lainnya, agama penguasa menentukan keadaan yang ada serta membuat masyarakat tertindas lalai dari memperhatikan masalah- masalah yang sesungguhnya."lan Robertson, Dar Amadi bar Jāmi'ah Syināsi, terjemahan Parsi oleh Husain Bahruwan, hlm. 337–338.
2- Malcolm Hamilton, Jāmi'ah Syināsi Dīn, hlm. 149.
3- Buku ini setidaknya telah dua kali diterjemahkan ke dalam bahasa Parsi dan diterbitkan oleh Penerbit Az Suye Samt (1371 S) dan Ilmi wa Farhanggi (1373 S).
4- Silakan lihat Ali Syari'ati, Majmu'ah Atsār, jil. 16 (Islām Syināsi,1), hlm. 123-127; Bottomore, Jāmi'ah Syenāsi, terjemahan Persia oleh Hasan Manshur dan Hasan Husaini,hlm. 273.
5- Daniel L. Pals, Seven Theories of Religion, hlm. 148.
6- Silakan lihat Daniel L. Pals, Haft Nazariye dar bab-e Dīn, terjemahan Parsi oleh Muhammad Azis Bakhtiyari, hlm. 218–227.

suatu masyarakat yang belum berkembang di mana dari segi industri dan teknologi berada pada tingkatan paling rendah.(1) Dengan tujuan inilah, ia memanfaatkan penelitian-penelitian yang telah dilakukan sebelumnya tentang suku-suku pribumi Australia dan mengembangkan teorinya dalam buku The Elementary Forms of Religious Life.

PIKIRKAN DAN DISKUSIKAN Keterbelakangan dan Prinsip (Asal Usul)? Durkheim dengan mengkritik orang-orang yang melakukan teoretisasi tentang masa lalu melalui dugaan dan perkiraan, dan dengan jalan ini berupaya mencari rahasia pertama kali dari kecenderungan-kecenderungan religius manusia, sesungguhnya mengusulkan suatu penelitian atau kajian tentang contoh yang bersifat kontemporer dan terjangkau serta menganggap kabilah- kabilah pribumi Australia ibarat sebuah cermin yang menunjukkan wajah sejarah kemanusiaan masa lalu dihadapan manusia hari ini. (2) Bagaimanakah Anda menilai poin ini? Menurut Anda, apakah dengan belum berkembangnya industri suatu masyarakat, prinsip atau dasar keberagamaan mereka dapat disimpulkan?(3) Berdasarkan laporan-laporan para peneliti sosial di mana Durkheim mencari keuntungan dari penelitian-penelitian lapangan mereka, setiap dari masing-masing suku pribumi Australia di dalamnya terdapat beberapa klan di mana masing-masingnya menganggap suci seekor binatang atau suatu tumbuhan khusus dan terkadang suatu benda tak bernyawa-yang dinamakan dengan totem-dan

p: 50


1- Emile Durkheim, The Elementary Forms of Religious Life, terjemahan oleh karen E. Fields, hlm. 1.
2- Daniel L. Pals, Haft Nazariye dar bab-e Dīn, hlm. 100-101.
3- Silakan lihat Malcolm Hamilton, Jami'ah Syināsi Dīn, hlm. 81.

menjadikannya sebagai simbol mereka. (1) Setiap totem disertai dengan “ketabuan-ketabuan" atau "keharaman-keharaman" yang diletakkan untuk menjaga kehormatan totem. Menurut Durkheim, Totemisme bukan penyembahan hewan atau tumbuhan, melainkan penghormatan dalam berhadapan dengan suatu kekuatan impersonal dan abstrak (Tuhan) yang termanifestasi atau tampak dari setiap fenomena- fenomena ini dan tidak sama (satu) dengan satu pun di antara mereka. (2) Berdasarkan hal ini, dari satu sisi totem merupakan simbol kekuatan impersonal (Tuhan) dan dari sisi lain merupakan simbol masyarakat; kesimpulannya Tuhan bukanlah sesuatu selain dari masyarakat itu sendiri:

"Totem dari satu sudut pandang merupakan wajah yang tampak dan terlihat dari sesuatu, di mana saya menamakannya sebagai asli suatu totem atau Tuhan; dari sudut pandang lainnya, merupakan suatu simbol masyarakat khusus yang disebut dengan suku (klan); totem adalah bendera suku dan merupakan suatu tanda yang membedakan setiap suku dari suku-suku lainnya. ...

dengan demikian, jika totem juga sebagai simbol Tuhan dan juga sebagai simbol masyarakat, apakah hal ini bukan karena dalil tersebut bahwa Tuhan bukanlah sesuatu selain dari masyarakat itu sendiri?"(3) Menurut Durkheim, kaum religius dengan menjalankan ritual keagamaan, secara tidak sadar melakukan penguatan atas relasi- relasi sosial serta menegaskan prinsip masyarakat dan kedahuluan kepentingan-kepentingan bersama (kelompok). Segala sesuatu yang membantu kelangsungan masyarakat adalah “sakral" dan mendapatkan tempat dalam wilayah agama dan segala sesuatu selain ini adalah "profan."(4) Kewajiban-kewajiban moral juga bukan merupakan

p: 51


1- Menurut Freud, “Istilah totem ... pada tahun 1791 telah diadopsi melalui peneliti berkebangsaan Inggris, J.Long dari suku Indian Amerika Utara." Sigmund Freud, Rawānkūwi (Psychoanalysis), terjemahan Parsi oleh: Nashiruddin Shahibuzzaman, hlm. 24.
2- Rymon Aron, Marāhil Asās Andisyeh dar Jāmi'ah Syināsi [Main Currents in Sociological Thought), terjemahan Parsi oleh Baqir Parham, hlm. 380-381.
3- Emile Durkheim, The Elementary Forms of Religious Life, hlm. 208.
4- Daniel L. Pals, Haft Nazariye dar bab-e Dīn, hlm. 107.

sesuatu selain dari pada desakan opini-opini umum.(1) Kebanyakan doktrin-doktrin religius juga dapat dijelaskan dengan bantuan prinsip totemis, ruh merupakan prinsip atau asli totemis yang menempati batin individu-individu(2) dan kekekalan jiwa bermakna bahwa dengan meninggalnya seseorang (satu individu), kehidupan masyarakat tetap berlanjut. (3) Telaah dan Kritik Sebagian pemikir Barat menempatkan kekurangan-kekurangan pandangan Durkheim ke dalam tiga bagian: metodologis, sosiologis, teoretis.(4) Penjelasan terperinci atas tiga jenis kekurangan ini-dan juga pembagian-pembagian lainnya yang telah diajukan tentang hal ini(5)—lebih luas dari cakupan yang dapat diturunkan dalam tulisan ini. Oleh karena itu, kami akan mencukupkan diri dengan menjelaskan beberapa poin penting tentang hal ini: (6) 1. Salah satu kritikan metodologis terhadap analisis Durkheim ialah bahwa ia bersandar pada data-data terbatas tentang suku- suku pribumi Australia dan dengan generalisasi yang tidak pada tempatnya, menyimpulkan suatu teori yang secara formal tampak universal. Pertanyaan mendasar ialah dari mana dapat meyakini bahwa substansi suatu agama tertentu (khusus) merupakan substansi semua agama?(7) Pada hakikatnya, tak ada suatu dalil jelas yang membuktikan bahwa totemisme adalah sumber atau asal usul semua agama-agama. (8) Selain dari pada itu, hari ini data-data yang berhubungan dengan suku-suku Australia dan

p: 52


1- Malcolm Hamilton, Jāmi'ah Syināsi Dīn, hlm. 176.
2- Emile Durkheim, The Elementary Forms of Religious Life, hlm. 263.
3- Daniel L. Pals, Haft Nazariye dar bab-e Dīn, hlm. 106.
4- Silakan lihat Malcolm Hamilton, Jami'ah Syināsi Dīn, hlm. 180-188.
5- Lihat Daniel L. Pals, Haft Nazariye dar bab-e Dīn, hlm. 115-118.
6- Untuk mengetahui sebagian lainnya dari kritik-kritik tersebut, silakan lihat Murtadha Muthahhari, Fithrat, hlm. 219-236; Ali Syari'ati, Tārikh wa Syenākht Adyan, jil. 1, hlm. 67-72; Raymond Aron, Marāhil Asās Andisyeh dar Jāmi'ah Syināsi, hlm. 389-391; Abul Qasim Fanai, Dar Amad bar Falsafah Dīn wa Kalām Jadīd, hlm. 135-142.
7- Malcolm Hamilton, Jāmi'ah Syināsi Dīn, hlm. 180.
8- Malcolm Hamilton, Jāmi'ah Syināsi Dīn, hlm. 181.

interpretasi Durkheim dari mereka telah dihadapkan dengan pelbagai permasalahan serius.(1) 2. Durkheim dengan berdalih bahwa asumsi-asumsi yang belum terbukti dan hal-hal seperti "pengajuan definisi", berupaya untuk membuktikan maksudnya (2) Sebagai contoh, ia dalam bagian- bagian awal dari bukunya The Elementary Forms of Religious Life, memperkenalkan agama sebagai "suatu sistem terpadu bagi kepercayaan-kepercayaan dan perbuatan-perbuatan yang terkait hal-hal suci"(3) dan kemudian membuat suatu hubungan langsung antara masalah-masalah sosial dan hal-hal yang bersifat suci. Tentu sangat jelas, bahwa dengan merujuk atau bersandar pada asumsi-asumsi ini ... memuluskan jalan untuk mendapatkan kesimpulan ini bahwa agama merupakan sesuatu yang tak lain adalah cerminan atau refleksi dari kebutuhan-kebutuhan sosial.(4) Sementara menurut kalangan sosiolog, pada sebagian budaya-budaya, antara hal-hal yang sakral dan profan tidak dapat dibedakan (5) dan sesuatu hal yang suci pun bisa tampak dalam bentuk yang tidak bersifat sosial.

3. Hubungan dekat antara agama dan masyarakat serta adanya kemiripan-kemiripan di antara keduanya merupakan sesuatu hal yang diakui, tetapi kesamaan atau kemiripan dua fenomena secara logis tidak dapat menyimpulkan kesatuan dari keduanya. (6) Argumen Durkheim pun (totem adalah simbol masyarakat; totem adalah simbol Tuhan; dengan demikian, Tuhan adalah masyarakat itu sendiri) tidak lebih dari sebuah fallasi. Boleh jadi, totem adalah simbol dari suatu wujud supranatural, tetapi pada saat

p: 53


1- Daniel L. Pals, Haft Nazariye dar bab-e Dīn, hlm. 116-117.
2- Mirip dengan fallasi ini, adalah penyataan orang-orang yang mendefinisikan agama sebagai "hubungan khusus manusia dengan Tuhan" dan memperingatkan kaum Mukmin dari pandangan religius terhadap masalah-masalah yang berkaitan dengan masyarakat dan politik. Argumentasi seperti ini secara teminologis dinamakan dengan "logika melingkar (mushadira be mathlub)."
3- Emile Durkheim, The Elementary Forms of Religious Life, hlm. 44.
4- Daniel L. Pals, Haft Nazariye dar bab-e Dīn, hlm. 115–116.
5- Malcolm Hamilton, Jāmi'ah Syināsi Dīn, hlm. 23 dan 181; Bates and Plog, Insān Syināsi Farhangi Cultural Anthropology], terjemahan Persia oleh Muhsin Tsulasi, hlm. 671.
6- Malcolm Hamilton, Jāmi'ah Syināsi Dīn, hlm. 82.

yang sama juga merupakan panji dari suatu kelompok atau suku rena merupakan poros persatuan orang-orang yang menyakini totem tersebut. Dengan kata lain, kesimpulan dari argumen yang telah disebutkan-dengan mengasumsikan kebenaran premis- premisnya-adalah bahwa simbol masyarakat adalah simbol Tuhan (bukan bahwa "masyarakat adalah Tuhan itu sendiri). (1) 4. Tekanan opini publik tidak bisa disebut sebagai sumber dari kewajiban-kewajiban moral, karena tekanan sosial dapat berujung kepada suatu tindakan-tindakan tak berperasaan dan keriangan atau semangat berkelompok terkadang menggiring orang-orang kepada suatu perilaku tak bermoral. Selain dari pada itu, sejarah membuktikan bahwa para pahlawan atau tokoh-tokoh besar moral pada umumnya gigih dan teguh dalam berhadapan dengan mayoritas masyarakat serta tidak menerima atau menoleransi perilaku-perilaku yang sifatnya telah umum. (2) 5. Berdasarkan analisis Durkheim, Tuhan dan doktrin-doktrin keagamaan lainnya merefleksikan kebutuhan-kebutuhan suatu masyarakat khusus dan merupakan suara dari suku. Berdasarkan ini, bagaimana dapat menjustifikasi keberadaan aturan-aturan umum dan universal dalam agama-agama di mana semua orang menjadi audiensnya?(3)

Wahyu, Akal, dan Fitrah

Istilah sumber atau asal usul agama setidaknya digunakan dalam dua makna aslinya di mana pencampuran antara keduanya harus dihindari, yaitu "sebab kemunculan agama" dan "rahasia kecenderungan kepada agama".(4) Kebanyakan di antara orang-orang yang melakukan analisis tentang asal usul agama, lalai dari poin ini

p: 54


1- Sebagaimana kedua premis ini: "Ali adalah ayah Hasan" dan "Ali adalah ayah Husain", kesimpulan yang diperoleh ialah bahwa "ayah Hasan adalah ayah Husain" (bukan: Hasan adalah Husain itu sendiri)
2- Malcolm Hamilton, Jāmi'ah Syināsi Dīn, hlm. 182-183. Begitu pula, silakan lihat John Hick, Falsafah Dīn, terjemahan Parsi oleh Behzad Saleki, hlm. 79.
3- John Hick, Falsafah Dīn, hlm. 32.
4- Silakan lihat David Hume, Tārīkh Thabi'i Dīn, hlm. 28.

dan dengan mengkaji keingintahuan tentang rahasia kebergantungan segolongan dari masyarakat terhadap agama, mengeluarkan suatu hukum, atau kesimpulan umum tentang sebab kemunculannya.

Bagaimanapun, kemunculan agama dapat dicari atau ditelusuri dalam kehendak Tuhan guna membimbing manusia-yang termanifestasi dalam bentuk turunnya wahyu kepada para nabi—di mana dalil-dalilnya akan dibahas dalam pasal-pasal selanjutnya. Jika saja tak ada Tuhan atau Tuhan membiarkan makhluk-makhluk-Nya dalam kondisi mereka masing-masing, agama tidak akan berdiri kokoh di atas sebuah landasan rasional. Dengan kata lain, agama hakiki memiliki sumber atau asal usul yang bersifat Ilahi (divine), meskipun bagian dari faktor-faktor yang disebutkan oleh kaum ateis, bisa bermuara kepada munculnya agama-agama menyimpang dan berupa bikinan manusia.

Kecenderungan kepada agama dari satu sisi juga merupakan buah dari pemikiran rasional, ketika seseorang melakukan perenungan tentang rahasia eksistensi, ia akan menemukan tanda-tanda pencipta tunggal di dalam dan di luar dirinya serta tidak melihat penciptaan awan, angin, bulan, matahari, juga bintang sebagai sebuah mainan.

Sebagai contoh, keteraturan dan keselarasan di antara fenomena- fenomena serta penataan sistemik yang diterapkan dalam penciptaan mereka sedemikian sehingga seolah seluruh fenomena-fenomena yang tampak diam membuka mulut dan berbicara tentang Tuhan yang bijak dan kuasa:(1) "Apa pun yang diciptakan-Nya merupakan argumen (burhan) bagi-Nya dan menjadi tanda atas kekuasaan dan kebijakan- Nya" dan "Meskipun ciptaan tampak terdiam, tetapi (sejatinya) berbicara atas pengaturan-Nya dan merupakan dalil yang cukup bagi keberadaan Sang Pencipta."(2) Dari sisi lain, watak (fitrah) seseorang telah terbentuk dengan kecenderungan kepada Tuhan.(3) Meminjam tuturan Rumi,

p: 55


1- Pada bagian selanjutnya, kita akan lebih banyak berbicara tentang argumen keteraturan dan argumen-argumen pengetahuan tentang Tuhan lainnya (teologis).
2- Nahj al-Balāghah, terjemahan Parsi oleh Sayid Ja'far Syahidi, Khotbah. 91, hlm. 75 dan 76. Dalam hal ini, untuk merujuk atau menggunakan sabda-sabda Imam Ali dalam Nahj al-Balāghah kami menggunakan terjemahan Parsi oleh Dr. Syahidi.
3- Pada bagian ketiga, kami akan membahas tentang apakah kecenderungan fitrawi kepada Tuhan dapat dijadikan sebagai dalil pembuktian wujud-Nya.

"Itteshāli bi Takayyuf bi Qiyās Hast Rabbun Nās rā Bā jān-e Nās" (Keterhubungan tanpa tahu bagaimana dan tanpa perbandingan Adanya Tuhan manusia dengan jiwa manusia/(1) Bahkan, sebagian di antara pemikir yang tidak meyakini agama berpandangan bahwa "manusia secara fitrah adalah religius. "(2) Al- Qur'an menyebutkan pula bahwa agama merupakan salah satu di antara fitrah-fitrah manusia dan mengajak orang-orang untuk menjawab kebutuhan batin ini, "Maka hadapkanlah wajahmu dengan kecondongan penuh pada kebenaran (haq), pada agama ini, dengan fitrah itu pula di mana Tuhan menciptakan manusia menurut fitrah itu; tidak ada perubahan pada penciptaan (fitrah) Tuhan," (QS Al-Rūm [30]: 30).

Kebutuhan fitrawi ini-berlawanan dengan insting-insting natural dan kebinatangan-tidak mekar atau berkembang dengan sendirinya serta sangat sering dilupakan atau dilalaikan.(3) Dari sisi ini, para nabi senantiasa mengingatkan kontrak atau perjanjian yang bersifat fitrawi ini kepada manusia dan menghendaki mereka untuk memenuhi ikrar perjanjian ini serta mendengarkan bisikan batinnya.

Berdasarkan hal ini, Imam Shadiq mengingatkan seseorang lantaran dialog tentang Tuhan tidak lagi mengantarkannya pada suatu tempat dan berada dalam keheranan, ihwal suatu kondisi di mana harapan atas semua sebab-sebab materiel telah terputus, tetapi tetap berharap kepada penolong yang lebih tinggi. (4) Benar! Tatkala pelbagai badai peristiwa dan masa menghempaskan kapal kekuatan- kekuatan manusia dan menampakkan kekurangan-kekurangan serta ketidakberdayaan mereka, muncullah suatu daya lain dan menyingkap hijab dari wajah. Ketika itu, semua menyeru Tuhan dengan penuh etulusan niat, meskipun hanya segolongan dari mereka yang tetap

p: 56


1- Jalaluddin Maulawi, Matsnawi Ma'nawī, daftar 4, bait 760.
2- Silakan lihat Paul Edwards, “Burhānha Ijma' Ām", dalam: Khudā dar Falsafah [God and The Philosophers), terjemahan Parsi oleh Bahauddin Khurramsyahi, hlm. 157.
3- Leibnitz (1646-1716 M) dalam kaitan ini mengatakan, "Sesuatu yang fitrawi dalam pandangan pertama dengan dirinya sendiri tidak jelas dan tidak berbeda; guna mempersepsi (memahami) mereka umumnya diperlukan perhatian lebih dan cara yang khusus." Freiderick Copleston, Tārikh Falsafah, jil. 4, terjemahan Parsi oleh Gulam Ridha Awani, hlm. 405.
4- Muhammad Baqir Majlisi, Bihar al-Anwār, jil. 3, hlm. 41. Tentang hal ini, silakan lihat Fakhruddin Razi, al-Barāhin dar Ilm Kalām, jil. 1, hlm. 76.

tinggal, "Dan apabila mereka dihantam ombak yang besar seperti gunung, mereka menyeru Tuhan dalam keadaan memurnikan agama mereka kepada-Nya. Maka tatkala Tuhan menyelamatkan mereka sampai ke daratan, maka hanya sebagian saja di antara mereka yang serius dan benar," (QS Luqmān [31]: 32).(1) Selain dari pada itu, agama orisinal yang bersumber dari Sang Pencipta seluruh eksistensi dengan alasan kesesuaiannya dengan fitrah manusia, menjawab pula kebutuhan-kebutuhan psikologis dan sosiologis manusia serta menampilkan dirinya selaras dengan mereka.

Dari sisi inilah, kebutuhan-kebutuhan ini dapat disebut berefek dalam memotivasi atau memberikan stimulasi ke arah agama. Menurut salah seorang penulis Barat, "Agama yang hakiki lahir dari kebingungan manusia atau bukan merupakan keinginan untuk menjaga diri. ...

agama memiliki akar pada wujud manusia; entah, manusia ... dari segi eksistensi memiliki wajah yang mengarah kepada Tuhan dan di dalamnya ia terbuat dan di dalamnya ia bergerak dan eksistensinya di dalam Dia. ... Seluruh daya atau kekuatan-kekuatan seseorang senada dan selaras dengan apa yang diperoleh akal tentang Tuhan(2)

Kesimpulan

1. Kaum ateis mencari sumber atau asal usul agama-agama dengan asumsi bahwa Tuhan dan agama-agama wahyu tidak memiliki hakikat, menyebut faktor-faktor psikologi dan sosial sebagai faktor-faktor yang berpengaruh dalam kemunculan agama serta kecenderungan padanya.

2. Segolongan orang mencari rahasia religiusitas dalam ketakutan atas peristiwa-peristiwa alam, mereka berkeyakinan bahwa manusia menciptakan tuhan-tuhan guna mengurangi kerisauan dari alam dan menjadi tempat berlindung yang aman dari berbagai kejadian.

p: 57


1- Begitu pula, silakan lihat QS Al-'Ankabūt (29): 65.
2- Leo Elders, Ilahiyyāt Falsafi Aquinas [The Philosophical Theology of St. Thomas Aquinas], terjemahan Parsi oleh Syahabuddin Abbasi, hlm. 71.

3. Sebagian lainnya menyebut kebodohan manusia sebagai prakondisi bagi kepercayaan terhadap Tuhan dan menganggap kemajuan ilmu pengetahuan sebagai penyebab kemunduran agama.

4. Freud menyebut Oedipus Complex sebagai sumber agama-agama dan menganggap rasa penyesalan atas pembunuhan ayah pertama sebagai sumber kepercayaan-kepercayaan religius.

5. Karl Marx mengikuti Feurbach mencari akar agama dalam “keterasingan diri" manusia dan menyebutnya sebagai candu masyarakat.

6. Emile Durkheim dengan meneliti dan mengkaji informasi- informasi tentang sebagian suku-suku Australia, menyebut Totemisme sebagai sumber seluruh agama-agama lainnya serta menganggap Tuhan dan masyarakat sebagai satu.

7. "Kemunculan agama" dapat dicari pada kehendak Tuhan untuk menuntun manusia (dalam bentuk penurunan wahyu) dan rahasia "kecenderungan" pada agama pun, di samping dalil-dalil rasional, dapat dicari dalam fitrah pencarian Tuhan manusia serta kebutuhan-kebutuhan mendasar psikis dan sosial.

Pertanyaan

1. Menurut pandangan orang-orang seperti Freud dan Russell, bagaimana ketakutan atas peristiwa-peristiwa natural dapat berujung pada kemunculan agama serta kecenderungan kepadanya? Pandangan manakah tentang asal usul agama yang dijelaskan proposisi-proposisi berikut-yang menurut anggapan sebagian orang, menunjukkan tahapan-tahapan kesempurnaan pemikiran manusia-dan bagaimanakah dapat dievaluasi? a. Tuhan → sakit panas b. Tuhan → mikroba → sakit panas C. Tuhan → ... → mikroba sakit panas d.... → mikroba → sakit panas

p: 58

3. Manakah tiga tahapan-tahapan perubahan pemikiran manusia menurut pandangan Auguste Comte? Tulislah salah satu di antara kritikan-kritikannya! 4. Apa Oedipus Complex itu? Bagaimanakah Freud menggunakannya untuk menunjukkan asal usul agama? 5. Telaah dan kritiklah kisah pembunuhan ayah pertama yang terdapat dalam analisis Freud! 6. Apa pendapat Karl Marx tentang doktrin Kristen: "Tuhan menciptakan manusia dengan bentuk diri-Nya"? 7. Marx dari satu sisi menyebut agama sebagai hasil dari keterasingan (alienasi) diri manusia dan dari sisi lain menamakannya sebagai ideologi (dalam makna khusus), apakah kedua penyataan ini sesuai antara satu dengan lainnya? Jelaskan! 8. Dengan analisis manakah Emile Durkheim menyimpulkan kesatuan Tuhan dan masyarakat? 9. Masalah-masalah manakah yang mempersoalkan pandangan Durkheim tentang sumber agama? Tulislah tiga hal! 10. Menurut pandangan para pemikir muslim, faktor-faktor apakah yang dapat berpengaruh dalam kemunculan agama serta kecenderungan kepadanya? 11. Manakah di antara orang-orang di bawah ini yang menggunakan istilah "proyeksi" dalam menganalisis sumber atau asal usul agama? a. Freud b. Feurbach C. Marx d. Ketiganya

p: 59

p: 60

BAGIAN 3: PEMBUKTIAN WUJUD TUHAN

Apakah ada keragu-raguan tentang Tuhan-yang menciptakan langit dan bumi ?!(QS Ibrāhim [14]: 10).

upaya pengkajian tentang pencipta alam semesta (Tuhan) senantiasa menjadi kekhawatiran atau kebimbangan pemikiran paling penting manusia. Sebagian menyebut wujud Tuhan adalah aksiomatik (badihi) dan tidak memerlukan penalaran (istidlāl/ reasoning); sekelompok lainnya menganggap keberadaan-Nya tidak dapat dibuktikan (1)dan golongan ketiga berpegang teguh pada dalil-dalil guna membuktikan eksistensi-Nya. Sebelum kita membahas dalil-dalil pembuktian wujud Tuhan, kami akan mengarahkan pembaca untuk memperhatikan beberapa poin berikut ini:

1. Sebelum melakukan bentuk dialog apa pun antara satu dengan lainnya, kaum ateis dan orang-orang yang percaya kepada Tuhan (theis) harus memperjelas maksud mereka tentang istilah "Tuhan." Sesuatu yang bisa dipahami oleh semua orang serta dapat menjadi titik memulai pembahasan ialah bahwa "Tuhan merupakan pencipta alam semesta"; sebagaimana Bertrand Russel (1872–1970 M) filsuf ateis berkebangsaan Inggris dan Frederick Copleston (1907–1994 M) seorang filsuf dan teolog Kristen- dalam memulai debat mereka-menyepakati definisi ini, "Suatu

p: 61


1- Untuk mengetahui secara rinci pandangan ini berikut dalilnya, silakan lihat Askari Sulaimani Amiri, Naqd Burhan Nāpaziri Wujūd Khudā.

entitas konkrit (individual) yang berbeda dengan alam semesta dan merupakan penciptanya."(1) PIKIRAN DAN DISKUSIKAN Pembuktian Wujud Tuhan Sebelum Menjelaskan Sifat-Sifat-Nya? Metode umum bagi sebagian besar penulis- penulis yang berbicara tentang Tuhan dan sifat-sifat- Nya ialah bahwa pertama, membuktikan wujud Tuhan dan kemudian melacak sifat-sifat-Nya. Sebagian penulis kontemporer tidak menerima metode ini dan mengedepankan pembahasan tentang sifat-sifat Tuhan.

Sebagaimana yang dikatakan: "Jika kita tidak memiliki konsepsi apa pun tentang "apakah Tuhan itu", maka dalam kondisi seperti itu apa maknanya kita bertanya bahwa apakah Tuhan ada atau tidak?"(2) Bagaimana Anda menilai pandangan ini? Menurut Anda, apakah sebelum mengkaji secara rinci sifat-sifat Tuhan, dapat dilakukan pembuktian wujud-Nya? 2. Sekelompok pemikir Timur dan Barat menyatakan wujud Tuhan bersifat badihi (swabukti) atau aksiomatik serta tidak memerlukan pembuktian (reasoning);(3) sebagaimana Allamah Thabathabai (1281–1360 HS) dalam ulasannya (taqrir) terhadap al-Asfar setelah mengemukakan ulasan argumen shiddiqin, yang akan kami kemukakan dalam bagian-bagian selanjutnya, mengatakan: "Dengan merenung seseorang akan mendapati dari

p: 62


1- Teks sempurna debat ini terdapat pada sumber di bawah ini: Bertrand Russel, Cerā Masīhi Nistam? [Why I'm Not Christian?), terjemahan Parsi oleh Thaheri, hlm. 230-254; Bertrand Russel, Irfān wa Mantiq [Logic and Mysticism), terjemahan Parsi oleh Najaf Daryabandi, hlm. 199-142; John Hick (ed.), Itsbāt Wujud Khudāwand [The Existence of God], terjemahan Parsi oleh Abdurrahim Ghowahi, hlm. 203-232.
2- Michael Peterson et al., 'Aql wa l'tiqād Dīni (Dar Amadi bar Falsafah Dīn), terjemahan Parsi oleh Ahmad Nara qi dan Ibrahim Sultani, hlm. 98.
3- Sebagai contoh, silakan lihat John Hick (ed.), Itsbāt Wujūd Khudāwand, hlm.17-39 dan 249.

penjelasan kami ini bahwa prinsip adanya wajib secara esensial (wājib bi al-dzāt) bagi manusia sifatnya adalah swabukti (badihi) dan argumen-argumen (demonstrasi) yang membuktikan wujud Tuhan pada hakikatnya mengarahkan perhatian kita kepada hal yang bersifat badihi tersebut."(1) Ke-badihi-an wujud Tuhan, entah itu berdasarkan ilmu hushuli ataupun berdasarkan ilmu hudhuri-sebagaimana halnya diisyaratkan Allamah, tidaklah bermakna salah atau sia-sianya argumentasi terhadap wujud Tuhan, argumen rasional dapat menyadarkan orang-orang lalai serta menampakkan kesalahan pandangan orang-orang ingkar.

Menarik untuk diketahui bahwa sebagian di antara pemikir Kristen menyebut "ketidakperluan pada pembuktian", tidaklah mensyaratkan "ke-badihi-an." Mereka yakin bahwa wujud Tuhan tidak butuh pada pembuktian, tetapi pada saat yang sama, bukan pula badihi (swabukti).(2) 3. Pelbagai macam agama-agama menyebut atau menyeru Tuhan dengan nama-nama seperti Allah, God, Yehova,(3) dan memujanya dengan sifat-sifat seperti ilmu dan kekuatan mutlak serta menyebutnya sebagai pencipta langit dan bumi. Dalam karya-karya filsafat tentang entitas semacam ini pun, terdapat penyebutan-penyebutan seperti berikut ini, wājib al-wujūd bi al- dzāt, sesuatu yang bukan akibat, Sebab Pertama (First Cause), Entitas mandiri, sempurna mutlak, Entitas nir-batas. Orang- orang yang memilih argumen rasional untuk membuktikan Tuhan-agama, sejak awal menerima poin ini bahwa kebanyakan di antara penyifatan-penyifatan filosofis dan religius yang telah disebutkan-dan juga penyifatan lainnya yang kami tidak sebutkan di sini-dapat disimpulkan atau dihasilkan dari yang satu dengan lainnya. Walaupun demikian, terdapat orang-orang lainnya yang menyatakan keraguannya dalam poin yang telah disebutkan dan

p: 63


1- Shadr al-Muta`allihin Shirazi, al-Hikmah al-Muta āliyah, jil. 6, hlm. 15, Ta liqah Allāmah Thabathaba i.
2- Silakan lihat Alvin Platingga, "Ayā l'tiqād beh Khuda Waqian Pāye az?" [Arguing God's Existence] dalam: Kalām Falsafi, terjemahan Parsi oleh Ibrahim Sultani dan Ahmad Naraqi, hlm. 49-70.
3- Yehova adalah nama Tuhan agama Yahudi. Mengingat penyebutan atau pembacaan nama ini dalam pandangan kaum Yahudi terlarang, kualitas atau cara penyebutannya tidak begitu jelas. silakan lihat Husein Taufiqi, Asynāi ba Adyān Buzurg, hlm. 88.

mengemukakan suatu pertanyaan yang seperti ini, Apakah Tuhan- agama adalah Tuhan-filsafat itu sendiri?(1) Sebagian pemikir Muslim dalam membela positifnya jawaban persoalan ini,(2) menggunakan dua premis (mukaddimah) di bawah ini:

a. Beberapa deskripsi filosofis yang telah disebutkan dapat bersesuaian dengan suatu eksistensi yang bukan makhluk.

b. Menurut al-Qur'an "bukan makhluk" adalah di antara penyifatan-penyifatan yang hanya dikhususkan kepada Tuhan. (3) Poin yang patut diperhatikan ialah bahwa kebanyakan dari orang-orang yang membedakan antara Tuhan agama dengan Tuhan filsafat, tidak menilai kedua hal tersebut sepenuhnya benar-benar saling terasing antara satu dengan lainnya, melainkan mereka percaya bahwa apa yang telah dibuktikan melalui dalil- dalil rasional adalah "bayangan dengan warna kurang" dari Tuhan-hidup yang disebutkan oleh agama. (4) Berdasarkan hal ini, Blaise Pascal (1623–1662 M) menulis, "Tuhan Ibrahim, Tuhan Ishak, dan Tuhan Yakub, bukanlah Tuhan para filsuf dan para ilmuwan."(5) Jumlah dalil-dalil yang sudah dikemukakan dalam pembuktian wujud Tuhan yang mana sebagian di antaranya termuat dalam pasal ini-dengan melihat keragaman ulasan- ulasannya telah mencapai puluhan item. Sebagian dari dalil-

p: 64


1- Michael Peterson et. al., Aql wa I'tiqād Dīnī[Reason and Religious Belief: an Introduction to the Philosophy of Religion), terjemahan Parsi oleh Ahmad Naraqi dan Ibrahim Sulthani, hlm. 168.
2- Sudah tentu yang dimaksud di sini ialah pembelaan atas Tuhan yang diyakini oleh para filsuf penganut tauhid, khususnya para filsuf Muslim; bukan filsuf-filsuf yang sebagai contoh- menyebut "air" itu sendiri sebagai Tuhan! Silakan lihat Etienne Gilson, Khudā wa Falsafah (God and Philosophy), terjemahan Parsi oleh Syahram Pazuweki, hlm. 12–13.
3- Silakan lihat Abdul Rasul Ubudiyat, Itsbāt Wujūd Khudā beh Rawesye Ashl Maudhuī, hlm. 17–34.
4- John Hick (ed.), Itsbāt Wujūd Khudāwand, hlm. 18. Tentu saja lanjutan pembicaraan penulis ini sendiri menjelaskan bahwa Tuhan kalam dan filsafat tidak mesti berkeinginan dan berpikiran baik.
5- Sepeninggal Pascal, potongan pendek dari tulisan-tulisan tangannya ditemukan melekat pada celah bagian dalam pakaiannya, potongan ini sepertinya merupakan salah satu hasil perenungan Pascal dan selalu bersama dengannya, dimulai dengan redaksi yang telah disebutkan. Untuk telaah lebih lanjut. Silakan lihat Blaise Pascal, Pensees, diterjemahkan oleh A.J. Krailsheimer, hlm. 309-310.

dalil ini seluruhnya mesti dinyatakan tidak valid; sebagian lainnya memiliki validitas yang sifatnya relatif(1) dan bagian yang ketiga sepertinya terlihat sempurna dan tanpa cacat.

PIKIRAN DAN DISKUSIKAN Tiadanya Kesempurnaan Dalil-Dalil atau Harapan-Harapan yang Tidak pada Tempatnya? Salah satu kritikan yang menampakkan ketidaksempurnaan sebagian dari dalil-dalil pembuktian wujud Tuhan adalah bahwa apa yang terbukti dengan dalil-dalil ini, tidak mencakup pelbagai dimensi-dimensi dakwaan kaum ateis. Sebagai contoh, argumen keteraturan (argument from design) —dengan asumsi dapat membuktikan keberadaan pengatur-tidak bisa menjadi penjelasan suatu sifat-sifat terpuji yang dinisbahkan oleh kaum yang percaya Tuhan kepada pengatur yang berpengetahuan ('alim). (2) Bagaimana Anda menilai kritikan ini? Menurut Anda, apakah prinsip keberadaan Tuhan yang tidak dapat dibuktikan dengan satu argumen dan dengan argumen- argumen lain, sifat-sifat transendennya dapat disimpulkan?

Beberapa Argumen Pembuktian Wujud Tuhan

Berdasarkan suatu pembagian rasional, argumen-argumen (barāhin) (3) pembuktian wujud Tuhan dapat dibagi menjadi tiga bagian:

a. Dalil-dalil yang dengan hanya bertumpu pada konsep "wujud" melakukan pembuktian terhadap objek-objek (mishdāq) aslinya.

p: 65


1- Sebagai contoh argumen keteraturan, jika tidak termasuk sebagai burhan (argument), setidaknya dapat difungsikan sebagai dialektika (dialectic), silakan lihat Abdullah Jawadi Amuli, Tabyīn Barāhin Itsbāt Khudā, hlm. 236.
2- Silakan lihat Popkin Owerum Straw, Kulliyāt Falsafah (Philosophy Made Easy), terjemahan Parsi oleh Sayid Jalaluddin Mujtabawi, hlm. 224 (dikutip dari David Hume).
3- Burhan (argument) dalam kamus bermakna dalil dan tanda atau petunjuk jelas, sebagaimana dalam al-Qur'an, dua mukjizat asli Nabi Musa disebut burhan-burhan (argumen-argumen) Ilahi. Silakan lihat QS Al-Qashash (28): 32. Berdasarkan hal ini, semua jalan-jalan pembuktian wujud Tuhan dapat dinamakan sebagai burhan, meskipun kata ini dalam istilah ilmu Logika (mantiq) memiliki makna khusus dan tidak mencakup setiap dalil dan tanda/petunjuk.

Para pembela jenis argumen ini terkadang pada awalnya mengajukan suatu definisi ontologis tentang Tuhan (seperti entitas paling sempurna), kemudian dengan menganalisis konsep ini, menyimpulkan realitas eksternalnya. Selain pada kata "Tuhan", klaim seperti ini tidak pernah dilakukan, di mana dengan mengajukan definisi semata serta melakukan perenungan pada konsep (nazhariyah) dapat mengetahui keberadaan objeknya (mishdāq).

b. Dalil-dalil yang menjadikan suatu "objek tak tertentu" dari wujud (Entitas Mutlak) sebagai perantara atau wasilah pembuktian Tuhan. Orang-orang yang menggunakan argumen semacam ini, meyakini bahwa syarat perlu untuk pembuktian wujud Tuhan adalah tidak menjadi seorang sofis dan mengakui keberadaan "suatu wujud" di alam eksternal. Mengingat bahwa pada argumen ini, tak satu pun wujud dari suatu keberadaan tertentu yang kita asumsikan sebelumnya atau bahwa di akhir argumen seperti ini kita sampai pada suatu kesimpulan bahwa wujud sesuatu yang kita duga atau asumsikan sejak awal pada hakikatnya adalah Tuhan, maka dapat dikatakan bahwa dalam membuktikan eksistensi Tuhan kita tidak dibantu oleh selain diri-Nya.

C. Dalil-dalil yang menggunakan "objek-objek tertentu" dari wujud seperti wujud mumkin atau hadits-untuk membuktikan wujud Tuhan. Misdaq ini sudah pasti akan menjadi "selain Tuhan" karena suatu argumen yang sedari awal mengasumsikan keberadaan Tuhan, tidak ada lain kecuali sebuah penegasan atau penetapan bagi yang diinginkan (yaitu wujud Tuhan).

Di dunia Barat, bagian pertama dari tiga pembagian ini dinamakan dengan argumen ontologis (ontological argument), meskipun penggunaan argumen semacam ini tidak terkhususkan bagi orang-orang Barat.

Bagian kedua-yang mungkin hanya terkhusus bagi para pemikir Islam-disebut dengan argumen shiddiqin (the veracious argument).

Bagian ketiga mencakup beberapa bentuk argumentasi yang sebagian di antaranya akan kami ketengahkan sesudah penjelasan argumen ontologis dan argumen shiddiqin (burhān shiddīgīn).

p: 66

Argumen Ontologis

Anselm (1033–1109 M) Uskup Agung Gereja Canterbury, dalam buku Proslogium(1) pasal dua hingga pasal empat, untuk membuktikan wujud Tuhan mendesain suatu argumentasi yang dikenal dengan argumen ontologis. Ulasan sederhana dari argumen ini adalah sebagai berikut:

a. Tanpa ragu, orang-orang yang mengingkari wujud Tuhan mampu menggambarkan konsep ini di dalam benak (akal)-nya, yaitu "eksistensi yang lebih besar(2) darinya tidak dapat dibayangkan." b. Dalam kondisi ini, klaim orang-orang yang mengingkari eksistensi Tuhan ialah bahwa apa yang mereka gambarkan di dalam akal, tidak berada di luar akal.

C. Sudah pasti, sesuatu yang ada "baik di dalam akal maupun di luar akal", lebih sempurna daripada sesuatu yang "hanya ada di dalam akal."(3) d. Berdasarkan hal ini, apa yang digambarkan oleh seorang yang mengingkari wujud Tuhan, merupakan paling sempurnanya sesuatu yang dapat digambarkan (premis a) dan juga merupakan paling sempurnanya sesuatu yang tidak dapat digambarkan (premis b dan c) dan ini adalah suatu kontradiksi yang sangat tampak Dengan penjelasan lain, apabila "suatu wujud yang lebih sempurna darinya tidak dapat digambarkan" kita namakan "x", suatu silogisme disjungtif dapat dibuat dalam bentuk seperti dibawah ini:

p: 67


1- Penerjemah berbahasa Parsi kebanyakan menerjemahkan istilah ini dengan "khithābah" (retorika), tetapi akan lebih baik jika kita menamakan risalah ini berhadapan dengan buku Anselm lainnya yang disebut "bercerita dengan diri sendiri" (monologium) dengan "bercerita dengan yang lain" Terjemahan berbahasa Inggris kedua tulisan ini telah diterbitkan pada sumber berikut ini: Ans'llm, Basic Writings, diterjemahkan oleh S.N. Deane, hlm. 47–190.
2- Tentu saja Anselm kebanyakan menggunakan penyebutan "lebih besar"; tetapi sangat jelas bahwa yang ia maksudkan dengan lebih besar adalah lebih sempurna" itu sendiri. Silakan lihat John Hick, "Burhān Wujūdi" [Ontological Argument], dalam Khudā dar Falsafah [God in Philosophy], terjemahan Parsi oleh Bahauddin Khurramsyahi, hlm. 43.
3- Dari perkataan Anselm, ulasan lainnya dari argumen keberadaan juga telah dikemukakan di mana rukun aslinya-yang merupakan ganti dari premis ini seperti ini: "Eksistensi yang ketiadaannya tidak mungkin, lebih sempurna dari pada eksistensi yang menerima ketiadaan" Silakan lihat Norman Malcolm, "Barāhin Wujūd Syenakhti Ans'Ilm" (Ans'llm's Ontological Argument), dalam: John Hick (ed.), Itsbāt Wujūd Khudawand, hlm. 65.

• Jika "x" di luar akal tidak eksis, maka saat itu "x" bukanlah "x" Tetapi "x" adalah "x".

• Dengan demikian, "x" di luar akal ada atau eksis.

Sebagian dari para pemikir Muslim pun-seperti halnya Anselm-telah berusaha merenungkan konsep wujud, mengupayakan pembuktian objek aslinya (Tuhan) sebagaimana salah seorang dari arif abad kedelapan H yang bernama Abu Hamid Isfahani dalam kitab Qawāid al-Tawhīdl(1) mengatakan, "Hakikat wujud-qua hakikat wujud, secara esensial tidak menerima ketiadaan, karena salah satu di antara dua kontradiksi tidak dapat tersifati antara satu dengan lainnya dan tak satu pun tabiat akan berubah menjadi tabiat lainnya, karena hakikat wujud secara esensial tidak menerima ketiadaan, maka secara esensial adalah wajib (Wajib al-wujūd).(2) PIKIRAN DAN DISKUSIKAN Pro dan Kontra Argumen Ontologis Di dunia Barat, argumen Anselm memiliki pendukung dan penentang kenamaan. Di antara pendukung- pendukung argumen ini-yang terkadang mengemukakan ulasan-ulasan baru darinya-beberapa tokoh di bawah ini yang paling menonjol dari yang lain, Descartes (1596– 1650 M), Spinoza (1632–1677 M), Leibniz (1646–1716 M), Hegel (1770—1831 M), Karl Bart (1886–1968 M). Di antara penentang argumen ini, Thomas Aquinas (1225–1274 M) dan Immanuel Kant (1724–1804 M) memiliki reputasi atau popularitas yang lebih.(3)

p: 68


1- Salah seorang cucu dari penulis kitab Qawā id al-Tawhīd yang bernama Zainuddin Ali bin Muhammad (w. 830/836 H) menulis syarah (ulasan) atas buku tersebut yang ia namakan dengan Tamhid al-Qawā'id. Syarah ini yang tergolong buku pelajaran-sendiri mempunyai banyak syarah atau catatan-catatan penjelasan.
2- Zainuddin Ali bin Muhammad Turkah, Tamhid al-Qawa'id, hlm. 59-60.
3- Silakan lihat Rene Descartes, Ta'ammulāt [The Meditations), terjemahan Parsi oleh Ahmad Ahmadi, hlm. 85-88 (Meditations 5); Spinoza, Akhlāq [Ethics), terjemahan Parsi oleh Muhsin Jahangiri, hlm. 21-22; Khudā dar Falsafah (Majmu' Maqālāt), terjemahan Parsi oleh Bahauddin Khurramsyahi, hlm. 46-49; John Hick (ed.), Itsbūt Wujūd Khudāwand, hlm. 39-60.

Dalam dunia Islam, orang-orang di bawah ini, mengajukan pula suatu argumen ontologis yang mirip dengan argumen Abu Hamid Isfahani, misalnya, Muhammad Mahdi Naraqi (1128–1209 H), Muhammad Ridha Qumsyei (W 1306 H), Muhammad Husein Gharawi Isfahani, terkenal dengan Kumpani (1296–1361 H), dan Mahdi Haeiri Yazdi (1301—1378 S).(1) Salah seorang pendeta yang sezaman dengan Anselm, bernama Gaunilo, dengan kritik pembalikan (reversal) mempermasalahkan argumen ontologis Anselm.(2) Menurutnya, jika argumen seperti ini benar, maka dengan menggunakan argumen tersebut eksistensi setiap sesuatu yang sifatnya imajinatif bisa dibuktikan! Misalnya, perhatikan konsep ini: "Sebuah pulau yang lebih sempurna darinya tidak dapat dibayangkan." Apakah dengan menggunakan premis-premis seperti yang ada dalam argumen Anselm keberadaan pulau seperti itu tidak dapat dibuktikan?(3) Selain dari pada itu, argumen ontologis telah dihadapkan pula dengan berbagai kritikan-kritikan lainnya dari kalangan pemikir Timur dan Barat.(4) Salah satu di antaranya yang menunjukkan ketidakbenaran seluruh ulasan argumen ontologis adalah bahwa argumen semacam ini telah mencampuradukkan antara konsep dengan objek (mishdāq).

Untuk menjelaskannya lebih lanjut, sebaiknya kita gunakan dua

p: 69


1- Silakan lihat Muhammad Mahdi Naraqi, Jāmi al-Afkār, jil. 1, hlm. 84; Tamhid al-Qawā'id, hlm.63. Catatan Pinggir Muhammad Ridha Qomshei; Muhammad Muhsin Isfahani, Tuhfat al-Hakim, hlm.71; Mahdi Haeri Yazdi, Kāwushā Aql Nazhari, hlm. 172-176
2- Gaunilo, "In behalf of the Fool" dalam Ans'Ilm, Basic Writings, diterjemahkan oleh S.N. Deane, hlm. 308-309.
3- Orang-orang seperti Anselm sendiri berupaya menemukan suatu jawaban bagi keberatan ini, untuk telaah lebih jauh tentang ini, silakan rujuk: John Hick (ed.), Itsbāt Wujūd Khudāwand, hlm. 35-37; Michael Peterson et al., "Aql wa l’tiqād Dīni, hlm. 136-137.
4- Sebagai contoh, silakan lihat John Hick (ed.), Itsbāt Wujud Khudāwand, hlm. 51-59; John Hospers, Dar Amadi bar Tahlil Falsafi (An Introduction to Philosophical Analysis), terjemahan Parsi oleh Musa Akrami, hlm. 487-490; Abdullah Jawadi Amuli, Tabyīn Barāhin Itsbāt Khudā, hlm. 194-207; Mustafa Malikiyan, Masā il Jadid Kalāmi (Diktat), hlm. 88-107.

istilah: "predikasi esensial primer (primary essential predication)" dan "predikasi teknis umum (common technical predication). "(1) Ketika suatu predikat kita nisbahkan kepada suatu subjek, terkadang kita memandang kesatuan konsepsi dari keduanya dan terkadang pula melihat kesatuan objeknya. Jenis pertama dinamakan predikasi esensial primer dan jenis kedua predikasi teknis umum.

Para filsuf dan logikawan Muslim dengan menggunakan istilah-istilah tersebut, menyelesaikan kontradiksi-kontradiksi formal di antara proposisi-proposisi, seperti "bagian adalah bagian" dan "seluruh adalah bagian." Jika yang dimaksudkan adalah kesatuan konsep dan predikasi esensial, maka bagian tidak bisa tidak kecuali adalah bagian, tetapi dengan predikasi teknis umum, bagian termasuk pula di antara objek- objek universal karena konsep "bagian" dapat diterapkan pada banyak hal, misalnya, buku ini, buku tulis itu, dsb.(2) Dengan memperhatikan apa yang telah lalu, klaim orang-orang yang mengingkari eksistensi Tuhan bahwa "wājib al-wujūd adalah tiada" tidak dapat dijawab dengan ungkapan-ungkapan semacam ini, "Ada secara mesti adalah ada." Benar bahwa dengan predikasi esensial primer, segala sesuatu dapat dipredikatkan kepada dirinya sendiri dan "setiap A secara mesti adalah A." Namun, dari kesatuan konsepsional ini-yang kedudukannya pada alam mental (mind)— tidak bisa disimpulkan (ditarik keluar) suatu hukum tentang objek- objek eksternal dari subjek dan predikat. Bahkan tentang hal-hal yang mustahil sekalipun-yang sama sekali tidak mempunyai objek eksternal-dengan predikasi esensial primer dapat dijadikan suatu proposisi benar, "Lingkaran empat sudut secara mesti adalah lingkaran empat sudut." Tentang bagaimana kritik ini masuk pada argumen Anselm, memerlukan ketelitian yang lebih. Ia mendefinisikan Tuhan seperti ini, "Suatu entitas di mana yang lebih sempurna darinya tidak

p: 70


1- Penulis buku "Kāwushā Aql Nazhari” adalah di antara orang-orang yang pertama kali yang menggunakan kedua istilah ini dalam menganalisis argumen ontologi. Silakan lihat Mahdi Haeri Yazdi, Kāwushā Agl Nazhari, hlm. 173-176.
2- Muhammad Husain Thabathabai, Nihāyah al-Hikmah, Tashīh wa Ta līq oleh Ghulam Ridha Fayyazi, jil. 1, hlm. 106-108 (untuk telaah lebih jauh tentang kedua predikasi ini, silakan lihat bagian “Farhangg Istilahāt wa A lam.

dapat digambarkan." Dengan memperhatikan penjelasan-penjelasan Anselm, syarat mesti bagi kesempurnaan memiliki wujud eksternal.

Berdasarkan hal ini, pernyataan atau klaim Anselm dapat dijelaskan seperti ini, "Sesuatu yang memiliki seluruh kesempurnaan (termasuk di antaranya entitas di luar akal), secara mesti eksis di luar akal." Dengan penjelasan yang mirip dengan sebelumnya, dapat dikatakan bahwa jika yang dimaksud adalah predikasi esensial primer, maka pernyataan atau klaim ini benar, tetapi tidak membuktikan keberadaan eksternal Tuhan. Dengan kata lain,(1) dalam silogisme disjungtif yang telah disebutkan, jika yang dimaksudkan adalah predikasi primer, premis pertama tidak benar karena entah "X" berada di luar akal atau tidak, "X" adalah "X." Akan tetapi, jika yang dimaksudkan adalah predikasi umum, premis kedua tidak dapat digunakan karena jika demikian, premis ini bukan sesuatu hal yang bersifat aksiomatis (badihi), bahkan merupakan idealitas itu sendiri di mana ia mesti dibuktikan.

Kritik (isykalan) yang telah disebutkan dapat pula dijelaskan dengan menggunakan istilah "analitik" — di mana Kant termasuk peletak dasarnya.(2) Maksud dari proposisi analitik adalah sebuah proposisi di mana predikatnya diperoleh dengan menganalisis subjek, misalnya, "setiap suami adalah lelaki" dan "setiap segitiga mempunyai tiga sisi." Para pembela argumen ontologis seolah beranggapan seperti ini bahwa pengingkaran eksistensi Tuhan dengan ke-'analitik'-an proposisi-proposisi seperti: "Keberadaan paling sempurna yang dapat digambarkan adalah ada ſyakni memiliki wujud)" tidak saling bersesuaian, sebagaimana menurut pandangan Descartes: "Penggambaran Tuhan (yakni suatu dzat sempurna mutlak) tanpa wujud (yakni tanpa suatu kesempurnaan) ternafikan oleh akal seperti halnya ketika kita ingin membayangkan suatu gunung tanpa

p: 71


1- Silakan lihat Mustafa Malikiyan, Masā il Jadid Kalāmi (Diktat), hlm. 107.
2- Sebagian pemikir menyebut proposisi-proposisi analitik dan rangkapan secara tertib- sepadan dengan proposisi-proposisi di mana predikasi di dalamnya adalah esensial primer dan teknis umum (silakan lihat Mahdi Haeri Yazdi, Kāwushā Aql Nazhari, hlm. 208). Sementara istilah-istilah ini tidak bisa disebut benar-benar sepadan antara satu dengan lainnya, proposisi seperti "Berkumpulnya dua kontradiksi adalah mustahil" merupakan suatu proposisi analitik, tetapi pada saat yang sama, predikatnya dinisbahkan kepada subjek dengan predikasi teknis umum.

lembah atau tebing dan segitiga tanpa sisi."(1) Kant menjawabnya dengan berkata, (2) "Memastikan adanya segitiga dan pada saat yang sama mengingkari kepemilikannya atas tiga sisi, akan meniscayakan terjadinya kontradiksi, tetapi jika keberadaan (eksternal) segitiga dan ketiga sisinya kita ingkari sekaligus, kita belum terjerumus ke dalam kontradiksi. Gagasan ini dibenarkan pula dalam kaitannya dengan konsep "wujud secara mutlak adalah wajib. "(3)

Argumen Shiddiqin

Dalam al-Qur'an terdapat ayat-ayat yang mengisyaratkan pada tanda-tanda luar dan dalam (ayat-ayat āfaqi dan anfusi) yang mempersaksikan eksistensi Tuhan, seperti ini, "Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda kami di segenap ufuk dan pada diri mereka sendiri sehingga jelaslah bagi mereka bahwa Dia itu adalah benar (al-Haqq). Apakah Tuhan-mu belum cukup bahwa Dia menyaksikan segala sesuatu?" Filsuf terkemuka dunia Islam, Ibn Sina (370—428 H) berkeyakinan bahwa bagian pertama ayat tersebut menunjuk kepada suatu argumen-argumen di mana Tuhan dibuktikan melalui karya dan ciptaan-ciptaan-Nya, tetapi bagian kedua berbicara tentang suatu argumen yang lebih unggul di mana para "shiddiqin" mengambil manfaat darinya dan berdasarkan itu, mereka memosisikan "Tuhan" sebagai bukti (saksi) bagi segala sesuatu yang lain, bukannya menjadikan selain Tuhan sebagai perantara dalam membuktikan-Nya. (4) Sebagaimana yang telah disebutkan, argumen shiddiqin-seperti halnya argumen ontologis-dimulai dengan perenungan dalam

p: 72


1- Rene Descartes, Taammulāt [Meditations), terjemahan Parsi oleh Ahmad Ahmadi, hlm. 86. (Meditations 5th).
2- Tentu saja menurut Kant, salah satu kritik asli perkataan orang-orang seperti Descartes adalah bahwa mereka menganggap wujud sebagai suatu predikasi hakiki serta suatu kesempurnaan dari kesempurnaan-kesempurnaan. Untuk telaah lebih jauh tentang kritikan ini, silakan lihat Richard Popkin dan Oweron Struld, Kulliyāt Falsafah (Philosophy Made Simple), terjemahan Parsi oleh Sayid Jalaluddin Mujtabavi, hlm. 241; John Hick (ed.), Itsbāt Wujūd Khudāwand, hlm. 56-63; Khudā dar Falsafah (Majmu' Maqūlāt), terjemahan Parsi oleh Bahauddin Khurramsyahi, hlm. 47; Abdullah Jawadi Amoli, Tabyīn Barāhin Itsbāt Khudā, hlm. 202-206.
3- John Hick, Falsafah Dīn [Philosophy of Religion), terjemahan Parsi oleh Behzat Salaki, hlm. 48. Begitu pula, silakan lihat Leon Meynard, Shenasai wa Hasti [Existence], terjemahan Parsi oleh Ali Murad Dawudi, hlm. 380.
4- Ibn Sina, al-Isyārat wa al-Tanbihāt, Ma à Syarh Nashiruddin al-Thusi, jil. 3, hlm. 55 (Namath 4, Pasal 29).

"eksistensi", tetapi bukan dalam konsepnya, melainkan suatu eksistensi riil dan eksternal yang mengenakan busana kewujudan serta dijelaskan dalam bentuk sebuah proposisi seperti "suatu keberadaan ada." Dari sisi lain, argumen ini-berlawanan dengan argumen-argumen yang akan datang, tidak menjadikan selain Tuhan sebagai perantara dalam pembuktian-Nya. Ibn Sina dengan mengisyaratkan kekhususan- kekhususan tersebut berkata:

"Lihatlah bagaimana penjelasan yang kami bawakan dan dengannya Tuhan dan ketunggalan (wahdaniyyah) ... Dia kami simpulkan tidak memerlukan sesuatu selain perenungan pada diri wujud. Dalam argumen ini, kita tidak perlu memperhatikan ciptaan-ciptaan dan perbuatan-perbuatan-Nya, meskipun mereka itu juga berimplikasi terhadap eksistensi-Nya, tetapi jalan yang kami tempuh lebih kokoh dan lebih bernilai."(1) PIKIRAN DAN DISKUSIKAN Sisi Perbedaan antara Argumen Ontologis dan Argumen Shiddiqin Argumen shiddiqin mempunyai ulasan-ulasan yang beragam(2) di mana sebagian di antaranya dalam pandangan pertama, seakan-akan sama dengan ulasan dari para pemikir muslim tentang argumen ontologis, sebagaimana Allamah Thabathabai dalam kitab Ushūl Falsafah wa Rawesy Realism mengatakan:

"Hakikat eksistensi di mana kita sama sekali tidak ragu dengan ketetapannya, sama sekali tidak menerima penafian dan tidak terpahami darinya kehancuran. Dengan ibarat yang lain, realitas eksistensi tanpa batasan dan syarat adalah realitas eksistensi dan dengan tanpa syarat dan batasan apa pun, tidak akan menjadi bukan realitas.

p: 73


1- Ibn Sina, al-Isyārat wa al-Tanbihāt, Ma à Syarh Nashiruddin al-Thusi, jil. 3, hlm. 54.
2- Sembilan belas ulasan dari argumen ini di mana sebagian di antaranya bertumpu pada prinsip kuiditas (ashalāh al-māhiyyah)-dapat Anda telaah pada Mirza Mahdi Astiyani, Ta liqeh bar Syarh-e Manzhumeh, hlm. 488-497.

Karena alam berlalu dan setiap bagian dari bagian-bagian alam menerima penafian, maka tidak sama persis dengan realitas yang tidak menerima penafian itu sendiri, bahkan dengan realitas itu ia merealitas dan tanpanya tidak memiliki keberadaan dan negatif."(1) Kebanyakan pemikir kontemporer yang menyebut penjelasan ini sebagai satu-satunya ulasan dari argumen shiddiqin yang secara sempurna tetap loyal dengan definisi argumen ini dan untuk membuktikan wujud Tuhan, tidak menggunakan sesuatu apa pun selain perenungan dalam wujud.(2) Menurut Anda, apa bedanya yang terdapat dalam perkataan Allamah Thabathabai dengan argumen ontologis? Khajah Nashiruddin Thusi (597—672 H) dengan menerima argumen shiddiqin Ibn Sina serta dengan penjelasan yang sangat ringkas, menuliskannya seperti ini: "Al-maujud in kāna wājiban (fahuwa al-mathlūb) wa al-istilzāmahu; līstihālati al-daur wa al-tasalsul (Suatu keberadaan, entah ia sendiri adalah wājib al-wujūd ataukah ia meniscayakannya karena daur (circular reasoning) dan tasalsul [infinite sequence) adalah mustahil). (3) Mulla Hadi Sabzewari (1212–1289 H) pun dalam kitab Manzhumah-nya menuliskan seperti ini: "idza al-wujūdu kāna wājiban fahuwa-wa ma'al imkāni qadis talzamuhu" (Jika suatu wujud adalah wajib, maka dia terbukti-dan jika dengan imkān, akan meniscayakannya). (4) Argumen ini didasari atas beberapa praasumsi di

p: 74


1- Murtadha Muthahhari, Majmu-e Atsār, jil. 6, hlm. 982-983. Allamah Thabathabai dalam catatan pinggirnya terhadap Asfar (Mulla Sadra, al-Hikmah Al Muta āliyah, jil. 6, hlm. 14-15) juga mengemukakan ungkapan-ungkapan yang semakna dengan ini. Beliau dalam kitab Bidāyah al-Hikmah, hlm. 156 menggunakan pula argumen seperti ini, tetapi ia menumpukannya pada prinsip wujud.
2- Sebagai contoh, silakan lihat Jawadi Amuli, Tabyīn Barāhin Itsbāt Khudā, hlm. 216.
3- Allamah Hilli, Kasyf al-Murād, hlm. 280. Begitu pula, silakan lihat Fakhruddin al-Razi, al-Mabāhits al-Masyriqiyyah, jil. 2, hlm. 467-469; Fakhruddin al-Razi, al-Mathālib al-Aliyah, jil.1, hlm. 72; Syahabuddin Suhrawardi, Majmu' Mushannafāt, jil. 1, (al-Musyāri wa al-Mutārihat), hlm. 387.
4- Mulla Hadi Sabzewari, Syarh al-Manzumah, Bagian Hikmah, hlm. 146. Tentu saja, tafsir yang dikemukakan Hakim Sabzewari dari bait ini lebih sesuai dengan argumen shiddiqin Sadrian, bukan Sinaian.

mana entah itu merupakan hal-hal yang bersifat badihi (swabukti) atau akan dibuktikan dengan suatu argumentasi yang mudah:

1. Segala sesuatu yang ada, ketiadaannya adalah mustahil ataukah tidak mustahil. Kedua bagian ini secara tertib kita namakan "wājib al-wujūd" dan "mumkin al-wujūd."(1) Sebagaimana terlihat dengan jelas, mengingat eksistensi mumkin al-wujūd bukan dari dirinya, maka ia perlu kepada sebab.

2. Rentetan sebab-sebab, daur, atau rangkaian tak terhingga (tasalsul) merupakan sesuatu yang mustahil. Untuk lebih jelasnya apa yang dimaksud, perhatikanlah contoh-contoh di bawah ini:

Jika masing-masing dari dua kelompok yang saling berseteru.

mensyaratkan dimulainya perkelahian atau pertempuran dari pihak lawannya (A-B) apakah pertempuran di antara mereka tidak akan pernah terjadi? Begitu pula, bayangkan barisan tak terhingga dari para prajurit. Jika masing-masing dari orang-orang ini berkata:

"Sebelum prajurit ada di belakang saya, saya tidak akan menembak" (A -ke B -ke C -ke ...) apakah sebutir peluru tidak akan pernah ditembakkan? Dengan inilah tidak dapat dikatakan bahwa "A" mendapatkan keberadaannya dari "B" dan "B" dari "A" (daur) atau bahwa "B" mendapatkan pula wujudnya dari "C" dan "C" dari "D" dan ... (tasalsul-rangkaian tak terhingga).(2) Dengan memperhatikan kedua asumsi ini, (3) argumen Shiddiqin Sinaian [merujuk pada Ibn Sina, sebagaimana halnya Shadrian merujuk pada Mulla Sadra) tersebut akan kami jelaskan dalam bentuk beberapa premis:

a. Suatu keberadaan itu ada (berlawanan dengan apa yang disangkakan kaum sofis, di luar akal [mental], terdapat suatu realitas).

p: 75


1- Perlu diperhatikan bahwa di sini kita tidak ingin mengambil "eksistensi” Wājib al-Wujūd sebagai prakonsepsi, melainkan bahwa berdasarkan suatu dikotomi rasional, tak satu pun keberadaan yang dapat eksis di luar dari dua bagian ini.
2- Untuk telaah lebih jauh tentang dalil absurditas daur dan tasalsul (infinite circle), silakan lihat Abdulrasul Ubudiyyat, Hasti Syināsi, hlm. 217–241.
3- Sebagian di antara argumen-argumen yang menujukkan absurditas tasalsul, juga membuktikan wujud Tuhan. Silakan lihat Allamah Hilli, Kasyf al-Murād, hlm. 119. Berdasarkan hal ini, bukanlah seperti ini bahwa pembatalan tasalsul selalu menjadi “mukadimah" bagi pembuktian wujud Tuhan, melainkan terkadang dengan satu argumen secara bersamaan kedua maksud akan diperoleh.

b. Jika keberadaan ini adalah wājib al-wujūd, maka ideal kami telah terbukti.

C. Jika keberadaan ini bukan wājib al-wujūd, maka ia adalah mumkin al-wujūd dan memerlukan sebab pewujud. Dalam bentuk seperti ini, sesuatu yang mewujudkan mumkin al-wujūd, entah itu adalah:

c.1 Mumkin al-wujūd yang lain di mana ia sendiri adalah akibat dari mumkin al-wujūd yang pertama (daur).

c.2. Mumkin al-wujūd yang lain di mana ia adalah akibat dari mumkin al-wujūd ketiga dan mumkin al-wujūd ketiga adalah akibat dari mumkin al-wujūd keempat dan seterusnya (rangkaian tak terhingga atau tasalsul).

d. Mengingat daur dan tasalsul adalah mustahil, maka sesuatu yang dalam premis pertama eksistensinya telah kita pastikan, entah ia sendiri adalah wājib al-wujūd atau meniscayakan wājib al-wujūd.

Shadr al-Muta`allihin al-Syirazi (Mulla Sadra, 979–1050 H) juga menerima argumen shiddiqin Ibn Sina, terkadang ia menamakannya argumen shiddiqin(1) dan terkadang pula menyebutnya tidak layak dengan nama ini.(2)Ia sendiri mengemukakan ulasan lain dari argumen ini yang sebagiannya bertumpu pada prinsip filsafat hikmah (semisal prinsip wujud dan gradasi wujud) dan tidak memerlukan pembatalan daur serta rangkaian tak terhingga.(3) Begitu pula dalam argumen ini, imkān-māhuwi (kontingen-kuiditas) tergantikan dengan imkān-fagri.(4) Sebagian pengikut aliran filsafat Mulla Sadra melakukan upaya-upaya penelisikan lebih dalam pada premis-premis argumen(5) dan pada akhirnya Allamah Thabathabai —

p: 76


1- Silakan lihat Shadr al-Mutaallihin Syirazi, al-Syawāhid al-Rubūbiyyah, hlm. 35-36 dan 46.
2- Shadr al-Mutallihin Syirazi, al-Hikmah al-Muta'āliyah, jil. 5, hlm. 26.
3- Shadr al-Mutallihin Syirazi, al-Hikmah al-Mutā'aliyah, jil. 5, hlm. 12-16. Demikian pula, silakan lihat Murthada Muthahhari, Syarh Manzhumah, jil. 2, hlm. 130-131 dan 152-153.
4- Silakan lihat Mulla Hadi Sabzewari, Syarh al-Manzhūmah, Qism al-Hikmah, hlm. 146; Muhammad Taqi Misbah Yazdi, Amuzesy Falsafah [Daras Filsafat), hlm. 372. Tentunya sebagian di antara pemikir di samping argumen shiddiqin dan argumen imkān dan wujūb - berbicara tentang suatu argumen tersendiri yang bernama "argumen imkūn faqn7". Silakan lihat Abdullah Jawadi Amuli, Tabyīn Barāhin Itsbāt Khudā, hlm. 177-188.
5- Mulla Hadi Sabzewari, Syarh al-Manzhūmah, Qism al-Hikmah, hlm. 16 (Catatan pinggir Mulla Hadi Sabzewari).

sebagaimana yang telah diisyaratkan-mengemukakan ulasan paling mudah dengan hanya melalui perenungan dalam wujud atau eksistensi itu sendiri. (1)

Argumen Kosmologis

Terma kosmologis adalah suatu nama yang ditujukan kepada sekumpulan argumen-argumen di mana premis pertamanya merupakan penjelasan suatu hukum tentang alam semesta (misalnya alam adalah baru [baca diadakan), bergerak, mumkin al-wujūd) dan premis keduanya mengambil bentuk prinsip kausalitas (misalnya setiap yang baru, bergerak, mumkin al-wujūd butuh kepada sebab).(2) Bagian- bagian argumen-argumen kosmologis yang paling penting di mana sebagiannya-menurut pengakuan pemikir Barat-memiliki asal usul ketimuran,(3) di antaranya ialah argumen imkān dan wujūb, argumen kebaruan (huduts), serta argumen gerak (harakah).(4) PIKIRAN DAN DISKUSIKAN Argumen-Argumen Kosmologis dan Bagian- Bagiannya Menurut sebagian penulis Barat, yang benar ialah argumen yang dikenal dengan "kosmologis" kita namai dengan "argumen kontingen" (The argument from

p: 77


1- Tentu saja sepertinya pengajuan ulasan ini bukan dari buah karya Allamah Thabathabai, sebagaimana sebelumnya, Mulla Hadi Sabzewari dalam catatan-catatan pinggirnya terhadap Syarh al-Manzhūmah atas ke-wājibul Wujud-an hakikat wujud berargumentasi seperti ini : "[a] al-haqiqat al-mursalat min al-Wujud yamtani'u 'alaiha al-adam. [b] wa al-haqiqatu allatī yamtani'u 'alaih al-adam, wājib al-wujūd. Amma al-sughra fali annas syaia lā yuqbalu muqābalahu; wa amma al-kubra fazhāhirun." Mulla Hadi Sabzewari, Syarh al-Manzhūmah, Qism al-Hikmah, hlm. 146).
2- Michael Peterson, et. al., 'Aql wa I'tiqād Dīni hlm. 142.
3- Sebagaimana sebagian di antara mereka, menamakan suatu argumen yang dalam kamus Islam populer dengan argumen kebaruan (hudust) sebagai argumen kosmologis kalami (The Kalam Cosmological Argument) dan menyebut al-Kindi dan al-Gazali sebagai pembela-pembela awalnya. Silakan lihat Michael Peterson et al., 'Aql wa I'tiqad Dīnī, hlm. 142.
4- Berdasarkan kriteria yang telah disebutkan, argumen-argumen lainnya seperti argumen keteraturan dapat pula dimasukkan kedalam argumen-argumen kosmologis. Poin ini menunjukkan pembagian-pembagian biasa tidak begitu kokoh.

contingency).(1) Kelompok lainnya-di samping argumen- argumen seperti argumen imkān dan wujūb-memasukkan pula sebuah argumen yang bernama argumen kausalitas dalam argumen-argumen kosmologis.(2) Golongan lain menyebut argumen sebab sebagai nama lain dari argumen kosmologis. Sebagian dari penerjemah-penerjemah berbahasa Parsi menggunakan kedua penyebutan "argumen kosmologis" dan "argumen imkān dan wujūb" layaknya padanan kata antara satu dengan lainnya. (3) Dengan memperhatikan definisi dari argumen- argumen kosmologis yang kami sebutkan, berilah penilaian atas poin-poin ini.

Argumen Imkān dan Wujūb Argumen imkān dan wujūb secara formal (lahiriah) tidak berbeda jauh dengan argumen shiddiqin Sinaian.(4) Jika dalam premis pertama argumen tersebut kita tempatkan proposisi "Suatu mumkin al-wujūd adalah ada" menggantikan "Suatu keberadaan adalah ada" dan pada premis-premis lainnya pun kita lakukan sedikit perubahan-yang sesuai dengan premis pertama, maka kita akan mendapatkan ulasan argumen imkān dan wujūb. Sebagian penulis Barat menamakan argumen ini sebagai "suatu ulasan tomistik dari argumen kosmologis" dan mereka berupaya mengatakan seakan-akan pengajuan argumen semacam ini merupakan temuan orisinal teolog besar Kristen, Thomas Aquinas; (5) sementara ulasan jelas argumen ini, setidaknya dua abad sebelum Thomas Aquinas, telah disebutkan pada karya-karya Ibn

p: 78


1- Mortimer J. Adler, How to Think about God, hlm. 111.
2- Aquinas melakukan pembuktian wujud Tuhan melalui lima jalan. Jalan kedua dari lima jalannya ia namakan dengan argumen sebab pertama. Silakan lihat John Hick, Falsafah Dīn [Philosophy of Religion), terjemahan Parsi oleh Behzad Saleki, hlm. 52.
3- Silakan lihat Khudā dar Falsafah (Majmū' Maqālāt), terjemahan Parsi oleh Bahauddin Khurramsyahi, hlm. 57.
4- Berdasarkan hal ini, sebagian pemikir menamakan pula argumen 'Shiddiqin Sinaian' sebagai argumen imkūn dan wujūb. Silakan lihat Fakhruddin al-Razi, al-Mabāhits al- Masyriqiyyah, jil. 2, hlm. 467; Abdullah Jawadi Amuli, Tabyin Barāhin Itsbāt Khudā, hlm. 153.
5- Silakan lihat Michael Peterson, et. al., 'Aql wa l'tiqād Dīnī, hlm. 142–145.

Sina. (1) Bagaimanapun, premis-premis argumen ini menurut ulasan sebagian penulis Barat-adalah seperti ini:

a. Suatu mumkin al-wujūd (wujud kontingen) ada.

b. Keberadaan mumkin al-wujūd ini memerlukan sebab.

C. Sebab keberadaan mumkin al-wujūd ini adalah sesuatu selain dirinya.

d. Sekumpulan sebab-sebab yang mewujudkan keberadaan mumkin al-wujūd ini, tiada lain adalah entah hanya sekedar meliputi wujud- wujud mumkin atau setidaknya mencakup satu wujud wajib.

e. Suatu kumpulan sebab-sebab yang hanya meliputi wujud-wujud mumkin, tidak dapat menjadi sebab keberadaan wujud mumkin ini. (2) f. Berdasarkan hal itu, sekumpulan sebab-sebab yang mewujudkan keberadaan mumkin al-wujūd ini, sudah pasti mencakup setidaknya satu wujud wajib.

g. Dengan demikian, suatu keberadaan wajib adalah ada. (3) Sepertinya, di antara dalil-dalil filosofis pembuktian wujud Tuhan, kelompok argumen-argumen yang dibantu dengan analisis dua konsep imkān dan wujūb (baik dalam bentuk argumen shiddiqin maupun selain argumen shiddiqin) di samping memiliki kekokohan yang cukup, juga lebih dapat dipahami bagi masyarakat umum. Walaupun demikian, pemahaman keliru atas premis-premis argumen mendorong sebagian orang untuk melakukan kritik atasnya; sebagaimana Kant menganggap argumen ini bertumpu pada argumen ontologis(4) dan berdasarkan hal itu, ia melakukan kritik. (5) David Hume (1711–1776 M) juga berkeyakinan bahwa sesudah penjelasan kausatif bagian-bagian suatu kumpulan, tidak perlu lagi

p: 79


1- Dalam kitab Fushūsh al-Hikam yang dinisbahkan ke al-Farabi (sekitar 259-339 H) argumen ini juga dapat ditemukan. Silakan lihat: Abu Nashr al-Farabi, Fushūsh al-Hikam, hlm. 50.
2- Guna menjelaskan premis ini, daur dan tasalsul mesti dibatalkan.
3- Michael Peterson et al., 'Aql wa I'tiqad Dīnī, hlm. 145–146.
4- Untuk telaah lebih jauh, silakan lihat 'Aql wa I'tiqād Dīnī, hlm. 147.
5- Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, diterjemahkan oleh J. M. D. Meiklejohn, hlm. 353.

untuk melakukan pencarian sebab total kumpulan tersebut, (1) "Dalam rangkaian mata rantai seperti ini... setiap bagian adalah akibat rantai sebelumnya dan merupakan sebab rantai setelahnya. Lalu masalahnya apa? Anda mengatakan: Totalitas kumpulan memerlukan sebab.

Jawaban saya adalah... bahwa dalam satu kumpulan yang terdiri dari dua puluh bagian, jika saya menunjukkan sebab-sebab khusus tiap bagian, menurut pandangan banyak orang adalah tidak rasional jika setelah itu Anda menanyakan sebab total kedua puluh bagian.

Ketika kita telah menjelaskan sebab bagian-bagian, sebab total pun secukupnya telah terjelaskan."(2) Salah seorang penulis menggunakan permisalan di bawah ini untuk menjelaskan kritik David Hume:

"Bayangkan ketika kita sedang mencari tahu alasan kedatangan lima orang Eskimo ke kota New York, kita akan mendengar jawaban- jawaban seperti berikut ini:

- Udara di kutub sangat dingin; saya senang tinggal di daerah yang udaranya lebih seimbang.

Saya adalah istri dari Eskimo pertama dan saya datang ke sini untuk menemaninya.

Saya tertarik ke sini setelah membaca sebuah pengumuman dalam surat kabar New York Times, dll." Penulis tersebut kemudian menambahkan: "Jika kita telah jelaskan mengapa masing-masing dari lima anggota ada di New York, maka pada hakikatnya kita telah menjelaskan mengapa kelompok tersebut ada di sana"(3) Jawaban atas kritikan ini bagi mereka yang telah mengenal filsafat Islam, sangatlah mudah. Jika dalam satu rangkaian rantai kausalitas, tidak ditemukan adanya wujud mandiri yang bukan merupakan akibat dari sebab yang lain, maka kemunculan setiap masing-masing dari rantai tersebut tidak akan memiliki penjelasan rasional. Dalam bentuk

p: 80


1- Untuk telaah tentang sebagian lain keberatan-keberatan Kant dan Hume, silakan lihat Popkin Owerum Straw, Kulliyāt Falsafah (Philosophy Made Easy), terjemahan Parsi oleh Sayid Jalaluddin Mujtaba wi, hlm. 233-237.
2- David Hume, Dialogues Concerning Natural Religion, bag. 9, hlm. 150.
3- John Hospers, Falsafah Dān [Philosophy of Religion), hlm. 33 (dengan sedikit perubahan dalam terjemahan).

seperti ini-berlawanan dengan apa yang dibayangkan David Hume dan para pengikutnya kita tidak sedang berupaya menjelaskan sebab kumpulan setelah sebelumnya menjelaskan sebab masing-masing bagian.

Dengan penjelasan lain, tegaknya argumen imkān dan wujūb disebabkan oleh "ke-mumkinul wujūd-an masing-masing anggota kumpulan", bukan oleh "kumpulan itu sendiri." Pada dasarnya orang- orang seperti Khajeh Nasiruddin Thusi-beberapa abad sebelum David Hume-berkeyakinan bahwa kumpulan wujud-wujud mumkin tidak memiliki realitas mandiri dari satuan atau individu-individu sehingga mengemuka pembicaraan tentang ke-mumkinul wujūd-annya. (1) Penggunaan contoh-contoh empiris, sebagaimana dapat mempermudah dalam memahami masalah-masalah rasional, terkadang dapat pula menghalangi ide dan gagasan. [Misalnya] Klaim atau pernyataan orang-orang seperti David Hume bahwa dalam rangkaian rantai kausalitas wujud-wujud mumkin, masing-masing dari setiap rantai adalah pewujud bagi rantai yang lain dan tidak butuh dengan faktor luar (wājib al-wujūd). Permisalan Eskimo hanya akan sesuai dengan klaim atau pernyataan ini ketika kita memahami jawaban satu persatu dari mereka sebagai hal-hal yang sejenis dengan hal ini:

"Kawan-kawan saya (empat orang lainnya) membawa saya ke sini secara paksa." Betulkah, jika sekiranya dari kelima orang tersebut jawaban ini pula yang kita dengarkan, apakah kita dapat mengetahui motivasi mereka untuk berhijrah? Begitu pula jika masing-masing dari Eskimo tersebut-dalam keadaan berdiri berdampingan membentuk lingkaran-menyebut dirinya sebagai bawaan sebelah kanannya. Selain dari pada itu, permisalan-permisalan lainnya dapat menggantikan permisalan Eskimo, sebagai contoh: Dalam setiap jam gerakan setiap roda dan gigi khusus dihitung dan ditentukan melalui perputarannya secara berpasangan dengan roda sebelah. Meskipun demikian, metode kerja secara total sistem ini tetap tidak dapat terjelaskan, kecuali kita mengakui suatu faktor yang berada di luarnya yaitu belitan pegas. (2)

p: 81


1- Silakan lihat Abdullah Jawadi Amuli, Tabyīn Barāhin Itsbūt Khudā, hlm. 154.
2- John Hick, Falsafah Din, terjemahan Parsi oleh Behzad Saleki, hlm. 56.

DISKUSIKAN DAN PIKIRKAN Kritikan Russel Terhadap Argumen Imkān dan Wujūb Bertrand Russell adalah salah seorang yang menyebut argumen imkān dan wujūb tidak sempurna. Menurutnya, ciri-ciri yang berhubungan dengan individu-individu suatu kumpulan tidak dapat dipindahkan kepada kumpulan itu sendiri. Ia dalam debat dengan Copleston menjelaskan klaimnya dengan contoh berikut ini: "Setiap orang mempunyai seorang ibu. Sepertinya argumen Anda ialah bahwa dengan demikian bangsa manusia pun mesti memiliki seorang ibu. Sekarang adalah jelas bahwa bangsa manusia tidak mempunyai ibu."(1) Terlepas benar dan tidaknya kaidah umum (universal) Russell, untuk menunjukkan ketidakbenaran universalitas kaidah ini, telah digunakan contoh-contoh atau permisalan semacam ini: "Setiap biji memiliki ukuran, maka satu genggam biji juga memiliki ukuran."(2)Apakah secara prinsip dalam argumen imkān dan wujūb sifat individu- individu (kemumkinan-nya) mesti dipindahkan kepada rangkaian itu sendiri? Argumen Kebaruan (Huduts) Kebanyakan teolog Muslim menjadikan "kebaruan temporal (huduts-e zamāni)" alam semesta atau sebagian dari wujud-wujud di dalamnya sebagai perantara pembuktian eksistensi Tuhan. Sebagian dari mereka juga memadukan argumen kebaruan ke dalam argumen imkān dan wujūb dan secara bersamaan menyimpulkan keberadaan wujud "kekal (gadīm)" dan "wājib. "(3)

p: 82


1- Bertrand Russell, Irfan wa Mantiq [Logic and Mysticism), terjemahan Parsi oleh Najaf Daryabandi, hlm. 214.
2- Untuk telaah lebih jauh tentang hal ini, silakan lihat Mustafa Malikiyan, Masāil Jadid Kalāmī, (Diktat), hlm. 123.
3- Fakhruddin al-Razi, al-Mathālib al-Aliya, jil. 1, hlm. 53. Penulis ini pula dengan menjelaskan bahwa alam terangkap dari esensi-esensi (zat-zat) dan aksiden-aksiden (sifat-sifat) dan setiap masing-masing darinya melalui imkān dan kebaruan (kehudutsan) mereka memberi kesaksian atas keberadaan Tuhan, argumen-argumen pembuktian wujud Tuhan ia sebutkan setidaknya empat bagian: imkūn substansi-substansi (jawāhir), huduts substansi-substansi (jawāhir), imkūn aksiden-aksiden (a tādh) dan huduts aksiden-aksiden (a rādh). Silakan lihat Fakhruddin al-Razi, al-Mathālib al-Aliya, jil. 1, hlm. 71-232; Fakhruddin al-Razi, al-Barāhin, jil. 1, hlm. 51–76; Fakhruddin al-Razi, al-Muhasshal, hlm. 109-110; Fakhruddin al-Razi, al-Tafsir al-Kabir, jil. 2, hlm. 89 dan jil. 17, hlm. 8.

Ya'qub Ibn Ishaq al-Kindi (wafat sekitar 250 H) salah seorang filsuf Islam awal, juga menggunakan argumen ini untuk membuktikan wujud Tuhan: "Berdasarkan apa yang telah lalu, tak diragukan lagi materi (jism) adalah suatu hal yang diadakan dan setiap yang diadakan memiliki pengada karena kedua hal ini adalah berpasangan (mutadhāifān). Oleh karena itu, tak ada keraguan dalam hal ini bahwa segala apa yang ada pada alam materi memiliki pengada."(1) Sekelompok teolog Barat-sebagaimana telah disebutkan- menamakan argumen kebaruan tersebut dengan argumen kosmologis- teologis dan menyatakannya sebagai argumen yang menarik, salah seorang di antara mereka guna membela argumen ini menulis buku tersendiri dengan nama ini.(2) Bagaimanapun juga, apabila dalam argumen imkān dan wujūb, dua redaksi "baru"(3) dan "kekal" kita jadikan pengganti dua istilah "mumkin" dan "wājib", maka kita akan mendapatkan suatu ulasan dari argumen kebaruan di mana dengan bersandar pada absurdnya daur dan tasalsul, menyimpulkan eksistensi sesuatu yang kekal secara zaman.

Ringkasan argumen ini seperti berikut:

- Suatu keberadaan baru (hādits) di alam itu ada.

- Setiap yang baru (hādits) memerlukan pembaru (muhaddits) - Dengan alasan absurdnya daur dan tasalsul, maka keberadaan suatu pembaru (muhaddits) yang kekal terbuktikan.

Berdasarkan ulasan seperti ini dari argumen kebaruan, dengan menerima keberadaan "sesuatu yang baru" pembuktian atas

p: 83


1- Ya'qub Ibn Ishaq al-Kindi,"Fi Wahdaniyyatillāh wa Tanāhiyu jurm al-A'lam" dalam: Rasāil al-Kindi al-Falsafiyah, jil. 1, hlm. 163.
2- Silakan lihat Michael Peterson et. al., 'Aql wa l'tiqād Dīni, hlm. 142, John Hick, Falsafah Din, terjemahan Parsi oleh Behzad Saleki, hlm. 58. Data lengkap karya yang disebutkan seperti ini: William Lane Craig, The Kalam Cosmological Argument, New York: Barnes and Noble, 1979.
3- Baru (hadīts) di sini yakni suatu wujud di mana ia pada suatu zaman tiada dan kemudian mengada (mewujud).

suatu eksistensi yang kekal dapat dilakukan;(1) pada saat itu, jika kita memahami kekekalan tersebut sebagai tolok ukur tiadanya kebutuhan dari sebab,(2) maka dapat dikatakan bahwa eksistensi Tuhan telah terbukti. Dari sisi lain, sebagian teolog yang memahami "imkān" sebagai dalil ketidakbutuhan dari sebab, untuk menyempurnakan argumen kebaruan, tak terelakkan mereka mengambil bantuan dari argumen imkān dan wujūb serta menambahkan premis ini bahwa "setiap yang baru adalah mumkin al-wujūd".(3) Mungkin dapat dikatakan bahwa kelompok ini memosisikan "baru" sebagai tanda dari "imkān" dan dengan jalan ini mereka melakukan pembuktian atas keberadaan wajib.

Seperti yang diungkapkan Syahid Muthahhari, "tanda dan dalil terbaik bagi kontingennya alam adalah kebaruan alam dan jika kita tidak menyaksikan tanda-tanda seperti baru dan berubah pada alam, dari manakah kita mampu menghukumi bahwa alam adalah mumkin al-wujūd!"(4) Telah diketahui bahwa para teolog biasanya dalam premis pertama argumen kebaruan, melangkah lebih jauh dari apa yang telah disebutkan dan menekankan kebaruan seluruh alam semesta (segala sesuatu yang dari Allah).(5) Untuk pembuktian premis pertama ini pelbagai cara pun telah ditempuh di mana untuk menukil dan mengkajinya-dan juga ulasan lainnya dari argumen ini membutuhkan waktu atau ruang yang lebih dari ini.(6)

p: 84


1- Muhammad Mahdi Naraqi, Jāmi' al-Afkār, jil. 1, hlm. 138.
2- Bukan hanya para filsuf, kebanyakan teolog pun berkeyakinan bahwa alasan kebutuhan terhadap sebab adalah imkūn" (kontingen) sesuatu, bukan "hudust"nya. Berdasarkan hal ini, suatu eksistensi kekal bisa ada karena ia merupakan mumkin al-wujud dan butuh kepada sebab. Untuk telaah lebih jauh, silakan lihat Fakhruddin al-Razi, al-Muhasshal, hlm. 66; Allamah Hilli, Kasyf al-Murād, hlm. 53.
3- Silakan lihat Ibn Maitsam Bahrani, Qawā id al-Marām, hlm. 67; Allamah Hilli, Anwār al-Malākut fi Syarh al-Yāqūt, hlm. 59.
4- Murtadha Muthahhari, Syarh-e Manzhūmeh, jil. 2, hlm. 166.
5- Sebagaimana Allamah Hilli ketika memberikan ulasan sebuah redaksi dari al-Yaqut - di mana argumen kebaruan (huduts) ia bawakan dengan ulasan yang pertama, “Wa tsubutu muhdatsun yuujibu tsubuta shāni'un" - mengubahnya seperti ini, “Inna al-ālam muhdatsun; wa kullu muhdatsun falahu muhdits. Allamah Hilli, Anwār al-Malāqut fii Syarh al-Yāgūt, hlm. 59.
6- Untuk telaah lebih jauh, di samping sumber-sumber sebelumnya, silakan lihat Qadhi Abdul Jabbar Asad Abadi, Syarh al-Ushūl al-Khamsah, hlm. 92-120; Nashiruddin Thusi, Qawā id al- Aqaid, hlm. 39-45; Ja'far al-Hadi, Allāhu Khāliq al-Kaun, hlm. 282–310.

Argumen Gerak Dalam karya-karya tertulis manusia, dalil tertua di antara dalil- dalil kosmologis untuk membuktikan eksistensi Tuhan adalah suatu argumen di mana dengan bersandar pada adanya gerak pada alam semesta, dapat disimpulkan eksistensi "penggerak yang tidak bergerak." Argumen ini biasanya dikaitkan dengan nama Aristoteles (385 322 SM), tetapi jejaknya dapat pula ditemui dalam karya-karya Plato (427—348 SM). Poin yang patut diperhatikan bahwa tuhan-tuhan platonis adalah penggerak-penggerak "yang bergerak", pertama menggerakkan dirinya dan kemudian menggerakkan wujud-wujud yang lain:

"Apakah sumber seluruh gerakan dan perubahan ini bukan sesuatu yang pertama kali dengan kekuatannya sendiri menggerakkan dirinya? ... ruh dengan gerakannya, memerintah seluruh apa yang ada di langit, bumi, dan lautan. Tak satu pun ruh makhluk bernyawa yang dapat dilihat, ... melainkan mereka hanya dapat disaksikan dengan penglihatan batin dan dengan bantuan pikiran kita menemukan jalan menuju mereka. ... Ruh matahari-entah seperti kusir kereta memacu kereta matahari dan menyebarkan cahayanya keseluruh penjuru alam dan dalam bentuk lain membuatnya berputar dan berkeliling-bukan hanya dzat yang lebih unggul dan lebih tinggi dari matahari, melainkan semua tak terelakkan untuk membenarkan bahwa itu tidak bisa kecuali Tuhan."(1) Aristoteles secara lebih sempurna mendesain argumen gerak dan menekankan "ketidakbergerakan" penggerak awal serta "kekekalan" dan "ketunggalannya." Meskipun demikian, menurut keyakinan kebanyakan agama Ilahi, Tuhan Aristoteles tetap saja berjarak dengan Tuhan agama: "Tuhan metafisik Aristoteles bukan hanya tidak mewujudkan alam, juga tidak menyebabkannya tinggal. Ia hanya membangkitkan gerak di dalam alam."(2) Bagaimanapun juga, di antara

p: 85


1- Daure ātsār Aflātun, terjemahan Parsi oleh Muhammad Hasan Lutfi, jil. 4, hlm. 2197-2205 (Qawānin, Kitāb Dahum, 894-899). Begitu pula, silakan lihat jil. 3, hlm. 1233 (Fayedrus, 245).
2- Ronald Hepburn, “Burhan Jahansyenākhti” [Cosmological Argument) dalam: Khudā dar Falsafah, terjemahan Parsi oleh Bahauddin Khurramsyahi, hlm. 63. Sebagian intelektual Muslim tidak menerima tafsiran menurut pandangan Aristoteles ini, dan mengatakan: “Penggerak pertama atau Tuhan (dalam pandangan Aristoteles) maknanya bukan jari pertama yang mewujudkan gerakan pertama, melainkan suatu kekuatan asasi yang sekarang juga ada dan gerakan alam sekarang ini pun bersumber darinya.” Murtadha Muthahhari, Majmu'Atsār, jil.11, hlm. 108.

asumsi-asumsi dari argumen Aristoteles ialah "rangkaian tak terhingga (tasalsul) adalah absurd" dan "tak ada penggerak satu pun yang dapat disebut penggerak dirinya." Setiap yang bergerak haruslah menemukan gerak melalui suatu faktor (penggerak). ... dan faktor tersebut juga mendapatkan geraknya dari faktor bergerak lainnya. ... tentu saja rangkaian ini tidak bisa berlanjut hingga tak terbatas, melainkan mesti terdapat suatu pengerak awal. ... dan "penggerak awal" ini haruslah tidak bergerak, ... tunggal, dan kekal."(1) Di antara pemikir Kristen, Thomas Aquinas menyebut argumen gerak sebagai dalil paling penting untuk pembuktian wujud Tuhan.(2) Sebagian filsuf Muslim pun-seperti Ibn Miskawaih (W. 421 H) dan Ibn Rusyd (520–595 H)-menyatakan implikasi argumen ini lebih baik dan lebih terang dari dalil-dalil teologis lainnya.(3) Mulla Sadra juga menerima argumen ini dan menyebutnya sama atau sepadan dengan argumen kebaruan (hudūts) karena para teolog mengaitkan antara "kebaruan" dan "gerak" dan untuk membuktikan kebaruan benda-benda atau materi (pada umumnya) berargumentasi seperti ini:

"Tak satu pun benda (materi) yang kosong dari gerak dan diam, gerak dan diam adalah hal-hal yang termasuk baru dan segala sesuatu yang tidak kosong dari hal-hal yang baru, ia sendiri adalah baru." Ia sendiri (Mulla Sadra) berusaha menyempurnakan kedua argumen ini dengan menggunakan teori "gerak substansial"-nya.(4) Dari sisi lain, sebagian pemikir kontemporer berkeyakinan bahwa teori "gerak substansial"

p: 86


1- Aristoteles, Thabi iyyāt, terjemahan Parsi oleh Mahdi Farahshad, hlm. 229 dan 273-274 (Kitab Haftum wa Hastum). Silakan lihat: Aristoteles, Metafizik [Metaphysic), terjemahan Parsi oleh Syarafuddin Khurasani, hlm. 395–407 dan 1071-1074.
2- Frederick Copleston, Aquinas, hlm. 123.
3- Abu Ali Miska way, al-Fauz al-Ashgar, hlm. 20-21; Leo Elders, Ilāhiyyat-e Falsafi Tomas Aquinas [The Philosophical Theology of St. Thomas Aquinas), terjemahan Parsi oleh Syahabuddin Abbasi, hlm. 172-223 (dinukil dari Ibn Rusyd).
4- Shadr al-Mutha'allihin al-Syirazi, al-Hikmah al-Muta'āliyah, jil. 6, hlm. 44-47. Dalam hal ini pula, silakan lihat Abdullah Jawadi Amuli, Mabdā wa Ma'ād, hlm. 202-205.

tidak menyelesaikan kekurangan mendasar kedua argumen gerak dan argumen kebaruan.

Gerak substansial dengan seluruh layanan yang dilakukannya dalam menyelesaikan dan mengembangkan kedua argumen kebaruan dan gerak, belum menutupi kekurangan atau kecacatan mendasar kedua argumen ini dalam membuktikan zat wajib. ... sumber yang abstrak dan nonmateri tersebut adalah penggerak dan pembaru (muhaddits) benda-benda natural, ia sendiri dapat berupa wujud nonmateri atau kekal dan pada saat yang sama kontingen dan butuh.

Dengan dalil ini, selama tidak dibantu dengan argumen imkān dan wujūb, penalaran (reasoning) atas suatu realitas yang di dalam zatnya ia wajib dan tidak butuh yang lain, tidak akan berakhir.(1) DISKUSIKAN DAN PIKIRKAN Beragam Ulasan Argumen Gerak Argumen gerak mempunyai ragam yang berbeda- beda. Bentuk yang paling luas dari argumen ini dimulai dengan premis-premis bahwa di alam terdapat "suatu gerak". Kemudian dengan mengisyaratkan butuhnya gerak kepada penggerak, serta absurdnya daur dan tasalsul, keberadaan wujud penggerak yang tidak bergerak akan terbukti. Ulasan-ulasan lain argumen ini, dalam premis pertama, menunjuk kepada suatu gerakan-gerakan khusus seperti "gerakan bintang-gemintang" dan "gerakan jiwa".

Pada masing-masing bagian ini, selain dari sebab pelaku gerak (prime mover), sebab tujuannya (sebab akhir) pun dapat ditemukan.

Dalam menjelaskan argumen terakhir (sebab tujuan gerakan jiwa), dikatakan seperti ini, (2) "Gerak adalah pencarian. Setiap pencarian butuh kepada yang dicari.

Jiwa manusia ketika sampai pada setiap yang dicari, tidak

p: 87


1- Abdullah Jawadi Amuli, Tabyīn-e Barāhin-e Itsbāte Khudā, hlm. 174.
2- Ulasan dari argumen gerak ini, sama atau setara dengan salah satu di antara ulasan-ulasan argumen fitrah yang akan dijelaskan dalam lanjutan pasal ini.

merasa tenang dan menginginkan sesuatu yang lebih tinggi. Ketenangan sempurna hanya dapat dicapai dengan pencapaian Tuhan (sampai kepada Tuhan). (1)

Argumen Keteraturan (Argument from Design)

Salah satu argumen yang telah dikenal secara umum dalam membuktikan wujud Tuhan adalah argumen yang populer dikalangan filsuf dan pemikir Muslim sebagai "argumen keteraturan" dan terkadang-dengan mengadopsi dari sebagian riwayat(2) — disebut dengan argument from design. Padanan argumen ini dalam kamus Barat adalah sesuatu yang biasanya mereka namakan dengan argumen teleologis. (3) Ketika kita berbicara tentang satu kesatuan atau kumpulan yang dimaksud ialah kerjasama atau saling pengertian di antara bagian- bagian dan anggotanya untuk sampai kepada suatu tujuan tunggal.

Sebagai contoh, bagian-bagian suatu alat dengan sistem teratur seperti jam sedemikian rupa berada berdampingan di mana setiap bagian menyempurnakan bagian lain dan membantu kesatuan bulat ini untuk mencapai tujuan yang diinginkan (yaitu menunjukkan waktu).

Berdasarkan hal ini, dalam konsep keteraturan, akar kedua unsur "kerjasama atau saling pengertian" dan "bertujuan" dapat dicari.

Sebagian memilah kedua unsur yang disebutkan (yaitu kerjasama dan bertujuan) antara satu dengan lainnya, masing-masing disebutnya sebagai penjelasan jenis khusus dari keteraturan (atau desain dan pengaturan).(4) Sebagian dari penulis Barat menambahkan bagian

p: 88


1- Shadr al-Mutha'allihin al-Syirazi, al-Hikmah al-Muta'āliyah, jil. 6, hlm. 42-44; Mulla Hadi Sabzewari, Syarh al-Manzūmah, Qism al-Hikmah, hlm. 147-148; Mulla Hadi Sabzawari, Asrār al-Hikam, hlm. 10; Murtadha Muthahhari, Syarh Manzhūmah, jil. 2, hlm. 159-164; Abdullah Jawadi Amuli, Mabdā wa Ma'ād, hlm. 200-201.
2- "Kafā bītiqanis sun 1 laha ayatun." Muhammad Baqir al-Majlisi, Bihār al-Anwār, jil. 4, hlm. 222. "Wattaqanu sun u al-falaki al-dawār.." Bihār al-Anwār, jil. 84, hlm. 339.
3- Nama lain argumen ini di Barat adalah “the argument from design”
4- Silakan lihat Murtadha muthahhari, Majmu'Atsār, jil. 6 (Ushul Falsafah wa Rawesye Realism), hlm. 949-952; jil. 4, hlm. 105; Ja'far Subhani, al-Ilāhiyyāt, jil. 1, hlm. 43-49; Ja'far al-Hadi, Allah Khāliq al-Kaun, hlm. 196-214.

ketiga di sini (dalam bentuk keteraturan estetis)(1) dan secara umum, melakukan pembedaan di antara ketiga jenis keteraturan (estetis, bertujuan, dan kausatif). (2) Sebagian lainnya, dengan mengisyaratkan poin bahwa masing-masing dari tiga jenis keteraturan tersebut dapat ditelusuri dalam "satu persatu" bagian-bagian alam atau "seluruh-nya" atau "keduanya", menyebut argumen keteraturan terdiri dari sembilan bagian.(3) Bagaimanapun juga, pengajuan argumen semacam ini- sebagaimana argumen sebelumnya-memiliki latar belakang yang panjang, sedemikian panjang di mana sebagian jejaknya dapat pula ditemukan dalam perkataan-perkataan Socrates (469—399 SM) dan Plato. (4) Filsuf dan orator besar Roma, Cicero (106—43 SM) menyebutkan pula bahwa argumen keteraturan adalah argumen paling penting dalam membuktikan eksistensi tuhan-tuhan.(5) Aquinas pun mengkhususkan jalan kelima dari lima jalannya kepada argumen ini dan menyebut pula perkataan Paulus (sekitar 3—62 M)(6) tidak kosong dengan isyarat atas argumen ini.(7) Dalam ayat-ayat dan riwayat-riwayat Islam pun, isyarat kepada pengaturan yang berlaku atas alam semesta-sebagai tanda wujud Tuhan atau sifat-sifat tinggi-Nya-banyak ditemukan, sebagaimana dalam pandangan Imam Ali, keteraturan dan keselarasan di antara fenomena-fenomena serta pengaturan yang berlaku di dalamnya sedemikian rupa seakan-akan seluruh makhluk yang tampak diam,

p: 89


1- "Ketika unsur-unsur berbeda membuat contoh di mana kita dalam memersepsinya menikmati puncak kelezatan, kita dapat berbicara tentang estetika atau melakukan kebaikan (istihsān).
2- William Alston, “Burhān Hadaf Syenākhti” [Teleological Argument), dalam: Khudā dar Falsafah, terjemahan Parsi oleh Bahauddin Khurramsyahi, hlm. 80.
3- Mustafa Malikiyan, Naqd wa Barrasi Burhān Nazhm (Diktat), hlm. 35; penulis ini pula terkadang menamakan sumber pembagian jenis-jenis ini dengan desain dan keteraturan" dan menyebutnya terdiri dari tiga ba gian: teratur, bertujuan, dan estetik. Silakan lihat Mustafa Malikiyan, Naqd wa Barrasi Burhān Nazhm (Diktat), hlm. 43–44.
4- Silakan lihat John Hick (ed.), Itsbāt Wujūd Khudāwand, hlm. 86-261.
5- Cicero, The Nature of the Gods, diterjemahkan oleh Horace C.P. Mc Gregor, hlm. 129 (Buku 2).
6- Surat Paulus kepada orang-orang Roma 1: 20.
7- Silakan lihat John Hick (ed.), Itsbāt Wujūd Khudāwand, hlm. 103 dan 255. Menurut sebagian orang Kristen, Yeremia menyimpulkan dari kebanyakan sifat-sifat Tuhan dengan berpegang pula pada keteraturan yang ada pada alam. Silakan lihat Richard Swinburn, Ayā Khudai Hast Is there a God?), terjemahan Parsi oleh Muhammad Jawidan, hlm. 98.

membuka mulut dan berbicara dengan Tuhan Yang Mahakuasa lagi bijaksana:

"Pada apa yang diciptakan-Nya, tampak efek-efek penciptaan serta tanda-tanda kebijaksanaan-Nya, sebagaimana bahwa segala apa yang diciptakan-Nya adalah argumen bagi-Nya dan tanda atas kekuasaan dan kebijaksanaan-Nya. Dan meskipun ciptaan terlihat diam, tetapi bagi pengaturan-Nya tampak benderang dan merupakan dalil yang cukup bagi pengada atau pencipta."(1) Para pemikir dunia Islam pun dengan berpegang pada warisan pemikiran ini, menyebutkan argumen keteraturan sebagai salah satu di antara argumen-argumen pembuktian wujud Tuhan.

Sekelompok teolog menyebut argumen ini-dengan alasan dapat terpahami oleh seluruh lapisan masyarakat dan di samping wujud Tuhan, sebagian sifat-sifat-Nya (seperti ilmu dan kuasa) pun dapat dibuktikan-memiliki keistimewaan tersendiri serta banyak berbicara tentangnya secara terperinci.(2) Bukan hanya dalam kitab-kitab teologi, dalam ungkapan-ungkapan para filsuf Muslim sekalipun, khususnya sebelum terbentuknya argumen-argumen khusus filosofis, argumen ini dapat disaksikan, sebagaimana al-Kindi mengatakan:

"Sesungguhnya keteraturan dan ketertiban fenomena-fenomena ala serta kekokohan susunannya merupakan dalil terbesar bagi adanya pengaturan paling tangguh dan kebijakan paling kuat karena bagi setiap pengaturan ada pengatur dan bagi setiap kebijaksanaan ada hakim karena semua hal ini adalah berpasangan (mutadhāifayn)."(3) Dalam beberapa abad terakhir, mengemuka pembahasan secara luas tentang argumen keteraturan di antara pemikir Barat. Orang- orang seperti William Paley (1743–1805 M) dan Fredrick Tennant

p: 90


1- Nahj al-Balāghah, Khotbah 91, hlm. 75-76. Begitu pula, silakan lihat Khotbah 165, hlm. 171; Khotbah 185, hlm. 197–199.
2- Sebagai contoh, silakan lihat Ja'far Subhani, al-Ilāhiyyāt, jil. 1, hlm. 33-59; Ja'far al-Hadi, Allāhu Khāliq al-Kaun, hlm. 154-281. Perlu disebutkan pula bahwa Kant, meskipun meyebut argumen ini tidak sempurna, menyatakan bahwa ia patut dihormati serta merupakan argumen paling cocok dengan akal umum manusia. Silakan lihat Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, diterjemahkan oleh J.M.D Meiklejohn, hlm. 349.
3- Ya'qub Ibn Ishaq al-Kindi, "Al-abānatu 'an al-illat al-fāilati al-qarībah li al-kauni wa al-fasādi”, dalam Muhammad Abdurrahman Marhaba, al-Kindi, Falsafatuhu, Muntahabāt, hlm. 165.

(1866–1957 M) membela keras validitas argumen ini.(1) Paley dengan mengomparasikan alam semesta dengan sebuah jam, menekankan poin ini bahwa keteraturan dan ketertiban sebagaimana yang berlaku pada jam-dalam tingkatan yang jauh lebih tinggi-juga terlihat pada alam natural.

Menurutnya, bahkan jika untuk pertama kalinya kita berhadapan dengan suatu jam atau terkadang dalam proses kerjanya kita melihat ada ketidakaturan dan kita tidak mengetahui fungsi sebagian organ- organnya, tetap saja kita tidak mampu mengabaikan pembuat jam.(2) Tennant berkeyakinan pula bahwa desain teleologis alam, sedemikian apik dan sistemik sehingga menjadikannya berpotensi bagi kemunculan dan keberlangsungan makluk-makhluk, ketelitian-ketelitian akal manusia, pelampiasan hasrat, atau keinginan-keinginan estetis serta penyempurnaan moral manusia.(3) Sebagian penulis lainnya hadir pula membantu argumen keteraturan dengan menulis karya-karya tentang keajaiban-keajaiban alam penciptaan.(4) Dari sisi lain, orang-orang seperti David Hume dengan begitu keras melakukan serangan terhadap argumen ini dan menurut anggapan sebagian orang ia telah menghilangkan daya gunanya. (5)

p: 91


1- Terjemahan sebagian dari karya Paley dan Tennant, terdapat pada sumber berikut: John Hick (ed.), Itsbāt Wujūd Khudāwand, hlm. 121-125; 146-166.
2- John Hick (ed.), Itsbāt Wujūd Khudāwand, hlm. 122–123.
3- Silakan lihat Mustafa Malikiyan, Naqd wa Barrasi Burhān Nazhm, hlm. 78-81; Mustafa Malikiyan, Masāil Jadid Kalāmi, hlm. 153-154; William Alston "Burhān Hadaf Syenākhti" [Teleological Argument] dalam: Khudā dar Falsafah, terjemahan Parsi oleh Bahauddin Khurramsyahi, hlm. 88-89.
4- Sebagai contoh, silakan lihat John Clover Monsema (ed.), Itsbāt Wujūd Khudā (Majmu' Maqālāt) [the Evidence of God in an Expanding Universe), terjemahan Parsi oleh Ahmad Aram et. al.; Cressy Morrison, Rāz Afarinesy Insān Man Does Not Stand Alone), terjemahan Parsi oleh Muhammad Saidi. Morrison di akhir bukunya (hlm. 186) menulis, “Dalam berhadapan dengan seluruh bukti-bukti dan dalil-dalil yang tidak dapat diingkari ini ... apakah akal mengizinkan bahwa ... kita katakan: kehidupan dan keberadaan kita secara global bersumber dari suatu kebetulan!”
5- Silakan lihat John Hick, Falsafah Dīn (Philosophy of Religion), terjemahan Parsi oleh Behzad Saleki, hlm. 64.

DISKUSIKAN DAN PIKIRKAN Argumen Keteraturan dan Pengatur-Pengatur yang Berbeda-beda Salah satu objeksi dan kritikan David Hume terhadap argumen keteraturan adalah seperti ini: "Beberapa orang saling membantu dalam membangun sebuah rumah atau kapal atau membangun suatu kota ... mengapa sesembahan atau tuhan-tuhan yang berbeda-beda seperti ini tidak boleh berpartisipasi dalam persiapan dan pembentukan satu alam?"(1) Syahid Muthahhari dengan mengisyaratkan keberatan-keberatan semacam ini mengatakan: "Hume ...

mengira orang-orang yang percaya Tuhan menyimpulkan seluruh masalah-masalah teologi dengan satu argumen dan itu adalah argumen keteraturan." Diskusikanlah tentang objeksi ini dan kritiknya, antara satu dengan yang lain!(2) Beberapa penulis mengulas beberapa objeksi dan kritikan David Hume dengan berbagai bentuk yang sedikit banyaknya berbeda dan mereka tidak sepakat dalam beberapa hal di antaranya.(3) Sepertinya salah satu kritikan mendasar tersebut ialah suatu objeksi yang dengan berpegang pada keburukan-keburukan yang terjadi di alam, mempermasalahkan premis minor (adanya keteraturan pada alam).(4) Keberatan kedua David Hume-yang menyebut premis mayor pada argumen tersebut belum lengkap atau tidak selesai (implikasi

p: 92


1- John hick (ed.), Itsbāt Wujūd Khudāwand, hlm. 129.
2- Murtadha Muthahhari, Majmu'Ātsār, jil. 1, hlm. 550.
3- Laporan lengkap tentang keberatan-keberatan Hume (dan terkadang terjemahan beberapa redaksinya) beserta kritikan-kritikan mereka terdapat dalam sumber-sumber berikut ini: Popkin Owerum Straw, Kulliyāt Falsafah (Philosophy Made Easy), terjemahan Parsi oleh Sayid Jalaluddin Mujtabavi, hlm. 211-232; Murtadha Muthahhari, Majmu'Atsār, jil. 1 (Ilal Gerāyesy-hā beh Māddigary), hlm. 537-551; jil. 8 (Darsha Ilahiyāt Syifa), hlm. 453-480; Ja'far al-Hadi, Allāh Khāliq al-Kaun, hlm. 241–281.
4- Pada bagian lima, kami akan berbicara secara detail tentang masalah keburukan.

keteraturan kepada wujud pengatur)-adalah yang akan kita bahas sekarang ini.

eksi: Keteraturan dan keselarasan tidak mesti adalah hasil pengaturan dan desain sebelumnya. Bahkan [hasilnya] terkadang timbul secara perlahan dengan eksperimen dan kesalahan. Menurut Hume, ketika kita menyaksikan sebuah kapal, pada awalnya mungkin kita menganggap pembuatnya sangat terampil dan ahli, tetapi pada akhirnya dengan sangat heran kita memahami kenyataan bahwa dia adalah seorang dungu dan lamban yang hanya sekedar meniru orang-orang sebelumnya. Seni atau keterampilan yang diwarisinya di sepanjang tahun setelah melakukan percobaan, kesalahan-kesalahan, pembenahan-pembenahan, dan diskusi-diskusi yang banyak, berbentuk kekinian seperti sekarang ini. Berdasarkan hal ini, mungkin sangat banyak alam-alam yang telah rusak dan hancur hingga pada akhirnya timbul keteraturan atau sistem terkini ini."(1) Sebagian di antara penulis seperti John Hospers (1918–M) mengangkat teori Darwin dalam mendukung objeksi David Hume.

Menurut Hospers, sejak ribuan tahun silam terdapat orang-orang yang telah berupaya menjelaskan kemunculan dan kesempurnaan makhluk- makhluk hidup dengan mengajukan pelbagai teori tanpa berpegang pada adanya pengatur alam. Teoretisasi ini mencapai puncaknya melalui Darwin dan kekurangan-kekurangan yang tersisa setelahnya pun telah terselesaikan. "Darwin mengemukakan suatu asumsi di mana berdasarkan itu, makhluk-makhluk hidup melalui pertarungan kelangsungan hidup (struggle for the fittest), secara perlahan mulai dari makhluk bersel satu yang paling sederhana hingga paling rumitnya makhluk berkulit mengalami penyempurnaan (evolusi)." (2) Berdasarkan hal ini, mekanisme yang berkuasa atas makhluk-makhluk serta keselarasan yang ada di antara mereka adalah hal yang sepenuhnya

p: 93


1- David Hume, Dialogues Concerning Natural Religion, bag. 5, hlm. 130.
2- Penerjemahan kata evolution menjadi pernyempurnaan (takāmul)-meski sudah diterima secara luas-merupakan terjemahan yang kurang lengkap dan keliru. Sesuatu yang dibicarakan dalam teori Darwin adalah evolusi dan perubahan (tathawwur dan tahawwul) bukan penyempurnaan (takāmul). Begitu pula, ketimbang menggunakan sebutan "keberlangsungan yang lebih layak (baqa ashlāh, survival of the fittest)" seharusnya menggunakan sebutan "keberlangsungan yang lebih dekat hubungannya (baqā ansāb)"; John Hospers, Falsafah Dīn [Philosophy of Religion], hlm. 99.

bersifat kebetulan, bukan hasil desain dan pengaturan sebelumnya.

Sebagai misal, kuping binatang-binatang pemangsa merunduk ke depan dan binatang-binatang yang dimangsa senantiasa merunduk kebelakang bukan karena alasan terencana dan desain dari suatu pengatur yang cerdas, melainkan binatang-binatang yang disebabkan "loncatan loncatan acak atau bersifat kebetulan" memiliki kuping-kuping seperti ini, melebihi yang lain mampu beradaptasi dengan lingkungannya dan tetap tinggal."(1) Telaah dan Kritik Jawaban atas objeksi dan kritikan yang telah disebutkan, kita mulai dari pernyataan-pernyataan Hume dan Hospers sendiri. Hume setelah melayangkan pukulan-pukulan kritis, pada akhirnya sampai pada kesimpulan bahwa "argumen keteraturan meskipun bukan argumen valid, tetapi memuaskan dalam batas tertentu."(2) Hospers pun, kendati mengerahkan seluruh kemampuannya dalam mengkritisi argumen-argumen pembuktian wujud Tuhan, setelah mengangkat teori Darwin, mengakui ketidaklengkapan objeksi yang telah disebutkan seperti ini, "Walaupun demikian, kebatilan asumsi akan adanya pengatur tidak dapat ditunjukkan melalui jalan ini. Seseorang yang sejak awal telah percaya dengan keteraturan, bahkan dengan menerima seluruh kesimpulan teori Darwin sekalipun, tetap dapat teguh dalam keyakinannya. (3) Orang seperti ini dalam membela kepercayaannya dapat mengatakan bahwa sebelumnya Tuhan digambarkan menciptakan seluruh jenis-jenis [mahkhluk] dalam sesaat, tetapi sekarang kita meyakini bahwa Tuhan demi terealisasinya keteraturan yang

p: 94


1- Silakan lihat William Alston, "Burhān Hadaf Syenākhti" [Teleological Argument) dalam: Khudā dar Falsafah, terjemahan Parsi oleh Bahauddin Khurramsyahi, hlm. 84-85; Michael Peterson et. al., "Aql wa I'tiqād Dīni hlm. 154.
2- Popkin, Kulliyāt Falsafah, hlm. 231.
3- Darwin sendiri mengatakan: Saya tidak bisa membayangkan bahwa adalah mungkin alam besar nan agung ini dan pengetahuan dalam individu-individu manusia, timbul dengan hukum kebetulan. Dan hal ini pula dalam pandangan saya merupakan dalil asli pembuktian wujud Tuhan. Saya sama sekali tidak pernah mengingkari Tuhan dan saya melihat teori evolusi selaras dengan kepercayaan kepada Tuhan. Levon Myenard, Shenashai wa Hasti [Existence)] terjemahan Parsi oleh Ali Murad Dawudi, hlm. 396.

diinginkan-Nya, memilih proses penyempurnaan secara perlahan dan gradual. Berdasarkan ini, sesuatu yang mengalami perubahan adalah metode realisasi keteraturan, bukan prinsipnya.(1) Para pemikir Muslim pun-dengan pernyataan-pernyataan yang mirip dengan pernyataan Hospers-menegaskan poin ini bahwa perubahan tiba-tiba (daf i) dari suatu fenomena tidak akan menambah atau semakin menguatkan dugaan atas kebutuhan pada pengatur, sebagaimana gradualitasnya pun tidak akan mengurangi atau memperkecil dugaan tersebut. Di samping itu, prinsip kemampuan teori Darwin untuk menjelaskan bagaimana proses terbentuknya organ- organ rumit makhluk hidup sangat diragukan. Syahid Muthahhari dengan mengisyaratkan kepada sistem penglihatan yang rumit, mengatakan:

"Jika semua perubahan-perubahan yang tampak pada tubuh makhluk hidup sejenis tabir atau sekat di sela-sela jari-jari kaki sebagian jenis burung, mungkin saja kita mengatakan bahwa secara kebetulan muncul di sela-sela jemari kaki seekor burung dan sekat ini bermanfaat untuk ia berenang di dalam air. ... tetapi sebagian organ-organ bermanfaat dan diperlukan makhluk hidup-dalam bentuk suatu sistem rumit yang sangat mengagungkan-hanya dapat digunakan dan dimanfaatkan ketika mewujud dengan sistem sempurna, seperti sistem penglihatan yang begitu agung. Dalam hal-hal seperti ini, bagaimana kita dapat mengatakan bahwa secara kebetulan terjadi suatu perubahan pada tubuh makhluk hidup dan menjadikannya lebih utama untuk tinggal. (2)

p: 95


1- John Hospers, An Introduction to Philosophical Analysis, hlm. 219.
2- Murtadha Muthahhari, Majmu' Atsār, jil. 6 (Ushule Falsafah wa Rawesy-e Realism), hlm. 947– 948. Demikian juga lihat jil. 1 (llale Gerāyesy-e beh Māddigary), hlm. 517. Cressy Morrison, Rūz- Āfarinesy-e Insān [Man Does Not Stand Alone), terjemahan Parsi oleh Muhammad Saidi, hlm. 93

DISKUSIKAN DAN PIKIRKAN Argumen Keteraturan dan Perhitungan atas Perkiraan-Perkiraan(1) Bayangkan anak-anak yang duduk di depan komputer dan secara aksidental atau kebetulan menindih keyboard.

Apakah perkiraan bahwa hasil perbuatan salah satu di antara mereka adalah buku Ghulistan Sa di atau setidaknya bait ini: "Daun pepohonan hijau dalam pandangan terjaga setiap lembarnya adalah daftar pengetahuan?" Seberapa besar nilai perkiraan ini? Apakah kemunculan secara kebetulan organ-organ rumit makhluk-makhluk dapat disamakan dengan tersusunnya buku Ghulistan secara kebetulan? Sebagian pemikir dengan suatu perhitungan menunjukkan bahwa bahkan perkiraan kemunculan molekul-molekul secara aksidental merupakan sesuatu yang berada dalam tingkatan nol. (2) Bagaimanapun nilai perkiraan ini meskipun sangat kecil, tetapi tidak sampai pada tingkatan nol. Berdasarkan hal ini, segolongan dari para filsuf Muslim-berabad-abad sebelum David Hume menjejakkan kaki di alam eksistensi serta dikemukakannya teori Darwin-menyebut validitas argumen keteraturan tidak setingkat dengan argumen- argumen seperti imkān dan wujūb karena menurut mereka, argumen ini meskipun sangat menenangkan, tetapi perkiraan-perkiraan pengganti tidak sampai pada nol.(3) Diskusikanlah tentang pandangan ini serta kebenaran dan ketidakbenarannya, antara satu dengan yang lain!

p: 96


1- Silakan lihat Ja'far Subhani, al-Ilāhiyyāt, jil. 1, hlm. 51–55; Muhammad Baqir Shadr, Mal Fatāwa al- Wādhihah, jil. 1, hlm. 31-50, Cressy Morrison, Rāz Afarinesy Insān, hlm. 183-187; Michael Peterson et. al., 'Aql wa I'tiqād Dīnī, hlm. 157-158.
2- Silakan lihat Pierre Lecomte Du Nouy, Sarnewesyt Basyar (Human Destiny], terjemahan Parsi oleh Abdullah Intizam, hlm. 45; Khudā dar Falsafah (Majmu' Maqūlāt), terjemahan Parsi oleh Bahauddin Khurramsyahi, hlm. 181.
3- Silakan lihat Abdullah Jawadi Amuli, Tabyīn Barāhin Itsbāt Khudā, hlm. 231-235.

Argumen Fitrah

Argumen Fitrah (1) Menurut kebanyakan ilmuwan, watak atau tabiat manusia terhubung dengan Tuhan dalam dua dimensi visi atau pandangan- pandangan dan tendensi atau kecenderungan-kecenderungan, sedemikian sehingga masalah teological dan deist dapat disebut sebagai hal-hal yang fitrawi (innate). Pengetahuan fitrawi tentang Tuhan dapat dikaji dalam dua wilayah ilmu; hudhuri dan hushuli. Pengetahuan fitrawi (deist) tersebut tampak dalam pelbagai bentuk seperti teisme, pencarian kesempurnaan, dan pencarian Tuhan. (2) Pengetahuan fitrawi tentang Tuhan Salah satu makna kefitrahan pengetahuan tentang Tuhan ialah bahwa semua manusia mendapati Tuhan dengan ilmu hudhuri dan jika karat-karat kelalaian tersingkirkan, (3) mereka akan melihat wujud-Nya lebih terang dari segala sesuatu.(4) Sebagian mufasir, menyebut ayat "Apakah ada keraguan pada Allah pencipta langit dan bumi" (QS Ibrāhim [14]: 10) sebagai penjelasan akan hal ini. (5) Imam Husain dalam doa Arafah berseru lirih, "Eksistensi manakah yang lebih tampak dari- Mu sehingga menjadi pengenal-Mu! Kapankah Engkau gaib dari kami sehingga butuh kepada dalil dan petunjuk! dan Kapankah Engkau jauh dari kami sehingga ciptaan-ciptaan-Mu mendekatkan kami kepada-Mu! Sungguh buta mata yang tidak melihat-Mu!" (6) Berdasarkan hal itu, kebanyakan pemikir Muslim berkeyakinan bahwa sesuatu yang mencegah sebagian besar orang untuk

p: 97


1- Sebagian dari ulasan-ulasan argumen fitrah, pada hakikatnya merupakan suatu argumen atas tidak butuhnya pembuktian Tuhan pada argumen.
2- Muhammad Taqi Misbah Yazdi, Ma'ārif Qurān, jil. 1-3, hlm. 35–36; Murtadha Muthahhari, Fithrat, hlm. 257-261.
3- Untuk telaah lebih jauh tentang poin ini, silakan rujuk bagian dua buku ini.
4- Abdullah Jawadi Amuli, Mabdā 'wa Ma'ād, hlm. 81–82.
5- Sebagai contoh, silakan lihat Fakhruddin al-Razi, al-Tafsīr al-Kabīr, jil. 19, hlm. 72–73. Tentu saja, menurut pandangan orang-orang seperti Allamah Thabathabai, ayat ini hendak membuktikan salah satu dari tingkatan-tingkatan tauhid (tauhid dalam ketuhanan), bukan pengenalan fitrawi terhadap Tuhan. Muhammad Husain Thabathabai, al-Mizān, jil. 12, hlm. 26==27.
6- Muhammad Baqir Majlisi, Bihār al-Anwār, jil. 95, hlm. 226.

menyaksikan keindahan Tuhan ialah kuatnya penampakan-Nya. (1) "Wahai yang tersembunyi lantaran begitu terang cahaya-Nya-yang tampak dan yang batin dalam ketertampilan-Nya." (2) Dengan kata lain, eksistensi Tuhan ada dalam kejelasan yang sempurna, meskipun penglihatan orang-orang yang tenggelam dalam materi, tidak melihat- Nya; sebagaimana seekor kelelawar lebih jelas melihat jalannya dalam kegelapan malam dibandingkan di hari yang terang. (3) Selain penjelasan-penjelasan irfan ini, penjelasan-penjelasan filosofis digunakan pula untuk kehudhurian dan kefitrian teologi; sebagaimana filsuf terkemuka Prancis, Rene Descartes, setelah mengatasi keraguannya dengan proposisi "Aku berpikir, maka aku ada," dengan suatu penjelasan filosofis berkesimpulan bahwa sejak awal penciptaan manusia, konsep Tuhan telah tersimpan di dalam wujudnya "sehingga menyerupai suatu tanda yang ditempelkan pembuat produk kepada produknya."(4) Leibnitz (1646–1716 M) mendukung pula pandangan Descartes, ia mengatakan: "Saya selalu berpendapat dan sekarang pun masih berpendapat bahwa konsep Tuhan-sebagaimana yang diyakini Descartes-adalah fitrawi. (5) Sebagian ilmuwan Barat lainnya pun dengan mengemukakan bahwa masalah kepercayaan terhadap wujud Tuhan tidak butuh kepada pengajaran dan pembelajaran, mengatakan:

"Pada saat Adam diciptakan, ia percaya kepada Tuhan."(6) Pengetahuan hushuli terhadap Tuhan juga dapat bersifat fitrawi.

Orang-orang yang menyebut pengetahuan terhadap Tuhan adalah

p: 98


1- Qāla Abu al-Hasan al-Amiri fi ba dhi kutubihi fi shifati al-bāri: dzuhuruhu mana a min idrākihi, lā khafāuhu. Undzhur ilā al-syams; hal mana aka min muqābilati qurshuha illā sulthānu syu āauha wa intisyaru nuuruhā! Abu Sulaiman Sajistani, Shawān al-Hikmah, hlm. 310. Terjemahan Parsi oleh Abu al-Hasan Amiri dalam sebagian kitabnya dalam menyifati Tuhan berkata: Sesuatu yang menjadikan kita tidak mampu melihat (mengetahui) Tuhan adalah kejelasan-Nya (kebenderangan-Nya), bukan ketersembunyian-Nya. Lihatlah matahari, apakah sesuatu selain keluasan dan dominannya sorotan cahaya, mencegahmu untuk melihat secara langsung kepada bola matahari?
2- Mulla Hadi Sabzawari, Syarh al-Manzhumah, Qism al-Hikmah, hlm. 5.
3- Muhammad al-Ghazali, Ihyā 'Ulūm al-Dīn, jil. 4, hlm. 338-339 (al-Mahabbah).
4- Rene Descartes, Ta'ammulāt Meditations, terjemahan Parsi oleh Ahmad Ahmadi, hlm. 70. Begitu pula, silakan lihat Etienne Gilson, Naqd Tafakkur Falsafi Garb, terjemahan Parsi oleh Ahmad Ahmadi, hlm. 171-175.
5- Freiderick Capleston, Tārikh-e Falsafah, jil. 4, terjemahan Parsi oleh Ghulam Ridha Awani, hlm. 405.
6- Paul Edwards, Burhān-hā Ijma' Ām (Common Consent Arguments), dalam: Khudā dar Falsafah, terjemahan Parsi oleh Bahauddin Khurramsyahi, hlm. 137 dinukil dari Charles Hocge.

badihi (swabukti) dan tidak memerlukan penalaran (reasoning), dalam kenyataannya berkeyakinan bahwa watak (fitrah) manusia dicipta dengan pengetahuan seperti ini. Berdasarkan pandangan yang masyhur, proposisi-proposisi badihi (aksiomatis) ilmu hushuli terdiri dari enam bagian: [1]proposisi-proposisi primer (awwaliyyāt), [2] proposisi-proposisi penyaksian (musyahadāt) yang meliputi proposisi-proposisi indriawi (hissiyyāt) dan proposisi-proposisi kesadaran (wijdāniyyat), [3] proposisi-proposisi empiris (tajrubiyyāt), [4] proposisi-proposisi mutawatir (mutawatirāt), [5] proposisi- proposisi intuitif (hadsiyyāt), [6] proposisi-proposisi fitrawi (fitriyyāt). (1) Orang-orang yang menyebut pengetahuan hushuli terhadap Tuhan sebagai badihi dapat menyatakan proposisi "Tuhan ada" sebagai hasil dari proposisi-proposisi primer, proposisi-proposisi kesadaran, dan proposisi-proposisi fitrawi. (2) Proposisi-proposisi primer ialah suatu proposisi-proposisi yang apabila subjek dan predikatnya kita gambarkan secara benar dan memperhatikan hubungan antara keduanya, maka dengan segera kita akan membenarkan atau menerimanya, misalnya, "Bergabungnya dua kontradiksi adalah mustahil." Proposisi-proposisi kesadaran (wijdaniyyāt) disebut sebagai suatu proposisi-proposisi yang melazimkan ilmu hudhuri, misalnya: "Saya sedang lapar." Dan yang dimaksud proposisi-proposisi fitrawi (fitriyyāt) dalam ilmu Logika adalah suatu proposisi-proposisi seperti, "Dua puluh adalah separuh dari empat puluh" di mana dalilnya ada bersamanya. Artinya, untuk menerima atau membenarkan proposisi-proposisi semacam ini-berlawanan dengan proposisi-proposisi primer-tidak cukup dengan hanya menggambarkan subjek dan predikat serta hubungan antara keduanya, meskipun demikian, dalil yang menjadikan tetapnya predikat bagi subjek akan hadir dalam akal dengan sedikit perenungan.

Bagaimanapun, apabila proposisi "Tuhan ada" kita tempatkan pada salah satu di antara bagian-bagian proposisi-proposisi

p: 99


1- Silakan lihat Muhammad Ridha al-Muzhaffar, al-Mantiq, hlm. 282–289.
2- Silakan lihat Askari Sulaimani Amiri, Naqd-e Burhan Nāpaziri-e Wujūd-e khudā, hlm. 168-172.

badihi (swabukti) ini, maka kita telah menyebut pengetahuan tentang Tuhan (teologi) sebagai suatu hal yang bersifat fitrawi. (1) DISKUSIKAN DAN PIKIRKAN Mengetahui Tuhan dengan Jalan Ilmu Hushuli Aksiomatis (badihi) a. Sebagian penulis mengajukan perkiraan ini bahwa mungkin Anslem dapat disebut sebagai salah seorang yang menyebut pernyataan yang menempatkan wujud Tuhan sebagai proposisi-proposisi primer, karena pada hakikatnya, perkataan Anslem bahwa penggambaran subjek proposisi secara benar (yaitu Tuhan) akan menyampaikan kita kepada konsep berikut, "Suatu enitas di mana lebih sempurna darinya tidak dapat tergambarkan." Pada saat itu pembuktian eksistensi bagi subjek seperti ini tidak akan butuh dengan aktivitas lain. (2) Bagaimanakah Anda menilai perkiraan ini? b. Orang-orang seperti Taftazani (722–792 H) menyebutkan bahwa kebanyakan di antara argumen- argumen pembuktian wujud Tuhan mengisyaratkan suatu hal yang bersifat fitrawi: "Inna iftigara al-mumkin ilā al-mujīd wa al-hādits ilā al-muhaddist dharūriyun tusyhadu bihi al-fitratu (Sesungguhnya perlunya mumkin kepada pewujud dan hadis kepada muhaddist adalah kemestian yang tersaksikan dengannya fitrah)."(3) Menurut Anda, apakah proposisi-proposisi seperti "mumkin al-wujūd memastikan adanya wājib

p: 100


1- Sebagaimana tampak dengan jelas, fitrawi di sini tidak terbatasi dalam proposisi-proposisi fitri pada ilmu Logika, ia memiliki makna yang lebih luas darinya.
2- Ali Sirwani, Syerest Insān, hlm. 90-91.
3- Saiduddin Taftazani, Syarh al-Maqūsid, jil. 4, hlm. 23. Begitu pula, silakan lihat Fakhruddin al- Razi, al- Mabāhits al-Masyriqiyyah, jil. 2, hlm. 471; Miqdad bin Abdullah Sayuri, al-Lawāmi al- Ilahiyyah, hlm. 129.

al-wujūd" dapat disebut sebagai proposisi-proposisi fitrawi (innate)?" (1) Kecenderungan fitrawi terhadap Tuhan (deist) Sebagian dari kecenderungan-kecenderungan manusia seperti:

pencari Tuhan dan penyembah Tuhan dapat digolongkan sebagai hal-hal yang bersifat fitrawi. (2) Poin ini bahkan, dalam pandangan sebagian ilmuwan-ilmuwan yang tidak percaya kepada Tuhan sekalipun, juga diakui. (3) Menurut sebagian pemikir, salah satu bukti kefitrian kecenderungan-kecenderungan seperti ini ialah tak satu pun golongan masyarakat yang dapat ditemui,di mana individu- individu di dalamnya, meskipun terdapat perbedaan suku dan budaya, tidak berupaya mencari Tuhan(4) dan tidak patuh (sembah sujud) di hadapan sesuatu yang mereka anggap sebagai Tuhan.

Dari sisi lain, sebagian sosiolog-untuk menunjukkan ketidakbenaran klaim atau pernyataan-pernyataan semacam ini, berbicara tentang suatu golongan-golongan masyarakat yang bahkan tidak memiliki konsepsi tentang Tuhan sekalipun. (5) Bagaimanapun, segolongan urafa Muslim memberikan penjelasan tentang kecenderungan fitrawi terhadap Tuhan sedemikian rupa hingga keberatan-keberatan tersebut tidak sampai merusaknya. Dengan menggunakan kedua premis di bawah ini, mereka meyimpulkan bahwa bahkan mereka yang secara terang-terangan mengingkari Tuhan-tanpa mereka sadari-sedang berada dalam proses pencarian Tuhan.

a. Semua manusia berupaya mencapai kesempurnaan mutlak.

b. Kesempurnaan mutlak adalah Tuhan itu sendiri.

Salah satu bukti kebenaran premis pertama ialah tak satu pun manusia (baik dalam rangka mencapai kekuatan maupun menumpuk atau

p: 101


1- Silakan lihat Abdullah Jawadi Amuli, Mabdā 'wa Ma'ād, hlm. 105-107.
2- Murtadha Muthahhari, Majmu'Atsār, jil. 6 (Ushul Falsafah wa Rawesy Realism), hlm. 934.
3- Paul Edwards, “Burhān-hā ljmā' Ām” [Common Consent Arguments), dalam: Khudā dar Falsafah, terjemahan Parsi oleh Bahauddin Khurramsyahi, hlm. 157-158.
4- Muhammad Taqi Misbah Yazdi, Ma'ārif Qur'ān, jil. 1-3, hlm. 35.
5- Paul Edwards, "Burhān-hā- Ijmā Ām", dalam: Khudā dar Falsafah, terjemahan Parsi oleh Bahauddin Khurramsyahi, hlm. 136-147.

mengumpulkan ilmu pengetahuan dan selainnya) merasa puas dengan tingkat kesempurnaan yang telah dicapainya saat ini dan ia senantiasa mencari kesempurnaan yang lebih tinggi darinya. (1) Imam Khomeini (1281–1368 S) dalam pesan historisnya kepada pemimpin Uni Soviet dengan mengisyaratkan kepada argumen ini, menulis: "Manusia dalam fitrahnya menghendaki setiap bentuk kesempurnaan secara mutlak dan Anda tahu dengan baik bahwa manusia ingin menjadi kekuatan mutlak dunia dan tidak bergantung pada kekuatan apa pun yang sifatnya cacat atau tidak sempurna. Jika alam berada dalam kendali-Nya, lalu dikatakan bahwa alam yang lain masih ada, maka secara fitrah ia menginginkan agar alam yang lain tersebut berada dalam kendali-Nya.

Manusia, seukuran apa pun ia berilmu kemudian dikatakan bahwa ilmu-ilmu lainnya masih ada, maka secara fitrah ia menginginkan pula untuk mempelajari ilmu-ilmu tersebut. Dengan demikian, kekuatan dan ilmu mutlak haruslah ada, sehingga manusia bergantung kepadanya dan itu adalah Tuhan Yang Mahatinggi, di mana kita semua memperhatikannya, meskipun kita sendiri tidak mengetahuinya." (2) Sebagian dari kalangan pemikir Barat pun dengan sebuah analisis yang sama, mengatakan bahwa: "Manusia memiliki kecenderungan fitrawi terhadap kebahagian dan kebaikan, tetapi tidak mampu memenuhinya secara lengkap dan sempurna dalam kebaikan-kebaikan yang terbatas atau sekumpulan darinya. Oleh karena itu, kebaikan agung mesti ada; jika tidak demikian, akan terjadi kerusakan mendasar dalam kerja dan muatan alam natural."(3) Keberatan yang sama dari semua argumen-argumen yang menyatakan kecenderungan terhadap Tuhan sebagai suatu jalan yang bersifat mandiri guna membuktikan wujud Tuhan ialah bahwa bagaimana bisa dari adanya sebuah kecenderungan dalam diri manusia (meskipun itu bersifat umum), dapat menyimpulkan keberadaan objeknya?

p: 102


1- Muhammah Ali Syah Abadi, Rusyhāt al-Bihār, al-Insān wa al-Fitrah, hlm. 35-37 dan 48–55.
2- Abdullah Jawadi Amuli, Awāye Tawhid (Syarh Name Imām Khomeini beh Gorbachef), hlm. 12. Begitu pula, silakan lihat Imam Khomeini, Syarh Cihil Hadits, hlm. 128 dan 181-184; Imam Khomeini, Ādāb al-Shalāh, hlm. 117 dan 288; Shahife-ye Imām, jil. 14, hlm. 205–210.
3- Leo Elders, Ilahiyāt Falsafi Thomas Aquinas, terjemahan Parsi oleh Syahabuddin Abbasi, hlm. 295.

Jawaban yang biasanya diberikan terhadap keberatan seperti ini adalah tak ada seorang pun pecinta tanpa adanya sosok yang dicintai dan tak ada seorang pun pengasih tanpa adanya sosok kekasih, sebagaimana tiadanya sesuatu yang tinggi tanpa adanya sesuatu yang rendah. (1) Akan tetapi, apakah tidak memungkinkan mencintai sesuatu yang bersifat fantasi (kecintaan atau kekasih imajinatif)? Salah satu jawaban para pembela pandangan yang telah disebutkan adalah karena kecintaan merupakan suatu hal yang nyata, maka tidak akan pernah berkaitan dengan kekasih (yang dicintai) yang tidak nyata, meskipun mungkin saja terkadang terjadi kesalahan dalam mengenali sosok yang dicintai. Untuk lebih jelas mengenai apa yang dimaksud, analogi di bawah berikut dapat diterapkan: adanya rasa haus dalam diri manusia menunjukkan adanya air di alam nyata dan kenyataan bahwa sebagian orang menyangka fatamorgana adalah air, tidak akan merusak klaim tersebut. (2) Jawaban ini terasa masih kurang sempurna. Kemestian pernyataan ini adalah jika saat ini seluruh air-air yang ada di alam ini habis atau tiada, maka tak ada lagi seorang pun yang akan merasakan haus pada dirinya! Jawaban lain-yang mengingatkan argumen wujud Anselm–ialah bahwa jika kecintaan fitrawi manusia hanya ada dalam akal, maka ia bukan lagi keberadaan yang sempurna, sementara asumsinya adalah bahwa manusia secara fitrah menghendaki kesempurnaan mutlak. (3)

p: 103


1- Muhammad Husain Thabathabai, al-Mizān, jil. 12, hal. 272.
2- Abdullah Jawadi Amuli, Tabyīn Barāhin Itsbāt Khudā, hlm. 282–290. Begitu pula, silakan lihat Muhammad Ali Syah Abadi, Rusyhāt al-Bihār, al-Insān wa al-Fitrah, hlm. 238-240.
3- "Isyq fi li syumā ma syuq fi li khāhad.wa na tawānad in mauhum wa mutahayyil bāsyad; zirā keh mauhum nāqish ast wa fithrat mutawajjeh beh kāmil ast" (cinta aktualmu ini menginginkan kecintaan aktual pula dan kecintaan ini tidak dapat berupa khayalan dan fantasi karena khayalan atau fantasi adalah kekurangan sementara fitrah mengarah pada kesempurnaan), Imam Khomeini, Syarh-e Cihil Hadits, hlm. 184.

DISKUSIKAN DAN PIKIRKAN Hikmah dan Fitrah 1. Sebagian orang guna menjawab pertanyaan bahwa "bagaimana kecenderungan fitrah manusia kepada Tuhan dapat disebut sebagai suatu dalil dalam membuktikan wujud-Nya?" berlindung di balik hikmah yang ada dalam sistem penciptaan dan mengemukakan poin bahwa jika Tuhan tiada, maka adanya kecenderungan seperti ini akan menjadi sia-sia; persis seperti adanya mata dan telinga, tetapi cahaya untuk penglihatan serta suara untuk pendengaran tidak ada. (1) Sebagian lainnya, dalam suatu penjelasan yang mirip, berbicara tentang kemaksuman fitrah.(2) 2. Kebanyakan pemikir, setelah pembuktian wujud Tuhan dan sifat-sifat-Nya, menjadikan kecenderungan manusia kepada keabadian sebagai suatu dalil atas adanya kehidupan setelah mati. Menurut mereka, jika jalan untuk melampiaskan kecenderungan ini tidak ada, keberadaannya akan menjadi batal dan sia-sia. (3) Menurut Anda, apakah kedua argumentasi ini sama antara satu dengan lainnya? Mengapa?(4) Poin yang mesti kita tekankan di sini ialah jika pengetahuan terhadap Tuhan kita sebut sebagai suatu hal yang fitrawi dan merupakan jenis dari ilmu hudhuri, maka keberadaan Tuhan tidak memerlukan pembuktian dan persepsi tentangnya pun tidak akan

p: 104


1- Silakan lihat Paul Edwards, "Burhān-hā Ijma' Am", dalam: Khudā dar Falsafah, terjemahan Parsi oleh Bahauddin Khurramsyahi, hlm. 140-141.
2- Muhammah Ali Syah Abadi, Rusyhāt al-Bihār, al-Insān wa al-Fitrah, hlm. 49, 240, 253,262, 263, 265.
3- Sebagai contoh, silakan lihat Shadr al-Muta'allihin Syirazi, al-Hikmat al-Muta āliyah, jil. 9, hlm. 241; Mulla Muhsin Faidh Kasyani,'Ilm al-Yaqin, jil. 2, hlm. 837-838.
4- Silakan lihat Abdullah Jawadi Amuli, Mabdā 'wa Ma'ād, hlm. 114-117; Paul Edwards, "Burhān-hā ljmā Ām", dalam: Khudā dar Falsafah, terjemahan Parsi oleh Bahauddin Khurramsyahi, hlm. 142.

bisa salah, meskipun berpegang pada pengetahuan seperti ini, sesuatu hal yang bersifat personal-dalam berhadapan dengan orang- orang yang mengingkari wujud Tuhan tidaklah begitu berguna. Akan tetapi, jika kecenderungan terhadap Tuhan (dalam bentuk pencarian kesempurnaan) kita sebut sebagai suatu hal yang fitrawi, dengan terpaksa, guna membuktian wujud Tuhan, kita harus menempuh jalan ilmu hushuli. Bagaimanapun, kedua klaim atau pernyataan di bawah ini sangatlah berjarak:

a. Manusia pertama-tama "menyaksikan Tuhan Yang Mahatinggi, kemudian cenderung kepada-Nya." b. Karena cenderung kepada-Nya dan kecenderungan adalah suatu hakikat keterhubungan dan bukan tanpa objek, maka Tuhan Yang Mahatinggi ada. (1)

Beberapa Argumen Lainnya

Selain dari pada argumen-argumen yang telah disebutkan, beberapa argumen lainnya dapat pula ditemui dalam karya-karya para pemikir Timur dan Barat yang akan kami sebutkan sebagian di antaranya secara sepintas di sini(2). Adapun kritik terhadapnya akan kami lalui.

Walaupun demikian, upaya kami adalah agar pembaca dapat mengetahui bagaimana perbedaan dan saling silang (tadakhul) sebagian di antara argumen-argumen berikut ini dengan argumen-argumen sebelumnya yang telah kita bicarakan.(3)

p: 105


1- Silakan lihat Abdullah Jawadi Amuli, Mabdā wa Ma'ād, hlm. 86.
2- Untuk mengetahui sebagian argumen lainnya yang kami tidak bicarakan dalam bagian ini, silakan lihat Miqdad bin Abdullah Sayuri, al-Lawāmi al-Ilahiyyah, hlm. 129-131; Muhammad Abdurrahman Marhaba, al-Kindi, Falsafatuhu, Muntakhabāt, hlm. 92-94; Michael Peterson et al., 'Aql wa I'tiqad Dini, hlm. 167; Leo Elders, Ilahiyate Falsafi-e Thomas Aquinas, hlm. 171-175 dan 294-395; David Pailin, Mabāni Falsafah Dīn (Philosophy of Religion), terjemahan Parsi oleh Tim Penerjemah Parsi, hlm.319-322 dan 326-329. Cicero, The Nature of the Gods, diterjemahkan oleh Horace C.P. Mc Gregor, hlm. 128-129; Alvin Platingga, “God Arguments for the Existence of dalam Routledge Encyclopedia of Philosophy, vol. 4, hlm. 91–92.
3- Dalam kebanyakan pernyataan para penulis Timur dan Barat, poin ini sebagaimana mungkin dan seharusnya-belum dikaji dan telah terjadi banyak percampuran di sini.

Argumen Kesepakatan Umum Kalangan pemikir Barat menamakan salah satu dari argumen- argumen pembuktian wujud Tuhan dengan "argumen kesepakatan umum."(1) Sebagian ulasan argumen ini merupakan penjelasan atas inherenitas pengetahuan terhadap Tuhan atau kecenderungan terhadap-Nya. Oleh karena itu, kembali kepada argumen fitrah itu sendiri. Terdapat pula ulasan lainnya dari argumen ini yang lebih cocok dengan nama "kesepakatan umum" dan lebih menegaskan kepada universalitas(2) pengetahuan atau kecenderungan terhadap Tuhan menggantikan inherenitasnya.(3) Salah satu di antara ulasan tersebut bertumpu pada premis-premis di bawah ini:

a. Sepanjang sejarah, kepercayaan kepada Tuhan merupakan sesuatu hal yang bersifat universal.

b. Kepercayaan ini bersumber dari perintah akal yang bersifat pasti (jika panggilan akal bersifat tidak pasti, manusia tidak akan menerima kepercayaan seperti ini dengan begitu mudah, sebab manusia lebih mengutamakan kebebasan dari pada ketundukan).

C. Jika semua manusia dalam kepercayaan ini berada dalam kesalahan, maka kehujahan akal dipertanyakan dan kita akan mengarah kepada keraguan yang ekstrem.(4) Argumen Pengalaman Keagamaan Istilah pengalaman keagamaan-sebagaimana yang akan dijelaskan dalam bagian sembilan-mempunyai aplikasi-aplikasi yang beragam di mana dalam penggunaannya yang paling luas mencakup setiap jenis pengalaman yang terkait dengan kehidupan beragama.

Oleh karena itu, pengetahuan dan kecenderungan terhadap Tuhan dapat pula digolongkan ke dalam jenis pengalaman keagamaan. Jika

p: 106


1- Common consent argument
2- Meskipun hal yang fitri secara kaidah adalah universal (umum), tetapi tegaknya argumen fitrah bukan berdasarkan kesepakatan umum. Berdasarkan hal ini, bahkan seseorang yang hidup jauh dari masyarakat (misalnya dalam suatu gua), juga dapat menggunakan argumen fitrah.
3- Lihat Cicero, The Nature of the Gods, diterjemahkan oleh Horace C.P. McGregor, hlm. 125 (book II).
4- Paul Edwards, "Burhān-hā ljmā Ām” dalam: Khudā dar Falsafah, terjemahan Parsi oleh Bahauddin Khurramsyahi, hlm. 143.

pengalaman keagamaan dikemukakan dalam batasan pengalaman umum dan universal ini, maka ia tidak disebut sebagai suatu argumen yang mandiri dari argumen fitrah.

Dari sisi lain, terkadang yang dimaksud dengan istilah ini adalah pengalaman-pengalaman atau kondisi-kondisi khusus yang timbul akibat penyaksian kejadian-kejadian khusus dan luar biasa seperti mukjizat, karamah, dan kemustajaban doa, begitu pula dengan penyingkapan serta syuhūd irfani. (1) Kalangan ilmuwan Barat juga menggunakan pengalaman-pengalaman khusus ini-dalam bentuk argumen tersendiri (2) atau secara implisit dalam argumen pengalaman keagamaan(3)—guna membuktikan wujud Tuhan, walaupun pemikir Muslim pada umumnya menggunakan kejadian-kejadian seperti mukjizat hanya dalam pembahasan pembuktian kenabian.

Argumen Moral Filsuf terkemuka Jerman, Imanuel Kant menyebut argumen- argumen yang membuktikan wujud Tuhan melalui "akal teoretis" — seperti argumen ontologis dan teleologis-sebagai argumen tidak sempurna dan melakukan kritik atasnya.(4) Meskipun demikian, ia berkeyakinan bahwa berdasarkan "akal praktis" dan sebagai praasumsi hukum-hukum moral, eksistensi Tuhan harus diterima.(5) Menurut pendapat sebagian penulis Barat, argumen moral-seperti halnya argumen fitrah dan sebagian ulasan argumen pengalaman keagamaan-ketimbang mencari bukti-bukti keberadaan Tuhan di alam realitas, menelisik ke dalam batin dan hati nurani manusia,(6) dengan

p: 107


1- Silakan lihat John Hick, Falsafah Dīn (Philosophy of Religion), terjemahan Parsi oleh Behzad Saleki, hlm. 71-72.
2- Sebagaimana Richard Swinburn (1934 M) dalam buku the Existence of God memisahkan "argumen pengalaman keagamaan" dari "argumen melalui mukjizat" dan mengkhususkan bagian tersendiri untuk masing-masingnya (bagian 12 dan 13). Untuk telaah lebih jauh tentang bagaimana implikasi mukjizat atas wujud Tuhan, silakan lihat Mark Corner, Signs of God (Miracles and Their Interpretation).
3- John Hick (ed.), Itsbāt Wujūd Khudāwand, hlm. 187–200.
4- Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, diterjemahkan oleh J.M.D. Meiklejohn, hlm. 327–353.
5- Immanuel Kant, Critique of Practical Reason, diterjemahkan oleh Mary Gregor, hlm. 102–110 (B. II,Ch. II, sec. IV, dan V).
6- Ronald Hepburn, “Burhān-hā Tajrubah Dīn7" [Religious Experience Arguments] dalam: Khudā dar Falsafah, terjemahan Parsi oleh Bahauddin Khurramsyahi, hlm. 115.

kata lain disebut dengan argumen internal (anfusi). Argumen ini terdiri dari beberapa macam ulasan, di mana salah satu di antaranya akan dikemukan pada bagian dua belas (Agama dan Moralitas).

Argumen Derajat-Derajat Kesempurnaan Aquinas pada jalan keempat dari lima jalannya mendesain suatu argumen yang dikenal dengan argumen derajat-derajat kesempurnaan.

Berdasarkan argumen ini, kesempurnaan-kesempurnaan terbatas dari fenomena-fenomena alam akan menuntun kita kepada suatu eksistensi di mana ia sendiri merupakan kesempurnaan mutlak dan sumber dari segala kesempurnaan. Premis-premis argumen ini dapat dipilah antara satu dengan lainnya dalam bentuk seperti di bawah ini:

a. Dengan membandingkan wujud-wujud alam antara satu dengan lainnya, kita mendapati sebagian di antara mereka lebih baik, lebih mulia, dan lebih riil dari sebagian lainnya.

b. Setiap sifat terperinci (seperti lebih baik) merupakan penjelasan atas ukuran kemiripannya dengan suatu wujud yang memiliki sifat ini (seperti baik) dalam batasan yang lebih tinggi. Sebagai contoh, "ini lebih panas dari itu," yakni "kesamaan atau kemiripannya dengan wujud paling panas lebih banyak." C. Berdasarkan hal ini, ada sesuatu yang lebih riil, lebih baik, dan lebih mulia dari segala sesuatu dan kesimpulannya,(1) serta paling sempurnanya wujud-wujud.

d. Dari sisi lain-sebagaimana yang dikatakan Aristoteles-unit (fard) tertinggi setiap jenis (genus) adalah sebab bagi unit-unit yang lebih rendah, sebagaimana api-yang merupakan paling panasnya sesuatu-adalah sebab bagi panas-panas lainnya.

e. Berdasarkan hal itu, sesuatu mesti ada, di mana eksistensi, kebaikan, dan seluruh kesempurnaan-kesempurnaan wujud-

p: 108


1- Kesimpulannya, berdasarkan hal ini, menurut Aquinas seluruh kesempurnaan bersumber dari wujud, sebagaimana Copleston dalam menjelaskan mukadimah ini mengatakan, "Mengingat kebaikan dan kebagusan adalah suatu istilah yang dapat digantikan dengan wujud dan keberadaan; bermakna seperti ini bahwa sesuatu yang baik dan bagus, memiliki kebaikan selama ia memiliki keberadaan; kebaikan transendental adalah keberadaan transenden itu sendiri yang merupakan sumber dan sebab keberadaan seluruh eksistensi.” John Hick (ed.), Itsbāt Wujud Khudāwand, hlm. 110.

wujud yang lain bersumber darinya. Hal ini adalah wujud itu sendiri, di mana kita menamakan-Nya sebagai Tuhan.

Kesimpulan

1. Dalil-dalil pembuktian wujud Tuhan dapat dibagi ke dalam tiga bagian: 1) Dalil-dalil yang hanya dengan bersandar pada "konsep" wujud (ada) membuktikan objek aslinya (ashīl). 2) Dalil-dalil yang menjadikan "objek tak tertentu" dari wujud (atau wujud secara mutlak) sebagai perantara pembuktian Tuhan. 3) Dalil-dalil yang guna membuktikan wujud Tuhan, memanfaatkan "objek-objek tertentu" dari wujud-seperti wujud hadīts (baru) atau mumkin (kontingen). Dua dalil pertama secara berurutan dinamakan argumen ontologis (barāhin-e wujūdī) dan argumen shiddiqīn.

2. Tumpuan argumen ontologis Anselm adalah pada poin bahwa jika "keberadaan paling sempurna yang dapat digambarkan" tidak ada di luar pikiran (zihn), maka ketika itu "keberadaan paling sempurna yang dapat digambarkan" tidak akan ada.

3. Sebagian pemikir Muslim pun mengajukan argumen ontologis dengan makna seperti ini: "tidak akan pernah bekumpul dua kontradiksi. Oleh karena itu, hakikat keberadaan (hakikat wujud) secara esensial tidak akan menerima ketiadaan ('adam), dan [dengan demikian) ia merupakan wājib al-wujūd." 4. Kritik utama argumen ontologis adalah pembauran antara konsep dan objek (predikasi esensial primer (primary essential predication)" dan "predikasi teknis umum (common technical predication)).

5. Argumen shiddiqin-seperti halnya argumen ontologis-dimulai dengan perenungan dalam "eksistensi", tetapi bukan dalam konsepnya, melainkan suatu eksistensi riil dan eksternal yang mengenakan busana kewujudan serta dijelaskan dalam bentuk sebuah proposisi seperti "suatu keberadaan ada." 6. Argumen shiddiqin Ibn Sina dengan penjelasan yang sangat ringkas dari Muhaqqiq Thusi menyebutkan: "Suatu keberadaan, entah ia sendiri adalah wājib al-wujūd ataukah ia meniscayakannya; sebab,

p: 109

daur dan tasalsul atau rangkaian tak terhingga (infinite sequence) adalah absurd." 7. Shadr al-Muta`allihin,dengan memanfaatkan sebagian prinsip- prinsip filsafat Hikmah-memberikan ulasan argumen shiddiqin yang tidak memerlukan pembatalan daur dan tasalsul, di mana di dalamnya imkān fagri menggantikan imkūn māhiyah.

8. Terma kosmologis adalah suatu nama yang ditujukan kepada sekumpulan argumen-argumen di mana premis pertama mereka merupakan penjelasan suatu hukum tentang alam semesta (misalnya: alam adalah baru, bergerak, mumkin al-wujūd) dan premis keduanya mengambil bentuk prinsip kausalitas.

9. Jika premis pertama argumen shiddiqin Sinaian kita tempatkan proposisi "suatu mumkin al-wujūd adalah ada" menggantikan "suatu keberadaan adalah ada," maka kita akan mendapatkan ulasan argumen imkān dan wujūb.

10. David Hume mengkritik argumen imkān dan wujūb seperti ini:

setelah penjelasan kausatif bagian-bagian suatu kumpulan, kita tidak perlu mencari sebab keseluruhan kumpulan tersebut.

11. Jawaban terhadap kritikan ini ialah jika dalam satu rangkaian rantai kausalitas tidak ditemukan adanya wujud mandiri, di mana ia bukan akibat dari sebab yang lain, maka kemunculan setiap masing-masing dari rantai tersebut (bagian-bagian kumpulan) tidak akan memiliki penjelasan rasional.

12. Kebanyakan teolog Muslim menjadikan "kebaruan temporal (huduts zamānī)" alam semesta atau sebagian dari wujud-wujud di dalamnya sebagai perantara pembuktian eksistensi Tuhan.

Sekarang ini, sebagian kalangan Barat menemukan argumen ini sebagai argumentasi menarik dan menamakannya dengan argumen kosmologis kalam.

13. Argumen gerak, yang biasanya dikaitkan dengan nama Aristoteles, menyimpulkan eksistensi "penggerak yang tidak bergerak" melalui "gerak yang ada pada alam" atau "gerak bintang-bintang" atau "gerak jiwa."

p: 110

14. Argumen keteraturan-yang dinamakan pula dengan argument from design dan argumen teleologis-menyebut kesesuaian dan kebertujuan (fenomena-fenomena) alam menunjukkan adanya pengatur yang pintar.

15. David Hume dengan begitu keras melakukan serangan terhadap argumen ini dan menurut anggapan sebagian orang, ia telah menghilangkan daya gunanya.

16. Di samping kritik yang mempermasalahkan premis minor argumen keteraturan (adanya keteraturan pada alam), kritikan terpenting Hume-yang menyebut premis mayor argumen (implikasi keberaturan atas adanya pengatur) tidak lengkap-ialah seperti ini: keteraturan dan kesesuaian tidak mesti merupakan hasil desain dan pengaturan sebelumnya, melainkan terkadang muncul secara perlahan, dengan pengujian dan kesalahan. Para pengikut Hume dalam mengesahkan kritikan ini menggunakan pula teori Darwin.

17. Jawaban terhadap kritikan ini ialah bukan perubahan tiba- tiba suatu fenomena akan menambah kemungkinan butuh terhadap pengatur dan bukan pula perubahan perlahannya akan mengurangi kemungkinan tersebut. Di samping itu, kemampuan teori-teori seperti teori Darwin untuk menjelaskan bagaimana terbentuknya organ-organ rumit makhluk-makhluk hidup, masih sangat diragukan. Penggunaan hitungan perkiraan-perkiraan pun menunjukkan nilai kemungkinan ke-acak-an alam adalah sesuatu yang menghampiri nol.

18. Argumen fitrah terkadang menyebut pengetahuan ketuhanan (dalam dua ruang lingkup ilmu hudhuri dan ilmu hushuli) dan terkadang pula kecenderungan pada Tuhan (dalam bentuk-bentuk seperti pencarian Tuhan, penyembahan Tuhan, dan pencarian kesempurnaan) sebagai sesuatu hal yang bersifat fitrawi.

19. Pembuktian kecenderungan pada Tuhan sebagai hal yang bersifat fitrawi dengan bersandar pada pencarian kesempurnaan manusia bertumpu pada dua premis berikut: 1) Semua manusia sedang berupaya mencapai kesempurnaan mutlak; sebagaimana

p: 111

ketika mencapai tingkatan ilmu dan kekuatan apa pun, ia [senantiasa) mencari suatu tingkatan yang lebih tinggi darinya. 2) Kesempurnaan mutlak adalah Tuhan itu sendiri.

20. Salah satu ulasan argumen kesepakatan umum adalah: dengan memperhatikan keumuman keyakinan terhadap Tuhan, jika kita menyebut manusia-manusia dalam keyakinan ini sedang salah, kita telah mengingkari kehujjahan akal.

21. Menurut sebagian kalangan pemikir Barat, pengalaman religius kaum beriman pun dapat digunakan untuk membuktikan wujud Tuhan; khususnya bagian pengalaman-pengalaman khusus dan adikodrati (seperti pengalaman-pengalaman yang dihasilkan dari mukjizat, terkabulnya doa, dan penyaksian-penyaksian irfani).

22. Immanuel Kant berkeyakinan bahwa Tuhan tidak dapat dibuktikan melalui akal teoretis; walaupun demikian, berdasarkan akal praktis dan sebagai asumsi-asumsi hukum-hukum etika, wujud Tuhan harus diterima.

23. Berdasarkan argumen yang dikenal dengan argumen derajat- derajat kesempurnaan, kesempurnaan-kesempurnaan terbatas fenomena-fenomena alam menuntun kita kepada suatu wujud di mana ia merupakan kesempurnaan mutlak serta sumber seluruh kesempurnaan-kesempurnaan.

Pertanyaan

1. Jelaskanlah maksud dari pertanyaan berikut serta cara menjawabnya! "Apakah Tuhan agama merupakan Tuhan filsafat itu sendiri?" 2. Bagaimanakah argumen-argumen pembuktian wujud Tuhan dapat dikelompokkan? Jelaskan! 3. Sambil mengulas argumen ontologis Anselm, bandingkanlah dengan argumen ontologis para pemikir Muslim! 4. Jelaskanlah kritik paling utama terhadap argumen-argumen ontologis!

p: 112

5. Apa yang dimaksud dengan argumen shiddiqin? Apa perbedaan dan kemiripan argumen ini dengan argumen ontologis? 6. Tulislah ulasan Ibn Sina atas argumen shiddiqin! 7. Apa yang dimaksud dengan argumen kosmologis? Mengapa ia disebut dengan nama ini? 8. Dengan mengisyaratkan sejarah singkat argumen imkān dan wujūb, jelaskanlah sisi perbedaannya dengan argumen shiddiqin Sinaian! 9. Keberatan apakah yang disebutkan oleh Hume terkait dengan argumen imkān dan wujūb? Tulislah jawabannya! 10. Dengan apakah argumen kebaruan (hudīts) tegak; adanya sesuatu yang baru atau kebaruan seluruh alam? Jelaskan! 11. Apa perbedaan ulasan Plato atas argumen gerak dengan ulasan Aristoteles? 12. Apa pandangan para filsuf muslim tentang dua argumen; kebaruan dan gerak? 13. Bagaimanakah tafsiran-tafsiran beragam atas istilah keteraturan dapat berujung pada bervariasinya argumen keteraturan? 14. Bagaimanakah kedudukan argumen keteraturan di tengah-tengah kalangan pemikir Timur dan Barat? Tulislah sebagian pandangan- pandangan yang ada! 15. Apa dua kritik utama Hume terhadap argumen keberaturan? 16. Apakah dengan berpegang pada teori Darwin, argumen keberaturan dapat disebut tidak lengkap? 17. Apa yang dimaksud dengan pengetahuan fitrawi terhadap Tuhan:

kefitrahan ilmu Hudhuri atau ilmu Hushuli? Jelaskan! 18. Bisakah menyebut Tuhan sebagai sesuatu yang bersifat fitrawi dengan bersandar pada "watak pencarian kesempurnaan" manusia? 19. Apakah dari kecenderungan fitrawi terhadap Tuhan dapat membuktikan wujud Tuhan? Bagaimana?

p: 113

20. Apakah argumen kesepakatan umum dapat diulas sedemikian rupa hingga ia berbeda dengan argumen fitrah? Jelaskan! 21. Apa argumen pengalaman keagamaan itu? Apakah argumen ini dapat dirujukkan kepada argumen fitrah? 22. Perkenalkanlah secara singkat argumen moral! 23. Jelaskanlah argumen derajat-derajat kesempurnaan dan tulislah pendapat Anda tentangnya!

p: 114

BAGIAN 4: SIFAT-SIFAT TUHAN

Point

"Semua yang berada di langit dan di bumi bertasbih kepada Allah (menyatakan kebesaran-Nya). Dan Dia-lah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana; Kepunyaan-Nya-lah kerajaan langit dan bumi. Dia menghidupkan dan mematikan, dan Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu; Dia-lah yang awal dan yang akhir, yang zahir dan yang batin, dan Dia maha mengetahui segala sesuatu," (QS Al-Hadid [57]: 1–3).

dalam pelbagai macam agama, pembahasan tentang sifat-sifat Tuhan senantiasa bernilai dan memiliki arti yang sangat besar.

Kebanyakan agama-agama menyebut eksistensi Tuhan sebagai sesuatu yang aksiomatis dan tak dapat diragukan, alih-alih mereka seharusnya membuktikan wujud Tuhan, mereka malah mengkaji dan menghitung sifat-sifat-Nya.

Segolongan dari kalangan kaum ateis dengan bersandar pada sifat-sifat yang diyakini oleh kaum penyembah Tuhan (theism), berbicara pula tentang kontradiksi internal dalam konsep Tuhan atau menganggap eksistensi Tuhan dengan sifat-sifat-Nya yang sedemikian rupa, tidak selaras dengan keberadaan peristiwa-peristiwa merugikan dan bencana-bencana alam seperti banjir dan gempa bumi yang secara terminologi dinamakan sebagai syurūr (keburukan-keburukan).

p: 115

Hari ini, kebanyakan orang-orang beriman masih menekankan pada pemahaman tradisional atas konsep Tuhan, tetapi segolongan dari mereka (khususnya di antara orang-orang Kristen) telah meninggalkan sebagian dari pandangan-pandangan lama (sebelumnya) tentang Tuhan, sebagai contoh, mereka tidak menyebut-Nya sebagai "berilmu" dan "berkuasa" secara mutlak.

Pada bagian ini, pertama-tama kami akan menyinggung pelbagai dimensi-dimensi pembahasan tentang sifat-sifat Tuhan, kemudian kami akan menjawab sebagian pertanyaan-pertanyaan tentang bagaimana keselarasan internal sifat-sifat ini.

Pelbagai Macam Dimensi Pembahasan Sifat-Sifat Tuhan

Pembahasan tentang sifat-sifat Tuhan-dengan memperhatikan berbagai macam aspek-aspek ontologis, epistemologis, etimologis- memunculkan pelbagai macam pertanyaan-pertanyaan, di mana yang paling penting di antaranya akan kami ulas di sini:

Kepemilikan Tuhan atas Sifat-Sifat

Salah satu di antara awal permasalahan dalam pembahasan sifat-sifat Tuhan ialah apakah secara mendasar Tuhan dapat disebut memiliki suatu sifat atau sifat-sifat? Segolongan pemikir Timur dan Barat secara gamblang menegaskan kesucian atau kemurnian Tuhan dari segala macam sifat, sebagaimana menurut Plotinus (sekitar 203—270 M): "Kita tidak dapat mengatributkan sifat apa pun kepada Tuhan karena Tuhan lebih unggul dari seluruh kesempurnaan."(1) Demikian juga dengan Qadhi Said al-Qummi (sekitar 1045–1103 H) seorang filsuf dan arif Syi'ah-mengikuti gurunya, Mulla Rajab Ali Tabrizi (W 1080 H)(2)–cenderung dan sangat mendukung pandangan ini. Salah satu di antara keberatan- keberatan atas pandangan tersebut, ia jawab demikian, "Sesungguhnya

p: 116


1- Leo Elders, Ilāhiyyāt Falsafi Thomas Aquinas [The Philosophical Theology of St. Thomas Aquinas), terjemahan Parsi oleh Syahabuddin Abbasi, hlm. 95. Begitu pula, silakan lihat Plotinus, Utulogia, hlm.62–71.
2- Silakan lihat Mulla Rajab Ali Tabrizi, "Itsbāt Wājib", dalam: Muntakhabat az Atsār Hukamā Ilahi Irān, jil.1, hlm. 252.

para nabi yang agung dan sebagian filsuf-filsuf besar menjadikan Wājib al-Wujūd (Mahatinggi kedudukan-Nya) tersifati dengan suatu sifat, disebabkan oleh keawaman dan kelalaian pemahaman (persepsi) mereka, bukan disebabkan bahwa Wājib al-Wujūd dalam kenyataannya dapat tersifati dengan suatu sifat dari sifat-sifat."(1) Yang tampak dalam pernyataan Qadhi Said al-Qummi ialah Tuhan tidak memiliki sifat dalam tingkatan apa pun, tetapi sebagian arif lainnya mengkhususkan penafian sifat-sifat pada maqam zat dan mengatakan, "Nama-nama dan sifat-sifat-qua nama-nama dan sifat- sifat-adalah terbatas dan bagi zat wajib tidak ada batasan. Oleh karena itu, seluruh nama-nama dan sifat-sifat dalam maqam tersebut menjadi terlarang, menghilang, dan tiada."(2) Pada sisi lain, dari perkataan orang-orang seperti Shadr al- Muta`allihin (979—1050 H) dipahami bahwa penerimaan gagasan yang menyatakan bahwa dalam tingkatan yang dikenal dengan "Ahadiyah"; nama, jejak, tanda, dan sifat yang tidak bisa dibicarakan, tidaklah bermakna penafian terhadap sifat-sifat Tuhan, tetapi apa yang "tidak tampak" (transenden) pada tingkatan ini, pada tingkatan selanjutnya, yang dalam terminologi para arif disebut dengan "Wāhidiyah" — menjadi terang dan tampak, "fi hadzihi al-martabat (al-Wāhīdiyyah) tatamayyaz al-shifāt ‘an al-dzāti wa tatamayyaz al-shifāti ba dhuha ‘an ba`dhin."(3) Pada tingkatan Wāhidiyah, sifat berbeda dari zat dan sifat-sifat (yang beraneka ragam) berbeda antara satu dengan lainnya.

Golongan lainnya menyatakan dalam suatu pernyataan yang- pada pandangan pertama-tampak kontradiktif, "Tuhan bukan baik dan bukan buruk, dan bukan dari keduanya. Dia bukan pemilik sifat- sifat dan bukan tanpa sifat-sifat."(4)

p: 117


1- Qadhi Said Qummi, Kelid-e Behesyt, hlm.70–71 .Begitu pula, silakan lihat Qadhi Said Qummi, Syarh Tawhid Shaduq, jil. 1, hlm. 116-122, 258, dan 297–299.
2- Muhammad Husain Husaini Tehrani, Tawhīd 'Ilmi wa Aini, hlm. 59. Dalam kitab ini telah dikumpulkan debat tertulis yang terjadi antara Sayid Ahmad Karbalai (w. 1332 H) dan Syekh Muhammad Husain Gharawi Esfahani (1296-1361 H). Sayid dengan sudut pandang irfan, menafikan segala bentuk sifat dari maqam zat Tuhan; dan Syekh dari sudut pandang filsafat, menyebut sifat-Nya sebagai diri zat itu sendiri. Telah diterbitkan dengan melampirkan pula catatan-catatan dari Allamah Thabathabai dan penulis buku.
3- Shadr al-Muta'allihin Syirazi (Mulla Sadra), al-Hikmat al-Muta āliyah, jil. 6, hlm. 284. Begitu pula, silakan lihat Dawud Qaishari, Syarh Fushūsh al-Hikam, jil. 1, hlm. 28.
4- Leo Elders, op. cit., hlm. 98 (dinukil dari filsuf Yunani, Albinus)

Hubungan Sifat-Sifat antara satu dengan Lainnya dan dengan Dzat

Pandangan yang diterima secara luas di kalangan para filsuf Muslim(1)dan para teolog Imamiyah(2) dan Muktazilah (3)adalah bahwa sifat-sifat Tuhan tidak memiliki wujud yang terpisah dengan zat-Nya, seluruh sifat-sifat ini adalah diri atau hakikat yang sama persis (identik) dengan zat itu sendiri dan oleh karena itu antara satu dengan lainnya adalah sama persis.

Kebanyakan arif Muslim menerima pandangan ini dengan suatu penafsiran khusus.(4) Para pemikir terkemuka Kristen dan Yahudi pun menyatakan dukungan atas pandangan ini, sebagaimana Thomas Aquinas (1225–1274 M) seorang teolog Kristen, mengatakan:

"Ketika kita menyebut seorang manusia dengan berakal, kita sedang mengisyaratkan sesuatu yang berbeda dengan substansi, kuasa, dan eksistensinya; sementara kebijakan dan kerasionalan Tuhan tidak terpisah dari zat, kuasa, dan eksistensi-Nya."(5) Spinoza (1632-1677 M) seorang filsuf keturunan Yahudi juga berkeyakinan bahwa: "Kuasa Tuhan sama persis dan identik dengan zat-Nya." (6) Para penulis Muslim menyandarkan pandangan ini kepada sebagian filsuf Yunani, seperti Empedocles (Abad ke-5 SM)(7) dan Aristoteles (385–322 SM).

"Aristoteles dalam sebagian buku-bukunya berkata, Tuhan adalah suatu

p: 118


1- Silakan lihat Abu Nashr Farabi, Arā Ahl al-Madinah al-Fadhilah, hlm. 47; Abu Nashr Farabi, al-Siyāsat al-Madinah, hlm. 45; Shadr al-Muta'allihin Syirazi (Mulla Sadra), al-Hikmah al- Muta āliyah, jil. 6, hlm. 124-149; Shadr al-Muta'allihin Syirazi (Mulla Sadra), al-Mabdā wa al- Ma'ād, jil. 1, hlm. 111-126.
2- Sebagai contoh, silakan lihat: Mushannafāt al-Syaykh al-Mufid, jil. 4 (Awāil al-Maqūlat), hlm. 52; Syekh Thusi, al-Iqtishād, hlm. 33; Syekh Thusi, al-Tibyān, jil. 6, hlm. 175 dan jil. 9, hlm. 547; Nashiruddin Thusi, al-Fushūl, hlm. 20; Allamah Hilli, Kasyf al-Murād, hlm. 296.
3- Silakan lihat Abu al-Hasan Asyari, Maqūlāt al-Islāmiyyin, hlm. 164; Mushannafāt al-Syaykh al- Mufid, jil. 4, (Awāil al-Maqūlat), hlm. 52; Muhammad bin Abdul Karim Syahristani, al-Milal wa al-Nihal, jil.1, hlm. 44.
4- Silakan lihat Ibn Arabi, al-Futuhāt al-Makkiyah, jil. 2, hlm. 686 dan jil. 4, hlm. 108; Abdurrazzaq Kasyani, Ta wilāt al-Qur'ān al-Karīm, jil. 2, hlm. 869 (Tafsir surah al-Ikhlas), Daud Qaishari, Syarh Fushush al-Hikam, jil. 1, hlm. 28; Muhammad bin Hamzah Fanari, Mishbāh al-Uns, terjemahan Parsi oleh Muhammad Khajawi, hlm. 34, 98, 126, 157, 207, dan 336.
5- Thomas Aquinas, Summa Theologica, 13, 5. Lihat juga, William E. Mann, “Simplicity and Immutability in God", dalam Thomas V. Morris (ed.) The Concept of God, hlm. 255; Donald G.Bloesch, God the Almighty, hlm. 40.
6- Spinoza, Akhlak [Ethics), terjemahan Parsi oleh Mohsin Jahangiri, hlm. 55.
7- Silakan lihat Qutbuddin Syirazi, Syarh Hikmat al-Isyrāq, hlm. 313 (Catatan pinggir Shadrul Muta`allihin dinukil dari Abu al-Hasan Amiri dalam al-Amad ala al-Abad, Muhammad bin Abdulkarim Syahristani, al Milal wa al-Nihal, jil. 2, hlm. 68.

eksistensi yang seluruhnya merupakan ilmu, kekuatan, kehidupan, pendengaran, dan penglihatan." (1) Bagaimanapun, salah satu dalil atas klaim ini adalah sebagaimana berikut:(2) • Apabila sifat-sifat Tuhan berbeda dengan zat-Nya, entah itu adalah Wājib al-Wujūd atau mumkin al-wujūd (dan merupakan akibat dari zat).

Kemestian (prasyarat) keadaan pertama ialah adanya beberapa Wājib al-Wujūd yang telah digugurkan oleh argumen-argumen tauhid.

Bentuk kedua (mumkin al-wujūd) setidaknya akan berhadapan pula dengan kritikan berikut, bahwa: Suatu zat yang sebelumnya tidak memiliki kesempurnaan, bagaimana dapat mewujudkan mereka!(3) Dalam beberapa riwayat dapat pula ditemukan bukti-bukti yang menguatkan pandangan ini, sebagaimana Imam Shadiq dengan menyinggung pendapat orang-orang yang menyebut pendengaran, penglihatan, pengetahuan, dan kuasa Tuhan diperantarai oleh suatu telinga, mata, ilmu, dan kuasa yang berbeda pada dzat-Nya, mendengar dengan pendengaran dan melihat dengan penglihatan dan tahu dengan ilmu dan kuasa dengan kekuasaan, berkata: "Seseorang yang berkata seperti ini serta meyakininya adalah musyrik. ... Tuhan adalah dzat yang diri-Nya-bukan dengan perantaraan sifat-sifat yang berbeda dari-Nya adalah Mahatahu, mendengar, melihat, dan kuasa."(4) Dalam suatu riwayat dari Imam Ridha disebutkan, "Dia yang Mahasuci dan Mahakuasa dengan zat-Nya bukan dengan kekuasaan."(5)

p: 119


1- Abu al-Hasan Asyari, Maqālāt al-Islāmiyyin, hlm. 485. Tentunya sebagian pernyataan-pernyataan yang dinis bahkan kepada Aristoteles oleh para cendekiawan muslim, pada hakikatnya diambil dari kitab Utulogia, di mana para filsuf seperti al-Farabi menyangkanya dari Aristoteles, sementara kitab ini memuat gagasan-gagasan dari Tāsuāt Apluthin (Disertai dengan perubahan di dalamnya).
2- Untuk mengetahui argumen-argumen lainnya, silakan lihat: Shadr al-Muta'allihin Syirazi (Mulla Sadra), al-Hikmat al-Muta āliyah, jil. 6, hlm. 125-135; Mulla Abdurrazzak Lahiji, Ghauhar Murād, hlm. 242-244; Mulla Hadi Sabzewari, Asrār al-Hikam, hlm. 50-52.
3- Mirip dengan argumen ini terdapat dalam sumber-sumber berikut ini: Syekh Shaduq, al-Tawhid, hlm. 223; Ibn Maitsam Bahrani, Qawā `id al-Marām, hlm. 101; Mulla Muhsin Faidh Kasyani, 'Ilm al-Yaqin, jil. 1, hlm. 58.
4- Syekh Shaduq, al-Tawhid, hlm. 144. Demikian pula, silakan lihat hlm. 65, 130, 131, 138, 140, 169, dan 245.
5- Syekh Shaduq, Uyūn Akhbār al-Ridhā, jil. 1, hlm. 96 (bab 11, hadis 7)

Orang-orang seperti Ibn Sina (370—428 H) melangkah lebih jauh dari apa yang telah ada sebelumnya (kesamaan objek antara zat dan sifat) dan menyebut pula sifat-sifat Tuhan yang beraneka ragam dari sudut pandang "konsep" (teori) sama antara satu dengan lainnya, (1) tetapi pandangan ini tidak didasari dengan suatu pijakan yang kokoh.(2) Terdapat pula orang-orang lainnya (golongan dari Muktazilah) yang menyebut zat Tuhan sebagi pengganti (wakil) dari sifat-sifat.(3) Syahristani (479–548 H) meletakkan suatu perbedaan antara pandangan ini-yang bernama teori delegasi zat dari sifat-sifat-dengan pandangan "kesamaan total ("ainiyyat)" seperti berikut: "Pada pandangan pertama, yakni teori delegasi, segala bentuk sifat-sifat akan ternafikan dari Tuhan, tetapi pada pendangan kedua, suatu zat akan terbukti sama persis dengan sifat-sifat atau suatu sifat di mana ia adalah zat itu sendiri."(4) Meski demikian, banyak ilmuwan yang menyebut padangan "delegasi zat dari sifat-sifat" sangat dekat dengan pandangan "kesamaan total (`ainiyyat)"(5) atau salah satu di antara tafsiran-tafsirannya, sebagaimana Mulla Muhammad Mahdi Naraqi (1128–1209 H) menempatkan delegasi sebagai salah satu dari tiga tafsiran "kesamaan" dan melakukan kritik atasnya. (6) Qadhi Abdul Jabbar Mu'tazili (W. 415 H) juga berkeyakinan bahwa, maksud sekelompok syekh Muktazilah yang menyebut Tuhan sebagai “Alimun bi ‘ilmin huwa-huwa" tidak lain adalah "Sesungguhnya Dia Yang Mahatinggi, mengetahui bukan dengan ilmu."(7) Dari perbandingan kedua kalimat Syekh Isyraq (549–587 H) berikut, akan tampak seperti bahwa seakan-akan ia pun memahami

p: 120


1- Silakan lihat Ibn Sina, al-Mabdū wa al-Ma'ād, hlm. 19-21.
2- Silakan lihat Shadr al-Muta'allihin Syirazi (Mulla Sadra), al-Hikmat al-Muta āliyah, jil. 6, hlm. 145-148; Mulla Hadi Sabzewari, Asrār al-Hikam, hlm. 54.
3- Silakan lihat Abu al-Hasan Asyari, al-Ibānat an Ushūl al-Diyānat, hlm. 143.
4- Muhammad bin Abdul Karim Syahristani, al-Milal wa al-Nihal, jil. 1, hlm. 50.
5- Silakan lihat Muhammad Taqi Misbah Yazdi, Ta ligāt alā Nihāyat al-Hikmah, hlm. 440.
6- Muhammad Mahdi Naraqi, Jāmi' al-Afkār, jil. 2, hlm. 361–363.
7- Qadhi Abdul Jabbar Mu'tazili, Syarh al-Ushūl Khamzah, hlm. 182-183. Sebagaimana jelas bahwa Qadhi Abdul Jabbar mengembalikan redaksi-redaksi yang tampak dalam kesamaan total (ainiyyat), kepada pewakilan (niyābat). Sebagian ulama lainnya dengan menjelaskan bahwa mungkin saja perdebatan atau pertentangan antara Muktazilah dan kaum filsuf bersifat verbal saja (lafzi), dari redaksi-redaksi yang mengesankan pewakilan (niyābat) diperoleh suatu tafsiran yang sesuai dengan kesamaan total (ainiyyat). Silakan lihat Muhammad Taqi Amuli, Durar al- Fawaid, jil. 1, hlm. 475.

"kesamaan total ("ainiyyat)" setara atau sama dengan "pewakilan (niyabat)":(1) a. Kehidupan Nür al-Anwār (Tuhan) dan pengetahuan Dia kepada zat-Nya, tidak berbeda dari zat-Nya.(2) b. Keberadaan yang kosong dari sifat-sifat, lebih sempurna dari keberadaan yang memiliki sifat-sifat, ketika keberadaan yang pertama dengan sendirinya juga memiliki kesempurnaan- kesempurnaan keberadaan yang kedua atau lebih dari itu.(3) Golongan Muslimin lainnya (Asy`ariah dan Karamiyyah) menyebut sifat-sifat Tuhan berbeda dengan zat-Nya. Asy`ariah menekankan ke-qadim-an (keabadian atau keazalian) sifat-sifat ini(4) dan Karamiyyah menyebut kebaruan (hadits) sifat pun dapat diterima. (5) PIKIRKAN DAN DISKUSIKAN Kesempurnaan Ikhlas Bagi-Nya adalah Penafian Sifat-Sifat Dari-Nya Sebagian sabda Imam Ali menjelaskan bahwa manusia Mukmin akan mencapai suatu keyakinan tulus dan murni ketika menafikan sifat-sifat dari Tuhan: "Kesempurnaan

p: 121


1- Di tempat lain, makna kedua redaksi ini seperti berikut: "lā sifatun lahu Zāidatun. Wa al-dzāt al-mustagniyatu 'an al-sifāti atammu min al-muftaqirati ilayhā." Seh Risālah az Syaikh Isyrāq, hlm. 149. Risālah al-Lamahāt.
2- Syihabuddin Suhrawardi, Majmu' Mushannafāt, jil. 2, hlm. 124. Begitu pula, silakan lihat: Seh Risāle az Syaikh Isyrāq, hlm. 98-99 (Risālah Kalimat al-Tashawwuf)
3- Majmu' Mushannafāt, jil. 1, hlm. 40. Begitu pula, silakan lihat hlm. 399.
4- Silakan lihat Abu al-Hasan Asyari, al-Luma, hlm. 26-31; Muhammad al-Ghazali, Thyā 'Ulūm al-Dīn, jil. 1, hlm. 131; Muhammad bin Abdulkarim Syahristani, al-Milal wa al-Nihal, jil. 1, hlm. 94-95.
5- Yang dimaksud dengan karamiyyah adalah para pengikut Muhammad bin Karram (w. 255 H) yang merupakan ahli tasybih (penyerupaan) dan tajsim (penjasadan). Berlawanan dengan apa yang terdapat dalam sebagian sumber (Silakan lihat: Miqdad bin Abdullah Sayuri, al-Nāfi Yaum al-Hasyri, hlm. 21; Muhammad Husain Thabathabai, Nihāyat al-Hikmah, jil. 4, hlm. 1118) mereka hanya menyebut sifat-sifat seperti irādah (kehendak) dan kalam sebagai baru atau hadis, bukan seluruh sifat-sifat Tuhan; sebagaimana Syahristani dalam menjelaskan akidah golongan ini mengatakan: "Apa yang disepakati oleh mereka dalam menetapkan sidat-sifat Tuhan adalah perkataan mereka bahwa Allah adalah alim (berilmu) dengan ilmu, berkuasa dengan kekuasaan (qudrah), hidup dengan kehidupan, berkehendak dengan kehendaknya. Dan keseluruhn sifat- sifat ini adalah sifat kadim, azali, "berdiri" dengan sendirinya." Al-Milal wa al-Nihal, jil. 1, hlm. 112.

tauhid adalah ikhlas kepadanya dan kesempurnaan ikhlas kepadanya adalah penafiaan sifat-sifat darinya. "(1) Pelbagai macam tafsiran atas perkataan ini telah dikemukakan. Berikut ini, kami akan menyebutkan yang paling penting di antaranya:

a. Orang-orang seperti Qadhi Said al-Qummi menyebut perkataan Imam Ali ini seperti halnya riwayat- riwayat lain-sebagai penjelasan tentang perlunya penafian segala bentuk sifat dari Tuhan.(2) b. Para teolog seperti Ibn Abil Hadid Mu'tazili (586–655 H) yang memahami zat Tuhan sebagai wakil seluruh sifat-sifat, menyebut perkataan Imam Ali sebagai sebuah ilham bagi kaum Muktazilah dalam masalah ini. (3) c. Kebanyakan teolog dan filsuf Imamiyah berkeyakinan bahwa yang dimaksud Imam Ali ialah penafian sifat-sifat yang berbeda dengan zat serta melekat atau menempel atasnya; khususnya dengan memperhatikan poin bahwa beliau sendiri berkali- kali memuji Tuhan dengan penggunaan sifat-sifat. (4) d. Berdasarkan sebuah penafsiran irfani, perkataan tersebut tengah menyinggung tingkatan suluk tertinggi yang di dalamnya, selain zat Tuhan (bahkan nama-nama dan sifat-sifat-Nya) sesuatu yang lain tidak tersaksikan.(5) Menurut Quthbuddin Rawandi (W 573 H) maksud perkataan ini ialah bahwa Tuhan mesti disebut terlepas atau terjauhkan dari sifat-sifat makhluk;

p: 122


1- Nahj al-Balāghah, Khotbah Pertama
2- Qadhi Said al-Qummi, Kelid Behesyt, hlm. 71-73
3- Ibn Abi al-Hadid, Syarh Nahj al-Balāghah, jil. 1, hlm. 74-77
4- Shadr al-Mutaallihin Syirazi, al-Hikmat al-Muta āliyah, jil. 6, hlm. 140; Muhammad Mahdi Naraqi, Jāmi' al-Afkār, jil. 2, hlm. 366; Mulla Hadi Sabzewari, Asrār al-Hikam, hlm. 60
5- Silakan lihat Dawud Qaishari, Syarh Fushush al-Hikam, jil. 1, hlm. 28; Muhammad Mahdi Naraqi, Jāmi' al-Afkār, jil. 2, hlm. 366; Mulla Hadi Sabzewari, Asrār al-Hikam, hlm. 60; Muhammad Husain Husaini Tehrani, Tawhid 'Ilmi wa Aini, hlm. 57.

sebagaimana pada lanjutan khotbah ini sendiri dalam menyifati malaikat-malaikat Ilahi dikatakan sebagai berikut: "Tidak berlaku atasnya sifat-sifat ciptaan."(1) f. Berdasarkan tafsiran lainnya, maksud Imam Ali adalah isyarah atas ketidakcukupan persepsi- persepsi seorang manusia dalam mengenal Tuhan; keterbatasan-keterbatasan manusiawi sedemikian berpengaruh dalam interpretasinya terhadap sifat-sifat Tuhan sehingga sifat-sifat seperti ini tidak mungkin dinisbahkan kepada Tuhan. (2) Diskusikanlah tentang tafsiran-tafsiran yang telah disebutkan, begitu pula dengan sisi perbedaannya!

Mungkinnya Mengetahui Sifat-Sifat Tuhan

Mayoritas orang-orang yang menyebut bahwa Tuhan mempunyai sifat-sifat, menekankan atas mungkinnya mengetahui sifat-sifat ini.

Dengan mengingatkan hal bahwa semua manusia dalam kemampuan semacam ini tidak sama antara satu dengan lainnya dan tak ada seorang pun yang dapat mengenal Tuhan sebagaimana layaknya Dia.

Berdasarkan hal ini, menurut pandangan al-Qur'an, selain golongan yang dinamakan dengan "orang-orang yang diikhlaskan (mukhlasin)", tak ada seorang pun yang mampu mendeskripsikan Tuhan, "Maha suci Allah dari apa yang mereka sifatkan, kecuali hamba-hamba Allah yang dibersihkan dari dosa (mukhlashin)," (QS Al-Shāffat [37]: 159– 160). Orang-orang ikhlas (para pemimpin maksum) pun mengakui ketidakberdayaan dan kelemahan diri mereka dalam memuja Tuhan, seperti ungkapan, "Aku tidak mampu menghitung pujian atasmu, sebagaimana Engkau memuji dirimu sendiri. "(3) Dalam sebuah hadis yang dinisbahkan kepada Imam Baqir juga kita baca seperti: "kullu mā mayyaztumuhu biauhāmikum-fi adaqqi

p: 123


1- Qutbuddin Rawandi, Minhāj al-Barā'ah, jil. 1, hlm. 45-49.
2- Muhammad Mahdi Naraqi, Jāmi' al-Afkār, jil. 2, hlm. 367.
3- Muhammad Baqir Majlisi, Bihār al-Anwār, jil. 82, hlm. 170; Shahih Muslim, jil. 1, hlm. 352 (Kitāb al-Shalāt bab. Mā yuqālu fi ruku' wa al-sujūd).

ma'āniyahu-makhlūgun mashnū un mitslukum mardūdun ilaykum. Wa la`allan namlu al-shigāra tatawahhamu annallāha ta`alā zabāniyatayn; fainna dzālika kamāluha wa tatawahhamu anna adamahumā nugshānun liman lā yattashifu bihimā. "(1) (Semua tipologi yang kalian capai dengan pemikiran-pemikiran kalian yang tidak sempurna dan setelah memurnikan mereka dari berbagai kekurangan, kalian nisbahkan kepada Tuhan dengan makna yang paling akurat adalah [ternilai] ciptaan seperti kalian dan kembali kepada kalian sendiri. Mungkin saja semut-semut kecil mengira bahwa Tuhan adalah dua antena ſalat peraba pada serangga] karena kepemilikan atas antena merupakan kesempurnaan bagi semut-semut dan menurut anggapan mereka setiap makhluk [entitas] yang tidak memiliki antena-antena ini adalah cacat [tidak sempurna]).(2)

Jalan Mengenal Sifat-Sifat Tuhan

Pelbagai macam agama telah menghitung sangat banyak nama nama dan sifat-sifat bagi Tuhan. (3) Untuk pembuktian banyaknya sifat- sifat ini, dapat pula digunakan argumen-argumen rasional; sebagaimana segolongan dari para filsuf dan teolog dengan melakukan analisis terhadap konsep "kemestian wujud (Wājib al-Wujūd)" menyimpulkan kebanyakan di antara sifat-sifat Tuhan yang lain.(4) Begitu pula, kapan

p: 124


1- Hadis ini dalam sumber-sumber asli riwayat - yang dapat dijangkau - tidak terlihat. Muhaqqiq Thusi (597-672 H) dalam Syarh Risalat al-Ilmi dan Ibn Maitsam Bahrani (w 679 H) dalam Syarh Nahj al-Balāghah mengutip hadis ini. Syekh Bahai (953–1031 H) dalam sebagian karya- karyanya (terkadang dengan merujuk pada risalah Muhaqqik Thusi) mengutip pula hadis ini. Silakan lihat Ibn Maitsam Bahrani, Syarh Nahj al-Balāghah, jil. 1, hlm. 110; Syekh Bahai, al- Arba'ūna Haditsan, hlm. 81 (hadis kedua); Syekh Bahai, al-Urwat al-Wutscā, hlm. 92-93; Syekh Bahai, Kasykul, terjemahan Parsi oleh Muhammad Baqir Saa'idi, jil. 2, hlm. 297-298.
2- Salah seorang filsuf Yunani kuno melantunkannya pula dalam syair seperti ini: "Kaum Habasyi (Afrika) menggambarkan tuhan-tuhan hitam dan berhidung besar, bangsa Trakia menggambarkan mereka bermata terang dan berambut keemasan. Sekiranya mereka dapat melukiskan sapi, kuda, dan singa, mereka akan melukis tuhan-tuhan dalam bentuk sapi, kuda, dan singa. Luciano De Crescenzo, Filosufān Buzurg Yunāni Bāstān (The History of Greek Philosophy), terjemahan Parsi oleh Abbas Baqiri, hlm. 99. Begitu pula, silakan lihat Émile Bréhier, Tārīkh Falsafah, terjemahan Parsi oleh Ali Murad Dawudi, jil. 1, hlm. 76; Syarafuddin Khurasani, Nukhustin Filosufān Yunan, hlm. 162.
3- Dalam sumber-sumber di bawah ini telah dibahas pandangan agama-agama Ibrahimi (Islam, Kristen, dan Yahudi) dan sebagian agama-agama non-Ibrahimi (ajaran Zoroaster, Hindu, Budha, dan Tao) tentang nama-nama dan sifat-sifat Tuhan: Marzie Shenkai, Barrasi Tathbiqi Asmā Ilahi.
4- Sebagai contoh, silakan lihat Ibn Sina, al-Syifā , al-Ilahiyyāt, hlm. 37–47 dan 343–370; Ibn Sina, al-Mabda wa al-Ma'ād, hlm. 2-21 dan 31-33; Allamah Hilli, Kasyf al-Murād, hlm. 290–301.Tentunya argumen-argumen pembuktian Tuhan, bersama dengan wujud-Nya, sifat dari sifat- sifatnya pun akan dibuktikannya; sesuatu yang akan dibuktikan dalam tingkatan pertama- dengan argumen-argumen ini, suatu keberadaan dengan nama-nama semacam ini: Wajib al- Wujūd, Pengada yang kekal (Muhdits Qadim), pengatur yang mengetahui dan penggerak yang tak bergerak.

saja "kesempurnaan mutlak" Tuhan dapat kita buktikan, maka kita dapat menisbahkan seluruh sifat-sifat kesempurnaan (seperti ilmu dan kuasa) secara mutlak dan tak terbatas kepada-Nya.(1) Berdasarkan hal ini, sebagian kalangan pemikir Kristen menyebut "argumen ontologis" Anselm-dengan memperhatikan definisi yang ia berikan tentang Tuhan: "Suatu keberadaan di mana lebih sempurna darinya tidak dapat digambarkan" —sebagai sebuah contoh jelas dari suatu cara pandang yang dapat dinamakan dengan "teologi yang didasari dengan keberadaan sempurna"(2) serta menyebutnya seperti sebuah kawat yang menghubungkan sifat-sifat Tuhan yang berbeda-beda antara satu dengan lainnya.(3) Sebagian kalangan pemikir menyebut pula "ketakterhinggaan" sebagai sifat Tuhan yang paling mendasar(4) dan kebanyakan sifat-sifat lainnya mereka simpulkan darinya.(5) Selain dari pada itu—dalam suatu perjalanan dari akibat menuju sebab-dengan menyaksikan ciri-ciri kesempurnaan makhluk-makhluk, hakikat ini dapat dipahami bahwa pencipta mereka tidak bisa kosong dari kesempurnaan-kesempurnaan ini. (6) Walaupun demikian, dalam teks-teks agama dapat pula ditemukan sifat-sifat lainnya bagi Tuhan, di mana akal (tanpa bantuan wahyu) tidak mampu membuktikannya. Sebagai contoh, argumentasi rasional

p: 125


1- Silakan lihat Abdurrasul Ubudiyat dan Mujtaba Misbah, Khuda Syināsi Falsafi, hlm. 121-122.
2- Being theology- perfect. Untuk mengetahui lebih jauh tentang istilah ini serta para pendukung dan penentang cara pandang seperti ini terhadap Ilahiyyat, silakan lihat: Brian Leftow, "God concepts of" dalam: Routledge Encyclopedia of Philosophy, vol. 4, hlm. 96-98.
3- Michael Peterson et al., 'Aql wa I'tiqād Dīni (Dar Amadi bar Falsafah Dīn), terjemahan Parsi oleh Ahmad Naraqi dan Ibrahim Sultani, hlm. 101–102.
4- Juan Valle, Mā bad al-Thabiah [Metaphysic], terjemahan Persia oleh Yahya Mahdawi, hlm. 788.
5- Lihat H.P.Owen, "God, Concepts of', dalam: Paul Edwadrs (ed.) The Encyclopedia of Philosophy, vol. 3, hlm. 346.
6- Syahid Muthahhari, dengan menunjuk dua jalan utama yang telah disebutkan guna membuktikan wujud Tuhan berkata: "Pada salah satu dari kedua jalan ini diri zat telah diposisikan sebagai dalil atas sifat-sifat; dan pada jalan lain makhluk-makhluk diposisikan sebagai cermin atas sifat-sifat Tuhan" Murtadha Muthahhari, Majmu'Atsār, jil. 6 (Ushul Falsafah wa Rawesy Realism), hlm. 1040.

murni tidak dapat menisbahkan sifat seperti "duduk atau bersemayam di atas arsy" kepada Tuhan. Dalam menafsirkan sifat-sifat ini,di mana para pemikir Muslim menamakannya dengan "sifat khabariyah"— telah muncul pelbagai pandangan yang berbeda-beda, di mana kami akan membahasnya pada bagian kedelapan (akal dan wahyu).

PIKIRKAN DAN DISKUSIKAN Perbedaan Nama dan Sifat dalam Kamus Islam Ism (nama) dalam kamus bahasa bermakna tanda dan alamat. Dan nama sesuatu adalah yang membedakannya dengan hal-hal lainnya. "Sifat" dalam suatu penerapan, juga merupakan bentuk atau jenis dari "ism", di mana (nama) —selain ke-tanda-an-juga berimplikasi kepada adanya suatu makna; sebagaimana Mir Sayid Syarif Jurjani (740–816 H) dalam mendefinisikan sifat menulis, "Sifat merupakan nama yang mengimplikasikan sebagian kondisi-kondisi zat." (1) Berdasarkan hal ini, setiap sifat juga dapat disebut sebagai nama, Zamakhsyari (467–538 H) dalam menafsirkan bagian dari ayat 45 surah Ali 'Imrān (ismuhu al-Masih Isabnu Maryam) mengisyaratkan bahwa "nama (ism)" adalah suatu tanda yang membedakan "yang dinamai (musamma)" dari selainnya; dari sisi inilah, dalam penggunaan umum, gelar dan sifat (seperti al-Masih dan Ibn Maryam) juga termasuk sebagai nama(2) sementara setiap nama tidak kita sebut sebagai sifat. Dari sisi lain, mungkin tak ada satu pun nama di antara nama-nama Tuhan yang bisa ditemukan yang tidak menjelaskan suatu kesempurnaan di antara kesempurnaan-kesempurnaan- Nya. (Berdasarkan hal ini, antara nama dan sifat terjalin hubungan "umum dan khusus mutlak", sementara itu

p: 126


1- Mir Sayid Sharif Jurjani, al-Ta rifāt, hlm. 151.
2- Silakan lihat Mahmud Zamakhsyari, al-Kassyāf, jil. 1, hlm. 363. 126

sebagian pemikir Muslim menyebut relasi tersebut sebagai sejenis tabāyun (berbeda sama sekali). Walaupun demikian, definisi pemikir ini tentang nama dan sifat, memiliki kesamaan dengan apa yang terdapat dalam teks: "Al-shifātu ... mā yadullu `alā mainā zāidun “alā al-dzāt" [sifat adalah apa yang merujuk pada makna yang ditambahkan pada dzat] dan "al-ismu ... mā yadullu `alā nafsi al-dzāt" [nama adalah apa yang merujuk pada dzat itu sendiri].(1) Karena itu, seluruh nama-nama Tuhan juga dapat disebut sebagai sifat-sifat-Nya, (2) sebagaimana yang terdapat dalam salah satu riwayat, misalnya, "nama-nama Tuhan merupakan sifat-sifat yang dibawa oleh-Nya dalam menyifati diri- Nya."(3) Demikian pula dalam hadis-hadis Islam, beberapa redaksi seperti "sami'un" dan "bashirun" terkadang disebut nama dan terkadang pula disebut sifat. (4) Walaupun demikian, sebagian ulama meletakkan perbedaan antara nama dan sifat Tuhan seperti, "Nama merupakan turunan (derivasi), seperti ‘ālim dan qadīr serta selain keduanya, sedangkan sifat merupakan dasar atau sumber turunan, seperti ilmu (film)dan kuasa (qudrat) dan semacamnya."(5) Perbedaan ini sendiri dalam berbagai aliran teologi, filsafat, dan irfan telah ditafsirkan dalam bentuk yang berbeda-beda. (6)

p: 127


1- Saiduddin Taftazani, Syarh al-Maqūsid, jil. 4, hlm. 344.
2- Muhammad Rey Syahri, Mausū āt al-Aqā'id al-Islāmiyah, jil. 3, hlm. 423-425.
3- Muhammad bin Ya'qub Kulaini, al-Kafi, jil. 1, hlm. 88. Silakan lihat hlm. 113 (sa altuhu an al-ismi mā huwa. Qāla: shifatun limaushūfin).
4- Syekh Shaduq, al-Tawhid, hlm. 146 dan 187.
5- Mulla Hadi Sabzewari, Asrār al-Hikam, hlm. 55.
6- Misalnya Qadhi Abu Bakar Ba qilani, Tamhid al-Awā il, hlm. 244-252; Abdurrazaq Kasyani, Ta wilāt al-Qurān al-Karīm, jil. 2, hlm. 827 dan 870 (tafsir surah al-Alaq dan al-Ikhlas); Dawud Qaishari, Syarh Fushush al-Hikam, jil. 1, hlm. 34; Shadr al-Mutaallihin Syirazi, al-Hikmat al- Muta'āliyah, jil. 6, hlm. 282; Mulla Abdurrazaq Lahiji, Ghauhar Murād, hlm. 239-240; Mulla Muhsin Faidh Kasyani, 'Ilm al-Yaqin, jil. 1, hlm. 97; Mulla Abdullah Zunuzi, Lama āt al-Ilahiyyah, hlm. 270-274; Muhammad Husain Thabathabai, al-Mizān, jil. 8, hlm. 352.

Sifat-Sifat Ilahi dan Insani (Komparasi Etimologis)

Salah satu pertanyaan yang patut diperhatikan dalam pembahasan sifat-sifat Tuhan ialah bagaimana dapat berbicara tentang Tuhan yang transenden dengan suatu bahasa yang mengingatkan ciri-ciri manusiawi. Makna dari kata-kata seperti ilmu, kuasa, adil, dan bijak yang ada dalam akal (mental) kita telah terikat oleh batasan-batasan manusiawi dan hal ini menyebabkan penggunaan kata-kata ini dalam mendeskripsikan "Keberadaan Nir-batas" berhadapan dengan pelbagai kesulitan.

Berdasarkan hal ini, apakah maksud dari sifat-sifat ini ketika dinisbahkan kepada Tuhan merupakan sesuatu yang juga digunakan dalam kaitannya dengan manusia? Dewasa ini, salah satu kebimb mendasar dalam lokus pembahasan yang dikenal dengan "bahasa agama" ialah memberikan jawaban atas pertanyaan ini. Kami sendiri mengangkat pembahasan tersebut pada bagian yang berhubungan dengan subjek pembahasan ini (bagian keenam).

Kesesuaian Internal dan Eksternal

Salah satu pertanyaan di mana jawaban negatif atasnya akan mendorong segolongan orang menentang kepercayaan terhadap Tuhan (atau pemahaman tradisional tentang-Nya) adalah "Apakah sifat-sifat yang dinisbahkan kaum beriman kepada Tuhan, selaras dalam dirinya dan antara satu dengan lainnya?" Sebagian berkeyakinan bahwa sebagai contoh,"kekuasaan mutlak" adalah suatu sifat yang kontradiktif, menurut anggapan mereka, jika kita menyebut Tuhan berkuasa mutlak, maka kita tidak akan memiliki suatu jawaban yang kosong dari kontradiksi untuk pertanyaan berikut (dan pertanyaan- pertanyaan semacamnya): "Apakah Tuhan mampu menciptakan sebongkah batu di mana Ia sendiri tidak sanggup mengangkatnya?" (1) Demikian pula, orang-orang yang menganggap kepemurahan dan keinginan baik Tuhan tidak selaras dengan ketiadaan reaksi pada diri- Nya; dengan justifikasi bahwa konsekuensi sifat kepemurahan Tuhan ialah penderitaan dan musibah hamba-hamba-Nya akan membuat-Nya

p: 128


1- Michael Peterson et al., 'Aql wa I'tiqād Dīni, hlm. 111.

sedih atau tersiksa dan hal ini tidak selaras dengan ketiadaan reaksi pada diri Tuhan. (1) Permasalahan-permasalahan semacam ini menyebabkan sebagian penulis berpendapat bahwa sebelum pembuktian wujud Tuhan, mereka meneliti sifat-sifat yang diklaim-Nya serta mengkaji keselarasan internalnya. Menurut pendapat kelompok ini, jika di akhir pembahasan tentang sifat-sifat Tuhan, kita sampai pada kesimpulan bahwa pemahaman khusus tentang Tuhan tersebut mengalami kontradiksi internal yang tidak dapat terselesaikan, maka dalam kondisi seperti itu, kita tidak perlu lagi untuk mengambil langkah-langkah selanjutnya serta melakukan pembuktian wujud-Nya; Tuhan yang esensinya tidak dapat dijelaskan kecuali dalam bentuk kontradiksi-kontradiksi, tidak akan dapat mungkin mengada dan mengasumsikan wujud Tuhan seperti ini adalah tak bermakna. (2) Selain dari pada kesesuaian internal sifat-sifat Tuhan, masalah keselarasan mereka dengan hakikat-hakikat alam pun senantiasa disertai dengan keraguan-keraguan dan bahkan telah menggiring orang- orang kepada pengingkaran wujud Tuhan. Klaim dari sebagian kaum ateis ialah bahwa keberadaan Tuhan dengan sifat-sifat seperti itu tidak selaras dengan terwujudnya peristiwa-peristiwa merugikan (bencana) seperti banjir dan gempa bumi serta penderitaan-penderitaan yang diakibatkan oleh penyakit dan perbuatan-perbuatan aniaya (keburukan- keburukan). Pada bagian ini, kita akan menggali atau meneliti lebih jauh permasalahan-permasalahan terpenting terkait dengan keselarasan internal sifat-sifat Ilahi dan pada bagian berikutnya kita akan mengkaji masalah keburukan-keburukan.

Keselarasan Internal Sifat-Sifat Tuhan

Sebagaimana telah disebutkan, sebagian agama menyebutkan sederetan nama-nama dan sifat-sifat bagi Tuhan. Sebagian riwayat- riwayat Islam-yang terdapat dalam literatur Syi'ah dan Sunni- menyebutkan Tuhan memiliki 99 nama; "huwallāh al-ladzī lāilāha illa huwa al-rahmānu al-rahīmu al-maliku al-quddūsu al-salāmu al-mu'minu al-

p: 129


1- Michael Peterson et al., 'Aql wa I'tiqūd Dini, hlm. 102.
2- Michael Peterson et. al., 'Aql wa l'tiqad Dini hlm. 99.

muhaiminu al-azīzu al-jabbāru al-mutakabbiru ... "(1), sementara jumlah nama-nama Tuhan dalam al-Qur'an bahkan lebih banyak dari pada jumlah yang telah disebutkan; (2) boleh jadi terdapat pula hadis-hadis lainnya yang menambahkan jumlah nama-nama ini;(3) terkadang dalam kedudukan doa berbicara tentang seribu tipologi kesempurnaan Tuhan.(4) Kenyataan ini menunjukkan bahwa nama-nama dan sifat-sifat Tuhan tidak dapat dibatasi dalam suatu angka khusus, sebagaimana dikatakan "Lā nihāyat li asmāihi al-husnā wa li shifātihi al-ulyā" (tak ada batasan bagi nama-nama-Nya yang baik dan bagi sifat-sifat-Nya yang tinggi).427 Walaupun demikian, sebagian dari sifat-sifat Tuhan lebih menonjol dan merupakan sumber dari pada sifat-sifat lainnya. Di samping itu, terdapat segolongan Muslimin yang menegaskan tujuh sifat "hidup, kuasa, ilmu, pendengaran, penglihatan, kehendak (irādah), dan kalam"(5) serta terkadang untuk menunjukkannya, mereka pun menggunakan redaksi atau perumpamaan-perumpamaan seperti "al- ummūhat min al-shifāt (induk dari sifat-sifat)" dan "al-aimmatu al-sab`ah (imam-imam yang tujuh)."(6) Sementara sifat-sifat penting seperti "tunggal (wahdah), rahmat, dan bijaksana" tidak terdapat dalam daftar urutan ini.(7)

p: 130


1- Sunan Turmuzi , jil. 5, hlm. 531. Hadis ini telah diriwayatkan pula dalam bentuk lain di mana masing-masing dari sumber-sumber di bawah ini memuat contoh berbeda dari riwayat-riwayat ini: Sunan Ibn Majah, jil. 2, hlm. 1269–1270; Syekh Shaduq, al-Tawhid, hlm. 194–195; Jalaluddin al-Suyuti, al-Durr al-Mantsūr, jil. 3, hlm. 615-616.
2- Nama-nama ini (132 nama) terdapat dalam sumber-sumber di bawah ini: Ja far Subhani, Mafāhim al-Qurān, jil. 6, hlm. 105-106. Demikian pula, silakan lihat: Muhammad Husain Thabathabai, al-Rasāil al-Tawhidiyyah, hlm. 35-37.
3- "Innallāha Ta ālā Arbā'atu Alaf Ismun"(Ibn Abi Jumhur Ihsaai, Awail al-Layālī, jil. 4, hlm. 106; Fakhruddin al-Razi, al-Tafsir al-Kabir, jil. 1, hlm. 130; jil. 22, hlm. 12)
4- Silakan lihat Muhammad Baqir Majlisi, Bihār al-Anwār, jil. 91, hlm. 384-397 (Doa Jausyan Kabir).
5- Penonjolan sifat-sifat ini-yang terkadang dengan penambahan sifat "bagā" jumlah mereka menjadi delapan-berakar dalam pernyataan-pernyataan Abu al-Hasan Asy'ari (Silakan lihat: Muhammad bin Abdulkarim Syahristani, al-Milal wa al-Nihal, jil. 1, hlm. 95; Muhammad bin Abdulkarim Syahristani, Nihāyat al-Aqdam, hlm. 181; Fakhruddin al-Razi, al-Muhasshal, hlm. 119-139; Shadr al-Muta'allihin Syirazi (Mulla Sadra), al-Hikmat al-Muta'āliyah, jil. 7, hlm. 235 (ta'liqah Allamah thabathabai)).
6- Silakan lihat Dawud Qaishari, Syarh Fushūsh al-Hikam, jil. 1, hlm. 34-35; Shadr al-Muta'allihin Syirazi (Mulla Sadra), al-Hikmat al-Muta'āliyah, jil. 7, hlm. 235, Mulla Hadi Sabzewari, Asrār al- Hikam, hlm. 57.
7- Orang-orang seperti Mulla Hadi Sabzewari (1212-1289 H)-dalam membela klaim bahwa ketujuh sifat tersebut merupakan akar sifat-sifat lainnya-menyebut "rahmat" dan "hikmah" secara tertib sebagai cabang dari "kudrat" dan "ilmu” (Silakan lihat: Mulla Hadi Sabzewari, Asrār al-Hikam, hlm. 57). Justifikasi ini sepertinya tidak begitu kokoh karena kembalinya dua sifat; mendengar dan melihat kepada ilmu jauh lebih jelas, sementara ketiganya termasuh sifat-sifat asli.

Dari sisi lain, golongan dari kalangan pemikir Barat menyebut tiga sifat di bawah ini sebagai sifat-sifat Tuhan yang paling menonjol dalam agama-agama Ibrahim: "Ilmu mutlak, kuasa mutlak, dan berkeinginan baik mutlak."(1) Bagaimanapun, para pengikut agama-agama yang telah disebutkan, menekankan pula sifat-sifat lainnya (baik positif maupun negatif) dan sebagai contoh, mereka menyebut Tuhan sebagai pencipta alam semesta, adil, kekal (melintasi waktu), nonmateriel, simpel (basīth, ahad), dan tidak berubah.

PIKIRKAN DAN DISKUSIKAN Sifat-Sifat Tuhan dalam Agama-Agama India Abu Raihan al-Biruni (362—440 H) dengan menukil dari sebagian buku-buku agama Hindu menyebutkan redaksi atau perumpamaan dalam menyifati Tuhan yang sangat dekat dengan sebutan agama-agama Ibrahimik tentang Tuhan, "Dialah yang tahu secara sarmadi (primordial) kepada zat diri-Nya. ... Dialah yang tinggi sempurna dalam ketentuan (qadar) bukan dalam tempat karena "kepemilikan tempat" tidak layak bagi-Nya. Dan Dialah kebaikan sempurna nan murni sedemikian sehingga setiap wujud merindukan- Nya. Dialah pengetahuan murni yang jauh dari noda kesalahan dan kejahilan. ... Mereka (para filsuf) menjadi filsuf pada zaman dan bahwa mereka bukan filsuf dan bukan teolog, mereka berbicara dan mentransformasi pengetahuan-pengetahuan mereka kepada orang lain dengan menggunakan instrumen bahasa atau perkataan dan dengan satu ungkapan, kebanggaan-kebanggan mereka adalah berada dalam rangkuman zaman. Sementara urusan- urusan Ilahi tidak bergantung dengan zaman dan Tuhan Yang Mahasuci adalah sosok bijak juru bicara sejak azali.

... karena tak pernah sekalipun ternisbahkan kepada jahil, secara esensial (dengan zat-nya) adalah tahu dan tidaklah bahwa pengetahuan yang kadang dimilikinya, ia peroleh atau

p: 131


1- Lihat: Edward R. Wierenga, The Nature of God, hlm. 1.

dapatkan. ... Dia meskipun gaib dari indra dan dengannya (yakni indra) tidak dapat dijangkau, tetapi di sisi jiwa adalah rasional (ma`qul) dan pikiran meliputi sifat-sifat-Nya."(1) Sesuatu yang sangat signifikan dalam hal ini adalah bahwa dari masing-masing sifat ini, kita telah menyimpulkan makna rasional, sedemikian sehingga tidak kontradiksi dengan sifat-sifat lainnya. Sangat jelas bahwa kajian jeluk atas semua sifat-sifat yang telah disebutkan memerlukan ruang yang lebih luas melebihi kapasitas buku ini. Di sini, kami hanya mengupayakan suatu langkah kecil terkait dengan persoalan semantik sebagian di antaranya dan akan menelisik lebih jauh keselarasan internal mereka.

Paradoks Kekuasaan Mutlak

Apakah Tuhan mampu melenyapkan diri-Nya(2) atau menciptakan suatu eksistensi yang lebih sempurna dari diri-Nya? Apakah Tuhan kuasa menciptakan sebongkah batu di mana Dia sendiri tidak mampu mengangkatnya?(3) Apakah Tuhan mampu memasukkan alam semesta ke dalam sebutir telur (tanpa alam semesta ini menjadi kecil dan telur menjadi besar)?(4) Apakah Tuhan dapat melakukan perbuatan-perbuatan tak pantas?(5) Pertanyaan-pertanyaan semacam ini telah berkali-kali terulang dalam pelbagai budaya dan dengan aneka ragam bahasa serta

p: 132


1- Abu Rayhan Biruni, Tahqiq mā li al-Hindi, terjemahan Parsi oleh Manucher Shaduqi Saha, jil. 1, hlm. 16-17
2- Thomas Aquinas, Summa Contra Gentiles, vol. 2, diterjemahkan oleh James F. Anderson, hlm. 76 (chapter 25)
3- George I. Mavrodes, "Some Puzzles Concerning Omnipotence" dalam Urban and Walton (Eds.), The Power of God, hlm. 131.
4- Berdasarkan sebagian dari riwayat-riwayat, salah seorang di antara orang-orang yang pertama kali mengemukakan pertanyaan ini adalah Iblis: "Dari Abu Abdillah berkata: Sesungguhnya Iblis berkata kepada Isa putra Maryam: Apakah Tuhan-mu mampu memasukkan bumi ke dalam sebutir telur tanpa mengecilkan bumi dan tanpa membesarkan telur? (Syekh Shaduq, al-Tawhid, hlm. 127)
5- Sebagaimana yang akan datang, Nizham Mu'tazili dan Aquinas Kristian adalah di antara orang- orang yang merancang serta menjawab pertanyaan ini.

mempunyai daya tarik yang khas.(1) Sebagian pertanyaan ini (seperti dua pertanyaan pertama) telah didesain sedemikian rupa sehingga jawaban positif ataupun negatif atasnya akan berujung kepada pengingkaran kekuasaan mutlak Tuhan. Jawaban positif untuk sebagian pertanyaan lainnya tidak mengakibatkan konsekuensi seperti ini, tetapi berimplikasi kepada penafian atau penginjak- injakan prinsip-prinsip aksiomatis seperti "absurdnya berkumpul dua kontradiksi" serta penafian sifat-sifat Tuhan yang lain.

Jika kita menerima bahwa alam yang begitu luas dapat dimasukkan ke dalam sebutir telur kecil, pada hakikatnya kita telah tunduk kepada kontradiksi bahwa dalam keadaan di mana alam semesta lebih besar dari pada sebutir telur, juga tidak lebih besar darinya. Kemampuan Tuhan untuk melakukan perbuatan-perbuatan zalim dan aniaya terhadap hamba-hambanya juga dianggap tidak sesuai dengan sifat-sifat-Nya yang tinggi.

PIKIRKAN DAN DISKUSIKAN Teologi Proses dan Pengingkaran terhadap Kekuasaan Mutlak Tuhan Hari ini segolongan kaum agamawan (seperti kaum Kristiani dan Yahudi pengikut teologi proses) — kebanyakan dengan maksud menjustifikasi wujud keburukan(2) – berlepas tangan dari pandangan tradisional tentang Tuhan, sebagai contoh, mereka menafikan kepercayaan terhadap kekuasaan mutlak Tuhan atau mengajukan suatu tafsiran baru darinya. (Para pendukung teologi proses menyebut pandangan mereka sebagai suatu tafsiran yang berbeda dari kekuasaan mutlak, bukan pengingkaran atasnya.(3)

p: 133


1- Guna lebih mengetahui pertanyaan-pertanyaan lainnya seperti apa yang terdapat dalam teks, silakan lihat: Ibn Maimun, Dalālat al-Häirin, hlm. 306 dan 516; Richard Swineburn, Ayā Khudāi Hast [Is There a God?), terjemahan Parsi oleh Muhammad Jawidan, hlm. 32; Thomas Aquinas, Summa Contra Gentiles, vol. 2, hlm. 73 (chapter 25); Anthony Kenny, The God of Philosopers, hlm. 94; Edward R. Wierenga, The Nature of God, hlm. 12-13; Brian Leftow, "Immutability" dalam: Routledge Encyclopedia of Philosophy, vol. 4, hlm. 713.
2- Michael Peterson et. al., Aql wa I'tiqād Dini, hlm. 183 dan 208.
3- Silakan lihat Charles Hartshorne, The Logic of Perfection, hlm. 189.

Salah seorang pendukung aliran tersebut, tentang hal ini menulis, "Tuhan (benar-benar) tidak mampu memaksa masyarakat atau alam untuk menaati keinginan-Nya. ...

perkataan ini tidak berarti bahwa Tuhan tidak berdaya atau terbatas. Para teolog proses berkeyakinan bahwa kebanyakan kita (kaum agamawan) tidak memiliki persepsi yang benar atas esensi kekuasaan Tuhan.

Seorang manusia mampu mengangkat sebuah batu kecil dari tanah (bumi). Berdasarkan hal ini, kita beranggapan seperti ini bahwa Tuhan dengan kekuatan tak terbatasnya, harus mampu mengangkat bebatuan yang besarnya tidak terbatas. Ayah dan ibu mampu menyelamatkan seorang anak yang tidak berhati-hati dari bahaya tabrakan; dengan demikian, Tuhan pun harus mampu membelah laut merah dan menyelamatkan Bani Israel. Sementara dalam hal ini kita punya tangan dan Tuhan tidak punya atau dengan bahasa lain, setiap kali butuh kepada tangan guna mengerjakan sesuatu, Tuhan mesti bersandar pada tangan-tangan makhluk-Nya. ... Tuhan tidak punya badan sebagaimana badan kita (walaupun kita dapat menyebut seluruh alam semesta sebagai badan Tuhan). Tuhan tidak memiliki tangan-tangan dari diri-Nya sendiri yang dengan bantuannya menarik atau mengangkat sesuatu. Oleh karena itu, Tuhan tidak mampu melakukan sebagian pekerjaan-pekerjaan yang mampu kita lakukan."(1) Penulis tersebut dengan melanjutkan pernyataan- pernyataannya, dalam menjawab kritikan bahwa "Tuhan yang tidak memiliki kekuatan (kuasa) dalam mengatur alam semesta, tidaklah pantas menyandang nama Tuhan" berkata: "Apakah sesuatu yang menjadikan suatu wujud layak disembah adalah kemampuan mengangkat batu?" Diskusikanlah pernyataan-pernyataan yang telah disebutkan antara satu dengan lainnya!

p: 134


1- C. Robert Mesle, Process Theology, hlm. 13-14.

Sebagaimana telah disebutkan, pertanyaan ketiga dari empat pertanyaan di atas mengandung sebuah kontradiksi. Analisis akurat pada dua pertanyaan pertama-dengan merujukkannya pada kalimat di bawah-akan menampakkan pula kontradiksi yang tertimbun di dalamnya:(1) "Apakah wujud sempurna (kuasa) mutlak dapat menjadi tidak sempurna (kuasa) mutlak?" Berdasarkan hal ini, dalam menjawab objeksi-objeksi dan kritikan-kritikan semacam ini, terkadang dikatakan, misalnya, bahwa sesuatu yang menunjukkan kontradiksi, berada di luar wilayah kekuasaan Tuhan.(2) Dengan kata lain, bahkan Tuhan sekalipun tidak dapat mendudukkan dua kontradiksi secara berdampingan.(3) Ungkapan yang lebih tepat ialah pada dasarnya soal atau pertanyaan itu sendiri dengan alasan kontradiktif-tak bermakna dan tidak layak menerima jawaban apa pun;(4) sebagaimana kemahiran seorang matematikawan tidak bisa diuji dengan pertanyaan- pertanyaan semacam ini: Apakah ia dapat membuktikan kebenaran padanan dari "2+2=5?" Berdasarkan hal ini, Imam Ali dalam menjawab pertanyaan ketiga bersabda, "Ketidakmampuan tidak dapat dinisbahkan kepada Tuhan, tetapi apa yang ada dalam pertanyaanmu, adalah sesuatu yang mustahil atau tidak mungkin terjadi."(5) Sebagian pemikir Muslim dan Kristen memberikan pula jawaban yang serupa bagi tiga pertanyaan lainnya. Sebagai contoh, kita dapat menyebut pandangan Ibrahim bin Sayyar, terkenal dengan nama Nazzam (160—231 H) seorang teolog Muktazilah dan Thomas Aquinas (1225–1274 M) dari kalangan Kristen. Menurut Nazzam, Tuhan bukan

p: 135


1- Silakan lihat Michael Peterson et al., 'Aql wa l'tiqād Dīni, hlm. 127.
2- Thomas Aquinas, Summa Theologica, 7, 2, and 25,4; Thomas Aquinas, Summa Contra Gentiles, vol. 2, hlm. 73 (pasal 25).
3- Filsuf berkebangsaan Prancis, Rene Descartes (1596-1650 M) berkeyakinan bahwa Tuhan dapat pula mewujudkan hal-hal yang saling kontradiksi. Silakan lihat Rene Descartes, The Philosophical Writings, diterjemahkan oleh John Cottingham, et. al., vol. 3, hlm. 23-28, 235-363.
4- Dalam sumber-sumber di bawah ini terdapat pula jawaban-jawaban yang dekat dengan makna ini: Ibn Maimun, Dalālat al-Hairin, hlm. 516-517; Mulla Muhsin Faidh Kasyani, 'Ilm al-Yaqin, jil. 1, hlm. 70. Begitu pula, silakan lihat Shadr al-Muta'allihin Syirazi (Mulla Sadra), Mafātih al-Ghaib, hlm. 238.
5- Syekh Shaduq, al-Tawhid, hlm. 130. Di samping penjelasan argumentatif ini, dua jawaban di bawah terdapat pula dalam riwayat-riwayat di mana mereka secara tertib dapat disebut sebagai jawaban-jawaban dialektis dan retoris: A). Suatu perbuatan di mana engkau menyebut Tuhan mampu melakukannya (mengecilkan bumi atau membesarkan telur), selain Dia, siapakah yang dapat melakukannya? B). Tuhan telah menempatkan alam pada yang lebih kecil dari telur (yaitu mata). Silakan lihat: al-Tawhid , hlm. 123, 127, dan 130).

hanya suci atau terjauhkan dari perbuatan zalim, (1) kemampuan untuk melakukannya pun tidak punya, dengan alasan atau argumen bahwa keburukan esensial yang terdapat pada perbuatan zalim mencegah kita untuk menyebut Tuhan mampu melakukannya.(2) Ia menegaskan ketidakberdayaan Tuhan untuk melakukan apa yang tidak maslahat bagi hamba-hamba-Nya dengan argumentasi seperti ini pula. (3) Aquinas sendiri menilai kemampuan melakukan perbuatan seperti ini tidak sesuai dengan kesempurnaan Tuhan, yakni tidak selaras dengan kekuasaan mutlak-Nya, ia berkata: "Dengan alasan itu pula di mana Tuhan adalah penguasa mutlak, Tuhan tidak memiliki kemampuan melakukan perbuatan yang tidak pantas."(4) Anselm (sekitar 1033—1109 M) juga mengatakan: "Kekuatan melakukan perbuatan-perbuatan buruk bukanlah kekuatan, melainkan kelemahan."(5) Walaupun demikian, menurut kami jawaban pertanyaan keempat adalah positif.

Tuhan mampu dan kuasa untuk membakar orang-orang beriman di dalam neraka dan sebaliknya, memberi nikmat kepada orang-orang kafir di dalam surga, tetapi tuntutan kebijaksanaan-Nya tidak akan pernah seperti ini.

Pada dasarnya, keharusan atau bahkan perkiraan akan terwujudnya suatu perbuatan tidak dapat disimpulkan dari adanya kemampuan untuk melakukan perbuatan tersebut; (6) sebagaimana kita mengalami atau merasakan sebagian objek-objek (mashādiq) hukum universal ini dalam diri kita.

Permasalahan-Permasalahan Ilmu Azali dan Menyeluruh

Apakah Tuhan mengetahui seluruh kejadian-kejadian alam yang bersifat partikular?

p: 136


1- Abu al-Husain Hayyat,al-Intishār, hlm. 85.
2- Muhammad Abdul Karim Syahristani, al-Milal wa al-Nihal, jil. 2, hlm. 54.
3- Muhammad Abdul Karim Syahristani, al-Milal wa al-Nihal, jil. 2, hlm. 54; Abu al-Husain Hayyat, al-Intishār, hlm. 54 dan 66; Abu al-Hasan Asyari, Maqūlat al-Islāmiyyin, hlm. 555 dan 576.
4- Thomas Aquinas, Summa Theologica, hlm. 25, 3.
5- Charles Talieferro, Falsafah Din dar Qarn-e Bistum [Contemporary Philosophy of Religion], terjemahan Parsi oleh Insyaallah Rahmati, hlm. 144.
6- Silakan lihat Allamah Hilli, Manāhij al-Yaqin, hlm. 163; Miqdad bin Abdullah Sayuri, al-Nāfi Yaum al-Hasyri, hlm. 12.

Apakah ilmu primordial Tuhan selaras dengan kehendak bebas (ikhtiar) manusia? Kepercayaan tradisional para penganut agama-agama tauhid ialah bahwa ilmu Tuhan Maha Meliputi dan azali (primordial), yakni Tuhan "senantiasa" mengetahui "segala sesuatu." Klaim ini sejak masa-masa awal pemikiran manusia, memunculkan pertanyaan-pertanyaan di mana dua pertanyaan yang telah disebutkan merupakan di antara pertanyaan yang terpenting.

Terdapat orang-orang yang menyebut pengetahuan Tuhan atas hal-hal yang bersifat partikular (seperti apa yang telah lalu dalam kekuasaan mutlak) meniscayakan kontradiksi atau penafian terhadap sifat-sifat- Nya yang lain. Terdapat pula golongan yang mengeluarkan perbuatan- perbuatan ikhtiar manusia dari wilayah cakupan ilmu azali (primordial) Tuhan sehingga sifat keadilan-Nya tetap terjaga, dengan alasan atau argumen bahwa ramalan atau perkiraan secara pasti atas perilaku manusia akan berujung pada keterpaksaan dia, sedangkan perbuatan terpaksa tidak boleh dikenai hukuman.

Tuhan dan Pengetahuan tentang Kejadian-kejadian Partikular

Mayoritas pengikut agama-agama Ilahi-dengan bersandarkan kepada dalil-dalil rasional (aqli) dan referensial (nagli) -menegaskan pengetahuan mutlak Tuhan atas seluruh urusan (termasuk kejadian- kejadian partikular). (1) Meskipun demikian, orang-orang yang menentang kepercayaan tradisional ini, menyebut hal itu memiliki konsekuensi-konsekuensi yang tidak dapat diterima.

Abu Hamid al-Ghazali (450—505 H) menyebut "pengingkaran atas ilmu Tuhan terhadap bagian-bagian partikular" merupakan salah satu di antara tiga kepercayaan kaum filsuf yang bersifat kufur(2) dan

p: 137


1- Sebagai contoh, silakan lihat Muhammad Mahdi Naraqi, Jāmi al-Afkar, jil. 2, hlm. 248–345; Thomas Aquinas, Summa Contra Gentiles, diterjemahkan oleh Anton C. Pegis, vol. 1, hlm. 213- 217 (pasal 65).
2- Al-Ghazali mengafirkan para filsuf khususnya dengan dalil memercayai tiga masalah berikut ini: mengingkari ilmu Tuhan kepada partikular-partikular, anggapan kekekalan (primordial) terhadap alam, dan mengingkari ma ād jasmani ( materi). Silakan lihat: Muhammad Ghazali, Tahāfut al-Falāsifah, hlm. 254. Tentunya perlu diketahui bahwa anggapan kekekalan alam tidak mesti berujung kepada syirik dan dalam dua masalah lainnya pun, mayoritas filsuf Muslim tidak mengungkapkan pernyataan-pernyataan yang menentang syariat.

al-Ghazali memandang penjelasan-penjelasan yang disampaikan oleh filsuf seperti Ibn Sina belum memadai.(1) Sebagian pemikir Kristen kontemporer pun-dengan mengatakan bahwa suatu proposisi seperti "Marta menikah pada hari Minggu yang lalu" adalah benar hanya dalam rentang waktu sepekan (dari hari Senin setelah menikah hingga hari Minggu pekan setelahnya) -menyebut pemahaman tradisional tentang pengetahuan mutlak Tuhan sebagai sesuatu hal yang tidak dapat diterima dan mereka menyeimbangkannya seperti, "Tuhan dalam setiap zaman, mempunyai ilmu (mengetahui) hanya dalam hubungannya dengan proposisi-proposisi yang benar pada zaman itu."(2) Orang-orang yang mengingkari pengetahuan Tuhan atas hal-hal yang bersifat partikular, menyatakan hal itu memiliki dampak atau konsekuensi-konsekuensi semacam ini:

Menerima Perubahan(3) Bayangkan, Ali sekarang ini sedang berdiri dan sesaat setelahnya duduk. Apabila setelah duduknya Ali, Tuhan tetap memiliki ilmu tentang proposisi "Ali sedang berdiri", maka ilmu ini tidak lain adalah “ketidaktahuan" dan jika proposisi ini tergantikan posisinya dengan proposisi lain, maka hal itu akan meniscayakan adanya perubahan pada Tuhan (Tuhan mengalami perubahan) di mana para pemeluk agama- agama tauhid tidak akan dapat menerima hal ini. (4) Kesalahan orang-orang yang menerapkan argumen ini ialah bahwa mereka menganggap ilmu Tuhan bersifat temporal. (5) Di samping itu,

p: 138


1- Ibn Sina berkeyakinan bahwa Tuhan mengetahui seluruh kejadian-kejadian partikular, tetapi dengan cara yang berbeda dengan ilmu kita terhadap partikular-partikular, di mana hal itu dapat dinamakan "ilmu terhadap partikular (juzi) dalam bentuk universal (kulli): "Wājib al-wujūd innamā ya qulu kullu syaien alā nahwi kulli; wa mā dzalik falā yu žiba anhu syay'in syakhshin"(Ibn Sina, al-Najāh, hlm. 247. Untuk melakukan kritik terhadap pandangan ini, silakan lihat: Shadr al-Muta'allihin Syirazi (Mulla Sadra), al-Mabdā wa al-Ma ād, jil. 1, hlm. 170.
2- Michael peterson et al, 'Aql wa I'tiqād Dīnī, hlm. 112. Begitu pula, silakan lihat Edward R. Wierenge, The nature of God, hlm. 176-177.
3- Silakan lihat Abu Nashr Farabi, Fushūl Muntaziatun, hlm. 90-91; Ibn Maimun, Dalūlat al-Hāirin, hlm. 519; Fakhruddin al-Razi, al-Muhasshal, hlm. 131; Edward R. Wierenga, The nature of God, hlm. 175.
4- Sebagian penulis Barat, menyebut Muktazilah dan Ibn sina sebagai pencetus desain argumen seperti ini. Silakan lihat Brian Leftow, "Immutability" dalam Routledge Encyclopedia of Philosophy, vol. 4, hlm. 713.
5- Untuk telaah lebih jauh, silakan lihat: Sayid Syarif Jurjani, Syarh al-Mawāgif, jil. 8, hlm. 75-77; Muhammad Mahdi Naraqi, Jāmi' al-Afkār, jil. 2, hlm. 260.

bahwa dalam analisis ini secara jelas tampak adanya jejak pelbagai keterbatasan yang berkaitan dengan dialog yang bersifat manusiawi.

Kita manusia, guna menjelaskan maksud kita terkadang menggunakan kalimat-kalimat yang di dalamnya memakai batasan-batasan tempo, seperti "sekarang" dan "Minggu yang lalu." Sekiranya bukan karena keterbatasan-keterbatasan manusiawi, tanpa penggunaan instrumen- instrumen bahasa, melalui cara atau metode-metode seperti "telepati" kita dapat mentransformasikan maksud kita kepada yang lain.

Ketelitian pada poin tersebut akan semakin memperjelas kenyataan bahwa bahkan dalam diri manusia pun, pengetahuan tentang suatu hakikat yang dinyatakan oleh proposisi "Ali sekarang ini sedang berdiri", sesudah duduknya Ali pun tidak akan mengalami perubahan.(1) Berdasarkan hal ini, guna tidak mengungkung hakikat ilmu Tuhan dalam limitisasi-limitisasi bahasa, kita dapat mengonsepsikan suatu garis tak terhingga sedemikian sehingga setiap titik darinya merupakan tanda dari suatu tahapan di antara tahapan-tahapan sejarah dan "berdirinya Ali" serta "pernikahan Marta" mendapatkan ruang khusus dalam suatu titik di antara titik-titik garis ini. Nah, apabila suatu eksistensi nontemporal (eksis di luar waktu) meliputi garis tak terhingga ini, maka tak syak lagi pasti mengetahui seluruh kejadian- kejadian alam semesta; tanpa timbulnya suatu perubahan pada dirinya akibat "berlalunya waktu" dan "berubahnya kondisi-kondisi ciptaan atau para makhluk". (2) Serba Meliputi(3) Dalam setiap detik (saat) alam senantiasa menyaksikan terjadinya milyaran peristiwa, seperti jatuhnya sehelai daun, bangunnya seorang

p: 139


1- Menurut penjelasan Muhaqqiq Khafari (w. 957 H) tidak ada kontradiksi antara kedua proposisi di bawah, hingga tak bisa memiliki pengetahuan terhadap keduanya secara bersamaan: "Zaid dalam saat (detik) pertama di dalam rumah" dan " Zaid dalam saat (detik) kedua tidak di dalam rumah" (Syamsuddin Khafari, al-Hasyiatu al Khafariyah alas Syarh al-Jadid li al-Tajrīd, hlm. 136. Begitu pula, silakan lihat: Shadruddin Dastki, al- Haqā'iq al-Muhammadiyyah, hlm. 68-69; Brian Leftow, "Immutability" dalam Routledge Encyclopedia of Philosophy, vol. 4, hlm. 713; Edward R. Wierenge, The Nature of God, hlm. 178.
2- Untuh lebih mengetahui sebagian jawaban-jawaban lainnya, silakan lihat Fakhruddin al-Razi, al-Muhasshal, hlm. 131; Allamah Hilli, Kasyf al-Murād, hlm. 286-287; Muhammad Mahdi Naraqi, Jāmi' al-Afkār, jil. 2, hlm. 254-259.
3- Silakan lihat Abu Nashr Farabi, Fushūl Muntaziun, hlm. 90-91; Ibn Maimun, Dalalat al-Hāirīn, hlm.519.

bocah dari tidurnya, sergapan seekor hewan yang berlari mengejar mangsanya. Apabila alam memiliki awal dan akhir sekalipun, tetap saja serba meliputi terhadap seluruh kejadian-kejadian ini tidak mungkin terjadi; apatah lagi, setidaknya dari satu sisi, kita menyebut alam tidak terhingga.

Objeksi ini lebih lemah dari objeksi sebelumnya. Tuhan merupakan wujud yang tidak terhingga dan serba meliputi- Nya terhadap peristiwa-peristiwa yang tak terhingga tidak akan menyertakan konsekuensi yang bersifat negatif.

PIKIRKAN DAN DISKUSIKAN Ilmu Mutlak dan Keburukan-Keburukan yang Tidak Dapat Dijustifikasi Ibn Maimun melaporkan sebagian dalil para filsuf dalam mengingkari ilmu mutlak Tuhan sebagai berikut, "Mengingat eksistensi pelbagai keburukan pada alam ini tidak dapat diingkari, pilihan terbaik adalah kita menyebut Tuhan tidak tahu tentang hal-hal yang sifatnya partikular (juz`iyah); bukan mengingkari kekuasaan mutlak-Nya atau menyebut-Nya tidak punya perhatian terhadap kondisi- kondisi makhluk-Nya.(1) Jawaban rinci atas objeksi ini akan diulas pada bagian selanjutnya. Menurut Anda, anggaplah! dengan asumsi bahwa tidak ada jalan lain kecuali memilih salah satu dari tiga pilihan yang telah disebutkan, apakah mesti, sikap terbaik yang harus kita lakukan adalah mengingkari ilmu mutlak Tuhan?

Pengetahuan Apriori Tuhan dan Ikhtiar Manusia

Hubungan pengetahuan azali Tuhan dengan ikhtiar manusia merupakan sebuah masalah dengan latar belakang yang sangat panjang, sedemikian sehingga salah satu objek ilmu Tuhan terhadap partikular-

p: 140


1- Ibn maimun, Dalālat al-Hāirīn, hlm. 518-519

partikular (juz`iyah) dari sudut pandang khusus, telah menjadi sebuah bahan renungan (dan terkadang pula diingkari).(1) Fakhruddin Razi (544—606 H) berkeyakinan bahwa sekiranya seluruh manusia berakal di seantero alam saling tolong-menolong antara satu dengan lainnya, mereka tidak akan mampu menyelaraskan pengetahuan azali Tuhan dengan ikhtiar atau kehendak bebas manusia.(2) Keyakinan atas adanya ketidaksesuaian di antara keduanya, telah menyeret segolongan orang kepada determinisme dan pengingkaran ikhtiar(3) dan segolongan lainnya memperbarui pandangan dalam konsep pengetahuan mutlak Tuhan.(4) Reaksi pertama (pengingkaran ikhtiar) dalam sebuah syair yang dinisbahkan kepada Khayyam Naishabury (W sekitar 515 H) tampak dengan begitu baik, Aku makan dan setiap yang sepertiku adalah layak; Makannya aku di sisinya adalah gampang-Makannya aku sejak dahulu telah diketahui sang Haqq; jika aku tak makan, ilmu Tuhan adalah kejahilan. (5) Kelompok kedua-dengan bersandar pada tidak diragukannya masalah ikhtiar manusia-berkeyakinan bahwa Tuhan tidak mengetahui perbuatan-perbuatan ikhtiar manusia dan bagaimana pilihan-pilihannya karena ramalan secara pasti terhadap suatu perilaku tidak sesuai dengan keikhtiarannya. Golongan ini terkadang menyebut perbuatan-perbuatan ikhtiar sebagai suatu urusan-urusan yang "secara logis tidak mungkin" diketahui sebelumnya; sebagaimana

p: 141


1- Untuk telaah lebih jauh, silakan lihat: Boethius, Tasallā Falsafah [Consolation of Philosophy), terjemahan Parsi oleh Sayeh Maitsami, hlm. 226-247 (buku 5 pasal 3-6); Nelson Pike, "Ilm Muthlaq Khudawānd wa Ikhtiyār Insān Nāsazgeharand" (Divine Omniscience and Voluntary Action) dalam: Kalām Falsafi, terjemahan Parsi oleh Ibrahim Sultani dan Ahmad Naraqi, hlm. 253-289; Richard Taylor, “Delibration and Foreknowledge" dalam Bernard Berofsky (ed.), Free Will and Determinism, hlm. 277–293.
2- Sayid Syarif Jurjani, Syarh al-Mawāqif, jil. 8, hlm. 155.
3- Fakhru al-Razi-yang dalam masalah jabr (determinisme) dan ikhtiyār (freewill) tidak memiliki pandangan yang jelas dan tetap-terkadang merujukkan kecenderungannya kepada Jabr dengan faktor: "Bahwa Allah setelah mengetahui dari seorang kafir bahwa sesungguhnya ia tidak beriman, munculnya iman darinya mempersyaratkan (meniscayakan) perubahan ilmu Tuhan menjadi tak tahu." Fakhruddin al-Razi, al-Mathālib al-Aliyah, jil. 9, hlm. 46-47. Begitu pula, silakan lihat: Fakhruddin al-Razi, jil. 9, hlm. 230-339; Fakhruddin al-Razi, al-Muhasshal, hlm. 131, 147, dan 151; Fakhruddin al-Razi, al-Tafsir al-Kabir, jil. 24, hlm. 221.
4- Sebagian pula berhenti (diam) di sini dan berkata: "Tak ada kewajiban bagi kita selain bahwa kita memandang kedua hal ini; ... tanpa kita bertanya bagaimana kedua hakikat ini dapat menyatu dan selaras antara satu dengan lainnya" Juan Valle, Mā Ba da al-Thabī'ah Metaphysic], terjemahan Parsi oleh Yahya Mahdawi, hlm. 810.
5- Yar Ahmad Rashidi Tabrizi, Rubaiyyat Khayyām, hlm. 101.

kekuasaan tidak bergantung atau tidak berhubungan dengan hal-hal yang secara logis absurd, "Jika hal ini bahwa Tuhan tidak mampu melukis gambar-gambar "yang tak bisa terlukis" tidak menimbulkan kecacatan dalam kekuasaan mutlak-Nya, dalam kondisi seperti itu, hal ini pun di mana Tuhan tidak dapat mengetahui realitas-realitas“ yang tak dapat diketahui" yang terkait dengan masa depan perbuatan- perbuatan ikhtiar manusia, tidak akan menimbulkan kecacatan bagi pengetahuan mutlak-Nya. Pada saat di mana realitas-realitas ini telah menjadi "dapat diketahui", maka Tuhan-lah yang pertama kali akan menemukan ilmu terhadap mereka. (1) Walaupun demikian, analisis benar atas relasi yang telah disebutkan akan menampakkan secara lebih baik adanya keselarasan antara "pengetahuan azali Tuhan" dengan "ikhtiar manusia" serta tidak menyisakan jalan untuk mengingkari satu pun di antara keduanya. (2) Guna menjelaskan apa yang dimaksud, kami akan memakai permisalan berikut: Bayangkan seorang pengajar yang meramal masa depan studi para siswa dan bahkan nilai-nilai mereka dengan kemungkinan salah sekitar tiga puluh persen. Sangat jelas bahwa ramalan ini-yang merupakan hasil pengenalan yang sepertinya cukup sempurna seorang guru dari siswa-siswanya-tidak mencerabut ikhtiar dari mereka serta tidak membuat seseorang terpaksa dalam perbuatannya. Nah, jika pengenalan atau pengetahuan pengajar menjadi lebih sempurna dan kemungkinan salah dalam ramalannya semakin sedikit dan lebih sedikit, tetap saja tidak menimbulkan perbedaan dalam ikhtiar dan pilihan para siswa. Contoh sederhana ini menguatkan pandangan bahwa ilmu selalu mengikuti yang diketahui, bukan sebaliknya. (3)

p: 142


1- Michael Peterson et al, 'Aql wa I'tiqād Dini, hlm. 120. Begitu pula, silakan lihat: Richard Swinburne, op. cit., hlm. 33-34.
2- Untuk telaah lebih jauh, Silakan lihat Levon Myenard, Shenasai wa Hasti [The Existence], terjemahan Persia oleh Ali Murad Dawudi, hlm. 137; Alvin Platinga, "'Ilm Mutlaq Khudāwand wa Ikhtiyāre Insān Sāzegārand" [Divine Foreknowledge and Human Freedom are Compatible) dalam: Kalām Falsafi, terjemahan Parsi oleh Ibrahim Sultani dan Ahmad Naraqi, hlm. 291-303; Thomas Aquinas, Summa Contra Gentiles, diterjemahkan oleh Anton C. Pegis, vol. 1, hlm. 221-225 (pasal 67); H.P.Owen, "God, Concepts of", dalam: Paul Edwadrs (ed.) The Encyclopedia of Philosophy, vol. 3, hlm. 347.
3- Kebanyakan ulama Muslim menekankan poin bahwa “Pengetahuan (ilmu) selalu mengikuti yang diketahui (ma'lūm)." Namun, filsuf-filsuf seperti Mir Damad (w. 1041 H) dan Mulla Sadra menyebut poin tersebut tidak berlaku pada ilmu Tuhan yang bersifat aksi, bukan reaksi dan menyelesaikan masalah yang sedang dibahas melalui jalan lain (lebih dekat dengan penjelasan kedua yang akan segera hadir dalam teks) (Silakan lihat: Nashiruddin Thusi, Talkhish al-Muhasshal, hlm. 328; Muhaqqiq Hilli, al-Maslak fi Ushūl al-Dīn, hlm. 94; Allamah Hilli, Kasyf al-Murād, hlm. 307; Sayid Syarif Jurjani, Syarh al-Mawaqif, jil. 8, hlm. 155; Mir Damad, al-Qabasāt, hlm. 471-472; Shadr al-Muta'allihin Syirazi (Mulla Sadra), al-Hikmat al-Muta āliyah, jil. 6, hlm. 384-385.

Augustine (354–430 M) salah seorang teolog awal Kristen, tentang hal ini berkata: "Hanya dengan kenyataan bahwa engkau jauh sebelumnya telah mengetahui "keberdosaan" seseorang, tidak menjadikannya terpaksa dalam perbuatannya; bahkan sekiranya perbuatan ini bersifat pasti (sebagaimana kemestian dari ramalanmu seperti ini). Dengan demikian, pengetahuanmu sebelumnya selaras dengan kebebasan dan ikhtiarnya; artinya engkau mengetahui bahwa ia dengan kehendaknya akan menjadi seperti ini. Oleh karena itu, Tuhan pun tidak menjadikan seseorang terpaksa dalam melakukan dosa, meskipun sebelumnya telah mengetahui siapa orang-orang yang dengan kehendaknya sendiri akan terlumuri dengan dosa. (1) Dengan kata lain, sesuatu terkait dengan pengetahuan Tuhan, bukan hanya prinsip eksistensi perbuatan-perbuatan ini, melainkan [termasuk] eksistensi mereka bersama dengan seluruh tipologinya (seperti keikhtiarannya). Oleh karena itu, tuntutan dari tidak bisanya ramalan ini salah adalah bahwa perbuatan-perbuatan manusia bersifat bebas atau dengan ikhtiar. (2)

Tidak Berubah, Kesempurnaan atau kekurangan?

Apakah kesempurnaan-kesempurnaan Tuhan bisa bertambah? Apakah Tuhan seperti halnya dengan kita manusia, mempunyai perasaan dan emosi? Apakah penderitaan dan kesulitan-kesulitan manusia menyiksa serta menyedihkan Tuhan? Apakah perilaku kita dapat menimbulkan perubahan dalam program-program Ilahi? Mayoritas filsuf dan para penganut agama-agama Ilahi menyebut "adanya potensi perubahan"(3) sebagai suatu jenis kekurangan dan

p: 143


1- Augustine, On Free Choice of the Will, diterjemahkan oleh Thomas Williams, hlm. 78 (buku 3, bag. 4).
2- Silakan lihat Muhammad Husain Thabathabai, al-Mizān, jil. 15, hlm. 253-254.
3- Di sini, kami menggunakan penerimaan perubahan” dalam makna yang luas dan tidak membedakannya dengan pelbagai sumber-sumber perubahan. Dalam bahasa Inggris biasanya antara kedua istilah Immutability dan impassibility dibedakan. Istilah kedua pada umumnya menunjukkan suatu perubahan yang bersumber dari perasaan-perasaan dan emosi. Oleh karena itu, berubahnya warna apel dapat dinamakan "perubahan (tagyīr" dan berubahnya warna muka manusia disebabkan rasa takut atau malu sebagai “reaksi (infi āl)" Dari sisi lain, mengingat reaksi juga merupakan sejenis perubahan, secara formal hubungan antara kedua istilah ini harus disebut "umum dan khusus mutlak." Kendati demikian, sebagian intelektual Barat menganggap relasi ini "umum dan khusus min wajh" dan terkadang berbicara tentang kemungkinan akan kesepadanan keduanya. Silakan lihat Brian Leftow, "Immutability" dalam: Routledge Encyclopedia of Philosophy, vol. 4, hlm. 711; H.P. Owen, "God, Concepts of", dalam: Paul Edwadrs (ed.) The Encyclopedia of Philosophy, vol. 3, hlm. 346; Donald G. Bloesch, God the Almighty, hlm. 91.

mereka menyebut Tuhan senantiasa terjauhkan dari kekurangan ini.

Oleh karena itu, tak ada satu pun jenis perubahan yang terjadi pada zat Tuhan dan tak ada seorang pun yang dapat memalingkan-Nya dari mengerjakan suatu putusan atau mendekatkan-Nya untuk melakukan suatu perbuatan. Walaupun demikian, beberapa masalah-di mana sebagian darinya telah terefleksikan dalam pertanyaan-pertanyaan yang telah disebutkan sebelumnya-membuat segolongan berpendapat bahwa pandangan tradisional tentang hal ini tidak benar dan secara khusus menegaskan poin bahwa seorang yang menghendaki kebaikan hamba-hambanya, semestinya terusik atau tersiksa dengan musibah dan penderitaan mereka dan jika ia tidak mengurangi rasa sakit mereka, setidaknya turut serta dalam kesedihan-kesedihan mereka. (1) Pengetahuan Tuhan terhadap masalah-maslaah partikular (juz`iyah) — sebagaimana yang telah lalu-juga dianggap tidak sesuai dengan kemustahilan perubahan pada diri-Nya. Di samping itu, penerimaan taubat para hamba serta pengabulan hajat-hajat mereka merupakan masalah-masalah yang mungkin saja termasuk tanda timbulnya suatu perubahan dalam zat Tuhan.(2) Tentu saja para pendukung teologi proses-di mana ia sendiri bertumpu pada falsafah proses-menekankan mobilitas dan dinamisasi ketimbang stagnan atau statis, dan mereka berkeyakinan bahwa Tuhan sebagaimana halnya makhluk (entitas-entitas) yang lain senantiasa dalam keadaan berubah dan menyempurna. (3)

p: 144


1- Michael peterson et. al., 'Aql wa l'tiqād Dīnī, hlm. 102.
2- Lihat: Brian Leftow, "Immutability" dalam: Routledge Encyclopedia of Philosophy, vol. 4, hlm. 712; William E. Mann, "Simplicity and Immutability in God", dalam Thomas V. Morris (ed.) The Concept of God, hlm. 254.
3- Guna mengetahui lebih jauh tentang filsafat dan teologi proses, silakan merujuk pada kamus terminologi teknis.

PIKIRKAN DAN DISKUSIKAN BERSAMA Ayat-Ayat dan Riwayat-Riwayat yang Mengesankan Perubahan Tuhan Sebagai tambahan atas ayat-ayat dan riwayat-riwayat yang berbicara tentang penerimaan taubat dan terijabahnya doa, redaksi-redaksi, atau ungkapan-ungkapan lainnya dapat pula ditemukan dalam pelbagai teks-teks agama yang pada pandangan pertama, menampilkan Tuhan tidak dapat berubah, sebagaimana yang kita baca dalam salah satu ayat-ayat al-Qur'an seperti ini, "Maka tatkala mereka membuat kami murka, kami membalas/menghukum) mereka, dan kami tenggelamkan mereka semua." (QS Al- Zukhruf [43]: 55) Dalam riwayat-riwayat juga disebutkan penisbahan murka dan marah kepada Tuhan; sebagaimana salah satu di antaranya menyebutkan, "Ketika kalian memberi janji kepada anak-anak kalian, maka penuhilah; Tuhan tidak akan sedemikian murka atas sesuatu yang lain, sebagaimana bagi para perempuan dan anak-anak."(1) Sifat-sifat seperti kasih dan sayang juga mengesankan bahwa Tuhan bersedih atau tersiksa atas musibah-musibah hambanya; khususnya dalam sebagian riwayat-riwayat, rahmat Tuhan dan kelembutan hati serta perasaan iba seorang ibu pada seorang anak telah dibandingkan dan disebut [rahmat Tuhan] lebih baik darinya. (2) (Dalam teks- teks agama lainnya juga dapat ditemukan redaksi atau ungkapan semacam ini yang akan kami cukupkan dengan salah satu di antaranya-yang dalam perkataan Aquinas

p: 145


1- Al-Kafi, jil. 6, hlm. 50.
2- Shahih al-Bukhāri, jil. 7-9, hlm. 324 (kitāb al-ādāb, bab rahmat al-walad); Shahih Muslim, jil. 4, hlm. 2109 (Kitāb al- tawbah, bab sāat rahmatillah); Sunan Ibn Majah, jil. 2, hlm. 1436 (Kitāb: al-zuhd, bab: mā yurja min rahmatillah)

mengemuka sebagai sebuah kesamaran (syubhat) dalam masalah tidak berubahnya Tuhan.(1) Masalah kedekatan Tuhan kepada hamba-hambanya terlihat pula dalam teks-teks Islam; sebagaimana yang terdapat dalam suatu hadis Qudsi: "Siapa yang mendekat kepada-Ku sejengkal, maka Aku akan mendekatinya sehasta."(2) Walaupun demikian, tiadanya perubahan pada Tuhan-merujuk kepada dalil-dalil rasional dan referensial-sepertinya tidak disertai dengan konsekuensi yang bersifat negatif dan juga sesuai dengan sifat- sifat lainnya. Tuhan senantiasa menghendaki kemaslahatan seluruh hamba-hamba-Nya serta tidak kikir dengan rahmat umumnya bagi siapa pun (bahkan pada pendosa dan pembangkang). Orang-orang yang mengaitkan keinginan baik serta inayah dengan "penderitaan" dan "ketersiksaan", telah lalai dengan perbedaan antara keberadaan yang terbatas dan nir-batas. Kita manusia ketika melihat orang yang teraniaya dengan begitu pedih, kita akan terpengaruh dan terkadang menenangkan diri kita dengan tetasan air mata. Namun, Tuhan tanpa adanya reaksi seperti ini pada diri-Nya sesuai dengan kesempurnaan zat-Nya, lebih penyayang dari siapa pun. (3) Jika kita melakukan sebuah upaya untuk mengurangi beban sakit orang lain, dalam tingkatan pertama, kita sedang berupaya mengurangi ketersiksaan batin diri kita; sementara rahmat Tuhan tidak punya tujuan kecuali menyampaikan kebaikan kepada hamba-hamba-Nya.(4) Kegembiraan dan kemarahan Tuhan juga harus ditafsirkan seperti ini. Sebagian dari perbuatan-perbuatan hamba tidak selaras dengan pelbagai tanggung jawab yang telah ditetapkan bagi mereka.

p: 146


1- Thomas Aquinas, Summa Theologica, 9, 1, "Mendekatlah kepada Allah, dan la akan mendekat kepadamu." Alkitab, Surat Yakobus, 4:8. Tentu saja dalam salah satu kitab perjanjian lama telah disebutkan secara gamblang tentang tidak berubahnya Tuhan: "I am God. I change not" ["Aku, adalah TUHAN, tidak berubah") (Maleakhi, 3:6).
2- Shahih al-Bukhāri, jil. 7-9, hlm. 787 (kitab: al-Tawhid).
3- Tentu saja dengan penis bahan "syadidu al-rahmah" dan "Arhamu al-rāhimīn" itu pula, bagi mereka yang kehilangan kelayakan memperoleh rahmat ini, merupakan "syadid al-iqāb" dan "Asyadd al-mu'āqibīn."
4- Muhammad Ghazali, Syarh Asmāullah al-Husnā, hlm. 50.

Perbuatan-perbuatan ini dapat diliputi dengan kemurkaan dan kemarahan Tuhan serta berhak mendapatkan azab-Nya. Tentu sangat jelas bahwa semakin buruk sebuah perbuatan, maka semakin besar pula ketidaksenangan dan kemurkaan Tuhan. Meskipun demikian, kita tidak boleh memandang Tuhan sama seperti makhluk kemudian membayangkan bahwa besarnya kemurkaan, telah membuat darah- Nya mendidih dan urat-urat leher-Nya membengkak. Dari sisi ini pula, pada sebagian riwayat-riwayat dalam menjawab pertanyaan bahwa "Apakah Tuhan dapat dikatakan memiliki keridaan dan kemarahan?" ditemukan seperti berikut, "Ia (benar)! tetapi tidak sama dengan apa yang ada pada para makhluk ... Tuhan adalah Esa serta memiliki zat dan makna (sifat-sifat) yang satu. (1) Oleh karena itu, kegembiraan-Nya adalah ganjaran pahala-Nya itu sendiri dan kemurkaan-Nya adalah ganjaran siksaan-Nya itu sendiri; tidak berarti bahwa sesuatu dalam diri-Nya terjadi, membuatnya riang dan membalikkan-Nya dari satu kondisi kepada kondisi yang lain karena hal ini merupakan sifat-sifat makhluk yang lemah dan membutuhkan". (2) Masalah-masalah seperti diterimanya taubat para hamba serta dikabulkannya doa-doa mereka juga mengikuti aturan-aturan tetap dan bersifat azali, yakni sebagaimana halnya hukuman bagi para pelanggar bersumber dari suatu hukum Ilahi, penerimaan taubat mereka pun seperti itu; bukan berarti bahwa hamba-hamba yang menyesal dengan tangisan dan berkeluh kesah menimbulkan suatu keadaan baru dalam diri Tuhan dan membuat-Nya jadi pengasih. Menurut ungkapan sebagian ulama: "Tuhan senantiasa mempunyai sifat-sifat sempurna nan indah yang dimilikinya sejak dahulu (primordial)." (3) Sesungguhnya, dengan perubahan yang kita munculkan pada diri kita,

p: 147


1- “Ahadiyyu al-dzāt wa ahadiyyu al-Ma'nā.” Perumpamaan-perumpamaan ini dapat disebut sebagai penjelasan akan simplisitas (basātath) Tuhan. Sebagian cendekiawan Timur dan Barat dengan berpegang pada kekhususan ini pula (simpilisitas Tuhan) membuktikan tidak berubahnya Dia. Silakan lihat Shadr al-Muta'allihin Syirazi (Mulla Sadra), Syarh Ushul al-Kāfi, jil. 1, hlm. 229- 230; Thomas Aquinas, Summa Theologica, 9, 1; Brian Leftow,"Immutability" dalam: Routledge Encyclopedia of Philosophy, vol. 4, hlm. 712; William E. Mann, "Simplicity and Immutability in God", dalam Thomas V. Morris (ed.) The Concept of God, hlm. 255.
2- Muhammad bin Ya'qub Kulaini, al-Kafi, jil. 1, hlm. 110.
3- Sayid Ali Han Madani, Riyādh al-Sālikin, jil. 2, hlm. 259. Begitu pula, silakan lihat Shadr al- Muta'allihin Syirazi (Mulla Sadra), al-Mabdā wa al-Ma'ād, jil. 1, hlm. 255; Muhammad Mahdi Naraqi, Jāmi'al-Sa ādat, jil. 3, hlm. 180-181.

kita merasakan kepatutannya untuk terliputi dengan suatu aturan lain di antara aturan-aturan Ilahi.

Kesimpulan

Salah satu masalah utama dalam pembahasan sifat-sifat Tuhan ialah apakah secara mendasar Tuhan dapat disebut memiliki sifat atau sifat-sifat? Segolongan dari kalangan pemikir Barat dan Timur secara gamblang menegaskan kemurnian atau kesucian Tuhan dari segala bentuk sifat.

2. Kebanyakan pemikir Muslim dan non-Muslim menyebut sifat-sifat Tuhan sama dengan (diri) zat-Nya. Segolongan lainnya menyebut sifat-sifat-Nya berbeda atau di luar zat-Nya.

3. Sebagian besar orang-orang yang menyebut Tuhan memiliki sifat- sifat, menegaskan mungkinnya mengetahui sifat-sifat ini; dengan mengingatkan bahwa semua orang tidak mempunyai kemampuan yang sama antara satu dengan lainnya dan tak ada seorang pun yang akan mengenalnya (mengetahuinya) sebagaimana Ia layak diketahui.

4. Segolongan filsuf dan teolog menyimpulkan kebanyakan di antara sifat-sifat Tuhan dengan berperantarakan konsep-konsep seperti "wujub-nya wujud", "kesempurnaan mutlak", dan "tiadanya keterhinggaan." Ciri-ciri kesempurnaan makhluk-makhluk dapat pula disebut sebagai tanda atau petunjuk dari sifat-sifat pencipta mereka.

5. Sebagian kaum ateis berbicara tentang kontradiksi internal konsep Tuhan dengan bersandar pada sifat-sifat yang diyakini kaum penyembah Tuhan atau menganggap tak selaras keberadaan Tuhan dengan sifat-sifat seperti itu dengan adanya peristiwa- peristiwa merugikan seperti banjir dan gempa bumi yang secara etimologi dinamakan dengan syurūr (keburukan-keburukan).

"Kekuasaan mutlak" bukanlah suatu konsep yang mengandung kontradiksi internal. Pertanyaan-pertanyaan semacam "apakah Tuhan mampu melenyapkan diri-

p: 148

Nya?" — dengan alasan mengandung kontradiksi-adalah tak bermakna dan tidak berhak mendapatkan jawaban apa pun.

7. Ilmu Tuhan terhadap partikular-partikular, tidak menyertakan perubahan pada diri-Nya; bahkan pada diri manusia pun pengetahuan atas suatu hakikat yang mengisyarahkan proposisi "Ali sekarang sedang berdiri", tidak berubah setelah ia (Ali) duduk.

8. Keyakinan akan adanya ketidaksesuaian antara "ilmu primordial Tuhan" dan "ikhtiar (kehendak bebas) manusia" telah menggiring segolongan orang pada pengingkaran ikhtiar dan segolongan lainnya pada pembatasan ilmu Tuhan. Hal ini terjadi dalam keadaan di mana sesuatu (objek) yang berkaitan dengan ilmu Tuhan, bukan hanya prinsip pewujudan perbuatan-perbuatan ini, melainkan kewujudan mereka bersama seluruh kekhususan- kekhususannya (seperti keikhtiaran).

9. Ketidakberubahan Tuhan-yang didukung dengan dalil-dalil rasional serta bukti-bukti naqli-tidak disertai dengan konsekuensi negatif dan selaras pula dengan sifat-sifat-Nya yang lain.

Pertanyaan

1. Menurut pandangan Qadhi Said Qummi, apa yang dimaksudkan Imam Ali tentang penafian sifat-sifat (Kamāl ikhlās lahu Nafiy al- sifāti 'anhu)? Sebutkan pula setidaknya tiga tafsiran lainnya dari ungkapan ini! 2. Dalil (dali-dalil) apakah yang dimiliki orang-orang yang mengklaim bahwa sifat-sifat Tuhan adalah sama dengan zat-Nya (atau zat-Nya itu sendiri)? 3. Dalam masalah hubungan zat dan sifat-sifat Tuhan antara satu dengan lainnya, apakah dua pandangan "pewakilan" dan "kesamaan total ("ainiyah)" dapat dirujukkan kepada yang satu dengan lainnya? Jelaskan! 4. Bagaimana dapat memahami (mengetahui) sifat-sifat Tuhan yang berbeda-beda? 5. Apa perbedaan nama dan sifat Tuhan antara satu dengan lainnya?

p: 149

6. Apa yang dimaksud kesatuan dan keselarasan internal sifat-sifat Ilahi? 7. Apa yang dimaksud dengan "paradoks kekuasaan mutlak" dan bagaimana dapat menyelesaikannya? 8. Jelaskanlah pandangan aliran yang dikenal dengan "teologi proses" tentang kekuatan mutlak Tuhan serta ketiadaan perubahan pada- Nya! 9. Apakah ilmu Tuhan terhadap partikular akan berujung pada perubahan di dalam zat-Nya? Mengapa? 10. Orang-orang yang menyebut Tuhan sebagai tahu secara mutlak dan pada saat yang sama, mengingkari pengetahuan-Nya atas perbuatan-perbuatan ikhtiar manusia, apa justifikasi yang mereka miliki untuk pandangan ini? Kajilah pandangan ini! 11. Apakah konsekuensi penerimaan taubat para hamba serta terijabahnya doa mereka adalah perubahan pada diri Tuhan? Bagaimana? 12. Secara tertib, pandangan manakah yang diisyarahkan oleh ketiga ungkapan-ungkapan berikut tentang hubungan dzat dan sifat-sifat Tuhan: "Alimun lā bi ilmin", "Alimun bi ilmin", Alimun bi ilmin huwa huwa"? A) Kesamaan total (`ainiyah), pewakilan (niyābah), perbedaan (ziyādah).

B) Pewakilan, perbedaan, kesamaan total.

C) Perbedaan, kesamaan total, pewakilan D) Perbedaan, pewakilan, kesamaan total.

p: 150

BAGIAN 5: POSISI KEBURUKAN DALAM SISTEM PENCIPTAAN

Point

BAGIAN 5 POSISI KEBURUKAN DALAM SISTEM PENCIPTAAN(1) Agama-agama Ibrahimi memahami Tuhan sebagai penguasa mutlak, mengetahui secara mutlak dan murni menginginkan kebaikan. Di sisi lain, adanya keburukan-keburukan di alam semesta tak dapat diingkari. Berdasarkan hal ini, apakah pada saat yang sama keempat proposisi-proposisi di bawah ini dapat diterima? 1) Keburukan itu ada (punya eksistensi). 2) Tuhan berkuasa secara mutlak. 3) Tuhan mengetahui secara mutlak. 4) Tuhan menginginkan kebaikan hamba- hamba-Nya.

Setiap tahunnya, peristiwa-peristiwa merugikan dan bencana alam seperti banjir dan gempa bumi menyebabkan sebagian besar orang meninggal dan menjadikan sebagian besar mereka kehilangan tempat tinggal. Sejak awal kemunculan manusia, banyak anak-anak yang lahir dengan tubuh cacat, penyakit dan kelaparan membenamkan banyak orang ke dalam kubangan penderitaan yang berketerusan.

Sepanjang sejarah, sebagian manusia sedikit pun tak pernah lalai dari perbuatan aniaya (penindasan) atas sesamanya dan untuk sampai kepada keinginan-keinginan rendahnya, mereka membelah perut- perut dan memisahkan kepala-kepala. Apakah Tuhan tidak mampu menciptakan suatu alam yang terlepas dari keburukan-keburukan ini?

p: 151


1- Dalam penulisan bagian ini, banyak menggunakan literatur berikut ini: Muhammad Hasan Qaderdan Qaramlaki, Khudā wa Masalah Syar.

Apakah Tuhan tidak mengetahui musibah-musibah ini serta tidak tahu cara atau jalan untuk mencegahnya? Apakah Tuhan tidak menghendaki kebaikan makhluk-makhluk-Nya.(1) Menurut David Hume (1711–1776 M) semua ini adalah pertanyaan-pertanyaan yang setidaknya sejak zaman Epicure (341—270 SM) telah mengemuka dan senantiasa tetap tinggal tak terjawab.(2) Setelah pembuktian wujud Tuhan dan dalam mempertahankan atau membela keadilan Ilahi, para pemikir Muslim melakukan pemetaan atas masalah keburukan-keburukan serta menjawab pelbagai keraguan tentangnya. Dari ayat-ayat al-Quran juga dapat dipahami seperti ini bahwa prinsip dasar penciptaan manusia memiliki kemaslahatan-kemaslahatan yang menjustifikasi keburukan-keburukan yang bersumber dari ikhtiar buruk sebagian manusia.(3) Di antara kalangan pemikir Kristen, Irenaeus (140–202 M) dapat disebut sebagai orang yang pertama kali-dengan berpegang pada keberikhtiaran manusia-melakukan upaya rasionalisasi atau justifikasi terhadap keburukan-keburukan.(4) Salah satu dari kitab-kitab perjanjian lama pada dasarnya terkhususkan pula untuk permasalahan ini serta untuk mengkaji atau meneliti lebih jauh alasan dari pada musibah-musibah yang menimpa Nabi Ayyub.(5) Hari ini, persoalan ini bukan hanya sekedar menjadi permasalahan bagi sifat-sifat Tuhan, tetapi bahkan termasuk sebagai "tempat berlindung bagi ateisme" dan merupakan dalil terpenting dalam menentang keberadaan Tuhan.(6) Bahkan, sebagian kaum ateis

p: 152


1- Silakan lihat Augustine, l'ttirāfat [Confessions), terjemahan Parsi oleh Sayeh Maitsami, hlm. 204-206 (Daftar Haftum, Fashl Panjum).
2- David Hume, Dialogues Concernings Natural Religion, bag. 10, hlm. 157.
3- “Dan ketika Tuhan-mu berfirman kepada para malaikat: “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah dimuka bumi." Mereka berkata: "Mengapa Engkau hendak menjadikan di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan di dalamnya dan menumpahkan darah, ... Tuhan berfirman: "Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui." (QS Al-Baqarah [2]: 30)
4- la dalam pasal 37 dan 38 bagian keempat dari buku “Against Heresies" mengisyaratkan gagasan ini. Teks lengkap buku ini dapat Anda temukan pada Robertson and Donaldson (Eds.), The Ante- Nicene Fathers, vol. 1, hlm. 315-567.
5- Dalam suatu bagian dari kitab ini, beratnya penderitaan-penderitaan Ayub digambarkan seperti ini: "Atau mengapa aku tidak seperti anak gugur yang disembunyikan, seperti bayi yang tidak melihat terang?... karena cahaya kehidupan hanya menyinari orang yang tak memiliki jalan keluar dan Tuhan menutup pintu-pintu harapan menuju-Nya!" (Perjanjian Lama, Ayub, 3:16 dan 24)
6- Lihat: Hans Kung On Being a Christian, diterjemahkan oleh Edward Quinn, hlm. 431.

menyebut keberadaan Tuhan agama-agama Ibrahimi bertentangan secara logis dengan adanya keburukan-keburukan; sebagaimana John Makcy (1917–1981 M) dalam sebuah makalah terkenal "Keburukan dan Kekuasaan Mutlak" — dalam menjelaskan apa yang saat ini disebut dengan "permasalahan logis keburukan"-mengatakan: Untuk menunjukkan kontradiksi di antara dua proposisi "Tuhan ada" dan “keburukan ada" kita perlu menggunakan sebagian dari premis-premis pembantu (extension) terkait dengan kata-kata "kebaikan", "keburukan", dan "berkuasa mutlak." Prinsip-prinsip ekstensi ini antara lain adalah sebagai berikut:

1. Kebaikan bertentangan dengan keburukan; sedemikian rupa sehingga wujud yang menginginkan kebaikan sedapat mungkin senantiasa menghilangkan keburukan.

2. Sesuatu yang dapat dilakukan wujud yang berkuasa mutlak sama sekali tak terbatas.

Konklusi premis-premis tersebut adalah bahwa entitas yang berkeinginan baik dan berkuasa mutlak menyebabkan keburukan tercabut secara menyeluruh. Oleh karena itu, kedua proposisi di bawah ini tidak selaras antara satu dengan lainnya:

"Wujud yang berkeinginan baik dan berkuasa mutlak ada" dan "keburukan ada". (1)

Mengingkari Keburukan atau Mengingkari Sifat-Sifat Tuhan?

Mayoritas para penganut agama-agama Ilahi berupaya menyiapkan suatu justifikasi untuk terealisasinya keburukan-keburukan tanpa mengingkari keempat proposisi-proposisi yang telah disebutkan.

Meskipun demikian, dapat pula ditemukan orang-orang yang mengingkari masing-masing dari keempat proposisi-proposisi tersebut.

p: 153


1- J.L. Mackie, “Evil and Omnipotence" dalam Urban and Walton (Eds.), The Power of God, hlm. 18.

PIKIRKAN DAN DISKUSIKAN Tidak Melihat Sesuatu Selain Kebaikan pada Alam Segolongan dari kalangan orang-orang yang bertauhid berkeyakinan bahwa jika kita memandang alam dari sudut pandang ketuhanan, kita tidak akan melihat sesuatu di dalamnya selain kebaikan(1) sebagaimana Zainab pasca peristiwa Karbala, dalam menjawab pertanyaan "Bagaimana engkau melihat perlakuan Tuhan terhadap saudara dan keluargamu?" Dengan tangkas Zainab menjawab, "mā ra'āytu illā jamīla, tak kulihat sesuatu selain keindahan (dan kebaikan)." (2) Dinukil dari sebagian filsuf Yunani bahwa "Ketika sesuatu dipandang dari sudut pandang keabadian dan kekekalan (sarmadiyyah), maka keburukan benar-benar tiada."(3) Hafiz dengan pandangan ini pula, melantunkannya seperti ini:

"Tua kita berkata, kesalahan atas pena penciptaan belumlah pergi"— "hebat! bagi pandangan suci penutup kesalahan" Menurut Anda dengan pandangan seperti ini terhadap alam semesta, apakah kita tetap dapat (atau mesti) berbicara tentang sebuah masalah yang bernama "keburukan?" Sebagian agama dan aliran Ibrahimi serta non-Ibrahimi menyebut keburukan tidak lebih dari sebuah fantasi dan khayalan belaka. (4) Golongan lainnya, guna mengingkari eksistensi keburukan,

p: 154


1- Silakan lihat Mulla Hadi Sabzewari, Asrār al-Hikam, hlm. 104.
2- Muhammad Baqir Majlisi, Bihār al-Anwār, jil. 45, hlm. 116.
3- Frederick Capleston, Tārikh-e Falsafah, terjemahan Persia oleh Ghulam Ridha Awani, jil. 1, hlm. 447.
4- Silakan lihat Robert Hume, Adyān Zende Jahān [The World's Living Religion), terjemahan Parsi oleh Abdurrahim Ghowahi, hlm. 358; W.J. Whalen, “ Eddy, Mary Baker" dalam New Catholic Encyclopedia, vol. 5, hlm. 102.

menonjolkan kekurangan daya persepsi manusia(1) dan kadang-kadang menampakkan keputusan-keputusan penilaiannya sebagai penilaian yang tidak valid dan mereka menekankan poin bahwa "jalan-jalan Tuhan lebih baik dari jalan-jalan kita". (2) Dari sisi lain, segolongan orang yang percaya dengan Tuhan, guna menyelesaikan masalah keburukan memperbarui pandangan mereka terhadap sebagian sifat-sifat Tuhan dan kali ini mereka menyatakan pandangan tradisional agama-agama Ilahi sebagai pandangan yang tidak benar. Sebelumnya telah kita ketahui upaya yang dilakukan para teolog guna membatasi kekuasaan Ilahi. (3) John Stuart Mill (1806–1873 M) dengan motivasi ini pula mengingkari ilmu dan kekuasaan mutlak Tuhan. (4) William James (1842–1910 M) juga menyebutkan bahwa anggapan atas keterbatasan ilmu dan kekuasaan Tuhan merupakan satu-satunya jalan penyelesaian masalah keburukan.(5) Begitu pula, menurut Ibn Maimun, salah satu motivasi utama orang-orang yang menyatakan bahwa Tuhan tidak mengetahui hal-hal partikular adalah untuk menjustifikasi keburukan-keburukan yang telah terjadi pada alam semesta. (6) Di samping itu, di antara orang-orang yang memercayai Tuhan terdapat pula orang-orang yang-dengan memperbarui pandangan mereka pada sifat ketiga dari ketiga sifat-sifat tersebut, menyatakan bahwa "keinginan baik Tuhan sesungguhnya hanya ada

p: 155


1- Silakan lihat lan Barbour, 'Ilm wa Dīn Science and Religion), terjemahan Parsi oleh Bahauddin Khurramsyahi, hlm. 48.
2- Poin yang telah disebutkan diambil dari salah satu ayat-ayat kitab suci: "Seperti tingginya langit dari bumi, demikianlah tingginya jalan-Ku dari jalanmu dan rancangan-Ku dari rancanganmu." (Yesaya, 55:9).
3- Ditambah dengan apa yang telah lalu, kelompok ini terkadang menganggap “kekuatan mutlak” lebih tinggi dari pemahaman manusia dan dengan perantaraan ini, yang seharusnya menyelesaikan masalah keburukan-keburukan, menyebut bentuk masalah tersebut bersifat abstrak. Silakan lihat Charles Hartshorne, "The Mystery of Omnipotence Is Too Deep for Human Reason" dalam Urban and Walton (Eds.), The Power of God, hlm. 250.
4- H. P. Owen, "God, Concepts of', dalam: Paul Edwadrs (ed.) The Encyclopedia of Philosophy, vol. 3, hlm. 346.
5- William James, A Pluralistic Universe, hlm. 310–311.
6- Ibn Maimun, Dalālat al-Hairīn, hlm. 518-519.

pada perbuatan awal penciptaan" bukan dalam "kasih sayang seorang ayah yang berkelanjutan". (1) Dengan mendukung pandangan ini, harga yang mesti dibayar guna menjustifikasi keburukan-keburukan ialah bahwa kita harus menyebut Tuhan seperti layaknya seorang arsitek dan pembuat jam di mana sesudah membuat produk-produknya, Dia tidak lagi turut campur dengan produknya.

PIKIRKAN DAN DISKUSIKAN Pencipta Kebaikan-Kebaikan dan Keburukan- Keburukan Para penganut ajaran Zoroaster, membedakan pencipta kebaikan-kebaikan dari pencipta keburukan- keburukan.(2) Menurut penulis buku "Tārikh-e Jāme' Adyān" [Sejarah Lengkap Agama-Agama), tidak begitu jelas apakah pencipta keburukan-keburukan (Ahriman) adalah makhluk dari pencipta kebaikan-kebaikan (Ahuramazda) atau ia sendiri merupakan suatu wujud yang kekal dan abadi :

"Nas-nas dari kitab-kitab Zoroaster tentang batasan tanggung jawab Ahuramazda dalam masalah pewujudan ruh buruk sangat abstrak dan tidak jelas. Tidak diketahui pula bahwa Ahriman (yakni jiwa kotor) sejak dahulu telah mewujud bersama dengan Ahuramazda, ataukah Ahuramazda yang menciptakannya kemudian. Dengan kata lain, apakah ahuramazda menciptakan jiwa tidak suci Ahriman atau Ahriman dulunya merupakan suatu wujud kotor dan Mazda yang menemukannya?"(3)

p: 156


1- lan Barbour, 'Ilm wa Din, hlm. 52. Untuk mengetahui lebih jauh bentuk-bentuk lainnya tentang pengingkaran keinginan baik Tuhan guna menyelesaikan permasalahan keburukan-keburukan, silakan lihat Max Weber, Dīn, Qudrat, Jame-eh (Religion, Power and Society], terjemahan Parsi oleh Ahmad Tadayyun, hlm. 412-413; John Hospers, Dar Amad bar Tahlil FalsafiſAn Introduction to Philosophical Analysis)], terjemahan Parsi oleh Musa Akrami, hlm. 544.
2- Sebagaimana telah lalu dalam pasal pertama, menurut sebagian peneliti, Zoroaster sendiri tidak mengenal Tuhan lainnya selain Mazda. Muhammad Muin, Majmu' Maqālāt, jil. 1, hlm. 59.
3- John B Noss, Tārikh-e Jāme'Adyān [Man's Religion), terjemahan Parsi oleh Ali Asgar Hikmat, hlm. 461.

Ia di tempat lain menambahkan: "Jika dia merupakan pencipta hakiki seluruh keburukan-keburukan, maka semestinya ia pun harus memiliki kekekalan (primordialitas) sebagaimana Tuhan Yang Mahatinggi.

Jika tidak, konsekuensinya kita akan mengatakan bahwa penciptaan keburukan dan kejelekan adalah di tangan Tuhan kebaikan."(1) Ibn Hazm Andalusia (384—456 Hq.) dalam menjawab pertanyaan tersebut menunjuk kepada dua pandangan, di mana berdasarkan salah satu di antaranya, Ahriman merupakan wujud yang baru (hādits) dan berdasarkan pandangan lainnya, merupakan wujud primordial (gadīm). Pandangan pertama adalah bahwa karena kesendirian Tuhan terlampau lama, ia lalu menjadi takut dan disebabkan itu timbul suatu pikiran tidak benar.

Pikiran ini berubah menjadi kegelapan serta berujung pada kemunculan Ahriman. Karena Tuhan tidak mampu menjauhkan kelahiran yang tak dikehendaki ini (Ahriman) dari dirinya, maka ia mengarah pada penciptaan kebaikan-kebaikan dan Ahriman menciptakan keburukan- keburukan.

Ibn Hazm menyebut pandangan ini tidak berdasar dan menyatakan perkataan-perkataan Majusi bertumpu pada kepercayaan terhadap lima keberadaan primordial: "Tuhan (Uruman), Iblis (Ahriman), waktu (kām)[ghāh), tempat(jam) [jae], hayula (substansi, fitrat) kemudian mengatakan:

"Ahriman adalah pencipta keburukan-keburukan dan Uruman adalah pencipta kebaikan-kebaikan."(2) Menurut Anda, apakah kepercayaan kepada dualitas (dengan tafsiran yang telah disebutkan) dapat disebut sebagai suatu jalan untuk melepaskan diri dari permasalahan keburukan-keburukan?

p: 157


1- John B Noss, Tārikh-e Jāme'Adyān, hlm. 471-472.
2- Ibn Hazm, al-Fashl fi al-Milal wa al-Ahwa wa al-Nihal, jil. 1, hlm. 34.

Keselarasan Keburukan-keburukan dengan Tuhan Agama-Agama Tauhid

Mayoritas para penganut agama-agama Ilahi-tanpa menarik diri dari pendapat-pendapat mereka tentang Tuhan beserta sifat- sifat-Nya,melakukan justifikasi terhadap keburukan-keburukan dan menampakkannya sebagai selaras dengan sifat-sifat transendental Tuhan.(1) Sekumpulan jawaban-jawaban variatif atas masalah keburukan-dengan memperhatikan ruang lingkup dan batasan masing- masing jawaban-dapat disusun dan menyiapkan sebuah penjelasan lengkap tentang keadilan Ilahi. Berikut ini, kami akan menyebutkan yang terpenting di antara jawaban-jawaban yang disodorkan dalam masalah ini.

Tiadanya keburukan

Kebanyakan ulama dan pemikir Timur dan Barat menyebut keburukan sebagai sesuatu yang tiada(2) serta tidak memerlukan sebab. Sebagai contoh, masing-masing dari kondisi miskin, sakit dan mati mengasumsikan sejenis ketiadaan (tiadanya harta, tiadanya sehat, tiadanya hidup) dan selain dari "tiadanya sebab" bagi hal- hal yang ada itu, tak ada sebab yang lain. Untuk menjelaskan klaim ini-yang tergolong aksiomatis-beberapa argumen juga telah dikemukakan.(3) Peruntukan utama pandangan ini di mana filsuf seperti Mir Damad menisbahkannya kepada Plato (427–348 S.M.)-

p: 158


1- Sebagian pemikir Barat berkeyakinan bahwa tidak perlu (atau kita tidak mampu) menjelaskan mengapa terjadi keburukan-keburukan serta melakukan teoretisasi tentang falsafah keburukan-keburukan. Apa yang semestinya (atau dapat) dilakukan adalah melepaskan senjata lawan, yakni seukuran ini adalah cukup di mana kita menunjukkan wujud Tuhan agama-agama tauhid dan wujud keburukan-keburukan "dapat" selaras antara satu dengan lainnya. Dengan kata lain, alih-alih mengajukan, sebuah teori tentang keadilan Tuhan (theodicy) mestinya mengajukan pembelaan (defense). Silakan lihat Alvin Platinga, Khudā, Ikhtiyār wa Syar God, Freedom, Evil), terjemahan Parsi oleh Muhammad Saidi Mehr, hlm. 40-43; Michael Peterson et al, 'Aql wa I'tiqād Dīni (Dar Amadi bar Falsafah Dīn), terjemahan Parsi oleh Ahmad Naraqi dan Ibrahim Sultani, hlm. 190–192.
2- Ditambah dengan sumber-sumber yang akan segera datang, silakan lihat Dour-e Asar Feluthin, terjemahan Parsi oleh Muhammad Hasan Lutfi, jil. 1, hlm. 133-136; Michael Peterson et al., 'Agl wa I'tiqad Dīnī, hlm. 204 (Dinukil dari Augustine); Abu Nashr Farabi, al-Ta liqāt, hlm. 49; Ibn Sina, al-Syifa, al-Ilāhiyyāt, hlm. 416; Ibn Maimun, Dalālat al-Hairīn, hlm. 494; Allamah Hilli, Kasyf al-Murād, hlm. 30; Muhammad Husain Thabathabai, al-Mizān, jil. 1, hlm. 102; jil. 13, hlm. 187; Thomas Aquinas, Summa Theologica, 5, 3.
3- Silakan lihat: Qutbuddin Syirazi, Syarh Hikmat al-Isyrāq, hlm. 520; Mulla Hadi Sabzewari, Asrār al-Hikam, hlm. 105-106.

adalah guna menjawab pertanyaan-pertanyaan seperti: "Siapakah yang mengadakan keburukan-keburukan?" dan "Bagaimanakah keburukan- keburukan tercipta dari keberadaan yang merupakan kebaikan murni?" Pandangan ini, dengan menyebut keburukan sebagai ketiadaan (non- existent), akan memperlihatkan secara baik ketidakbenaran pandangan dualisme karena berdasarkan pandangan ini, keburukan-keburukan pada dasarnya tidak memerlukan pencipta sehingga kita menyebut pencipta mereka berbeda dengan pencipta kebaikan-kebaikan.(1) Wa al-syarru a damun, fakam qad dalla man Yaqūlu bi al-yazdan tsumma al-ahriman(2) Meskipun demikian, segolongan filsuf dan teolog-kadang-kadang dengan berpegang pada dua premis di bawah ini-menegaskan poin bahwa sebagian dari keburukan-keburukan tidak bisa disebut sebagai hal-hal yang tiada:

a. Sakit adalah suatu jenis persepsi.

b. Setiap persepsi adalah sesuatu hal yang sifatnya ada. (3) Dengan kata lain, lezat dan sakit keduanya berimplikasi pada "penemuan" sesuatu dan merupakan suatu jenis persepsi; yang satu merupakan persepsi atas sesuatu yang kita terima (hal yang cocok [mulāyim]) dan satu lainnya merupakan persepsi sesuatu yang kita tidak terima (hal yang tak cocok [munāfir), kesimpulannya ialah sebagian dari keburukan-keburukan bisa didapati bukan sebagai hal-hal yang tiada. Sebagai contoh, terpotongnya organ dapat disebut sebagai hal tiada (tiadanya ketersambungan di antara organ-organ), tetapi sakit bersumber dari sesuatu hal yang eksis. Oleh karena itu, pada contoh ini kita berhadapan dengan dua keburukan di mana satu di antaranya merupakan keberadaan dan satu lainnya adalah ketiadaan. Tentu saja,

p: 159


1- Silakan lihat Mir Damad, al-Qabasāt, hlm. 434; Etienne Gilson, Mabāni Falsafie Masihiyat [Elements of Christian Philosophy), terjemahan Parsi oleh Muhammad Muhammad Ridhai dan Mahmud Musawi, hlm. 486.
2- Mulla Hadi Sabzewari, Syarh al-Manzhumah, Qism al-Hikmah, hlm. 154-155. Terjemahan teks di atas "Keburukan-keburukan merupakan hal-hal yang sifatnya tiada. Maka betapa sesatnya orang-orang yang dalam mencari pencipta bagi keburukan-keburukan memercayai keberadaan Yazdan dan Ahriman."
3- Kesimpulan logis dari dua premis tersebut adalah seperti ini: "Sakit merupakan sesuatu hal yang ada." Sekarang kita dapat menjadikan premis ini sebagai premis mayor argumen berikut ini: "Sakit adalah keburukan; setiap sakit merupakan sesuatu hal yang ada". Kesimpulan: "Sebagian dari keburukan-keburukan, merupakan hal-hal yang ada".

masing-masing dari kedua hal ini apabila sebelumnya tidak bersama dengan yang lain, tetap saja keburukannya tidak akan berkurang (1) Mulla Shadra telah mengemukakan sebuah jawaban atas objeksi dan kritikan ini sedemikian sehingga Mulla Hadi Sabzewari sendiri belum merasa puas dengan jawaban tersebut dan dengan jalan lain-yang diambil dari karya-karya para filsuf sebelumnya (2)—ia menyelesaikan sendiri kritikan tersebut.(3)Menurut Hakim Sabzewari, rasa sakit walaupun bukan keinginan manusia; secara esensial adalah baik karena setiap keberadaan, cocok atau sesuai dengan esensi dirinya; sebagaimana kelayakan substansial bisa ular dan api adalah membinasakan dan membakar. Meski demikian, keberadaan yang cocok dengan esensi dirinya serta baik secara substansial itu sendiri, dapat pula menjadi tidak cocok dengan tabiat atau watak manusia dan secara aksiden terhitung sebagai keburukan. (4) Berdasarkan ini, kaidah universal ini tetap berlaku bahwa "Segala sesuatu yang secara esensial buruk adalah sesuatu yang bersifat tiada."(5) Bagaimanapun, menyebut keburukan sebagai ketiadaan-tanpa mengindahkan keberatan yang telah disebutkan-belum mampu menuntaskan secara menyeluruh permasalahan keburukan dalam pembahasan yang ada sekarang ini karena pertanyaan ini masih tetap dapat diajukan bahwa mengapa Tuhan tidak memenuhi kekosongan yang terjadi pada alam dengan hal-hal yang bersifat ada? atau dengan perumpamaan yang lebih jelas: "Mengapa tempat "ketiadaan" ini tidak diambil oleh "keberadaan"(6) Jawaban-jawaban selanjutnya atas permasalahan keburukan dapat disebut sebagai sebuah upaya atau langkah-langkah dalam menyempurnakan langkah awal ini.

p: 160


1- Alauddin Qausyaji, Syarh Tajrīd al-Aqūid, hlm. 14 (Hāsyiah Jalāluddin Dawāni). Begitu pula, silakan lihat: Fahruddin al-Razi dan Nashiruddin Thusi, Syarh al-Isyārat, jil. 2, hlm. 80 (Hasyiah Razi); Syihabuddin Suhrawardi, Majmu' Mushannafāt, jil.1 (al-Masyāriu wa al-Muthūrihāth), hlm. 472.
2- Silakan lihat Fahruddin al-Razi dan Nashiruddin Thusi, Syarh al-Isyārat, jil. 2, hlm.79 (Hasyiah Thusi); Mir Damad, al-Qabasāt, hlm. 432.
3- Mulla Sadra sendiri dalam Syarh Ushūl al-Kafi, menerima eksistensi sebagian dari keburukan- keburukan, sebagaimana ia mengatakan: "fafham mā dzakarnāhu; fainnahu amrun ajib al- sya n insāgun ilaih al-burhān; a na kauna dharbun min al-Wujūd syarran mahdhan." Shadr al- Mutaallihin Syirazi (Mulla Sadra), Syarh Ushūl al-Kāfi, jil. 1, hlm. 415.
4- Penyataan ini mengisyaratkan kepada suatu poin yang akan datang dalam jawaban kedua, yakni bahwa keburukan merupakan sesuatu hal yang bersifat relatif.
5- Shadr al-Muta`allihin Syirazi (Mulla Sadra), al-Hikmat al-Muta āliyah, jil. 7, hlm. 65-66 (Ta liqah Sabzewari)
6- Murtadha Muthahhari, Majmu'Ātsār, jil. 1,(Adl-e Ilahi), hlm.158.

Relativitas Keburukan

Jawaban kedua atas permasalahan keburukan ialah bahwa keburukan adalah sesuatu yang bersifat relatif dan komparatif.(1) Tak ada satu pun fenomena yang dapat ditemukan di alam semesta yang ia merupakan keburukan substansial dan tanpa kebaikan-kebaikan sedikit pun. Sebagai contoh, sengatan ular dan kalajengking merupakan sebuah alat atau instrumen yang digunakan binatang-binatang ini untuk menghadapi musuh-musuhnya; dari segi ini, tak ada sesuatu selain kebaikan dan kesempurnaan. Kendatipun demikian, instrumen pertahanan ini sendiri mungkin saja menyebabkan kematian bagi yang lain dan secara aksiden (bil aradh) termasuk keburukan. Sebagaimana ungkapan Rumi (604—672 H):

Pas bad mutlaq nabāsyad dar jahān Bad be nisbat bāsyad in rā ham bedān Zahr Mār ān Mār ra bāsyad hayāt Nisbatasy bā Adami bāsyad mamat (Maka tak ada keburukan mutlak pada alam Buruk adalah dinisbahkan pada ini juga pada itu Bisa bagi ular adalah kehidupan Dinisbahkan dengan manusia adalah kematian|(2) PIKIRKAN DAN DISKUSIKAN Menjadikan Manusia Tolok Ukur dalam Menganggap Buruk Fenomena-Fenomena Manusia menyebut dirinya sebagai tolok ukur seluruh alam dan segala sesuatu yang tidak cocok dengan keinginannya, dianggapnya sebagai keburukan. Syekh Isyraq (548–587 H) dengan mengisyaratkan cara pandang ini mengatakan: "Seorang berbicara panjang lebar tentang kebaikan dan keburukan karena mengira gerakan-gerakan

p: 161


1- Silakan lihat Ibn Sina, al-Syifā, al-Ilāhiyyāt, hlm. 419; Ibn Maimun, Dalālat al-Hairīn, hlm. 493; Mir Damad, al-Qabasāt, hlm. 434 dan 466; Mulla Abdurrazak Lahiji, Ghauhar Murād, hlm. 324; Muhammad Mahdi Naraqi, Jāmi' al-Afkār, jil. 1, hlm. 456-457; Mulla Hadi Sabzewari, Asrār al- Hikam, hlm. 105.
2- Jalaluddin Rumi, Matsnawi Ma nawi, Daftar Chārum, Bait-bait 65 dan 68.

bintang adalah demi kemaslahatan manusia atau demi kesenangan Zaid dan Amr."(1) Kemudian menambahkan: "Wujud, tidak bisa lebih lengkap dan lebih sempurna dari pada apa yang telah ada." Filsuf Yahudi, Baruch Spinoza (1632-1677 M) tentang hal ini menulis: "Setelah manusia memuaskan dirinya bahwa segala sesuatu terwujud karena dirinya, mau tak mau ia harus menyebutkan sesuatu yang terpenting di antara segala sesuatu di mana hal itu paling menguntungkan baginya; ... dengan demikian, ia terpaksa membuat suatu konsep-konsep yang dengannya ia menjelaskan alam, misalnya konsep-konsep kebaikan dan keburukan. ...

manusia berpikir seperti ini bahwa segala sesuatu murni tercipta untuk mereka dan menamakan watak atau tabiat sesuatu berdasarkan efek yang ada pada mereka sebagai baik, buruk, sehat, busuk, atau cacat."(2) Menurut Anda, jika dengan bersandar kepada doktrin- doktrin agama, kita menyebut manusia sebagai makhluk termulia dan merupakan tujuan hakiki penciptaan, apakah kita tetap dapat menyebut anggapan buruk terhadap fenomena-fenomena bersumber dari keangkuhan dan egoisme manusia? Relativitas keburukan-yang kadang digunakan pula untuk menjelaskan ketiadaannya-merupakan jawaban tersendiri yang seharusnya tidak bercampur dengan jawaban pertama. Oleh karena itu, jika semua atau sebagian dari keburukan-keburukan merupakan hal-hal yang bersifat ada sekalipun, kerelatifan mereka dapat menjadi justifikasi bagi alasan keberadaan mereka. Walaupun demikian, di sini pun pertanyaan ini masih belum terjawab

p: 162


1- Syihabuddin Suhrawardi, Majmu-e Mushannafāt, jil. 3, hlm. 166-167 (al-Wāhu Imādi). Demikian juga, silakan lihat jil. 1, hlm. 467; Bahmaniyar, al-Tahshil, hlm. 661; Ibn Maimun, Dalālat al-Hāirin, hlm. 496-497.
2- Spinoza, Akhlāq [Ethics), terjemahan Parsi oleh Mohsen Jahangiri, hlm.61–62. Demikian juga lihat: Leon Meynard, Shenasāi wa Hasti (Existence), terjemahan Parsi oleh Ali Murad Dawudi, hlm. 414 (dinukil dari Leibnitz).

bahwa mengapa Tuhan tidak menciptakan suatu alam di mana pemberian kebaikan kepada suatu wujud tidak diikuti dengan timbulnya keburukan bagi wujud-wujud lainnya? Jalan penyelesaian ketiga permasalahan keburukan akan menjawab pertanyaan ini.

Keburukan Adalah Prasyarat bagi Terwujudnya Kebaikan-Kebaikan

Salah satu jawaban orisinal atas masalah keburukan adalah bahwa untuk menghindar dari keburukan (kecil) tak berarti tidak semestinya meninggalkan kebaikan yang banyak; sebagaimana seluruh orang-orang berakal di alam ini rela memotong satu organ di antara organ-organ tubuhnya, demi mendapatkan kesehatan bagian-bagian tubuh yang lebih banyak.(1) Jawaban ini bertumpu atas premis-premis di bawah ini:

1. Di alam materiel, kebaikan-kebaikan dan keburukan-keburukan tidak terpisah antara satu dengan lainnya; 2. Kebaikan-kebaikan alam materiel lebih banyak dibanding keburukan-keburukannya;(2) 3. Untuk menjauh dari keburukan-keburukan sedikit (kecil) tak semestinya meninggalkan kebaikan yang banyak.

Penjelasan lebih jauh tentang dua premis terakhir akan kami mulai dengan suatu klasifikasi yang disandarkan kepada Aristoteles.

Berdasarkan klasifikasi ini, alam-alam kontingen(3) (mumkināt)- dari segi jumlah atau ukuran kebaikan-kebaikan dan keburukan- keburukan yang ada di dalamnya-terbagi ke dalam lima bagian yang dapat disebutkan dengan penamaan berikut ini: Kebaikan murni, keburukan murni, kebaikan dominan, keburukan dominan, kebaikan dan keburukan sama banyak. Hal yang tidak sesuai dengan sifat-sifat transenden Tuhan ialah penciptaan tiga alam dari lima alam yang telah disebutkan, yaitu sesuatu yang hanya meliputi keburukan (keburukan murni); suatu alam di mana keburukan-keburukannya melebihi

p: 163


1- Ibn Sina, al-Isyārat wa al-Tanbihāt, ma'a Syarh Nashiruddin Thusi, jil. 3, hlm. 313 (Namath 7, pasal 27).
2- Untuk melakukan kritik atas mereka yang menyebut premis atau mukaddimah ini tidak benar, silakan lihat Ibn Sina, al-Syifā, al-Ilahiyyāt, hlm. 422; Ibn Maimun, Dalālat al-Hāirin, hlm. 496.
3- Dalam kebanyakan literatur, asal atau sumber bagian (maqsam) dari pembagian (taqsim) ini, benda-benda dan entitas-entitas, bukan alam-alam keberadaan.

kebaikan-kebaikannya (keburukan dominan); dan suatu alam di mana kebaikan dan keburukannya sama banyak. Tuhan tidak akan pernah menciptakan ketiga alam ini, tetapi tak bisa meninggalkan penciptaan kedua alam lainnya. Menurut penjelasan sekelompok pemikir, "Tidak terciptanya kebaikan dominan demi menghindari keburukan sedikit, ia sendiri adalah keburukan dominan." (1) Berdasarkan hal itu, mayoritas orang-orang yang percaya Tuhan menyebut alam materiel sebagai objek dari suatu alam di mana kebaikan-kebaikannya lebih dominan dari keburukan-keburuka (kebaikan dominan) dan banyak di antara para pemikir mengatakan bahwa alam nonmateri merupakan perwujudan dari suatu alam di mana tak dapat ditemukan sesuatu di dalamnya kecuali kebaikan (kebaikan murni). (2) Poin yang patut menjadi perhatian adalah bahwa dari sebutan- sebutan seperti "sedikit" dan "banyak" dalam premis-premis argumen ini tampak bahwa seolah yang menjadi perhatian hanyalah perbandingan "kuantitatif" antara kebaikan-kebaikan dan keburukan- keburukan. Bagaimanapun juga, sebagian dari kalangan pemikir secara gamblang berbicara tentang komparasi "kualitatif" dan mengemukakan pernyataan-pernyataan dengan makna seperti: "Dengan asumsi bahwa ukuran keburukan-keburukan alam melebihi kebaikan-kebaikannya, kesempurnaan-kesempurnaan eksistensial manusia-manusia sempurna lebih unggul atau lebih baik dari seluruh keburukan-keburukan alam.(3) Sebenarnya, apakah untuk tidak terciptanya orang-orang seperti Hitler,

p: 164


1- Silakan lihat Ibn Sina, al-Syifa, al-Ilāhiyyāt, hlm. 418; Bahmaniyar, al-Tahshil, hlm. 660; Syihabuddin Suhrawardi, Majmu' Mushannafāt, jil. 1 (al-Masyāri' wa al-Muthārihat), hlm. 467; Shadr al-Muta`allihin Syirazi (Mulla Sadra), al-Hikmat al-Muta aliyah jil. 7, hlm. 69; Mulla Abdurrazak Lahiji, Ghauhar Murād, hlm. 325; Syahabuddin Alusi, Rūh al-Ma'ānī, jil. 3, hlm. 115; Muhammad Husain Thabathabai, al-Mizān, jil. 13, hlm. 188.
2- Silakan lihat Ibn Sina, al-Syifa, al-Ilahiyyāt, hlm. 418; Mir Damad, al-Qabasāt, hlm. 434-435; Shadr al-Muta'allihin Syirazi (Mulla Sadra), Syarh Ushūl al-Kafi, jil. 1, hlm. 415; Mulla Hadi Sabzewari, Syarh Asma al-Husna, hlm. 222-223.
3- Muhammad Taqi Misbah Yazdi, Ta ligāt ‘a'lā Nihāyat al-Hikmah, hlm. 474. Jawaban ini memiliki latar belakang yang panjang; sebagaimana kebanyakan dari para mufasir Syi'ah dan Sunni, dengan mengisyaratkan ketakjuban para malaikat atas penciptaan manusia “a taj alu fihā man yufsidu fiha wa yusfiku al-dimā" menafsirkan jawaban Tuhan seperti ini: "Sayakūnu min (dzalika) al-khalifati rasulun wa al-anbiya wa qaumān shālihūn." Silakan lihat Ibn Abi Khatam, Tafsir al- Qur'ān al-Adzīm, jil. 1, hlm. 80; Syekh Thusi, al-Tibyān, jil. 1, hlm. 133.

Tuhan mesti menahan diri dari penciptaan Confucius dan Musa serta jutaan manusia-manusia yang unggul lainnya!(1) Sekarang mari membahas premis pertama. Untuk menjelaskan premis ini, pertama-tama kami harus menunjukkan jenis-jenis keburukan. Keburukan memilki klasifikasi yang beragam, (2) di mana salah satu di antaranya yang paling orisinal ialah klasifikasi keburukan kepada natural dan moral (etis). (3) Maksud dari keburukan-keburukan natural ialah peristiwa- peristiwa mengerikan (seperti penyakit dan gempa bumi) yang- setidaknya dalam suatu pandangan yang sifatnya dangkal dan sepintas-tidak berakar dari perbuatan-perbuatan bebas (ikhtiar) manusia. Keburukan-keburukan moral atau etis disebut pula dengan suatu intoleransi atau ketidaknyamanan yang muncul akibat perbuatan zalim dan aniaya manusia kepada dirinya atau kepada orang lain.

Untuk menjelaskan ketidakterpisahan kebaikan-kebaikan dan keburukan-keburukan di alam materiel, masing-masing dari kedua jenis yang telah disebutkan harus dikaji secara terpisah.

Keburukan-Keburukan Natural Adalah Kemestian Alam Natural Alam natural adalah alam paradakos dan saling mengganggu.

Serigala lapar, untuk mengenyangkan perutnya, memangsa binatang- binatang lainnya. Di tanah kering, ilalang dan pepohonan tidak tumbuh dan kemarau menjadikan hewan-hewan di ambang kepunahan.

Berbagai faktor-yang kebanyakan bersumber dari pengaturan buruk

p: 165


1- Silakan lihat John Hick, Falsafah Dīn (Philosophy of Religion), terjemahan Parsi oleh Behzad Shaleki, hlm. 121 (Dikutip dari David Griffin).
2- Sumber-sumber di bawah - di mana yang paling terakhir berbicara tentang dua belas jenis keburukan- mengemukakan klasifikasi yang berbeda dari keburukan-keburukan: Ibn Maimun, Dalālat al-Häirin, hlm. 498-500; Shadr al-Muta'allihin Syirazi, Syarh Ushūl al-Kafi, jil. 1, hlm. 415; Robert Hume, Adyān Zende Jahān (World's Living Religion), terjemahan Parsi oleh Abdurrahim Ghowahi, hlm. 356.
3- Leibnitz dalam suatu pembagian yang secara formal tampak sama, menambahkan pula bagian ketiga yang bernama "Keburukan metafisik” Maksud dia dengan keburukan metafisik ialah kekurangan esensial (dzati) manusia. Dia menamakan pelbagai jenis penderitaan dengan "keburukan natural (keburukan fisik)" dan menyebutnya sebagai konsekuensi dari “keburukan moral" Untuk telaah lebih jauh, silakan lihat Juan Valle, Mā ba da al-Thabiat Metaphysic), terjemahan Parsi oleh Yahya Mahdawi, hlm. 810; Leon Myenard, Syenāsai wa Hasti [Existence], terjemahan Parsi oleh Ali Murad Dawudi, hlm. 412; Mohsin Ridhai, Teodiseh wa Adl llahi, hlm. 89-94.

manusia-mengubah hujan rahmat Tuhan menjadi banjir yang menenggelamkan rumah-rumah dan seterusnya ..., alam yang tidak memilki "paradoks" seperti ini, bukanlah alam materiel.

Dari sisi lain, manusia mampu mengetahui aturan-aturan yang berlaku di alam ini dan hingga batas tertentu mampu mengamankan diri dari bencana atau kerugian-kerugiannya. Bagaimanapun, entah Tuhan harus melewatkan penciptaan alam materi atau keburukan sedikit Dia mengompensasi dengan kebaikan yang banyak. Sebagaimana yang telah lalu, para muwahhid (orang-orang bertauhid) berkeyakinan bahwa yang selaras atau sesuai dengan hikmah Tuhan ialah pilihan kondisi kedua.

Dengan kata lain, jika alam kita lihat sebagai satu "keseluruhan" kita tidak akan menemukan satu pun keburukan di dalamnya.(1) PIKIRKAN DAN DISKUSIKAN Paling Baiknya Alam Kontingen (Mumkin) Kebanyakan orang yang memercayai Tuhan, bukan hanya menyebut alam ini sebagai alam yang baik, melainkan dengan suatu pandangan primordial serta argumen limmi (causal demonstration) menyebutnya sebagai "sistem terbaik" dan "paling baiknya alam kontingen."(2) Bahkan ulama seperti al-Ghazali-sebagaimana orang- orang Asy'ariah lainnya yang menyebut Tuhan tidak perlu

p: 166


1- Silakan lihat Doure-e asar-e Felutin, terjemahan Parsi oleh Muhammad Hasan Lutfi, jil. 1, hlm. 140; Ibn Sina, al-Syifa, al-Ilāhiyyāt, hlm. 418-422; Bahmaniyar, al-Tahshil, hlm. 660; Syihabuddin Suhrawardi, Majmū' Mushannafāt, jil. 1 (al-Masyāri' wa al-Muthārihāt), hlm. 467; Mir Damad, al- Qabasāt, hlm. 467; Fredrick Capeleston, Tarikh-e Falsafah (History of Philosophy), jil. 1, terjemahan Parsi oleh Sayid Jalaluddin Mujtabawi, hlm. 447, David Hume, “Tahqiq dar Barāye Fahm-e Insāni” [Enquiry Concerning Human Understanding), terjemahan Parsi oleh Manucher Bazarmehr, dalam Falsafah Nazhari, jil. 2, hlm. 202-203 (dinukil dari Cynic); Rene Descartes, Ta'ammulāt [Meditations), terjemahan Parsi oleh Ahmad Ahmadi, hlm. 75 (Meditation 4); lan Barbour, 'Ilm wa Din, terjemahan Parsi oleh Bahauddin Khurramsyahi, hlm. 84.
2- Silakan lihat Ibn Sina, al-Ta līgāt, hlm. 157; Bahmaniyar, al-Tahsil, hlm. 657; Mir Damad, al- Qabasāt, hlm. 415-416 dan 425-426; Shadr al-Mutaallihin Syirazi (Mulla Sadra), al-Hikmat al-Muta'āliyah, jil. 7, hlm. 91 dan 106-117; Spinoza, Akhlāq [Ethics), terjemahan Parsi oleh Mohsin Jahangiri, hlm. 50-51; Juan Valle, Mā ba da al-Thabi'ah [Metaphysic), terjemahan Parsi oleh Yahya Mahdawi, hlm. 811.

menghiraukan yang terbaik(1)—terkadang berlawanan dengan prinsip mazhabnya sendiri, dalam mengeluarkan pernyataan-pernyataan di mana ringkasannya hari ini muncul dalam bentuk sebuah kaidah terkenal: "Laysa fil imkān abda`u mimma kāna" (lebih baik dari apa yang ada, tidak bisa ada). Ia tentang hal ini dalam kitab kimia-e saadat menulis: "Segala apa yang dicipta-Nya, sedemikian la ciptakan di mana tidak ada yang lebih baik dan lebih bagus darinya...dan jika lebih sempurna dari ini memungkinkan lalu tidak diciptakan-Nya, entah karena ketidakmampuan atau kekikiran dan keduanya bagi Dia adalah mustahil." (2) Di antara pemikir-pemikir Barat, Leibnitz (1646–1716 M) adalah tokoh paling terkenal di mana dengan penegasan berkali-kali menyebut alam sekarang sebagai paling baiknya alam mumkin. (3) Menurut Anda, apakah untuk menyelesaikan permasalahan keburukan-keburukan adalah cukup dengan kita membuktikan "kebaikan" alam ini? ataukah seharusnya kita mesti menjelaskan "keterbaikannya"? Keburukan Moral Merupakan kemestian Ikhtiar Manusia Tuhan menciptakan manusia dalam keadaan memilki ikhtiar dan dengan ciri kesempurnaan ini, ia dijadikan lebih unggul dari makhluk- makhluk lainnya. Dari sisi lain, kemestian terealisasinya kehendak bebas atau ikhtiar adalah bahwa manusia mampu memilih salah satu di antara jalan-jalan yang ada di hadapannya. Tentu sangat jelas bahwa pilihan bebas ini dapat berakhir kepada penginjak-injakan hak-hak yang lain serta penindasan dan penganiayaan terhadap mereka. Kebanyakan pemikir-sejak pertama kali masalah keburukan mengemuka-dalam

p: 167


1- Silakan lihat Muhammad Ghazali, Ihyā Ulūm al-Dīn, jil. 1, hlm. 133-134; Muhammad Ghazali, al-Iqtishād fi al-I'tiqād, hlm. 205–207; Muhamad Ghazali, al-Qisthās al-Mustaqim,hlm. 106-109)
2- Muhammad Ghazali, Kimiyā Sa ādat, hlm. 133 (Ruqn Awwal, Ashl Awwal).
3- Silakan lihat Bertrand Russell, Tārīkh Falsafah Gharb [History of Western Philosophy), terjemahan Parsi Najaf Daryabandari, hlm. 801-802; Fredrick Capeleston, Tārīkh Falsafah [A History of Philosophy, jil. 4, terjemahan Parsi, Gulam Ridha Awani, hlm. 415; Alvin Platinga, Khudā Ikhtiyār wa Syar [God, Freedom and Evil], terjemahan Parsi oleh Muhammad Saidi Mehr, hlm. 78.

menghadapi pernyataan-pernyataan semacam ini memberikan suatu jalan penyelesaian, sebagaimana Augustine mengatakan, "Seekor kuda bandel atau pembangkang lebih baik dari sebongkah batu yang tidak membangkang karena tidak memiliki persepsi (1) dan dorongan atau rangsangan dari dirinya sendiri." Berdasarkan analogi ini pula, makhluk yang berbuat dosa atas dasar ikhtiar, boleh jadi lebih tinggi dari entitas yang tidak berdaya melakukan dosa disebabkan tidak memiliki kebebasan dan ikhtiar. "(2) Dalam beberapa dekade terakhir, jalan keluar ini menimbulkan perdebatan atau dialog yang lebih sering di antara pemikir Barat.

Kalangan ateis seperti John Mackie dan Antony Flew (3) (1923 M) mengetengahkan pertanyaan kritis bahwa apakah Tuhan tidak mampu menciptakan suatu alam di mana makhluk-makhluk yang mempunyai ikhtiar di dalamnya senantiasa memilih jalan kebaikan dengan ikhtiarnya sendiri?(4) Dengan penjelasan lain, di sini banyak alam-alam kontingen (mumkin) lainnya yang dapat dibayangkan, di antaranya:

suatu alam di mana seluruh makhluk di dalamnya terpaksa (tanpa ikhtiar); suatu alam di mana mayoritas makhluk di dalamnya secara bebas menempuh jalan yang salah; suatu alam di mana di dalamnya, pilihan kebaikan lebih dominan dari pada pilihan keburukan dan suatu alam di mana seluruh makhluk-makhluk yang mempunyai kehendak bebas (ikhtiar) di dalamnya dengan selalu memilih jalan kebaikan dengan ikhtiarnya sendiri. (5) Pertanyaan orang-orang ateis adalah apakah Tuhan tidak mampu menciptakan alam [sebagaimana yang disebut] terakhir ini? Sebagian pemikir memberikan jawaban negatif terhadap pertanyaan ini.

p: 168


1- Sebagaimana yang kita ketahui, para filsuf guna menunjukkan diferensia (fashl) binatang- binatang menggunakan redaksi "hassāsun mutaharrikun bi al-irādah" (perasa, bergerak dengan kehendak).
2- Alvin Platinga, "Khuda, Jahānha Mumkin wa Mas'alah Syar" dalam: Kalām Falsafi, terjemahan Parsi oleh Ibrahim Sultani dan Ahmad Naraqi, hlm. 199.
3- Dalam tahun-tahun terakhir, seakan-akan terjadi suatu perubahan dalam pandangan Flew dan dia menerima kemungkinan adanya wujud Tuhan.
4- J.L. Mackie, “Evil and Omnipotence” dalam Urban and Walton (Eds.), The Power of God, hlm. 27; Antony Flew, "Divine Omnipotence and Human Freedom" dalam Flew and MacIntyre (Eds.) New Essays in Philosophical Theology, hlm. 152.
5- Untuk telaah tentang kesesuaian ikhtiar dan menjauhi dosa, silakan lihat Ahmad Husain Syarifi dan Hasan Yusufiyan, Pazyuheshi dar Ishmat-e Ma shumān, hlm. 43-70.

Menurut salah seorang di antara mereka, hal itu bukan hanya mustahil secara logis, bahkan kebanyakan dari alam-alam kontingen (mumkin) pun berada di luar wilayah kekuasaan Tuhan. (1) Suatu alam yang di dalamnya seluruh individu senantiasa dengan kehendak bebas berada di jalan kebaikan, tak diragukan lagi adalah "mumkin", tetapi penciptaan kondisi hal-hal seperti ini bukan di tangan kekuasaan Tuhan. Dalam kenyataannya, makhluk-makhluk berikhtiar dari alam seperti ini membantu terwujudnya alam tersebut dengan pilihan-pilihannya yang bersifat bebas. (2) Jawaban ini menurut hemat kami tidak benar. Sebagaimana yang telah lalu, segala perbuatan yang bisa terjadi, Tuhan mampu melakukannya; walaupun demikian, kemestian atau bahkan perkiraan kewujudannya tidak dapat disimpulkan dari adanya kuasa atas suatu perbuatan (pekerjaan). Kehendak Tuhan didasari dengan hikmah dan mengikuti adanya kemaslahatan. Boleh jadi, alam tanpa keburukan- keburukan tidak dapat mengantarkan manusia kepada kesempurnaan- kesempurnaan yang terbayangkan baginya. Poin ini adalah yang akan dibahas dalam jalan penyelesaian keempat permasalahan keburukan.

Keburukan Merupakan Instrumen untuk Penyempurnaan Manusia

Selain jalan-jalan penyelesaian yang telah lalu, terdapat beberapa faedah atau kegunaan bagi keburukan-keburukan, di antaranya adalah bahwa konsepsi terhadap keindahan-keindahan alam tidak memungkinkan kecuali dengan mengomparasikan hal tersebut dengan keburukan-keburukan: "Jika semua orang tampan atau cantik, sesungguhnya tak satu pun di antara mereka yang tampan atau cantik" (3) Begitu pula keburukan dapat disebut sebagai sebuah instrumen bagi kesempurnaan manusia. (4) Seorang teolog Kristen yang bernama

p: 169


1- Alvin Platinga, Khudā, Ikhtiyār wa Syar, hlm. 79–110. Untuk telaah tentang jawaban lainnya terhadap masalah ini, silakan lihat John Hick, "Can God Create a World in Which All Men Always Freely Choose the Good?" in: Urban and Walton (Eds.), The Power of God, hlm. 217–222.
2- Michael Peterson et al., 'Aql wa l'tiqād Dini hlm. 183.
3- Murtadha Muthahhari, Majmu' Ātsār, jil. 1 (Adl llāhī), hlm. 167. Dalam hal ini pula, silakan lihat Fredrick Capeleston, Tārīkh Falsafah, jil. 1, terjemahan Parsi oleh Sayid Jalaluddin Mujtabawi, hlm. 450; Michael Peterson, et. al., 'Aql wa I'tiqad Dīni, hlm. 196.
4- Menurut William James, "Alam jika tidak memiliki Ahriman, ia tidak akan memiliki nilai aktualnya. Jika dalam dunia tak ada setan dan penentang, maka di mana kita meletakkan kaki di atas tengkuknya dan pergi ke atas, apalagi yang memikat darinya! William James, Dīn wa Rawan [Religion and Neurology], terjemahan Parsi oleh Mahdi Qaini, hlm. 28.

Santo Irenaeus dalam menyelesaikan permasalahan keburukan sangat menekankan poin ini. John Hick-termasuk sebagai pembela pandangan ini-dalam kaitannya dengan hal ini mengatakan, "Berdasarkan teori keadilan Tuhan Santo Irenaeus, Tuhan tidak bermaksud membuat surga dunia sedemikian sehingga orang-orang yang tinggal di dalamnya semaksimal mungkin menikmati kelezatan dan sesedikit mungkin menahan penderitaan. Namun, alam adalah tempat "menempa atau mendidik ruh" atau membangun manusia sehingga makhluk-makhluk yang mempunyai ikhtiar di dalamnya berubah menjadi "anak-anak Tuhan" dan "pewaris-pewaris kehidupan abadi" dalam berhadapan dengan tugas-tugas atau tanggung jawab serta tantangan-tantangan yang berhubungan dengan kehidupan dalam suatu lingkungan yang sama."(1) Doktrin-doktrin Islam juga menyebut peristiwa-peristiwa mengerikan sebagai sebuah instrumen bagi penyempurnaan manusia dan kesabaran dalam menghadapinya adalah prakondisi atas balasan- balasan ukhrawi, sebagaimana dikatakan:

Har keh dar in bazm muqarrabtar ast Jāme balā bistarasy midahand (Siapapun yang lebih dekat dalam perjamuan ini Akan diberikan baginya piala petaka yang lebih banyak) Syair ini diambil dari makna-makna yang terkandung dalam suatu riwayat-riwayat yang isinya disebutkan seperti ini: "Inna asyadda al-nāsi balā`an al-anbiya, tsumma alladzina yalūnahum, tsumma al-amt sāluh fa al-amtsāluh" (Sesungguhnya manusia yang paling keras cobaannya (bala - nya) adalah para nabi, kemudian yang mengikuti mereka, kemudian yang sepertinya, lalu yang sepertinya). Dan "man shahha imānuhu wa hasuna ilmuhu, isytadda balāuhu" (Siapa yang sehat imannya dan baik ilmunya, cobaannya akan bertambah). (2)

p: 170


1- John Hick, Philosophy of Religion, hlm. 45–46.
2- Muhammad bin Ya'qub Kulaini, al-Kafi, jil. 2, hlm. 252 (Kitāb al-Imān wa al-Kufri, bab Syiddatun ibtilā al-Mukmin).

PIKIRKAN DAN DISKUSIKAN Keburukan, Suatu Hukuman bagi Para Pendosa Al-Qur`an menyebut peristiwa-peristiwa mengerikan individu dan masyarakat berkaitan langsung dengan dosa-dosa manusia. (1) Sebagai contoh, disebutkan: "Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia" (QS Al-Rūm [30]: 41) begitu pula: "Dan apa saja musibah yang menimpa kalian, maka adalah disebabkan oleh perbuatan tangan kalian sendiri." (QS Al-Syūrā [42]: 30). Makna-makna ini pun banyak terdapat dalam riwayat-riwayat. Sebagaimana Maulawi (Rumi) dengan mengisyaratkan sebagian darinya, melantunkannya seperti ini: "Abr bar nayad pey man zakāt-wāze zena uftād wabā andar jahat (Orang yang menolak untuk membayar zakat, tidak akan terselimuti awan—dan perbuatan zina akan menularkan wabah)."(2) Demikian pula, menurut perkataan-perkataan para maksum, urusan-urusan seperti; kehilangan rezeki(3) dan secara umum nikmat-nikmat Ilahi, (4) terjauhkan dari ibadah-ibadah seperti salat malam,(5) terjangkiti dengan

p: 171


1- Silakan lihat Muhammad Husain Thabathaba'i, al-Mīzān, jil. 2, hlm. 180-185; jil. 6, hlm. 38; jil. 8, hlm. 195-199; jil. 16, hlm. 195–196; jil. 18, hlm. 59-60; jil. 20, hlm. 30.
2- Jalaluddin Maulawi, Matsnawi Ma nawī, Daftar Awwal, Bait 88. Bait ini menyinggung tentang hadis Nabi Saw. berikut: "Mā dzhaharat al-fāhisyatu fihim illā dzhahara fihim al-tha aūn; ... wa lā mana'ū al-zakātu illā habasallahu 'anhum al-mathar, tidak akan merajalela perbuatan buruk (zina] di tengah-tengah masyarakat, kecuali bahwa wabah akan menyebar; ... dan tidak menahan diri dalam membayar zakat, kecuali bahwa Tuhan akan menahan hujan bagi mereka" Tafsir al-Qurthubī, jil. 19, hlm. 253. Tentunya dalam bahasa Arab, terkadang thāun dan wabah disepadankan antara satu dengan lainnya.
3- "Inna al-Dzunūba yuharrim al-abdu al-rizka (Sesungguhnya perbuatan-perbuatan dosa mencegah seorang hamba memperoleh rezeki)" Muhammad bin Ya'qub Kulaini, al-Kāfi, jil. 2, hlm. 271. Kitāb al-Imān wa al-Kufri, bab al-dzunub.
4- "Mū an'amallāhu alā abdin ni matan fasalabuha iyyahu hatta yadznubu dzanban yastahiqqu bidzālik al-salbu (Tidaklah Allah menganugerahkan hamba suatu kenikmatan, lalu Dia merenggut nya lantaran hamba tersebut berbuat dosa yang menjadikannya layak terhalang dari kenikmatan)." Muhammad bin Ya'qub Kulaini, al-Kafi, jil. 2, hlm. 274.
5- "Inna al-rajula yadznubu al-dzunūba fayahrumu shalāt al-layl. (Sesungguhnya seseorang yang melakukan perbuatan dosa, maka ia akan terhalangi untuk melakukan salat malam)." Muhammad bin Ya'qub Kulaini, al-Kāfi, jil. 2, hlm. 272.

berbagai penyakit,(1) merupakan konsekuensi dosa-dosa manusia.

Berdasarkan kitab perjanjian lama, sebagian di antara orang-orang yang sezaman dengan Nabi Ayyub menganalisi pula masalah-masalah atau kendala-kendala mereka seperti ini: "Coba pikirkan dan lihatlah apakah hingga sekarang engkau melihat manusia yang benar dan tanpa dosa binasa? ... mereka yang kembali kepada Tuhan sepertinya sangat langka, tetapi bala' akan turun secara mendadak kepada mereka ... berbahagialah seseorang di mana Tuhan menghukumnya. Maka ketika Dia menghukummu, janganlah sedih".(2) Kalangan pemikir Muslim-dalam menjelaskan pandangan yang telah disebutkan-berkeyakinan bahwa percaya kepada adanya efek yang diberikan oleh faktor- faktor spiritual tidak bermakna pengingkaran atas sebab-sebab materiel dari kejadian-kejadian yang telah disebutkan karena salah satu dari kedua sebab ini berada dalam rentangan sebab lainnya.(3) Dari sisi lain, sebagian di antara penulis menyebut justifikasi keburukan-keburukan dengan jalan ini tidak benar dan dalam mengkritiknya berkata seperti ini: "Teori hukuman ini ... bagaimana bisa menjustifikasi suatu keburukan-keburukan yang sepertinya benar-benar nihil dan bombastis (semisal matinya bayi tak berdosa atau musibah kematian seluruh penduduk desa)?"(4) Tentang keberatan atau permasalahan ini, diskusikanlah antara satu dengan lainnya.

p: 172


1- Muhammad bin Ya'qub Kulaini, al-Kafi, jil. 2, hlm. 269.
2- Perjanjian Lama, Ayub, 7:4; 3:5, 17.
3- Muhammad Husain Thabathabai, al-Mizān, jil. 2, hlm. 183–184; Jil. 8, hlm. 197–198.
4- Michael Peterson, et. al., 'Aql wa I'tiqād Dīnī, hlm. 197.

Kesimpulan

1. Klaim segolongan kaum ateis ialah bahwa dengan alasan adanya keburukan, keberadaan Tuhan (yang menurut kaum beriman, memiliki tiga sifat: ilmu mutlak, kekuasaan mutlak, dan keinginan baik mutlak) tidak dapat diterima. Sebagian kalangan kaum religius (yang percaya Tuhan) dalam merespon kritikan ini, mengingkari satu atau beberapa sifat yang telah disebutkan, tetapi sebagian besar mereka tanpa berlepas tangan dari kepercayaan- kepercayaan ini, menyiapkan suatu justifikasi (rasionalisasi) bagi keburukan-keburukan.

2. Kebanyakan pemikir Timur dan Barat menyebut keburukan sebagai suatu hal yang tiada dan menyebutnya tidak perlu kepada sebab. Ketiadaan keburukan, akan menampakkan ketidakbenaran pandangan dualisme. Namun, pertanyaan ini tetap berlaku bahwa mengapa Tuhan tidak memenuhi kekosongan-kekosongan yang terjadi pada alam dengan hal-hal yang bersifat keberadaan? Jawaban-jawaban selanjutnya terhadap masalah keburukan bisa disebut sebagai langkah-langkah dalam menyempurnakan langkah pertama ini.

3. Jawaban kedua atas masalah keburukan-keburukan ialah bahwa keburukan (ketiadaan atau keberadaan) merupakan sesuatu yang bersifat relatif dan komparatif. Tak satu pun fenomena yang dapat ditemui pada alam yang merupakan keburukan esensial serta kosong dari seluruh kebaikan-kebaikan. Walaupun demikian, di sini pun terdapat pertanyaan yang belum terjawab: Mengapa Tuhan tidak menciptakan suatu alam di mana pemberian kebaikan kepada suatu wujud tidak diikuti dengan timbulnya keburukan bagi wujud-wujud lainnya? Jalan penyelesaian ketiga permasalahan keburukan akan menjawab pertanyaan ini.

4. Jawaban ketiga permasalahan keburukan bertumpu pada premis- premis di bawah ini: A) Di alam materiel, kebaikan-kebaikan dan keburukan-keburukan tidak terpisah antara satu dengan lainnya; B) Kebaikan-kebaikan alam materiel lebih banyak dibanding keburukan-keburukannya; C) Untuk menjauh dari keburukan

p: 173

keburukan sedikit (kecil) tak semestinya meninggalkan kebaikan yang banyak.

5. Alam natural adalah alam pertentangan dan paradoks.

Alam yang tidak memiliki "kesalinggangguan" ini, bukanlah alam materiel. Entah, Tuhan harus melewatkan penciptaan alam materi; ataukah keburukan sedikit la tebuskan bagi kebaikan yang banyak. Keburukan-keburukan yang bersumber dari manusia juga bersumber dari ikhtiar buruk mereka.

6. Di samping apa yang telah lalu, beberapa faedah bagi keburukan juga disebutkan, di antaranya ialah bahwa alam yang kosong dari keburukan-keburukan tidak akan mampu mengantarkan manusia kepada kesempurnaan-kesempurnaan yang tergambarkan bagi mereka.

Pertanyaan

1. Dengan memperhatikan syarat-syarat yang diperlukan bagi terjadinya kontradiksi (di antaranya perbedaan antara kualitas dan kesatuan pada subjek) bagaimana mungkin terdapat orang-orang yang menyebut dua proposisi "Tuhan ada" dan "keburukan ada" saling kontradiksi antara satu dengan lainnya? 2. Apakah di antara kalangan kaum religius (yang percaya Tuhan) dapat ditemui orang-orang yang guna menyelesaikan permasalahan keburukan-keburukan, mengingkari adanya keburukan atau salah satu dari tiga sifat-sifat Tuhan (ilmu, kekuasaan, dan keinginan baik mutlak)? Jelaskan! 3. Apakah para penganut ajaran Zoroaster menyebut pencipta keburukan-keburukan sebagai baru (hādits), ataukah qadīm? Tafsiran manakah dari dualisme yang dapat disebut sebagai jawaban terhadap masalah keburukan-keburukan? 4. Mereka yang menyebut seluruh keburukan-keburukan sebagai hal-hal yang bersifat tiada, justifikasi apa yang mereka ajukan bagi ketiadaan sakit?

p: 174

5. Apa maksud dari kerelatifan keburukan? Apakah jawaban ini dapat disebut sebagai jawaban final atas permasalahan keburukan- keburukan? 6. Dengan mengisyarahkan kepada lima alam kontingen (mumkin) berdasarkan ukuran kebaikan dan keburukan yang ada di dalamnya, jelaskan bagaimana keburukan-keburukan natural dapat disebut sebagai konsekuensi (kemestian) dari alam natural? 7. Sesuatu apa yang dapat menjustifikasi adanya keburukan, kelebihan "kuantitas" kebaikan-kebaikan, atau keutamaan "kualitas" mereka? Jelaskan! 8. Menurut Anda, apakah Tuhan dapat menciptakan suatu alam di mana makhluk-makhluk yang berikhtiar di dalamnya, dengan ikhtiar mereka senantiasa memilih jalan kebaikan? Mengapa? 9. Dengan merujuk kepada ayat-ayat dan riwayat-riwayat Islam, jelaskan maksud dari pernyataan di bawah: keburukan merupakan alat atau instrumen bagi kesempurnaan manusia dan hukuman bagi orang-orang bersalah.

10. Pilihan manakah yang bisa disebut mengandung jawaban-jawaban terhadap masalah keburukan (terlepas apakah jawaban-jawaban ini benar atau tidak)? A) Keburukan tidak ada; Tuhan tidak kuasa secara mutlak; Tuhan tidak mengetahui secara mutlak; B) Tuhan tidak menginginkan kebaikan hamba-hamba-Nya; Pencipta keburukan-keburukan yang ada bukan pencipta kebaikan-kebaikan; Keburukan adalah sesuatu yang bersifat relatif; C) Keburukan adalah sesuatu yang bersifat tiada; Keburukan-keburukan merupakan pra-syarat (kemestian) bagi terwujudnya kebaikan-kebaikan; Keburukan merupakan instrumen bagi kesempurnaan manusia; D) Semua pilihan.

p: 175

p: 176

BAGIAN 6: KEBUTUHAN TERHADAP AGAMA

Point

"Maka lihatlah bagaimana nikmat-nikmat Tuhan turun kepada mereka, ketika seorang Nabi dibangkitkan (diutus) bagi mereka. Menjadikan mereka taat kepada Tuhan dan membuat mereka bisa saling bersesuaian antara satu dengan lainnya dengan mengajak mereka kepada-Nya; Dan bagaimana nikmat melebarkan sayap besarnya di atas kepala mereka dan memperlancar aliran-aliran kesenangan dan kesejahteraan bagi mereka, dan masyarakat Islam dengan keberkahan-keberkahannya mempersiapkan mereka. Maka mereka tenggelam dalam nikmat syariat dan mencicipi kelezatan hidup senang dan gembira.

... Kebaikan telah mengantarkan kondisi mereka pada kemuliaan dan keagungan, dan pekerjaan-pekerjaan mereka menjadi kukuh dan pemerintahan mereka menjadi kuat:

sebagaimana mereka telah menjadi penguasa atas penduduk alam dan raja-raja bumi pada daratan ini dan daratan itu."(1) Kebutuhan mendasar manakah yang menggiring manusia ke arah agama? Apa fungsi agama dalam kehidupan personal dan sosial manusia? Apakah dalam memenuhi keinginan-keinginan ini agama tak dapat digantikan? Apakah harapan-harapan diri kita senantiasa mesti

p: 177


1- Nahj al-Balāghah, Khotbah 192.

diselaraskan dengan ajaran-ajaran keagamaan, atau bisakah berbicara tentang "harapan manusia terhadap agama"? Pada pasal ini kita akan membahas pertanyaan-pertanyaan semacam ini yang meskipun sebelumnya telah mengemuka,(1) tetapi kali ini menemukan bentuk yang baru serta memerlukan jeda yang lebih.

"Dalil kebutuhan kepada agama" merupakan suatu pertanyaan "luar agama" (eksternal agama) dan tidak dapat dijawab dengan kepatuhan dan ketundukan dalam berhadapan dengan agama-agama.

Setiap orang sebelum memilih suatu agama, ia harus menemukan alasan dan sebab kebutuhan terhadapnya.(2) Meskipun demikian, agama-agama Ilahi selalu membantu akal dan pengetahuan-pengetahuan yang tidak bisa didapatkan kecuali dengan biaya yang sangat berat, disuguhkan secara gratis di hadapan manusia.

Penggunaan ayat-ayat dan riwayat-riwayat dalam pembahasan- pembahasan seperti ini menjadi semakin kokoh atas dasar ini.

PIKIRKAN DAN DISKUSIKAN Dimensi-dimensi kebutuhan terhadap agama apakah termasuk dalam masalah internal agama atau eksternal agama? Setelah kita memalingkan diri kepada agama dengan dalil-dalil yang sifatnya eksternal serta mencari jawaban atas kebutuhan-kebutuhan azasi manusia di dalamnya, apakah kebutuhan-kebutuhan yang lebih spesifik dapat ditanyakan kepada agama itu sendiri dan dengan perantaraan ini jalan untuk mengenali pelbagai dimensi- dimensinya dapat terbuka? (Di akhir bagian ini dan juga pada bagian sebelas, terdapat poin-poin tentang hal ini).

p: 178


1- Untuk mengetahui sebagian dari fungsi-fungsi agama menurut pandangan para teolog sebelumnya, silakan lihat Allamah Hilli, Kasyf al-Murād, hlm. 346-348; Nashiruddin Thusi, Talkhish al-Muhasshal, hlm. 361–364.
2- Maksudnya, bukan semua orang-orang saleh (Mukmin) pertama menimbang kebutuhan" kemudian melakukan pemilihan." Di samping mereka yang religiusitasnya didasarkan pada taklid, bukan penelitian (tahqiq), terdiri dari kebanyakan orang yang tergiring kepada agama karena faktor-faktor seperti daya tarik spiritual para pemuka keagamaan (bukan menimbang kebutuhan secara rasional).

Di samping itu, apabila kita menyebut akal telah mencukupi dalam urusan-urusan seperti ekonomi, kesehatan dll, apakah fungsi agama dalam urusan-urusan ini-dengan merujuk kepada ajaran-ajaran para imam atau pemuka agama-masih tetap dapat dibicarakan? Sebagai contoh, apakah kepercayaan-kepercayaan agama dapat memberi pengaruh dalam proses penawaran (supply) dan permintaan (demand)? Apakah menjauhi keharaman- keharaman syariat dapat mendatangkan kesehatan atau keselamatan jasmani?

Dalil Kebutuhan terhadap Agama Wahyu

Pada saat manusia merenungkan penciptaan langit dan bumi, tak satu pun fenomena yang ia saksikan tanpa tujuan, bahkan ia menjadi takjub dengan keteraturan yang berlaku dalam tiap-tiap keberadaan (makhluk) begitu pula dengan keselarasan antara satu dengan lainnya.

Imam Ali bin Abi Thalib dengan menyebutkan segala keajaiban yang tersembunyi dalam penciptaan makhluk berkata, "Sekiranya mereka merenungkan keagungan kekuasaan-Nya dan luas-Nya nikmat- Nya, tentu mereka sudah kembali ke jalan yang benar dan takut akan hukuman neraka, tetapi hati berpenyakit dan mata tak murni.

Tidakkah mereka melihat hal-hal kecil yang telah diciptakan-Nya, bagaimana la memperkuat jaringannya dan membuka bagi mereka pendengaran dan penglihatan dan membuat bagi mereka tulang dan kulit? Lihatlah semut dengan tubuhnya yang kecil dan bentuknya yang halus. Ia hampir tak terlihat di sudut mata, tak dapat pula ditangkap oleh imajinasi-betapa ia berjalan di bumi dan menggunakan rezekinya. la membawa gabah ke lubangnya dan menyimpannya di tempat kediamannya. la mengumpulkannya selama musim panas untuk musim dinginnya dan bila cukup untuk masa lemahnya.

Rezekinya terjamin dan diberi makan menurut pantasnya. Allah Yang

p: 179

Baik tidak melupakannya dan (Allah Yang Pemberi) tidak merenggut haknya, walaupun ia berada di batu kering atau karang yang kokoh."(1) Ketika kita menemukan kenyataan bahwa kehidupan manusia bukanlah permainan dan Tuhan Yang Mahabijak tentu tidak akan membiarkan manusia sebagaimana halnya dengan binatang, maka mau tak mau manusia mesti bangkit dari kelalaian dan kebodohan serta berupaya mencari atau menemukan suatu program untuk menjamin kebahagiaannya.

Sebagai langkah pertama, kita tidak mendapati indra dan akal mampu memperinci suatu program holistik dan menyeluruh untuk kehidupan di alam ini,(2) apalagi menggambarkan denah seputar kehidupan setelah kematian serta menunjukkan jalan hidup yang benar. Dari sisi ini, dengan memperhatikan hikmah Tuhan akan menuntun kita kepada sumber pengetahuan lain yang dalam referensi- referensi keagamaan disebut dengan "wahyu".(3) Nabi-nabi Ilahi dengan mendapatkan anugerah khusus ini, mengemban tugas membimbing manusia-manusia lainnya. Para Imam Maksum Syi'ah mengembangkan argumen-argumen ini sehingga peran mereka sangat berjasa bagi para pemikir dan pencari kebenaran;(4) sebagaimana Imam Ridha berkata: "Mengingat dalam penciptaan manusia dan daya-daya serta potensi-potensi mereka, apa yang secara sempurna memberi maslahat bagi mereka, sebelumnya tak ada dan Tuhan adalah lebih baik di mana Dia tidak terlihat dengan mata lahiriah dan terjalin hubungan langsung dengan-Nya ... tak ada jalan lain kecuali seorang utusan maksum menjadi mediator antara Dia

p: 180


1- Nahj al-Balāghah, Khotbah 185, hlm. 197–198.
2- Jean-Jacques Rousseau (1712–1778 M) terkait dengan hal ini berkata: "Untuk menemukan aturan-aturan terbaik yang berguna bagi bangsa-bangsa, diperlukan satu akal universal yang melihat semua syahwat-syahwat kemanusiaan, tetapi dirinya sendiri tidak merasakan sesuatu pun, tidak berhubungan dengan alam natural, tetapi mengenalnya dengan sempurna; kebahagiaannya tidak berhubungan dengan kita, tetapi bersedia membantu kebahagiaan kita.... berdasarkan apa yang telah disebutkan, hanya tuhan-tuhan yang dapat-sebagaimana mungkin dan semestinya-membawa aturan bagi masyarakat." Qarārdād Ijtima'i [The Social Contract], terjemahan Parsi oleh Ghulam Muhsin Zirak Zadeh, hlm. 81.
3- Untuk mengetahui lebih jauh tentang beberapa pendahuluan argumen ini, silakan lihat Muhammad Taqi Misbah Yazdi, Rahnamāsyenāsi, hlm. 27–38.
4- Sebagai contoh, dua penjelasan indah dari Imam Shadiq dan Imam Mahdi secara berurutan terdapat dalam dua sumber berikut ini, Syekh Shaduq, al-Tawhid, hlm. 249-250; Muhammad Baqir Majlisi, Bihār al-Anwār, jil. 44, hlm. 273-274.

dengan manusia dan yang menyampaikan perintah dan larangan Ilahi kepada mereka."(1) | Al-Qur'an, dengan menyinggung dalil ini, menyebut terbukanya jalan wahyu sebagai penyebab tertutupnya jalan untuk berdalih.

Di samping itu, al-Qur'an menegaskan bahwa sekiranya para nabi tidak ada, segelintir orang dapat menyebut ketidakbecusan akal dan indra sebagai penyebab kesesatan mereka dan membuat alasan bagi ketidakberimanan mereka: "Rasul-rasul pembawa berita gembira dan pemberi peringatan, sehingga tidak ada dalih dan alasan (hujjah) bagi manusia, setelah pengiriman para nabi, dalam berhadapan dengan Tuhan." (QS Al-Nisā [4]: 165).

PIKIRKAN DAN DISKUSIKAN Keraguan atau Kesangsian Kaum Brahma Berdasarkan apa yang terdapat dalam kitab-kitab teologi, Kaum Brahma (Hindu) dengan membangun suatu argumen yang memiliki dua batasan, mempermasalahkan kebutuhan terhadap agama wahyu seperti ini: Sesuatu yang dibawa para nabi, entah sesuai dengan akal, atau bertentangan dengannya.

Dalam bentuk yang pertama, akal dengan sendirinya telah mencukupi dan tidak butuh dengan apa yang dibawa para nabi. Dalam bentuk kedua, ajaran-ajaran wahyu disebabkan pertentangan mereka dengan rasionalitas (akal) harus disingkirkan pula.(2) Simak dan kritiklah argumentasi ini! (Penjelasan:

Untuk menunjukkan adanya fallasi pada argumen dilemma (yang terdiri dari dua bagian], bagian ketiga dapat ditambahkan, atau salah satu dari dua bagian diterima dan terbuktilah kerancuan konklusinya).

p: 181


1- Muhammad Baqir Majlisi, Bihār al-Anwār, jil. 7, hlm. 40.
2- Silakan lihat Muhammad bin Abdul Karim Syahrastani, al-Milal wa al-Nihal, jil. 2, hlm. 251; Allamah Hilli, Kasyf al-Murād, hlm. 843; F. Rahman, "Barāhima", dalam The Encyclopedia of Islam, vol. 1, hlm. 1031).

Argumen yang telah lalu bertumpu pada premis-premis di bawah ini:

1. Tuhan Yang Mahabijaksana tidak akan berbuat sia-sia dan Dia menciptakan manusia untuk sampai kepada kesempurnaan akhir serta kebahagiaan abadi; 2. Kehidupan dunia adalah pendahuluan kehidupan akhirat dan kebahagiaan serta penderitaan abadi bergantung pada bagaimana menjalani hidup di alam ini; 3. Pemilihan jalan hidup, selain dari pada kehendak (irādah), bergantung pula pada pengetahuan dan kesadaran; 4. Instrumen umum pengetahuan (indra dan akal) tak mampu memahami jalan kehidupan yang benar serta hubungan antara dunia dan akhirat.

Sebagian filsuf Muslim, untuk membuktikan kebutuhan terhadap wahyu mangambil jalan lain dan menyiapkan suatu argumen yang berpijak pada premis-premis seperti berikut:

1. Manusia secara esensial adalah makhluk sosial; 2. Dalam bertemu dengan sesama jenis, manusia tidak mungkin lari dari perbedaan; 3. Untuk menyingkirkan perbedaan, perlu kepada suatu aturan sempurna serta meliputi alam yang memperhatikan seluruh tipologi manusia; 4. Kodifikasi aturan seperti ini, tidak bisa terwujud kecuali bersumber dari yang menciptakan manusia dan makhluk-makhluk lainnya.(1)

p: 182


1- Silakan lihat Ibn Sina, al-Syifā, al-Ilāhiyyāt, hlm. 441 (al-Maqālat al-Asyirah, al-Fashl al-Tsani); Shadr al Mutaallihin (Mulla Sadra), al-Mabdā wa al-Ma'ād, jil. 2, hlm. 815-816; Shadr al Mutaallihin (Mulla Sadra), Al-Syawāhid al-Rubūbiyyah, hlm. 359-360; Muhammad Husain al- Thabathabai, al-Mizān, jil. 2, hlm. 111

PIKIRKAN DAN DISKUSIKAN Perbandingan Dua Argumen Kemestian Nubuwwah (kenabian) Bandingkanlah kedua argumen yang telah disebutkan-di mana satu di antaranya menekankan kehidupan di alam sana dan lainnya menekankan kehidupan di dunia ini-antara satu dengan lainnya.

Menurut Anda, argumen manakah yang lebih baik dan kokoh dalam menampakkan tujuan asli pengutusan para nabi?

Jawaban Agama atas Kebutuhan Mendasar Jiwa

Dewasa ini, sekelompok peneliti agama, alih-alih berpolemik atau berdebat ihwal benar dan salahnya agama-agama, mereka malah memilih suatu cara pandangan fungsionalistik. (1) Dalam hal ini, sebagian menyebut agama memiliki fungsi-fungsi negatif(2) dan sebagiannya lagi menekankan atas fungsi-fungsi positif.

Kelompok kedua sendiri terbagi menjadi dua bagian, yaitu mereka yang memahami fungsi-fungsi tersebut berlaku selamanya dan tak tergantikan dan mereka yang-meski dengan adanya sanjungan terhadap pelayanan agama di masa lalu-menyebut era tersebut telah berakhir.

Bagaimanapun, salah satu dimensi studi keagamaan bagi mereka yang tidak memiliki kecenderungan kepada Tuhan telah memperhatikan hal ini sebelum orang-orang yang percaya Tuhan

p: 183


1- Silakan lihat John Plaminatez, Ideologi [Ideology], terjemahan Parsi oleh: Izzatullah Fuladuvan, hlm. 108–109; Bates and Plog, Insān Syināsi Farhangi [Cultural Anthropology), terjemahan Parsi oleh Muhsin Tsulasi, hlm. 687.
2- Silakan lihat Sigmund Freud, Tamaddun wa Malālathā Ān [Civilization and Its Discontent], terjemahan Parsi oleh Muhammad Mubassyiri, hlm. 44; Erich Fromm, Rawānkāwi wa Dīn [Psychoanalysis and Religion), terjemahan Parsi oleh Arsan Nazarian, hlm. 23; Malcolm Hamilton, Jāmi'ah Syināsi Dīn [The Sociology of Religion), terjemahan Parsi oleh: Muhsin Tsulasi, hlm. 211-212.

ialah jawaban agama atas kebutuhan-kebutuhan jiwa manusia. (1) Segolongan kaum ateis dengan suatu praasumsi menyatakan bahwa Tuhan dan pengetahuan-pengetahuan wahyu tidak lebih dari sebuah fatamorgana. Mereka menyebut faktor-faktor psikologis sebagai asal usul kepercayaan terhadap wujud-wujud supranatural. Pada hakikatnya, orang-orang anti agama ini telah menempuh separuh jalan dengan benar dan menemukan secara benar hubungan atau kaitan langsung antara ruh dan jiwa manusia dengan agama dan mazhab, tetapi mereka keliru dalam mencari akarnya serta menunjuk faktor- faktor yang tidak benar.

Agama wahyu-karena keselarasannya dengan fitrah manusia- selain kebahagiaan ukhrawi, juga menjamin ketenangan duniawi dan memenuhi kebutuhan-kebutuhan mendasar jiwa-yang akan kami tunjukkan di antara fungsi agama yang paling penting- dalam bentuknya yang paling baik. (2)

Memberi Makna bagi Kehidupan

Perasaan hampa, nihil, dan tidak bermaknanya kehidupan merupakan salah satu krisis mendasar dalam kehidupan masa kini.

Hal ini sebagaimana yang diungkapkan Erich Fromm (1900–1980 M), psikolog berkebangsaan Jerman: "Manusia hari ini tidak merasakan ketenangan dan lebih banyak mengalami kebingungan. Bekerja dan berusaha, tetapi merasa sia-sia dengan pelbagai aktivitasnya. "(3) Sebagian psikolog bahkan menyebut pelarian (eskapis) mengonsumsi bahan-bahan narkotika sebagai salah satu cara untuk

p: 184


1- Sebagian doktrin-doktrin keagamaan-yang isinya disahkan pula dengan sebagian analisis- analisis rasional serta eksperimen-eksperimen empiris-merupakan penjelasan bahwa keagamaan dan religiusitas memberikan pengaruh dalam kesehatan dan kebersihan. Untuk telaah lebih jauh, silakan lihat Azarbaijani dan Musawi Asl, Dar Amadi bar Rawansyināsi-e Din, hlm. 160-163; Michael Argyle, Psychology and Religion, hlm. 155-158.
2- Silakan lihat Shafdar Shanei, Arūmesyi Rawāni wa Mazhab; Muhammad Husain Thabathabai, Ushūl Falsafah wa Raweshe Realism, jil. 5, hlm. 8; William James, Din wa Rawān [Religion and Neurology), terjemahan Parsi oleh Mahdi Qaini, hlm. 193.
3- Erich Fromm, Insān Barāye Khishtan (Man For Himself), terjemahan Parsi oleh: Akbar Tabrizi, hlm. 14. Tentang ini pula, silakan lihat Roger Du Pasquier, Sar Ghozāsyt Islam wa Sarnewesyt Insān, terjemahan Parsi oleh Ali Akbar Kasmai, hlm. 19.

bebas dari perasaan ini.(1) Bagaimanapun, salah satu dari fungsi terpenting agama ialah memberi makna bagi kehidupan dunia. (2) Menurut pandangan orang-orang yang percaya Tuhan, tak satu pun sesuatu ditempatkan di luar dari tempatnya dan pada seluruh fenomena-fenomena alam berlaku suatu keberaturan yang akurat.

Meminjam ungkapan Syahid Muthahhari, "Alam Ilahi, merupakan alam kebaikan, keadilan, kesatuan, dan keselarasan. ... Setiap eksistensi dalam setiap tingkatan, sesuai dengan keluasan wujudnya, bersentuhan dengan suatu jenis petunjuk (hidayah) —dan dengan perumpamaan al- Qur'an lainnya, yaitu "wahyu" — ... Sesuai dengan pandangan dunia ini, kehendak Tuhan serta qadha dan qadar Ilahi, menciptakan alam dalam bentuk sebuah sistem dengan serangkaian hukum-hukum dan aturan-aturan."(3) Dengan berpijak pada pandangan seperti ini terhadap alam, sistem penciptaan yang disebut sebagai "sistem terbaik" (ahsan taqwim) dan "paling baiknya alam kontingen (mumkin)", maka ketenangan luhur nan agung akan meliputi seluruh wujud manusia.

p: 185


1- Sebagian di antara para pemuda yang kehidupannya tidak teratur dan terstruktur menggunakan bahan-bahan narkotika, sehingga dengan perantaraan ini mereka memenuhi kehidupan kosong mereka. Rollo May seorang psikolog, menulis: ... seorang pemuda yang berada dalam penderitaan akibat ketiadaan tujuan secara terus menerus, sekarang dengan kecanduannya telah memiliki struktur. Benaknya selalu sibuk memikirkan bagaimana melarikan diri dari polisi, dari mana ia memperoleh uang pembeli bahan-bahan narkotika, dari mana dan kepada penyelundup bahan-bahan narkotika mana ia membelinya. Semua itu berlawanan dengan dunia kosong dan tanpa struktur sebelumnya, menciptakan kesibukan baginya yang memenuhi ruang kosong kehidupannya.” Alvin Toffler, Mouj Sewum [Third Wave), terjemahan Parsi oleh Syahindahat Kharazmi, hlm. 516.
2- Laporan tentang fungsi agama ini (terkadang tanpa penolakan dan pengesahan) terdapat dalam sumber-sumber berikut: Carl Gustav Jung, Rawānsyenāsi wa Dīn [Psychology and Religon), terjemahan Parsi oleh: Fuad Ruhani, hlm. 207; Will dan Arill Durant, Darshū-e Tārikh Lessons from History), terjemahan Parsi oleh Ahmad Bathhai, hlm. 55; Max Weber, Din, Qudrat, Jame- eh [Religion, Power and Society), terjemahan Parsi oleh Ahmad tadayyun, hlm. 405-410; lan Robertson, Dar Amadi bar Jāmi'ah Sociology), terjemahan Parsi oleh Husain Behruwan, hlm. 336; Jean Paul Willa ime, Jāmi'ah Syinasi-e Adyān (Sociologie des Religions), terjemahan Parsi oleh Abdurrahim Ghowahi, hlm. 168; Nicholas Abercrombie, et. al., Farhang-e Jame-eh Syināsi [Penguin Dictionary of Sociology], terjemahan Parsi oleh Hasan Puyan, hlm. 320; Bates and Plog, Insan Syināsi Farhangi, hlm. 670.
3- Murtadha Muthahhari, Majmu'Atsār, jil. 3, hlm. 51-52.

PIKIRKAN DAN DISKUSIKAN Teori Darwin dan Teleologis Alam Menurut sebagian ilmuwan, kemunculan teori Darwin (1809–1882 M) telah mempermasalahkan kebertujuan alam dan berujung pada terbenamnya tafsiran-tafsiran teistik dan teleologis atas eksistensi.

Darwin sendiri dalam sebagian karyanya mengemukakan pandangan bahwa "Hukum-hukum evolusi kehidupan merupakan ciptaan Tuhan, meskipun sebagian jenis- jenis yang mewujud dari evolusi adalah hasil kebetulan, bukan desain dan pengaturan sebelumnya." Menurut Anda, apakah gradualitas penciptaan makhluk-makhluk (eksistensi-eksistensi) serta fenomena-fenomena seperti "keharusan beradaptasi (sesuai) dengan lingkungan" tidak selaras dengan kebertujuan sistem penciptaan? Mengapa? Menurut Freud, "Agama dengan mengajukan suatu gambaran dari keberaturan alam yang di dalamnya segala sesuatu bermakna dan berada pada tempatnya masing-masing serta tak ada sesuatu pun yang berada di luar keteraturan dan bersifat aksidental, melakoni peran restitusi atau pemulihannya."(1) Walaupun demikian, Freud menyebut pemberian makna ini sebagai suatu rekaan atau fiksi dan menamainya sebagai sejenis penipuan diri (self-cheating).

Clifford Geertz (1926–M) seorang antropolog berkebangsaan Amerika adalah salah seorang pemikir yang memberikan perhatian pada fungsi agama-agama(2) dan menyebut pengajuan suatu penjelasan paripurna tentang alam sebagai salah satu di antara konsekuensi-konsekuensi utama agama. (3) Sebagian lainnya melangkah lebih jauh lagi dan secara mendasar

p: 186


1- Malcolm Hamilton, Jāmi'ah Syināsi Dīn, hlm. 102.
2- Malcolm Hamilton, Jāmi'ah Syināsi Dīn, hlm. 273–280. Tentang ini pula, silakan lihat hlm. 210.
3- Daniel L. Pals, Seven Theories of Religion, hlm. 244-245.

menganggap agama sebagai "suatu reaksi atau respon dalam menghadapi ancaman nihilisme dalam kehidupan manusia."(1) Filsuf ateis Prancis, Jean Paul Sartre (1905–1980 M) pun berceloteh: "Ketika orang-orang masih percaya kepada Tuhan langit, mereka dapat menyebutnya sebagai sumber cita-cita moral mereka.

Alam yang merupakan makhluk dan di bawah pemerintahan Tuhan yang menyerupai ayah, akan terasa hangat dan tulus bagi seorang miskin. Kita bisa menjadi tenang bahwa keburukan pada alam seberapa pun banyaknya, pada akhirnya kebaikan akan mendominasi mereka dan bala tentara keburukan akan menjadi cacing dan lari lintang pukang. Namun, saat ini dengan menghilangnya Tuhan dari langit kondisi telah berubah secara total. Alam tidak berada di bawah pemerintahan suatu wujud yang bersifat kudus; bahkan sebaliknya, berada di bawah kekuasaan kekuatan-kekuatan buta. Alam ini merupakan alam yang telah mati."(2) Hingga saat ini kita berbicara sedemikian rupa seakan-akan semua orang mempunyai interpretasi atau pemahaman yang jelas dan sama tentang "kebermaknaan kehidupan." Namun, kenyataannya adalah bahwa dalam kaitannya dengan makna dari pada "makna" itu sendiri telah memunculkan banyak dialog-dialog yang tidak dapat dibahas secara mendalam pada tulisan ini.(3) Secara ringkas dapat dikatakan bahwa dalam pernyataan- pernyataan kebanyakan pemikir, maksud kehidupan yang bermakna ialah "adanya tujuan akhir" bagi sistem penciptaan dan "adanya tujuan" bagi penciptanya. Golongan lainnya mengaitkan makna kehidupan manusia dengan masalah kematian dan menegaskan poin bahwa jika kehidupan manusia berakhir dengan kematian, maka kehidupan tersebut akan menjadi hampa dan tanpa makna.(4)

p: 187


1- Malcolm Hamilton, Jāmi'ah Syināsi Din, hlm. 239.
2- Walter Terence Stace, "Dar bi Maknai Makna Hast" dalam Naqd wa Nazhar, no. 29-30, hlm. 109-110.
3- Dalam Jurnal "Naqd wa Nazhar" (No. 29–32) terdapat beragam makalah-makalah tentang “makna kehidupan" di mana kebanyakan di antaranya membahas pula tentang makna.
4- Lihat: Susan Wolf, “Life, Meaning of dalam Routledge Encyclopedia of Philosophy, vol. 5, hlm. 630-631.

Mengurangi Dahaga akan keabadian

Kecenderungan kepada kekekalan dan keabadian merupakan salah satu di antara kebutuhan-kebutuhan yang berakar pada kedalaman jiwa manusia, sedangkan ketakutan akan berakhirnya kehidupan sangat mengganggu dirinya.(1) Para pemikir ateistik telah berusaha banyak guna menyingkirkan ketakutan ini dari hati seseorang, tetapi tidak begitu sukses serta tidak mampu mengekang kecenderungan substansial manusia kepada keabadian.(2) Poin yang patut diperhatikan ialah seseorang tidak akan pernah gembira hanya dengan mengingat dan menghidupkan namanya, melainkan secara fitrah menginginkan keabadian jiwanya. Alexis Carell (1873–1944 M), seorang pemikir berkebangsaan Prancis, berkata:

"Masyarakat ... bukan hanya di alam ini, melainkan di balik kubur pun sangat menghendaki kehidupan dan bagi mereka tidaklah cukup hidup hanya dalam karyanya... Sesuatu yang kita kehendaki.

sebelum segala sesuatu adalah kelangsungan individu (diri) dan bahwa setelah mati, kita melihat orang-orang yang kita sayangi dan berjalan di atas dunia yang penuh dengan kedamaian dan keadilan.(3) Orang-orang yang menganggap kematian sebagai akhir kehidupan manusia akan sampai pada kehampaan dan mendapati kehidupan di alam ini tak bermakna.(4) Menurut sebagian pemikir, "Kematian tidak begitu menakutkan disebabkan tiadanya yang mengenal atau berakhirnya kehidupan personal, melainkan menjadi kekhawatiran lebih karena alasan bahwa kematian pada masa hidup seseorang akan menyebabkan kehidupan menjadi tak bermakna dan sia-sia baginya."(5) Dari sisi ini, asal mula kebutuhan manusia kepada keabadian adalah cita-cita atau keinginan untuk lepas dari kehancuran dan ketiadaan, bukan karena keangkuhan dan keegoisan. Pencarian nama ... bukan

p: 188


1- Silakan lihat Mustafa Malikiyan, Kalām Jadid 2 (Diktat), hlm. 126; Malcolm Hamilton, Jāmi'ah Syināsi Din, hlm. 321 dan 381; Antonio Moreno, Jung, Khudāyān wa Insān Modern (Gods and Modern Human), hlm. 282.
2- Abdullah Nashri, Khudā dar Andisyeh Basyar, hlm. 260.
3- Alexis Carrel, Majmu'Atsūrwa Afkūr (Rāh wa Rasm Zendeghi), terjemahan Parsi oleh Parwiz Dabiri, hlm. 176.
4- Rubaiyyāt Khayyām, hlm. 16.
5- Malcolm Hamilton, Jami'ah Syināsi Dīn, hlm. 381; Mengingat penjelasan yang terdapat dalam teks, pemberian jaminan keabadian dapat disebut sebagai salah satu di antara objek-objek pemberian makna kehidupan.

dari keangkuhan juga bukan dari ketakutan akan terputusnya generasi.

Kita mencita-citakan segala sesuatu hanyalah dari sisi bahwa kita ingin lari dari ketiadaan. Iya, kita bercita-cita menyelamatkan kesan, memori, dan nama diri kita. Kesan dan memori ini sejauh mana dapat bertahan? Maksimalnya sejauh manusia masih tersisa. Apa yang terjadi jika kesan dan nama kita, tinggal dalam diri Tuhan!(1) Benar, agama Ilahi dengan menekankan pada kehidupan abadi dan kehidupan setelah mati, menjawab kebutuhan mendasar manusia ini dan di samping menunjukkan suatu tafsiran yang dapat diterima hati tentang kematian, juga mengurangi dahaga akan kehidupan abadi.(2) Dalam pandangan agama-agama samawi, kematian adalah awal kehidupan hakiki. Tafsiran atas kematian ini memberi makna pada "kehidupan" dan "pengabdian serta pengorbanan" serta menarik orang- orang yang memercayai Tuhan pada kecintaan menjemput kematian suci (syahadah). (3) Seperti inilah Iman Ali bertutur bijak: "Demi Allah, kecintaan putra Abi Thalib terhadap kematian melebihi perhatian atau kebergantungan bayi terhadap susu ibunya. "(4) PIKIRKAN DAN DISKUSIKAN Kecenderung kepada keabadian dan pembuktian ma`ūd (hari kebangkitan) Apakah kecenderungan fitrawi manusia kepada keabadian dapat dijadikan sebagai suatu dalil guna membuktikan ma’ād dan kehidupan setelah kematian? Bagaimana?

p: 189


1- Migel D. Unamonu, Dard lāwidānegi [Tragic Sense of Life), terjemahan Parsi oleh Bahauddin Khurramsyahi, hlm. 94-95.
2- Meskipun kepercayaan terhadap neraka dapat membangkitkan ketakutan, survei menunjukkan bahwa kaum religius dibandingkan kaum tak beragama lebih sedikit takut akan kematian. Silakan lihat Michael Argyle, Psychology and Religion, hlm. 145.
3- Dalam kenyataannya, kepercayaan terhadap keabadian jiwa manusia, ditambah dengan fungsi individual yang telah disebutkan, mempunyai fungsi sosial yang menjadikan bakti dan pengorbanan diterima serta rasional. Menurut sebagian pemikir: "Agama menjadikan bakti dan pengorbanan ... tersebut mudah dan memuaskan hati dan bahkan menyebutnya kebahagiaan. Jika agama tidak memiliki hasil selain dari pada hal ini dalam kehidupan manusia, agama tetap merupakan faktor terpenting kehidupan manusia." William James, Dīn wa Rawān Religion and Neurology], terjemahan Parsi oleh Mahdi Qaini, hlm. 30.
4- Nahj al-Balāghah, Khotbah 5.

Menguatkan kesabaran dan ketabahan

Peranan agama dalam meningkatkan daya tahan terhadap berbagai problem sebagaimana yang dikatakan oleh sebagian kalangan sosiolog yang menyebut hakikat ini sebagai asal mula kemunculan agama- agama serta berpandangan bahwa "agama pada dasarnya merupakan sebuah jawaban atas pelbagai kesulitan dan ketidakadilan hidup serta akan berupaya menjustifikasi kedukaan-kedukaan ini."(1) Orang yang menyatakan ini sebagaimana kebanyakan di antara ang-orang lainnya yang menyebut agama sebagai suatu reaksi atas kebutuhan-kebutuhan individu dan sosial serta lalai dari dimensi supranaturalnya-tidak membedakan antara asal mula agama dengan konsekuensi-konsekuensi darinya dan dalam sebuah analisis yang sifatnya satu arah, menyebut agama sebagai justifikasi atas kedukaan- kedukaan hidup. Meskipun demikian, hakikat ini tidak dapat diabaikan bahwa tak ada sesuatu pun yang menyerupai agama mampu mengokohkan seseorang dalam berhadapan dengan pelbagai kesulitan dan menyingkap secercah harapan pada jalan-jalan yang buntu. (2) Menurut William James: "Ketika semua harapan-harapan menguap lenyap dalam pertarungan kehidupan. ... emosi-emosi keagamaan ... dalam diri kita, membuat sensasi dan rasa semangat sedemikian hingga menjadikan kita muda serta mengubah kehidupan batin kita, yang dulunya hitam dan kelam."(3) James berkeyakinan bahwa tak ada sesuatu yang memiliki fungsi seperti ini selain agama.

Manusia yang percaya dengan agama, mendapati kemenangan dan kekalahan, kesejahteraan dan kesengsaraan, kebaikan hidup dan keaiban hidup sebagai sesuatu yang dapat diterima dan tanpa berhenti untuk berusaha, merasa senang dengan apa saja yang diperkenangkan

p: 190


1- Malcolm Hamilton, Jāmi'ah Syināsi Din, hlm. 241. Marx menyebut pula agama sebagai “tempat berlindung dalam berhadapan dengan kekerasan kenyataan-kenyataan keseharian." (Antonio Giddens, Jame-eh Shenasi, terjemahan Parsi oleh Manucher Shaburi, hlm. 492), tetapi berkeyakinan bahwa agama seperti halnya obat-obatan narkotika hanya memberikan ketenangan sementara, itu pun dengan dalih lepasnya perhatian dan efek-efek samping yang jelek." Malcolm Hamilton, Jāmi'ah Syināsi Dīn, hlm. 143.
2- Silakan lihat Nasir Makarim Syirazi, Angize Paidāyesy Madzāhib, hlm. 181 dan 199; Will dan Ariel Durant, Darsha Tārīkh [ Lessons of History), terjemahan Parsi oleh Ahmad Bathhai, hlm. 55; Michel Malherbe, Insān wa Adyān Man and Religons], terjemahan Parsi oleh Mehran Tawakkuli, hlm. 436; Bates and Plog, Insan Syināsi Farhangi, hlm. 701.
3- William James, Dīn wa Rawān, hlm. 26. Dengan sedikit perubahan dalam kalimat

jiwa-jiwa. Menurut pandangan kaum Mukmin, tak ada perdagangan yang paling menguntungkan daripada bersabar atas kepedihan- kepedihan dunia yang cepat berlalu hingga mendapatkan kesejahteraan dunia abadi.

PIKIRKAN DAN DISKUSIKAN Literatur-literatur Islam, dari satu sisi, menyebut perjalanan dan suluk religius sebagai perniagaan dan kaum agamawan sebagai saudagar-saudagar yang memanfaatkannya, sebagaimana Amirul mukminin mengatakan: "Mereka melewatkan beberapa hari dengan ketabahan yang membuahkan kesenangan yang lama bagi mereka; suatu perniagaan menguntungkan yang dipersiapkan Tuhan bagi mereka. "(1) Dari sisi lain, ibadah profesi yang melakukan penghambaan dengan syarat upah, telah dikecam dan bersama dengan orang-orang yang menyembah Tuhan karena takut dari siksaan- tidak termasuk sebagai orang-orang yang merdeka:

"Sesungguhnya segolongan kaum yang menyembah Tuhan dengan mengharapkan keuntungan (pemberian), ibadah mereka adalah ibadah para pedagang dan segolongan kaum yang menyembah Tuhan karena rasa takut, ibadah mereka adalah ibadah para budak dan segolongan kaum yang menyembah Tuhan guna bersyukur, ibadah mereka adalah ibadah orang-orang merdeka. "(2) Bagaimana dapat menyelaraskan kedua perkataan ini antara satu dengan lainnya? Menganggap ringan kesulitan-kesulitan dunia sampai pada tahap ketika Nabi Saw. meramalkan kesyahidan Amirul Mukminin dan menanyakan bagaimana kesabarannya, ia mendengarkan jawaban ini: "Wahai Rasulullah! Bukan tempat ketabahan, melainkan tempat

p: 191


1- Nahj al-Balāghah, Khotbah 193.
2- Nahj al-Balāghah, Hikmah 237.

memperoleh imbalan dan bersyukur."(1) Zainab setelah peristiwa Karbala, dalam menjawab pertanyaan Ibn Ziyad, "Bagaimana engkau melihat perbuatan Tuhan atas saudara dan kerabatmu?" Zainab dengan tangkas menyampaikan suatu kalimat yang tidak akan dapat dipahami maknanya oleh orang-orang yang tidak percaya kepada Tuhan, "Aku tak melihat (tragedi Karbala) kecuali keindahan."(2)

Mengurangi Kecemasan dan Kekhawatiran

Percaya kepada Tuhan pengasih yang mengetahui segala urusan serta mampu dalam setiap pekerjaan, di samping meringankan dalam menahan kesulitan-kesulitan yang datang, juga menghilangkan kecemasan dan kekhawatiran tentang masa depan. Manusia yang percaya kepada Tuhan tidak memikirkan sesuatu selain menjalankan tugas Ilahi dan setelah memaksimalkan usahanya, ia tidak pernah khawatir dengan kekalahan dan kedukaan. Berdasarkan hal ini, bahkan kematian atau terbunuh sekalipun dalam menjalankan tugas (taklif) dapat termasuk di antara dua hal yang baik (diinginkan): "Katakanlah, "Tidak ada yang kamu tunggu-tunggu bagi kami, kecuali salah satu dari dua kebaikan (kemenangan atau syahadah)" (QS Al-Tawbah [9]: 51).

Selamat dari Pusaran Kesepian

Manusia seukuran dinding-dinding waktu dan ruang yang diruntuhkannya serta melihat cita-cita kehidupan dalam perkampungan dunia (global village) yang semakin dapat dijangkau, disertai dengan sejenis perasaan kesepian atau kesendirian dan tidak menemukan obat penawar (remedy) untuknya di antara sesama jenis mereka.

Menurut Paul Tilich (1886–1965 M), "Kemajuan teknologi telah menghilangkan jarak ruang dan waktu, tetapi keterasingan hati (aleniasi) antara satu dengan lainnya, dengan sangat menakjubkan

p: 192


1- Nahj al-Balāghah Khotbah 156. William James dengan mengisyaratkan hakikat ini, mengatakan; "Masyarakat (yang suci dan bersih) ini menguatkan kezuhudan mereka dengan kerendahan- kerendahan hati, menahan diri dari kelezatan-kelezatan materiel kehidupan dan menyerahkan diri dalam penderitaan-penderitaan, semakin kehidupan lahiriah mereka menjadi lebih sulit, perkembangan atau perluasan spiritual dan makna wiah mereka semakin banyak." William James, Dīn wa Rawān, hlm. 28.
2- Muhammad Baqir Majlisi, Bihār al-Anwār, jil. 45, hlm. 116.

semakin bertambah."(1) Perasaan sepi ini yang merupakan salah satu di antara faktor-faktor penyebab munculnya depresi, menemukan bentuknya yang beraneka ragam dan dalam kondisi jangkauan paling luas tampak dalam bentuk pengetahuan ini bahwa orang lain- seukuran ia menggunakan kekuatannya-dengan alasan tiadanya kompetensi dalam ilmu dan kekuatan, tidak mampu membuka lilitan atau ikatan kebanyakan dari masalah-masalah saya.(2) Dalam kondisi seperti ini, kepercayaan terhadap Tuhan yang tidak tersaingi dalam ilmu dan kekuasaan, akan membebaskan seseorang dari pusaran kesendirian dan mengubah penyepian atau khalwat dengan Tuhan Yang Maha Esa menjadi saat-saat paling manis. Imam Ali berbisik lirih kepada Tuhan hakikat ini sebagai berikut. "Ya Allah, Tuhanku! Engkaulah yang paling tertaut pada pencinta-Mu dan yang paling sedia menolong orang-orang yang bertawakal kepada-Mu. Engkau melihat mereka dalam ketersembunyian mereka, (Engkau) mengetahui apa saja yang ada dalam kesadaran mereka dan (Engkau) tahu sampai di mana pikiran mereka. Karenanya, rahasia mereka terbuka bagi-Mu dan hati mereka bergairah pada-Mu. Apabila kesepian membosankan mereka, ingatan kepada-Mu memberikan lipuran. Apabila kesusahan menimpa mereka, mereka memohon perlindungan-Mu karena mereka tahu bahwa kendali urusan berada di tangan-Mu dan bahwa gerakan mereka tergantung pada perintah-Mu. Ya Allah, Tuhanku! Apabila aku tak mampu mengungkapkan permohonanku atau tak dapat melihat keperluan-keperluanku, maka bimbinglah aku ke arah perbaikanku dan bawalah hatiku kepada tujuan yang benar, yang tidak bertentangan dengan jalan petunjuk-Mu dan bukan pula sesuatu yang baru yang menentang jalan-jalan dukungan-Mu. Ya Allah, Tuhanku! Perlakukanlah kiranya aku dengan ampunan-Mu dan jangan perlakukan aku menurut keadilan-Mu." (3)

p: 193


1- Paul Tillich, The Shaking of Foundation, hlm. 157. Tentang ini pula Anda dapat melihat William Alston et. al., Dīn wa Cyesmandāzhāe Nu', terjemahan Parsi oleh Ghulam Husain Tawakkuli, hlm. 115; Alvin Toffler, Mouj Sewwum (Third Wave), terjemahan Parsi oleh Shahindakht Khawarazmi, hlm. 507-513.
2- Silakan lihat Mustafa Malikiyan Kalām Jadid 2 (Diktat), hlm. 105–125.
3- Nahj al-Balāghah, Khotbah 227.

Fungsi Sosial Agama

Cara pandang sosiologis terhadap agama, membagi kalangan pemikir penganut Teisme ke dalam dua golongan: Sebagian seperti Emile Durkheim (1858–1917 M) memahami agama sebagai manifestasi solidaritas dan kesatuan masyarakat. Ia menyebut agama memiliki peran positif dan membangun serta segolongan lainnya seperti Feurbach (1804–1872 M) dan Karl Marx (1818–1883 M) menyebut agama sebagai faktor penyebab kelemahan dan keterbelakangan masyarakat dan mereka berjuang melawannya.(1) Kaum yang percaya kepada Tuhan pun meski tidak menyebut kebutuhan sosial sebagai sebab munculnya agama, mereka tidak mengabaikan fungsi sosialnya dan mendudukkan dunia dan akhirat secara berdampingan.

Lebih dari segala hal, sesuatu yang menjadikan kebenaran itu terhormat, keadilan itu suci, setiap hati saling mengasihi antara satu dengan lainnya serta mewujudkan sikap saling percaya di antara orang- orang, menjadikan taqwa dan kesucian merasuk hingga kekedalaman hati nurani seseorang, memberikan validitas bagi nilai-nilai moral, menimbulkan keberanian dalam menghadapi penindasan, dan menghubungkan seluruh individu-individu menyerupai organ-organ dari satu tubuh serta menyatukan mereka adalah iman religius. (2) Bagaimanapun, poin yang menurut kebanyakan pemikir tak dapat diragukan ialah bahwa agama sepanjang sejarah merupakan fondasi dasar dari kebanyakan peradaban-peradaban manusia. (3)

p: 194


1- Silakan lihat Bunyād Nāhj al-Bālāghāh, Masāil Jāme Syināsi az Didgāh Imam Ali As, hlm. 523- 525; Anthony Giddens, Jame-eh Shenasi, hlm. 496; Malcolm Hamilton, Jāmi'ah Syināsi Dīn, hlm. 137-139.
2- Murtadha Muthahhari, Majmu'Atsār, jil. 2 (Muqaddame bar Jahān Bini Islāmi), hlm. 47–48.
3- Silakan lihat Will Durant, Lazzat-e Falsafah The Pleasures of Philosophy), terjemahan Parsi oleh Abbas Zurriyat, hlm. 444; Sarvepalli Radhakrishnan, Madzhab dar Syarq wa Garb [East and West in Religion), terjemahan Parsi oleh Fereidun Gorgani, hlm. 40; Michel Malherbe, Insān wa Adyān [Man and Religons), terjemahan Parsi oleh Mehran Tawakkuli, hlm. 13 dan 430.

PIKIRKAN DAN DISKUSIKAN Pandangan-Pandangan Berbeda terhadap Fungsi Sosial Agama Orang-orang yang mengemukakan pembahasan tentang kebenaran atau keabsahan agama-agama dan hanya menggunakan cara pandang yang bersifat fungsional, telah dihadapkan dengan pelbagai kritikan semacam kesatuan tidak mesti menjadi sesuatu yang disambut karena "Agama mungkin saja mempersatukan masyarakat yang adil dan mungkin pula menyebabkan kesatuan bagi masyarakat yang tidak adil."(1) Kekhususan manakah yang menjadikan cara pandang sumber-sumber Islam terhadap fungsi-fungsi sosial agama lebih unggul dari cara pandang para sosiolog Barat?

Mewujudkan Persatuan dan Kesatuan

Ketidaksabaran sebagian orang-orang beragama dalam berhadapan dengan penganut-penganut agama lainnya telah menyebabkan segolongan orang berpendapat bahwa monoteisme merupakan faktor penyebab perpecahan dan keterpisahan serta lebih mengutamakan syirik atau tanpa agama atasnya; sebagaimana David Hume (1711- 1776 M) mengatakan: "Penyembahan berhala dibandingkan dengan monoteisme dengan jelas memiliki keunggulan ini ... sesembahan kelompok-kelompok dan agama-agama lainnya bermitra dengan Tuhan ... berlawanan dengan itu, jika hanya satu zat yang akan disembah, pemujaan tuhan-tuhan lainnya sia-sia dan termasuk perbuatan dosa.

Di samping itu, satunya sesembahan ini, secara alami, hanya pantas dengan satunya ibadah, iman, dan ritual-ritual religius serta memberi dalil atau alasan bagi para pemain tipu muslihat guna menampakkan lawan-lawannya tidak saleh dan layak dengan kedengkian Tuhan

p: 195


1- Malcolm Hamilton, Jāmi'ah Syināsi Din, hlm. 209.

serta makhluk. Karena setiap sekte meyakini bahwa hanya iman dan pemujaannya yang diterima secara sempurna di hadapan Tuhan dan satu sesembahan tidak akan puas atau senang dengan ritual-ritual dan upacara-upacara yang beragam dan saling bertentangan, maka tak terhindarkan sekte dan firkah tersebut bangkit saling bermusuhan dan masing-masingnya menjadikan yang lain sebagai sasaran kefanatikan dan kedengkian suci yang merupakan bagian dari emosi manusia yang paling besar dan tidak tenang:"(1) Sebagian kalangan rasionalis yang hidup di dunia Islam dengan menegaskan atas tiadanya kebutuhan terhadap kenabian (dengan alasan kesetaraan manusia dalam akal dan potensi-potensi alami) menganggap agama wahyu sebagai faktor perpecahan dan pertumpahan darah(2) dan-menurut Nasir Khusruw (394–481 H),mereka menyebut malaikat-malaikat Ilahi sebagai setan-setan yang berupaya menebar perbedaan, "Jiwa-jiwa para penjahat yang jadi hantu, menampakkan dirinya dengan suatu bentuk yang terlihat oleh orang-orang dan penglihatan mereka menyatakan bahwa 'pergilah kepada orang-orang dan katakan bahwa malaikat telah datang kepadaku dan berkata bahwa Tuhan menjadikanmu seorang nabi (utusan) dan aku adalah malaikat itu!' sehingga dengan sebab ini, perbedaan terjadi di tengah-tengah masyarakat dan kebanyakan makhluk terbunuh dengan pengendalian jiwa halus (hantu) tersebut."(3) Meski demikian, peran agama dalam menciptakan persatuan dan kesatuan sedemikian hingga orang-orang ateis seperti Durkheim- sebagaimana pada pasal dua yang lalu-menyebut Tuhan dan masyarakat setara antara satu dengan lainnya dan berkeyakinan bahwa kaum agamawan dengan menjalankan ritual-ritual keagamaan, tanpa sadar melakukan penguatan relasi-relasi sosial serta menegaskan prinsip masyarakat dan kedahuluan kepentingan-kepentingan bersama (golongan).(4)

p: 196


1- David Hume, Tārīkh Thabi'i Dīn [Natural History of Religion), terjemahan Parsi oleh Hamid Inayat, hlm. 77–78. Begitu pula, silakan lihat Anthony Giddens, Jame-eh Shenasi, hlm. 496; Malcolm Hamilton, Jāmi'ah Syināsi Dīn , hlm. 184.
2- Silakan lihat Abu Khatam Razi, I lām al-Nubuwwah, hlm. 3–8.
3- Nashir khusru Qabadiyani, Jāmi' al-Hikmatain, no. 139, hlm. 137.
4- Tentang hal ini, silakan lihat lan Robertson, Dar Amadi bar lāmi'ah (Sociology], terjemahan Parsi oleh: Husain Behravan, hlm. 336; Bottomore, Jami'ah Syināsi [Sociology), terjemahan Parsi oleh Hasan Manshur dan Hasan Husaini, hlm. 271; Bates and Plog, Insān Syināsi Farhangi, hlm. 678.

Will Durant (1885–1981 M) juga menyebut agama sebagai suatu faktor guna mencegah pertarungan kelas-kelas. Ia mengatakan:

"Mengingat tiadanya kesetaraan alami manusia, menghukumi sejumlah besar di antara kita sebagai fakir dan kalah (bangkrut), dalam berhadapan dengan keputusasaan dan harapan supranatural adalah satu-satunya penyembuhan. Jika harapan ini bangkit dari tengah, pertarungan kelas-kelas akan semakin keras."(1) Menurut sebagian lainnya dari para peneliti agama, dalam pertarungan-pertarungan yang dikenal dengan peperangan agama senantiasa terdapat suatu faktor lain yang boleh jadi sahamnya tidak lebih sedikit dari fanatisme-fanatisme keagamaan.(2) Dari sisi lain, David Humeselain dari pada analisis-analisis teoretis, juga melakukan pengumpulan bukti-bukti historis dalam menguatkan pandangannya (keunggulan syirik atas tauhid dalam ketekunan dan kesabaran)- mengisyarahkan kepada contoh-contoh peperangan panjang di antara kaum penyembah berhala (seperti kaum penyembah anjing Mesir dengan penyembah kucing serta penyembah serigala). (3) Namun, pada kenyataannya agama-agama tauhid merupakan manifestasi dari konsensus dan solidaritas dan melebihi faktor- faktor lainnya menjamin persatuan masyarakat. (4) Sepanjang sejarah, terdapat orang-orang yang senantiasa melihat tiadanya keselarasan antara doktrin-doktrin para nabi dan permintaan-permintaan dan keinginan-keinginan berlebihan yang bersifat duniawi. Dalam berhadapan dengan hal ini mereka mengibarkan panji penentangan.

Namun demikian, pandangan sepintas dari sejarah menunjukkan bahwa agama-agama Ilahi senantiasa menjadi pembawa pesan-pesan perdamaian dan kecintaan serta menyebut tegaknya keadilan sebagai tujuan terpentingnya.

Dalam pandangan al-Qur'an, bukan hanya Ahlulkitab, bahkan orang-orang syirik yang menginginkan kedamaian adalah pantas dengan

p: 197


1- Will dan Arill Durant, Darshā Tārikh [Lessons of History), hlm. 55. Begitu pula, silakan lihat Will Durant, Ladzzat-e Falsafah [The Pleasures of Philosophy], terjemahan Parsi Abbas Zaryab, hlm. 445.
2- Michel Malherbe, Insān wa Adyān, hlm. 429. Begitu pula, silakan lihat, hlm. 402.
3- David Hume, Tārīkh Thabi'i Dīn, hlm. 79.
4- Silakan lihat Abdullah Nashri, Khudā dar Andisyeh Basyar, hlm. 321–323; Azarbaijani dan Musawi Ashl, Dar Amadi bar Rawān Syināsi Dīn, hlm. 179-182.

kebaikan dan belas kasih dan kaum Mukmin tidak boleh menolak untuk menegakkan keadilan bagi mereka.(1) Persatuan masyarakat Islam di bawah naungan doktrin-doktrin keagamaan juga merupakan kenyataan yang tidak dapat diingkari di mana al-Qur'an menyebutnya sebagai salah satu anugerah terbesar Tuhan: "Dan ingatlah nikmat Tuhan kepada kalian, ketika kalian bermusuhan antara satu dengan lainnya, maka menyatukan antara hati-hati kalian lalu menjadikan kalian dengan nikmatnya bersaudara dan kalian telah berada ditepi jurang neraka, lalu menyelamatkan kalian darinya." (OS Ali Imrān [3: 103).

Imam Ali menjadikan pula antara agama dan solidaritas sebagai suatu hubungan tak terpisahkan(2) dan dengan membandingkan masa- masa jahiliyah dengan era Islam, Imam Ali menyebut persatuan masyarakat sebagai konsekuensi paling mendasar dari dakwah Nabi Saw., "Maka tengoklah bagaimana nikmat-nikmat Tuhan turun kepada mereka, ketika seorang nabi diutus kepada mereka. Membawa mereka taat kepada Tuhan dan dengan mengajak mereka kepada-Nya saling bersesuaian antara satu dengan lainnya. ... sesungguhnya Tuhan Yang Mahasuci telah meletakkan kebaikan atas kebersamaan umat ini dan menghubungkan mereka dengan kasih sayang (ulfat); suatu hubungan di mana mereka bersama dalam naungannya dan saling menolong di bawah lindungannya, dalam suatu nikmat di mana tak ada seorang pun di antara hamba yang mengetahui nilainya."(3)

Jaminan Pemenuhan keadilan dan Peradilan

Jaminan Pemenuhan keadilan dan Peradilan(4) Salah satu kebutuhan-kebutuhan manusia lainnya yang tidak akan terealisasi kecuali di bawah naungan keyakinan agama adalah

p: 198


1- “Tuhan tidak melarang kamu untuk berbuat baik atau berlaku adil terhadap orang-orang yang tidak memerangimu karena agama dan tidak mengusir kamu dari negerimu dan membantu untuk mengusirmu." (QS Al-Mumtahanah [60]: 8)
2- Silakan lihat Nahj al-Balāghah, Khotbah 39 dan 180.
3- Nahj al-Balāghah, Khotbah 192. Demikian juga silakan lihat Khotbah 1.
4- Penegasan kami di sini adalah pada keadilan pembalasan yang akan terwujud secara sempurna pada hari kiamat. Di samping itu, agama-agama Ilahi di dunia ini pun membangun aturan- aturannya berdasarkan keadilan dan mengajak para penganutnya kepada keadilan serta menjauhi penindasan; sebagaimana menurut al-Qur'an, bahkan dalam berhadapan dengan para musuh sekalipun, keadilan tidak boleh dikesampingkan. "Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap suatu kaum mendorong kamu untuk tidak berlaku adil" (QS Al-Ma'idah [5]: 8).

kebutuhan atas keadilan dan peradilan.(1) Betapa banyak tirani-tirani yang tidak membayar ganti rugi atau kompensasi atas kejahatan- kejahatannya di dunia ini dan melewatkan hari-harinya dengan kesejahteraan dan kesenangan yang hasilnya hanya menambah kesedihan orang-orang yang teraniaya.

Di samping itu, boleh jadi hukuman-hukuman duniawi tidak selaras dengan timbangan kejahatan dan kriminalitas serta tidak menegakkan keadilan yang sesungguhnya; seseorang yang melumuri kedua tangannya dengan darah ribuan orang serta membuat cacat dan tak berdaya begitu banyak orang, bagaimana bisa mendapatkan hukuman yang pantas bagi kejahatannya? Agama-agama Ilahi dengan penegasannya atas kehidupan setelah mati menjanjikan penegakan keadilan yang sesungguhnya serta menentukan hukuman sepantasnya bagi setiap perbuatan aniaya(2) sebagaimana dituturkan secara bijak oleh Imam Ali, "Posisi para tiran berada dalam jangkauan sergapan Tuhan dan jika Dia memberikan kelapangan atau kesempatan beberapa hari kepada mereka, tidak akan lama hukuman atas perbuatan-perbuatan mereka akan diberikannya dan akan mengambil keadilan orang-orang yang teraniaya dari mereka."(3) Tentu saja, hal ini tidak bermakna dorongan untuk kompromi dan menerima kezaliman, para pemimpin Islam bukan hanya tidak menerima kompromi terhadap kezaliman, bahkan menyebut ungkapan perkataan benar (haqq) di hadapan pemimpin yang zalim lebih utama dari pada jihad di jalan Tuhan.(4) Meski demikian, bagi mereka yang tak berdaya untuk mengambil hak-hak mereka, tak ada sesuatu yang lebih menenangkan atau menghibur dari ungkapan bahwa keadilan Ilahi bagi orang-orang zalim atas kezaliman yang mereka lakukan terhadap orang-orang yang teraniaya adalah lebih keras (sulit), "Hari keadilan bagi orang-orang zalim, lebih sulit dari pada hari penganiayaan (mereka) terhadap orang-orang yang terzalimi."(5)

p: 199


1- Mustafa Malikiyan, Kalām Jadid 2 (Diktat), hlm. 127-129. Begitu pula, silakan lihat Malcolm Hamilton, Jāmi'ah Syināsi Din, hlm. 277.
2- Silakan lihat Muhammad Taqi Misbah Yazdi, Ma'ārif-e Qur'ān, jil. 1–3, hlm. 493.
3- Naj al-Balāghah, Khotbah 97, hlm. 88; Nahj al-Balāghah, Surah 53, hlm. 340.
4- Nahj al-Balāghah, Hikmah 374, hlm. 429.
5- Nahj al-Balāghah, Hikmah 341.

Jaminan Keriangan dan Dinamisasi

Karl Marx, dengan interpretasi keliru dari doktrin-doktrin religius menyebut agama sebagai faktor yang melemahkan masyarakat serta menjadi candu bagi mereka. Karl Marx berpendapat bahwa kepercayaan terhadap ketentuan dan takdir Ilahi serta berserah diri kepada nasib telah berujung pada ketertinggalan dan keterbelakangan masyarakat-masyarakat religius serta membawa konsekuensi- konsekuensi yang mengerikan bagi mereka.

PIKIRKAN DAN DISKUSIKAN Agama dan Pelemahan Kalangan pemikir Muslim menyebut munculnya sebagian pemikiran-pemikiran menyimpang dalam agama sebagai faktor penyebab kemerosotan dan pelemahan, sebagai contoh, mereka menekankan poin bahwa interpretasi keliru atas syafaat para maksum, telah menggiring segolongan masyarakat menjadi kaku dan tidak berbuat.(1) Manakah pemahaman-pemahaman menyimpang lainnya dari doktrin-doktrin keagamaan yang dapat mengubah suatu agama yang dinamis dan menggerakkan menjadi candu dan narkotika?(2) Pandangan ini, walaupun tersimpul dengan nama Karl Marx, tetapi pemahaman dan interpretasi keliru dari ketentuan dan takdir Ilahi (al-qadha wa al-qadar) mempunyai latar belakang yang cukup lama dan sebelum Karl Marx terdapat pula orang-orang yang membangkang menentang agama.(3) Bagaimanapun, Karl Marx pada buku "The Holy Family" dalam mengkritik Kristen mengatakan, "Prinsip-prinsip sosial Kristen menangguhkan kompensasi seluruh aib-aib ke dunia sana,

p: 200


1- Murtadha Muthahhari, Dah Guftar, hlm. 145.
2- Untuk mengetahui bagian doktrin-doktrin keagamaan yang jika terpahami secara tidak benar dapat menimbulkan penyimpangan seperti ini, silakan lihat Nasir Makarim Syirazi, Angize Paidāyesy Madzāhib, hlm. 16-178.
3- David Hume, Tārīkh Thabī'i Din, hlm. 84

olehnya itu, keberlanjutannya di dunia ini mereka justifikasi sebagai balasan atas dosa asal (The Origin of Sin) atau sebagai yang didesakkan Tuhan guna menguji hamba-hambanya. Prinsip-prinsip sosial Kristen, mendakwahkan kehinaan, tiadanya harga diri, cibiran, kepatuhan, kerendahan diri, dan ringkasnya seluruh sifat-sifat rendah dan hina. "(1) Interpretasi seperti ini mungkin bersesuaian dengan doktrin doktrin sebagian agama-agama dan aliran-aliran dalam agama, tetapi tidak selaras dengan aliran yang meneriakkan slogan "amrun bayna amrayn(2) (in between, sesuatu hal di antara dua hal)" serta memerangi keyakinan atas qadha dan qadar yang bersifat determinis. Menurut pandangan para Imam Maksum, tidak bisa, dengan dalih kepatuhan dalam berhadapan dengan kehendak Ilahi, meninggalkan pekerjaan dan aktivitas serta menyerahkan diri pada topan pelbagai peristiwa; dari sisi inilah, Imam Ali meninggalkan tembok yang akan rusak (runtuh) dan berlindung di balik tembok yang masih baik dan- dalam berhadapan dengan pertanyaan bahwa "Apakah engkau lari (menghindar) dari ketentuan (qadha) Ilahi?" Imam Ali menjawab, "Aku menghindar dari gadha (ketentuan) Ilahi serta berlindung dengan qadar-Nya."(3) Begitu pula dalam menjawab orang yang menganggap sama antara takdir (qadar) Ilahi dan aliran Determinisme (Jabariyah) dan menyebut kehendak manusia seperti jerami yang berhadapan dengan angin kencang pelbagai peristiwa, Imam Ali berkata, "Celakalah Engkau! Engkau menganggapnya sebagai takdir yang terakhir dan tak terelakkan (yang menurutnya kami telah dipastikan akan bertindak).

Apabila demikian, maka tak akan ada masalah ganjaran atau hukuman, dan tak akan ada makna atas janji dan peringatan Allah. (Sebaliknya) Allah Yang Mahasuci telah memerintahkan hamba-hamba-Nya untuk bertindak menurut kehendak bebas, dan telah memperingatkan dan mencegah mereka (dari kejahatan). la telah menempatkan kewajiban- kewajiban ringan pada mereka dan tidak meletakkan kewajiban- kewajiban berat. la memberikan kepada mereka (ganjaran) yang banyak

p: 201


1- Andre Peter, Marx wa Marxism (Marx and Marxism), terjemahan Parsi oleh: Syujauddin Ziaiyan, hlm. 237.
2- Syaikh Shaduq, al-Tawhid, hlm. 362 (bab. 59, hadis 8).
3- Syekh Shaduq, al-Tawhīd, hlm. 369.

sebagai imbalan atas (amal perbuatan) yang sedikit. la tidak ditaati bukan karena la dikalahkan. la ditaati, tetapi tidak dengan memaksa.

la tidak mengutus para nabi hanya sekadar main-main. Ia tidak menurunkan kitab bagi manusia tanpa tujuan. la tidak menciptakan langit, bumi, dan segala yang ada di antaranya dengan sia-sia. "Yang demikian itu adalah anggapan orang-orang kafir, maka celakalah orang- orang kafir itu karena mereka akah masuk neraka. "(1) Agama Ilahi bukan menjadi faktor keterbelakangan dan ketertinggalan, melainkan mendorong masyarakat untuk bergerak dan berguncang serta mengajak kaum Mukmin berperang atau melawan kezaliman dan ketimpangan. Orang-orang seperti Hume yang menganggap agama sebagai sumber kehinaan dan kerendahan, dalam penilaiannya memaksudkan sebagian pendeta-pendeta suci gereja-gereja Kristen dan para darwis suci (arif gadungan) Islam;(2) sementara teladan-teladan ideal bagi orang-orang yang percaya kepada Tuhan adalah arif dan seorang pejuang seperti Ali bin Abi Thalib yang memadukan antara kerendahan diri di hadapan Tuhan dan keberanian di medan pertempuran dan keyakinan atas qadha dan qadar Ilahi tidak mencegahnya dalam usaha apa pun. Para pemimpin aliran ini, tidak akan pernah menerima ketundukan dalam berhadapan dengan para perusuh serta memuji kemuliaan dan kehormatan manusia sedemikian rupa, di mana pujian seperti ini darinya belum pernah ada dalam doktrin atau ajaran-ajaran nonreligius, "Jauhkanlah diri Anda dari setiap hal yang rendah, sekalipun itu mungkin membawa Anda kepada tujuan yang Anda hasratkan karena Anda tidak akan mendapatkan suatu kembalian atas kehormatan Anda sendiri yang Anda belanjakan.(3) Janganlah menjadi budak orang lain karena Allah telah membuat Anda bebas. "(4)

p: 202


1- (QS Shad [38]:24); Nahj al-Balāghah, Hikmah 78. Begitu pula, silakan lihat Syekh Shaduq, al- Tawhid, hlm. 380-381.
2- David Hume, Tārīkh Thabī'i Dīnī, 84.
3- Artinya kehinaan dan kerendahan mungkin saja menyampaikan seseorang kepada keinginan materiel, tetapi kerugian makna winya tidak dapat digantikan karena tujuan ini tidak dapat diraih kecuali dengan membayar biaya berat seperti kemuliaan dan kehormatan manusia.
4- Nahj al-Balāghah, Surat 31.

Mendukung Moralitas Mulia

Mendukung Moralitas Mulia(1) Agama membantu moralitas dalam pelbagai macam dimensi seperti penyusunan sistem nilai, penyiapan jaminan realisasi dan penguatan motivasi internal (2)serta mengajak semua orang kepada penyucian dan pembersihan jiwa. Dukungan agama kepada moralitas sedemikian besar sedemikian sehingga sebagian berkeyakinan bahwa:

"Jika tidak ada Tuhan, maka setiap perbuatan adalah boleh."(3) Generalisasi dan keumuman peryataan ini tidak dapat diterima karena tidak diragukan lagi bahwa orang-orang mendapati kebaikan dan keburukan kebanyakan dari perbuatan-perbuatan yang tidak bersentuhan dengan wahyu dan memandang bahwa ketundukan kepada hukum akal adalah sesuatu yang tak terhindarkan. Walaupun demikian, sangat sedikit jumlah orang-orang yang mematuhi hukum akal. Seseorang yang membelakangi agama serta memandang perilaku moral dirinya tidak berujung di alam sana, dengan begitu mudah akan meninggalkan sikap kesatria(4) dan tak ada keyakinan pada janji dan sumpahnya. (5) Dari sisi ini pula, menurut sebagian sejarawan abad ke-20-yang mana mereka sendiri tidak begitu cenderung kepada agama, "Dalam sejarah sebelum zaman kita, tak ada contoh yang patut mendapat perhatian tentang suatu masyarakat yang mampu melanjutkan kehidupan moralnya tanpa bantuan agama."(6) Singkat kata, manusia pada wilayah moralitas membutuhkan orang-orang yang mengingatkan mereka akan pahala atau ganjaran atas perilaku-perilaku baik dan menjadikan mereka takut atas balasan perilaku-perilaku buruk. Manusia Mukmin meyakini Tuhan yang tahu akan motivasi dan keinginan-keinginan batinnya dan setelah kematian akan melangsungkan suatu pengadilan, di mana hakimnya adalah saksi atas lahiriah dan batiniah terdakwa (yang tertuduh): "Jauhilah maksiat

p: 203


1- Penjelasan lebih rinci dari fungsi agama ini, pada bagian 12 (Agama dan Moralitas).
2- Abdullah Nashri, Khudā dar Andisyeh Basyar, hlm. 286–306; William James, Dīn wa Rawān, hlm. 25; Nasir Makarim Syirazi, Angize Paidāyesy Madzāhib, hlm. 183.
3- Onora O'Neill, "Duty and Obligation", dalam Lawrence C. Becker (ed.) Encyclopedia of Ethics, vol. 1, hlm. 273.
4- "Man lā dīna lahu lā marwātu lahu." Ghurar al-Hikam, hlm. 86.
5- Ghurar al-Hikam, hlm. 87.
6- Will dan Arill Durant, Darshā-e Tārīkh, hlm. 68.

kepada Allah dalam kesepian (tempat-tempat sunyi), sesungguhnya yang melihat (saksi) adalah yang menghakimi (hakim)."(1) Dari sisi ini, mengingat kematian akan menggiring orang-orang yang percaya kepada Tuhan ke arah perbuatan-perbuatan baik(2) serta melepaskan orang-orang bertakwa dari kotoran-kotoran syahwat. (3) Poin yang patut diperhatikan adalah bahwa pada dasarnya kebanyakan dari tabiat atau bawaan-bawaan moral seperti bakti dan pengorbanan yang tidak memiliki justifikasi rasional hanya terkandung dalam naungan kepercayaan terhadap Tuhan dan kehidupan setelah mati. Muthahhari mengatakan, "Manusia benar- benar tidak mempunyai lebih dari dua jalan: entah ia harus egois (memuja diri) dan menjadi pragmatis serta tidak tunduk pada larangan apa pun ataukah ia harus menjadi penyembah Tuhan dan larangan- larangan yang dibebankan baginya sebagai moralitas tidak disebutnya sebagai pelarangan, minimal ia menganggap hal itu telah tergantikan.

Kemanusiaan, ampunan, dan perbuatan baik apabila tidak didasari dengan ketakwaan dan pencarian rida Ilahi, akan didasari dengan sesuatu yang membahayakan. "(4) PIKIRKAN DAN DISKUSIKAN Lebih Tinggi daripada Moralitas! Soren Kierkegaard (1813–1855 M) arif berkebangsaan Denmark, menyebut iman religius lebih tinggi dari pada moralitas dan dengan mengisyaratkan kepada penugasan Ibrahim untuk menyembelih putranya. Ia berkata, "Menurut pandangan moral ... ayah semestinya mencintai anak, tetapi relasi moral ini dalam berhadapan dengan

p: 204


1- Nahj al-Balāghah, Hikmah 324.
2- Nahj al-Balāghah, Hikmah 31.
3- Silakan lihat Muhammad Baqir Mahmudi, Nahj al-Sa ādah, jil. 3, hlm. 154 dan jil. 4, hlm. 120 dan 289.
4- Murtadha Muthahhari, Bist Guftār, hlm. 190. Demikian juga, silakan lihat Murtadha Muhahhari, Falsafah-ye Akhlāk, hlm. 279–292.

hubungan kepada Tuhan menurun sampai pada suatu tingkatan relatif."(1) Menurutnya, Ibrahim, kampiun iman ini ... dengan meletakkan pisau (pedang) pada leher putranya "telah melangkah jauh meninggalkan seluruh ranah moralitas."(2) Pernyataan ini-sebagaimana ungkapan sebagian kalangan pemikir-bermakna bahwa manusia beriman memiliki relasi dengan Tuhan yang "keinginan-keinginan-Nya mutlak dan tidak dapat terukur dengan takaran-takaran akal manusia. "(3) Bagaimana Anda menilai pandangan ini? Apakah moralitas bisa dikorbankan demi agama?

Mengatur Hubungan-Hubungan Sosial

Kehidupan sosial manusia tidak akan terpelihara tanpa adanya sebuah aturan yang memperhatikan pelbagai tipologi manusia serta kekuasaan yang menjalankan aturan tersebut. Agama-agama Ilahi merupakan pembimbing terbesar manusia dalam bidang ini dan mengemban suatu peran yang hanya dapat dilakukan olehnya.(4) Menurut al-Qur'an, salah satu tujuan para nabi adalah memutuskan perkara-perkara yang diperselisihkan di tengah-tengah masyarakat serta menegakkan keadilan.(5) Para nabi dalam hal ini tidak mencukupkan diri dengan menasihati dan mengawasi. Apabila mereka mampu, mereka akan membangun sebuah pemerintahan.

Poin ini tak diragukan lagi, khususnya dalam kaitannya dengan Nabi Islam yang merupakan penutup para nabi dan penyempurna agama-agama sebelumnya, sebagaimana Rousseau dengan menunjuk gagasan pemisahan agama dan pemerintahan dalam Kristen mod

p: 205


1- Kierkegaard, Tars wa Lars [Fears and Trembling), terjemahan Parsi oleh Abdulkarim Rasyidiyan, hlm. 98)
2- Kierkegaard, Tars wa Lars, hlm. 98.
3- Frederick Copleston, Tārīkh Falsafah [A History of Philosophy), jil. 7, terjemahan Parsi oleh Dariyush Ashuri, hlm. 334.
4- Silakan lihat lan Robertson, Dar Amadi bar Jāmi'ah (Sociology), terjemahan Parsi oleh Husain Behruwan, hlm. 336.
5- Silakan lihat (Al-Baqarah [2]: 213); (QS Al-Hadid [57]: 25)

mengatakan, "Muhammad dalam hal ini benar-benar memiliki gagasan- gagasan yang akurat serta merancang bangun sebuah sistem politik yang kuat dan kokoh yang ... secara bersambung berlanjut terus di bawah naungan pemerintahan khalifah-khalifahnya. Dalam sistem ini hanya ada satu pemerintahan yang mengendalikan serta mengatur semua urusan-urusan sosial, tetapi karena Arab telah sampai pada suatu pertumbuhan dan perkembangan, secara lahiriah telah mencapai budaya dan peradaban manusia, tetapi pada kenyataannya ... mereka telah berubah menjadi eksistensi yang vakum (tanpa mobilitas); bangsa Barbar menjadi lebih unggul darinya dan menggiringnya berada di bawah kekuasaan mereka. Dalam pada itu, pemisahan antara kekuasaan agama dan kekuasaan pemerintahan menjadi tampak dan dua kesultanan memperoleh kekuasaan dalam masyarakat."(1) Sirah pengetahuan ('ilmi) dan perbuatan ('amali) para Imam Maksum menunjukkan bahwa perbaikan kondisi sosial masyarakat telah termuat dalam inti agama dan-berlawanan dengan anggapan sebagian orang(2)–bukan merupakan konsekuensi-konsekuensi yang bersifat kebetulan darinya. Sebagai contoh, Amirul mukminin Ali setelah mengisyaratkan bahwa Tuhan mengutus Nabi Saw.

untuk menjadi rahmat bagi seluruh alam, menyebutkan keluasan rahmat Tuhan ini demikian, "Maka, apa yang dikatakan kepadanya ia tampakkan dan ia sampaikan pesan-pesan Tuhannya. Maka, Tuhan menutup kekalahan baginya dan menjadikan lubang-lubang saling tersambung serta mengamankan jalan-jalan di tangannya. Ia berhasil mengurangi pertumpahan darah dan menjadikan mereka saling menyayangi yang tadinya dada-dada mereka dipenuhi dengan permusuhan dan kedengkian."(3) Kepemimpinan masyarakat Islam di tangan Nabi Muhammad Saw.

dan para Imam Maksum adalah suatu hal yang tidak dapat diragukan.

Dari sisi ini, segolongan kaum Muslim-dengan asumsi bahwa agama tidak bisa disebut memiliki program pemerintahan-mencari rahasia

p: 206


1- Jean Jacques Rousseau, The Social Contract, Book 4, Chapter 8 (Great Books, vol. 35, hlm. 436). terjemahan yang terdapat dalam teks, berasal dari literatur berikut ini: Sayid Kazim Hairi, Bunyāne Hukumat dar Islām, terjemahan Parsi oleh Wezarat-e Farhang wa Irsyad-e Islami, hlm. 50.
2- Mahdi Bazargan, Akhirat wa Khudā, Hadaf Bi tsat Anbiyā, hlm. 12.
3- Muhammad Baqir Mahmudi, Nahj al-Sa ādah, jil. 1, hlm. 263.

pemerintahan para maksum pada tempat selain dari pada doktrin- doktrin keagamaan. Menurut mereka, para pemimpin maksum tidak menyebut pendirian negara atau pemerintahan sebagai tugas yang bersifat Ilahi, melainkan gerakan mereka bangkit dari sebuah "ajakan atau panggilan yang benar-benar (seratus persen) populis (merakyat) serta demokratis."(1) Berdasarkan hal ini, jika masyarakat menganggap para penghulu agama-seperti para maksum-layak atau pantas dengan kekuasaan, masyarakat akan memilih mereka untuk jabatan ini; jika tidak, maka seseorang tidak boleh melakukan upaya pendirian pemerintahan atas nama agama dan menganggapnya sebagai tugas yang bersifat Ilahiah.

Dalam menjawab pandangan ini, cukup dengan mengingatkan satu poin: Jika demikian halnya, mengapa para pemimpin maksum selalu mengupayakan pembentukan pemerintahan Islam dan berbicara tentang perampasan khilafah yang dilakukan Bani Umayah dan Bani Abbasiyah? Imam Shadiq kepada Sadir Shirafi berkata: "Jika aku mempunyai penolong-penolong sejumlah domba-domba ini, maka aku akan bangkit (melakukan perlawanan dan memerintah)." Sadir berkata:

"Ketika aku menghitung jumlah domba-domba tersebut, (jumlah) mereka tidak lebih dari tujuh belas kepala."(2) Imam Musa Kazhim pun, dalam menjawab klaim atau pernyataan Harun yang berbicara tentang pengembalian tanah Fadak, batasannya sedemikian ia tentukan di mana mencakup seluruh wilayah kekuasaan Harun;(3) Kiasan dari hal ini bahwa kami (para maksum) meyakini dasar kekuasaan kalian (Harun) adalah batil dan kami senantiasa dalam keadaan memikirkan pembentukan pemerintahan religius.

p: 207


1- Mahdi Bazargan, Akhirat wa Khudā, Hadaf Bi tsat Anbiyā, hlm. 43.
2- Muhammad Baqir Majlisi, Bihār al-Anwār, jil. 47, hlm. 373.
3- Muhammad Baqir Majlisi, Bihār al-Anwār, jil. 47, hlm. 144.

PIKIRKAN DAN DISKUSIKAN Legitimasi dan Akseptabilitas Imam Ali dalam khotbah terkenal "Syaqsyaqiyah", menyebutkan alasan-alasan penerimaan khilafah seperti ini: "Jika saja orang-orang yang berbaiat ini tak ada dan para penolong belum menyempurnakan hujah atas diriku dan Tuhan tidak mengatakan kepada para ulama sehingga mereka tidak menerima para penindas pengenyang perut dan bersegera membantu orang-orang lapar yang teraniaya, tali pekerjaan ini akan kuletakkan dari tangan dan aku akan menganggap akhirnya seperti awalnya."(1) Apakah Anda dapat membedakan kedua unsur legitimasi Ilahi dan penerimaan rakyat antara satu dengan lainnya? Menurut Anda, bagaimana ketiadaan pemilahan kedua unsur ini dapat menjadi sumber penyimpangan dalam pembahasan yang ada sekarang ini?

Harapan Manusia terhadap Agama

Dalam beberapa tahun terakhir, sebagian penulis menggunakan istilah "harapan manusia terhadap agama" (intizhār basyar az din) ketimbang istilah yang telah berlaku secara umum “kebutuhan terhadap agama" (niyāz basyar be dîn) dan menempatkannya sebagai pengantar atau mukadimah atas klaim bahwa sesuatu yang menentukan ruang lingkup agama adalah harapan-harapan manusia:(2)

p: 208


1- Nahj al-Balāghah, Khotbah 3.
2- Sebagian penulis ini, menyebut pula orang-orang sebelumnya seperti Ibn Khaldun (732-808 H) sebagai pembela pandangan ini (Silakan lihat Abdulkarim Soroush, Dzati va Arazi dar Dīn", pada majalah Kiyān, No. 42, hlm. 14); Sementara dari penukilan sempurna pernyataan Ibn Khaldun yang tampak ialah bahwa dia dengan suatu pandangan internal agama (darun-e dini) membahas masalah ruang lingkup syariat: “Dan pada masyarakat-masyarakat urban terdapat sejenis dokter di mana sebagian besarnya bertumpu pada pengalaman-pengalaman singkat dan batasan yang sedikit sebagian individu-individu ... dan pengobatan (medikal) yang dinukil dalam syariat-syariat adalah semacam ini pula dan sama sekali bukan dari alam wahyu.... dan penyebutan pengobatan ini di sela-sela keadaan atau kondisi-kondisi Nabi Saw. adalah sejenis kondisi yang merupakan watak dan sudah lazim pada dirinya, bukan dari sisi bahwa hal ini disyariatkan dengan cara seperti ini karena beliau diutus untuk mengenalkan kita kepada syariat, bukan karena supaya ia mengajarkan definisi pengobatan (medis) atau hal-hal biasa lainnya; sebagaimana yang terjadi padanya tentang cara pembuahan (pengawinan) pohon kurma (guna mengkritik cerita atau hikayat ini, silakan lihat Ahmad Husain Syarifi dan Hasan Yusufian, Pazyuheshi dar Eshmat Ma shuman, hlm. 263) dan ketika itu berkata: kalian lebih tahu kepada urusan-urusan duniawi kalian." Muqaddimah Ibn Khaldun, terjemahan Parsi oleh Parwin Gonabady, jil. 2, hlm. 1034.

Jika seorang teolog benar-benar berpandangan bahwa agama dianugerahkan kepada masyarakat guna menjelaskan nilai-nilai dan cara-cara, atau berpendapat bahwa agama dalam bab kekuasaan tidak perlu berbicara ... apakah dalam fikih masih tetap akan berupaya mencari atau menemukan bentuk pemerintahan? Awalnya sebagai seorang teolog mesti diterima bahwa kesempurnaan agama menuntut adanya gagasan dalam bab pemerintahan sehingga dengan kefakihan dapat mengikuti gagasan tersebut. (1) Berdasarkan pandangan ini, seakan-akan manusia dalam suatu masa, mencari remedy (obat penyembuh) atas seluruh sakit- sakitnya pada agama dan bahkan mencari tahu ilmu kedokteran dan perbintangan darinya, lama kelamaan dengan memperbaiki penantian- penantianya, mereka sampai pada kesimpulan bahwa mereka jangan mencari sesuatu di dalamnya selain daripada Tuhan dan akhirat serta jangan pula mencari jalan agama guna menyejahterakan kehidupan dunianya.

PIKIRKAN DAN DISKUSIKAN Perubahan Agama dengan Berubahnya Harapan Manusia? Penulis buku "Qabdh wa Basth-e Teorik-e Syariat" dari satu sisi menekankan ketetapan atau konstannya agama (dengan adanya perubahan dalam pengetahuan religius), dari sisi lain, menyebut harapan manusia terhadap agama sebagai penentu ruang lingkupnya. Menurut salah seorang kritikus—yang mengatakan bahwa teori "Qabdh wa Basth-e Teorik-e Syariat" dengan pelbagai kekurangan- kekurangannya tak tergantikan (2) dengan cara pandang

p: 209


1- Abdul Karim Soroush, Qabdh wa Basth Teorik Syariat, hlm. 390.
2- Mustafa Malikian, Syarh wa Barrasi Nazhariyh Qabdh wa Basth Teorik Syariat, hlm. 21.

khas penulis terhadap masalah harapan manusia terhadap agama, menyebutkan bahwa bukan hanya pengetahuan tentang agama, melainkan agama sendiri pun harus dalam keadaan berubah. Sebagai contoh, hadis-hadis tentang ketabiban Nabi Saw. dan ketabiban Imam Shadiq dalam suatu masa adalah termasuk bagian dari agama, tetapi dengan berubahnya harapan-harapan manusia, hal tersebut telah keluar dari ruang lingkup agama.(1) Menurut Anda, apakah dengan tafsiran tersebut dari masalah "harapan manusia terhadap agama" seseorang dapat tetap cenderung atas konstannya agama? (Tentu saja pada akhirnya, penulis (Soroush) tersebut senada dengan pengkritik (Mustafa Malikiyan) dan menyebut pula agama itu sendiri mengalami penyempitan (qabdh) dan perenggangan (basth): Di sini tidak ada pembicaraan tentang suatu penyempitan dan perenggangan yang tak terelakkan mengikuti pertanyaan-pertanyaan dan pengetahuan-pengetahuan zaman dalam pengetahuan religius, melainkan pembicaraan tentang penyempitan dan perenggangan yang tak terelakkan mengikuti desakan- desakan dan aksiden-aksiden periode (masa), dalam substansi dan hakikat agama. ... tidak boleh ragu bahwa sekiranya semua riwayat-riwayat yang ada dalam bab- bab ini (kedokteran, perbintangan, dan lain sebagainya) mutawatir dan memiliki petunjuk secara pasti (gath`i al- dilālah), tetap saja tidak dapat kita sebut sebagai riwayat- riwayat religius; ... karena penantian atau harapan para pemeluk agama terhadap agama, bukan pembelajaran kedokteran, perbintangan, fisika, dan bintang-bintang atau planet-planet."(2)

p: 210


1- Mustafa Malikian, Syarh wa Barrasi Nazhariyh Qabdh wa Basth Teorik Syariat, hlm. 21.
2- Abdul Karim Soroush, “Dzātī wa Aradhi dar Dīn", pada majalah Kiyān, No. 42, hlm. 14.

Begitu pula berdasarkan teori ini, penentuan harapan-harapan manusia dilakukan di luar agama dan dengan cara pandang yang bersifat internal agama (darun-e dini) kerangka dasar harapan-harapan ini tidak dapat ditentukan. Oleh karena itu, jalan untuk mendapatkan jawaban pertanyaan bahwa "apakah agama membahas pula tentang dunia manusia?" dan sebagai contoh, mengemukakan pandangan dalam masalah pemerintahan, bukan dengan merujuk kepada teks-teks religius, melainkan dengan meneliti harapan-harapan atau penantian- penantian seseorang?(1) Dalil terpenting atas klaim ini adalah bahwa "pemahaman atas teks-teks religius berada dalam jaminan penentuan dan pembatasan harapan-harapan kita dari agama;" Jika sebelum-sebelumnya kita tidak menentukan harapan-harapan kita terhadap agama, semua orang dapat menafsirkan nash-nash religius sesuai dengan kepentingannya dan sebagai contoh, dalam membela campur tangan agama dalam politik atau menepi serta mengundurkan diri darinya, memunculkan pembacaan-pembacaan beragam dari teks-teks religius. (2) Pada bagian kesebelas dari buku ini, kami akan membahas serta mengkaji pandangan ini. Di sini, kami hanya mencukupkan diri dengan menjelaskan bahwa dalam memahami suatu teks kebanyakan di antara asumsi tersebut dapat disingkirkan dan secara netral berupaya mencari maksud hakiki dari pembicara (penulis teks). Berdasarkan hal ini, meskipun sesuatu yang menggiring kita ke arah agama adalah perasaan membutuhkan, tetapi setelah kita menemukan suatu jawaban bagi kebutuhan paling mendasar diri kita (pengetahuan tentang awal dan akhir eksistensi) dalam suatu agama tertentu, maka kita dapat pula mencari kebutuhan-kebutuhan kita yang lebih partikular dari agama tersebut dan dengan perantaraan ini sehingga kita menyeimbangkan kerangka dasar harapan-harapan kita.

Dari pembahasan-pembahasan yang telah lalu menjadi jelas bahwa istilah "harapan-harapan manusia terhadap agama" sejak awal mempunyai kandungan makna tertentu serta bertumpu pada suatu dasar-dasar yang sifatnya khusus. Terkadang sebagian orang yang

p: 211


1- Abdul Karim Soroush, Mudāra wa Mudiriyat, hlm. 135.
2- Abdul Karim Soroush, Mudāra wa Mudiriyat, hlm. 135–137.

mereka sendiri tidak menerima dasar-dasar ini, mengabaikan poin yang telah disebutkan dan menerapkan istilah ini sebagai sinonim "ruang lingkup agama!"

Kesimpulan

1. Mengingat indra dan akal tak mampu menggambarkan cara hidup benar, maka kita butuh kepada sumber pengetahuan lainnya yang dalam sumber-sumber religius disebut dengan wahyu.

2. Selain daripada menjawab kebutuhan mendasar ini, agama akan menjawab masalah-masalah fundamental kehidupan personal dan sosial manusia serta mengemban peran yang tak tergantikan.

3. Agama dengan mengajukan suatu gambaran selaras dari sistem alam, memberi makna pada kehidupan manusia.

4. Dahaga keabadian dan kekekalan manusia hanya teratasi dengan keyakinan kepada hari kebangkitan (ma ād).

5. Tak ada sesuatu pun seperti agama mampu mengokohkan seseorang dalam berhadapan dengan pelbagai kesulitan dan membukakan cahaya harapan dalam berbagai kebuntuan.

6. Kepercayaan terhadap Tuhan yang tidak mempunyai sekutu dalam ilmu dan kekuasaan, membebaskan manusia dari kesendirian dan mengubah kesunyian (khalwat) bersama Tuhan yang tunggal, menjadi saat-saat termanis.

7. Agama-agama tauhid merupakan wadah penampakan konsensus dan solidaritas serta melebihi faktor lain apa pun, menjamin persatuan masyarakat.

8. Hukuman-hukuman duniawi terkadang tidak sesuai dengan ukuran kejahatan dan tidak menegakkan keadilan yang sesungguhnya; agama-agama Ilahi dengan menegaskan kehidupan sesudah mati akan menjawab kebutuhan tuntutan keadilan manusia dan dalam berhadapan dengan segala bentuk kezaliman menetapkan ganjaran yang setimpal (sepantasnya).

9. Agama-agama Ilahi bukan candu masyarakat serta faktor penyebab keadaan statis dan keterbelakangan, melainkan mendorong

p: 212

masyarakat bergerak serta mengajak kaum Mukmin memerangi kezaliman dan ketimpangan.

10. Dalam pelbagai dimensi agama membantu moralitas sedemikian hingga sebagian mengatakan: "Jika Tuhan tak ada, setiap perbuatan dibolehkan." 11. Sirah ilmiah dan praktis para pemimpin maksum menjelaskan hal ini bahwa perbaikan kondisi sosial masyarakat dan pembentukan pemerintahan merupakan di antara tujuan-tujuan mendasar agama.

12. Istilah "harapan manusia terhadap agama" sejak awal disertai dengan kandungan makna khusus dan menampakkannya seperti ini bahwa perubahan dalam pandangan-pandangan dan harapan- harapan manusia akan berujung pada perubahan ruang lingkup agama.

Pertanyaan

1. Jelaskanlah dalil kebutuhan terhadap agama wahyu dengan menggunakan salah satu di antara ayat-ayat atau riwayat-riwayat! 2. Apa yang dimaksud pandangan fungsional terhadap agama? 3. Apakah agama dapat disebut sebagai "respon atau reaksi dalam berhadapan dengan ancaman atas "ketidakbermaknaan" dalam kehidupan manusia"? 4. Bagaimanakah agama-agama Ilahi menghilangkan dahaga manusia akan keabadian? 5. Apakah penekanan atas peranan agama dalam memperkuat kesabaran dan ketabahan bermakna dukungan atau kecenderungan pada perkataan di bawah: "Agama secara mendasar merupakan sebuah jawaban atas kesulitan-kesulitan dan ketidakadilan-ketidakadilan kehidupan?" 6. Apakah manusia merasakan pula kesepian di antara sesama jenisnya? Apa fungsi agama dalam bidang ini? 7. Apakah semua pemikir yang memercayai Tuhan menafikan fungsi sosial agama? Jelaskan!

p: 213

8. Bagaimanakah agama menjadikan kebutuhan manusia akan keadilan terpenuhi? 9. Apa justifikasi yang dimiliki Karl Marx dalam menganggap agama sebagai candu dan bagaimana dapat memberikan jawaban atasnya? 10. Apakah pernyataan ini dapat diterima bahwa "Jika Tuhan tak ada maka setiap perbuatan adalah dibolehkan"? 11. Justifikasi apa yang diberikan oleh kaum Muslim yang menganggap agama terpisah dari politik bagi kepemimpinan para pemimpin maksum? Lakukanlah kritik atas argumen mereka! 12. Apakah harapan-harapan manusia dapat menentukan ruang lingkup agama? Mengapa?

p: 214

BAGIAN 7: BAHASA AGAMA

Point

"Dan kami tidak mengutus seorang rasul pun, melainkan berbicara dengan bahasa kaumnya, sehingga ia menjelaskan hakikat-hakikat kepada mereka dengan terang." (QS Ibrāhīm [14]: 4).

dengan bahasa manakah Tuhan berbicara dengan hamba-hambanya dan metode apakah yang digunakan untuk menjelaskan maksud- Nya? Bagaimanakah kita dapat berbicara tentang Tuhan? Bagaimana dialog dengan Tuhan berlangsung? Semua ini adalah pertanyaan- pertanyaan penting yang mengemuka dalam berhadapan dengan teks- teks dan literatur keagamaan.(1) Dalam pernyataan-pernyataan para peneliti agama, pertanyaan- pertanyaan di atas mengalami perluasan atau pengembangan dalam bentuk-bentuk seperti dibawah ini: Apakah proposisi-proposisi agama dapat diuji dengan metode-metode tentatif? Jika jawabannya negatif, apakah mereka bisa disebut mempunyai makna? Pengaruh apa yang ditinggalkan budaya zaman terhadap bahasa wahyu? Apa kedudukan majasi dan kiasan dalam bidang ini? Apakah bahasa agama bersifat simbolik? Apakah proposisi-proposisi wahyu memerlukan takwil atau interpretasi? Apakah sifat-sifat seperti ilmu (pengetahuan) dan

p: 215


1- Lihat: Kenneth L. Schmitz, “Restitution of Meaning in Religious Speech" dalam Frederick Ferre, et. al. (Eds.), The Challenge of Religion, hlm. 234.

kudrat (kekuasaan) yang digunakan dalam mendeskripsikan khaliq dan makhluk adalah sama secara lafaz (kata), atau makna, atau tak satu pun dari keduanya? Bagaimanakah kita menyatakan rahasia (menyerupai seorang budak atau pecinta)? Dan bagaimanakah meminta kebutuhan kita dari-Nya? Peneliti-peneliti agama dari Barat memuat pertanyaan-pertanyaan semacam ini dalam suatu kategori bernama "bahasa religius" (religious language) dan terkadang pula menggunakan sebutan "bahasa agama" (the language of religion).(1) Sebagian dari pertanyaan-pertayaan ini sejak lama telah menjadi perhatian para filsuf dan kalangan teolog(2) serta sebagiannya lagi merupakan produk tantangan-tantangan zaman modern.

PIKIRKAN DAN DISKUSIKAN Pemilahan antara Bahasa Urf dan Bahasa Ilmiah Salah satu dalil dalam mengemukakan pembahasan- pembahasan bahasa agama adalah untuk menyingkirkan adanya ketidaksesuaian secara formal antara ilmu dan agama (akal dan wahyu).(3) Sebagai contoh, doktrin-doktrin keagamaan berbicara tentang terbit dan tenggelamnya matahari, sementara kita tahu bahwa matahari sifatnya tetap dan tidak memiliki sifat "terbit" (sunrise) dan

p: 216


1- The Language of Religion. Lihat: Robert L. Calhoun, "The Place of Language in Religion" dalam Abernethy and Langford (Eds.), Philosophy of Religion, hlm. 299. Sebagian penulis membedakan antara "bahasa agama" dan "bahasa religius" dan menerapkannya secara tertib terkait dengan "dialog Tuhan dengan manusia" serta "pembicaraan manusia tentang Tuhan dan dengan Tuhan." Silakan lihat Ahad Faramarz Qaramlaki, Hendese-e Ma rifati Kalām-e Jadid, hlm. 231-232; Ahad Faramarz Qaramlaki, "Zabān Dīn", dalam: Yaqin Ghumsyude, hlm. 65-67. Meskipun demikian, di tempat kelahiran istilah ini tidak terlihat pembedaan seperti ini.
2- Dalam ilmu Ushul Fiqh dilakukan pula pembahasan bahasa semacam ini bahwa apakah satu kata dapat diterapkan secara bersamaan dalam beberapa makna yang beragam. Masalah ini seakan tidak terkhususkan kepada proposisi-proposisi religius, dalam pembahasan yang berkaitan dengan kehendak atas makna-makna lahir dan batin dari ayat-ayat al-Qur'an secara bersamaan menemukan signifikansi yang khusus dalam hal ini. Untuk telaah lebih jauh, silakan lihat: Muhammad Kazim Akhund Khurasani, Kifāyat al-Ushūl, jil. 1, hlm. 57.
3- Untuk mengetahui dalil-dalil lainnya, silakan lihat: Amir Abbas Ali Zamani, Zabān Dīn, hlm. 41; Ahad Faramarz Qaramlaki, Hendese Ma rifati Kalām Jadid, hlm. 239-240.

"tenggelam" (sunset). Bagaimana dapat menghilangkan adanya ketidaksesuaian formal ini, dengan menggunakan suatu jalan penyelesaian sederhana seperti pemilahan antara bahasa urf dengan bahasa ilmiah?

Bahasa Wahyu

Dialog atau percakapan Tuhan dengan manusia-di mana jenis paling tingginya disebut dengan wahyu-meliputi pelbagai macam maksud atau tujuan dan sebagai contoh, membahas nama-nama dan sifat-sifat Tuhan, fenomena-fenomena natural, masa lalu para nabi dan kaum-kaum sebelumnya serta hak-hak dan kewajiban manusia. (1) Pada umumnya, para pakar menyebut tujuan asli dari pada wahyu sebagai bimbingan spiritual terhadap manusia serta penunjukan jalan keselamatan ukhrawi. Walaupun demikian, tentang bahasa yang digunakan untuk mencapai maksud ini, mereka mengajukan pandangan-pandangan yang beraneka ragam. Sebagai contoh, boleh jadi terdapat orang-orang yang memahami bahasa al-Qur'an dalam mengisyaratkan tujuh langit bersifat polemis atau kontroversial dan cenderung kepada asumsi bahwa kitab Ilahi ini menyerahkan perihal penentuan jumlah sesungguhnya dari langit-langit serta menggantinya dengan mengajak para audiens-Nya untuk berenung tentang "pencipta" langit (atau langit-langit yang jumlahnya secara salah mereka hitung sampai tujuh):(2) "Katakanlah! siapakah Tuhan langit-langit yang tujuh dan Tuhan arsy yang besar?" (QS Al-Mu'minūn [23]:86).

Dari sisi lain, mungkin saja terdapat orang-orang dengan cara pandang ateistik, secara mendasar mengingkari kebahagiaan dan penderitaan ukhrawi serta menganggap pahala dan ganjaran

p: 217


1- Kebanyakan buku-buku dan makalah-makalah yang mengkhususkan pembahasan tersendiri tentang bahasa religius, tidak keluar dari pembahasan yang terkait dengan sifat-sifat Tuhan dan terkadang menyebutkan dalil-dalil untuk pilihan ini; sebagai contoh, silakan lihat William Alston, "Religious Language", dalam Routledge Encyclopedia of Philosophy, vol. 8, hlm. 256.
2- Tentunya praasumsi ini tidak tahan dalam berhadapan dengan sekumpulan ayat-ayat yang berbicara tentang tujuh langit serta tidak memiliki kemampuan menjustifikasi ayat- ayat tersebut, karena sebagian di antara ayat dalam posisi menjelaskan bagaimana proses penciptaan dan sangat berjarak dengan bahasa dialektik. Silakan lihat (QS al-Isra' [17]: 44); (OS Fushshilat [41]: 12); (QS al-Thalāq [65]: 12); (QS al-Mulk [67]: 3); (QS Nūh [71]: 15)

hukuman yang ditegaskan agama-agama, sebagai suatu kebohongan yang mengandung maslahat guna mendapatkan kesejahteraan dan kesenangan duniawi.(1) Bagaimanapun, tentang bahasa wahyu pelbagai macam poin-poin dapat dikemukakan, yang akan kami singgung sebagian yang terpenting di antaranya.

Peran Budaya Zaman

Tak syak lagi, bahasa wahyu akan memperoleh hasil atau efek yang pantas ketika selaras dengan bahasa kaum yang dihadapinya pertama kali. Dari sisi ini, menurut kesaksian sejarah, nabi setiap bangsa atau kaum berbicara dengan bahasa mereka sendiri. Di samping itu, bahwa tuntutan-tuntutan ruang dan waktu turunnya wahyu secara pasti akan memberi warna dan aroma khusus kepada bahasanya, sedemikian rupa sehingga terkadang merefleksikan kejadian-kejadian dan fenomena-fenomena kekinian.

Sebagai contoh, al-Qur'an mengajak audiensnya (kaum yang dihadapinya) -yang mayoritas menggunakan unta untuk melintasi padang pasir–untuk merenungkan bagaimana proses penciptaan hewan ini (2)dan begitu pula dalam menjelaskan nikmat-nikmat Tuhan, tidak menyebutkan nama dari buah-buahan yang tidak dikenal oleh orang-orang Arab.

DISKUSIKAN DAN PIKIRKAN Bahasa Kaum dan Ajakan Universal serta Eternal Menurut Anda, suatu agama yang menyebut dakwah atau ajakannya bersifat universal dan eternal, apakah dapat menerima keterbatasan-keterbatasan seperti ini? Dengan kata lain, apakah "keberbahasaan dengan bahasa kaum" (yang terbatas) seperti ini selaras dengan klaim atas "suatu ajakan yang bersifat universal?"

p: 218


1- Silakan lihat Ibn Rusyd, Fashl al-Maqāl wa Taqrir ma'a Bayna al-Syari'ah wa al-Hikmah min al- Ittishāl, hlm. 46.
2- “Afalā yandzurūna ilā al-ibl kaifa khuliqat"(QS Al-Ghāsyiyah [88]: 17).

Sebagian penulis melangkah lebih jauh dan berbicara tentang terwarnainya wahyu dengan budaya zaman.(1) Berdasarkan pandangan ini "bukan hanya bahasa Islam (baca: Arab), budayanya pun adalah Arab."(2) Para nabi-nabi Ilahi dalam doktrin-doktrin religius mereka, tanpa terelakkan memanfaatkan kebanyakan unsur-unsur kebudayaan kaum. Tugas ahli agama yang sesungguhnya (hakiki) adalah memberikan suatu "interpretasi budaya" terhadap ajaran atau doktrin-doktrin tersebut;(3) sebagai contoh, mereka menyebut tiadanya kesetaraan warisan antara perempuan dan laki-laki sebagai ciri masyarakat patriarki pada masa kenabian(4) dan tidak menganggapnya sebagai hukum yang bersifat abadi serta lintas bangsa: Hakikat keibuan kitab al-Qur'an, ingin membebaskan perempuan-yang terlarang dari semua atau sebagian besar hak-haknya-tetapi turunnya al-Qur'an yang bernuansa Arab dalam suatu masyarakat yang sangat patriarkis di mana mayoritas peran-peran sosial serta ekonomi umumnya berada di tangan laki-laki dan pembiayaan (belanja) perempuan serta seluruh keluarga ada pada laki-laki, hingga batas ini mampu melakukan intervensi pada arah dan tujuan umm al-kitāb yang di samping menekankan kemanusiaan, orisinalitas, potensi, dan hak-hak perempuan dalam bentuk hak-hak yang realistis bagi anak-anak perempuan yang hingga saat itu tak ada sedikit pun warisan yang sampai kepada mereka, dapat juga menetapkan bagian warisan setengah dari saham anak laki-laki:

"Allah mensyariatkan bagimu tentang anak-anakmu. Yaitu bagian seorang anak laki-laki sama dengan bagian dua orang anak perempuan." (QS Al- Nisā [4]: 1).

Dari sisi lain, menjustifikasi perempuan untuk mendapatkan ilmu, kerja, dan usaha memperoleh kemandirian ekonomi serta menambah

p: 219


1- Silakan lihat Sayid Hidayat Jalili, "Wahy dar Ham Zabāni bā Basyar wa Ham Lisānī bā Qaum", dalam: Kiyān, No. 23, hlm. 37-44; Bahauddin Khurramsyahi, “Bāz Tāb Farhangg Zamān dar Quran Karim – Nazhariyah Mu'aqqat", dalam: Bināt, No. 5, hlm. 90-98. Tentunya sebagian kalangan peneliti al-Qur'an, mencabangkan lagi pandangan yang tertera dalam teks tersebut kepada dua pandangan searah dan pada saat yang sama berbeda. Untuk telaah lebih jauh, silakan lihat: Sayid Ali Ayazi, Qur'ān wa Farhangg Zamān hlm. 103–180.
2- Abdul Karim Soroush, “Dzati wa Aradhi Dīn", dalam: Kiyān, No. 42, hlm. 11.
3- Abdul Karim Soroush, "Dzati wa Aradhi Dīn", dalam: Kiyān, No. 42, hlm. 17.
4- Sebagian penulis Barat, menyebutkan pula bahwa penyembahan Tuhan yang disebutkan dalam agama-agama tauhid bukan tanpa hubungan dengan lingkungan patriarkis yang menguasai tempat kelahiran agama-agama ini. Silakan lihat: John Hick, Disputed Questions, hlm. 160).

daya keilmuannya sehingga dengan mendapatkan peran sosial dan ekonomi yang lebih baik mampu mengubah budaya dan struktur patriarki serta mengantarkan masyarakat kepada suatu kondisi, sehingga perempuan dan laki-laki bisa memiliki saham warisan yang setara. Oleh karena itu, pernyataan: "Bagian seorang anak laki-laki sama dengan bagian dua anak perempuan" bukan merupakan hakikat itu sendiri, melainkan "reduksi kearaban" atas hakikat yang sebenarnya.(1) Telaah dan Kritik Hari ini, kebanyakan orang Kristen meyakini diri Isa al-Masih sebagai wahyu paling sempurna serta menegaskan keragaman penulis- penulis risalah "Perjanjian Lama dan Baru" serta keterpencaran mereka dari segi ruang dan waktu, dan begitu pula dengan penerimaan mereka dengan budaya zaman. Menurut Ian Barbour (1923 M), “Dalam pandangan baru terhadap kitab suci, perhatian merujuk kepada sudut pandang dan minat individual para penulis kuno serta tujuan-tujuan yang mereka miliki dalam penulisan jenis teks-teks seperti ini, dan begitu pula dengan lingkungan dan peruntukan-peruntukan historis masa kehidupan mereka. Sesuatu yang terjadi dalam hal ini ialah bahwa mereka hanyalah manusia-manusia biasa yang bersentuhan dengan hal-hal yang telah diakui atau diterima secara pasti pada masa mereka dan memadukannya dengan sejumlah gagasan-gagasan legendaris dan menampilkannya dalam bentuk catatan-catatan."(2) Berdasarkan inilah, kitab suci disebut sebagai " sebuah karya tulis yang seluruhnya manusiawi"(3) dan "kebolehan salah" para penulisnya adalah sesuatu hal yang telah ditegaskan.(4) Meskipun pengertian semacam ini dari wahyu dan kitab suci tidak memiliki keselarasan sama sekali dengan hakikat-hakikat yang behubungan dengan kitab samawi Islam, sebagian dari kaum Muslimin, masih saja mengulang pernyataan-pernyataan ini dalam kaitannya dengan al-Qur'an serta

p: 220


1- Maqsud Ferasatkhah, Dīn wa Jāmi'ah, hlm. 462-463.
2- lan Barbour,'Ilm wa Din Science and Religion), terjemahan Parsi oleh Bahauddin Khurramsyahi, hlm. 131.
3- lan Barbour, 'Ilm wa Dīn, hlm. 145.
4- lan Barbour, 'Ilm wa Din, hlm. 269.

menunjuk beberapa masalah di mana untuk melakukan kritik atasnya kami mencukupkan diri dengan menjelaskan dua poin berikut ini:

1. Berdasarkan tuntutan hikmah Ilahi dan untuk memenuhi tujuan pemberian hidayah, para nabi berbicara dengan bahasa kaumnya dan mereka tunduk atas konsekuensi-konsekuensi satu bahasa ini selama tidak berujung kepada perkataan batil dan tak baik. Sebagai contoh, sebagian dari budaya-budaya kuno (tua) menghubungkan penyakit jiwa (gila) dengan campur tangan para jin dan karena itu, seseorang yang mengalami penyakit ini mereka namakan dengan "majnūn (kerasukan jin)." Tanpa diragukan, masuknya kata-kata seperti ini ke dalam kalimat-kalimat wahyu tentunya tidak bermakna sebagai pengakuan atas latar belakang kultural mereka; (1) sebagaimana hari ini, bahkan mereka yang menyebut jin sebagai sesuatu hal yang sifatnya khurafat, tetap menggunakan tafsiran-tafsiran ini. Walaupun demikian, berlawanan dengan apa yang dikatakan sebagian penulis-sama sekali tak dapat diterima bahwa sebuah kitab wahyu yang tidak mengakui keberadaan para jin, tetapi guna satu bahasa dengan kaum, menyusun cerita tentang keberimanan mereka (!): "al- Qur`an menyinari kembali budaya zaman, tidak mesti dan tidak dalam semua hal, hakikat primordial dan abadi itu. ... dalam al- Qur`an ... disebutkan tentang keberadaan jin dan terdapat satu surah bernama jin dalam menjelaskan keberimanan sebagian dari mereka serta ketertarikan mereka mendengar ayat-ayat al-Qur`an.

Sementara adalah sangat jauh (mustahil) ilmu dan ilmuwan hari ini berpendapat akan adanya jin."(2) 2. Nabi-nabi Ilahi dengan penuh keyakinan berjuang melawan anggapan-anggapan keliru masyarakat serta tidak menerima satu pun perilaku yang tak pantas. Persetujuan Islam atas sebagian adab-adab dan tradisi-tradisi jahiliyah, bukanlah

p: 221


1- Tentunya al-Qur'an dalam salah satu ayat surah al-Baqarah, menyerupakan para pemakan riba dengan orang-orang yang kehilangan keseimbangannya akibat persentuhan mereka dengan setan (jin), menurut Allamah Thabathabai, ayat ini menunjukkan bahwa setidaknya sebagian jenis-jenis kegilaan timbul dengan campur tangan para jin. Silakan lihat al-Mizān, jil. 2, hlm. 412.
2- Bahauddin Khurramsyahi, “Baztāb Farhangg Zamān dar Qur'ān Karīm - Nazhariyah Mu'aqqat”, dalam: Bināt, No. 5, hlm. 95 (tentu saja penulis di awal pembicaraannya menyebut pandangannya sebagai pandangan sementara dan memerlukan kajian lebih jauh).

demi kebersamaan dengan kaum, melainkan dengan alasan bahwa tradisi-tradisi ini entah awalnya bersumber dari akal dan fitrah (seperti kebanyakan dari hukum-hukum muamalah) atau terwariskan dari agama-agama tauhid sebelumnya (seperti sebagian adab-adab haji). Bagaimanapun, seorang nabi yang dengan perintah Tuhan mempermasalahkan keyakinan-keyakinan mendasar masyarakat, bagaimana mungkin tidak mampu (sekiranya diperlukan) berbicara tentang kesetaraan warisan perempuan dan laki-laki dan mengapa harus memuat suatu hukum yang ia patuhi dengan alasan darurat dan hanya bersifat sementara, ke dalam pedoman-pedoman praktis agamanya (al- Qur`an) yang bersifat abadi!

Agama dan Bahasa Simbolis

Agama dan Bahasa Simbolis(1) Dalam dialog antara sesama manusia khususnya dalam bahasa literer, perpindahan makna-makna-di samping dengan cara umum dan sederhana-dilakukan dengan cara atau metode-metode lainnya di mana yang terpenting di antaranya dalam istilah ilmu "diksi (tentang artikulasi dan pilihan kata) ('ilm bayān)" dinamakan dengan majas metafora, komparasi, dan kiasan.(2) Sebagai contoh, setiap kali kita ingin memuji kepemurahan dan kedermawanan seseorang, di samping mengungkapkan sifat ini secara gamblang, kita dapat pula

p: 222


1- Istilah “namād" (simbol) dalam sebagian terminologi berbeda dengan hal-hal seperti "isti'ārah" (metafor), silakan lihat Sirous Shamisa, Bayān, hlm. 189-190, tetapi di sini yang dimaksud adalah makna umumnya yang mencakup pula majas dan metafora; sebagaimana dalam bahasa Inggris pun dua istilah figurative dan symbolic dianggap seperti padanan kata antara satu dengan lainnya. Silakan lihat Peter Donovan, "Ahamiyat Tarjamah Zabāne Majāzi dar Dīn", dalam: Justār-hū-e dar Falsafah Din, terjemahan Parsi oleh Murtadha Fathi Zadeh, hlm. 81.
2- Majas (majāzi) ialah suatu lafaz (kata) yang kita gunakan dalam makna yang berbeda dengan makna aslinya, tetapi tidak asing dengannya; penyerupaan (tasybih) adalah penyamaan atau penyerupaan klaim dua sesuatu dan mempunyai empat rukun utama: yang menyerupai (musyabbah), yang diserupakan (musyabbahun bih), kata penyerupaan (ādātu tasybih), dan sisi keserupaan (wajhu syabah); Jika dari keempat rukun-rukun ini, kita menyisakan yang diserupakan (musyabbahun bih) atau yang menyerupai (musyabbah) dan menghapus lainnya, akan muncul metafora (isti ārah). Dengan kata lain, metafora (isti ārah) adalah majasi yang di dalamnya terdapat hubungan keserupaan antara makna hakiki dan majas. Akhirnya, kiasan (kināyah) adalah dengan menyatakan satu ungkapan, memaksudkan salah satu di antara konsekuensi-konsekuensinya, misalnya, kekurusan anak unta adalah kiasan atas kepemurahan pemiliknya (karena kekurusan ini merupakan tanda bahwa susu ibunya [ibu anak unta) selalu dikhususkan untuk menjamu para tamu).

menyamakannya dengan Hatim al-Tai atau menyebutnya dengan "tangan terbuka" atau dengan perumpamaan "pintu rumahnya terbuka bagi semua." Dalam kondisi ruang dan waktu tertentu, "Banyaknya debu dalam rumah" dan "kurusnya anak unta" dapat pula menjadi kiasan dari sifat ini. Nah, pertanyaannya adalah apakah pembawa wahyu menggunakan pula teknik-teknik literer ini atau senantiasa memilih jalan atau cara-cara sederhana.

Sejak abad-abad permulaan Islam, telah banyak orang-orang yang menjawab pertanyaan ini dan sebagian di antara mereka seperti Sayid Radhi (359–406 H) melahirkan karya tersendiri tentang majas-majas yang digunakan dalam al-Qur'an dan hadis-hadis nabawi.(1) DISKUSIKAN DAN PIKIRKAN Menunduknya Gunung, Suatu Penjelasan Analogis atau Bukan? Salah satu ayat al-Qur'an yang menjelaskan hal ini adalah jika suatu makhluk (entitas) keras dan kokoh seperti gunung juga menjadi audiens kitab Ilahi ini, niscaya ia akan menunduk karena takut kepada Tuhan dan hancur berserakan: "Jika sekiranya al-Quran ini kami turunkan kepada sebuah gunung, pasti kamu akan melihatnya tunduk terpecah belah disebabkan takut kepada Tuhan." (QS Al- Hasyr [59]: 21). Sayid Radhi menyebut perkataan ini bersifat majasi dan dalam menafsirkannya berkata: Jika sekiranya gunung punya kekuatan memahami al-Qur'an, maka sesudah mendengarnya ia akan merendah dan dalam berhadapan dengan keagungannya-dengan seluruh kekokohannya-terkoyak-koyak (tercerai berai); sementara

p: 223


1- Sayid Radhi meninggalkan dua karya tentang hal ini: Talkhish al-Bayān fi Majāzat al-Qur'ān wa al-Majāzat al-Nabawiyyah. Sebelum beliau, Abu Ubaidah Khariji (w. 210 H) juga menulis kitab bernama Majaz al-Qur'ān. Namun-sebagaimana yang dikatakan kebanyakan ulama, seperti peneliti kitab Muhammad Fuad Sazkin, (hlm. 18-19), Abu Ubaidah menerapkan kata majas dalam suatu makna yang berbeda dengan istilah kekiniannya dan kira-kira bermakna tafsir. Tentang hal ini, silakan lihat Kamal Abu-Deeb, "Studies in the Majaz and Metaphorical Language of the Quran", dalam Issa J. Boultata (ed.), Literary Structures of Religion Meaning in the Quran, - hlm. 310–353.

manusia-dengan dalil memiliki ilmu dan pengetahuan- adalah lebih pantas atas keretakan dan kerendahan hati ini. (1) Menurut Anda, poin apa yang menyebabkan Sayid Radhi meninggalkan interpretasi formal (lahir) terhadap ayat dan berpaling kepada makna majas? Apakah ayat tersebut tetap bisa dimaknai dengan makna formalnya? Ibn Qutaibah (213—276 H) dalam kitab Ta'wil Musykil al-Qur'ān mengkhususkan bab-bab tersendiri tentang teknik seperti majasi dan metafora serta menegaskan poin bahwa jika-sebagaimana sebagian telah mengatakannya-kita menganggap majasi sebagai kebohongan dan tidak bijak, maka kita harus lebih banyak lagi menarik kembali ucapan-ucapan keseharian kita.(2) Walaupun demikian, ia menghindarkan audiens al-Qur'an untuk secara berlebihan menyebut keterangan-keterangan wahyu sebagai majasi dan sebagai contoh, ia menyebut ayat-ayat yang mengisyaratkan sebagian perbuatan setan dan para jin atau yang menjustifikasi efek atau pengaruh fenomena-fenomena seperti "sihir" dan "penangkal mudarat yang mengenai seseorang akibat mata buruk", tidak dapat ditakwil. (3) Poin yang patut diperhatikan ialah bahwa Ibn Qutaibah dalam mengkaji masalah-masalah yang berkaitan dengan bahasa religius tidak mencukupkan diri dengan apa yang dihadapi oleh para pengikut al-Qur'an dan menyebut pula asal usul kebanyakan penyimpangan yang dilakukan para penganut agama lainnya disebabkan oleh

p: 224


1- Sayid Radhi, Talkhish al-Bayān fi Majāzat al-Qur'ān, hlm. 330. Sepertinya Sayid Radhi meminjam gagasan ini dari Syekh Mufid (338-413 H). Silakan lihat Mushannafāt al-Syaikh al-Mufid, jil. 6. (al-Masāil al-Akbāriyah), hlm. 91–92.
2- Ibn Qutaibah, Ta wil Musykil al-Qur'ān, hlm. 132.
3- Ibn Qutaibah, Ta wil Musykil al-Qur'ān, hlm. 115–123. Tentunya penerimaan makna lahiriah ayat-ayat ini senantiasa sulit bagi sebagian orang; sebagaimana salah seorang penulis kontemporer mengatakan: “Tuhan seperti para fenomenalis hari ini, tentang inti realitas dan hakikat ... kedipan mata para wanita, atau sihir dan santet perempuan ... adalah diam, tetapi karena minimalnya mengakui mereka sebagai eksistensi kultural (hadir dalam budaya masa kini), berperilaku dan menunjukkan reaksi yang sesuai dengannya." Baztāb Farhangg Zamān dar Qur'ān Karīm - Nazhariyah Mu'aqqat", dalam: Bināt, hlm. 97).

pemahaman yang keliru dalam masalah ini. Sebagai contoh, ia dengan mengisyaratkan pernyataan Isa al-Masih dalam Injil yang menyebut Tuhan sebagai ayahnya, menghindarkan kaum Kristen untuk meyakini perkataan ini dalam makna formalnya dan apa yang dianjurkannya ini, ia mengutip perkataan-perkataan Isa al-Masih lainnya yang di dalamnya Tuhan disebutkan pula sebagai ayah dari manusia-manusia lainnya.(1) Menurut pandangan pemikir Muslim, sekelompok masyarakat tidak memahami kebanyakan dari hakikat-hakikat transenden, kecuali dalam bentuk bahasa analogi; dari sisi ini, nabi-nabi yang memikul beban hidayah seluruh manusia, berbicara dengan mereka tidak seukuran daya rasionalitasnya,(2) melainkan seukuran kapasitas akal masyarakat.(3) Berdasarkan hal ini, al-Qur'an sedemikian rupa menggambarkan perlindungan wahyu, baik pada tahapan penerimaan maupun pada penyampaiannya, di mana seakan-akan para malaikat Ilahi-seperti layaknya pengawal-pengawal dengan senjata di tangan-melakukan penjagaan atas sepucuk surat yang dibubuhi stempel Tuhan; sementara wahyu bukan berupa tulisan yang terindra, melainkan, setidaknya dalam tingkatan tertingginya-dari sejenis ilmu huduri dan kemustahilan salahnya pun dapat dijelaskan dengan jalan ini pula.(4)

p: 225


1- Ibn Qutaibah, Ta wil Musykil al-Qur'ān, hlm. 103. Sumber rujukan pernyataan-pernyataan Ibn Qutaibah adalah paragraf-paragraf dari Injil Matius di mana di dalamnya terdapat seperti ini: “Tetapi jika engkau memberi sedekah, janganlah diketahui tangan kirimu apa yang diperbuat tangan kananmu. Hendaklah sedekahmu itu diberikan dengan tersembunyi, maka Bapamu yang melihat yang tersembunyi akan membalasnya kepadamu." (Matius, 6:3-4).... "Jadi janganlah kamu seperti mereka, karena Bapamu mengetahui apa yang kamu perlukan, sebelum kamu minta kepada-Nya. Karena itu berdoalah demikian: Bapa kami yang di sorga, Dikuduskanlah nama-Mu," (Matius, 6:8- 9)... "Tetapi apabila engkau berpuasa, minyakilah kepalamu dan cucilah mukamu. supaya jangan dilihat oleh orang bahwa engkau sedang berpuasa, melainkan hanya oleh Bapamu yang ada di tempat tersembunyi. Maka Bapamu yang melihat yang tersembunyi akan membalasnya kepadamu." (Matius, 6: 17-18)
2- "Mā Kallama Rasulullāh al-ibāda bikunhi aqlihi qattun." Muhammad bin Ya'qub Kulaini, al-Kāfi, jil. 1, hlm. 23, Kitāb al-Aqli wa al-Jahli.
3- Muhammad bin Ya'qub Kulaini, al-Kāfi, jil. 1, hlm. 23, Kitāb al-Aqli wa al-Jahli. “Nahnu ma āsyir al-Anbiyā umirnā 'an nukallim al-nāsa alā qadri uqülihim."
4- Allamah Thabathabai dalam Tafsir al-Mīzān sambil menjelaskan hal ini bahwa pada tingkatan tertinggi dari ketiga tingkatan wahyu, tak ada perantara apa pun antara Tuhan dengan nabi- Nya-oleh karena itu, tidak akan pernah terjadi kekeliruan atau bentuk kesalahan apa pun ia menegaskan poin ini bahwa wahyu pertama yang turun bagi para nabi mestilah semacam ini." Al-Mīzān, jil. 3, hlm. 182; jil. 14, hlm. 138, 139, jil. 18, hlm. 73-74.

Meskipun demikian, keanalogian suatu kejadian yang dilaporkan dalam teks-teks wahyu sama sekali tidak boleh dianggap bermakna sebagai kepalsuannya, dan seperti yang disebutkan oleh salah seorang pemikir, maksud dari pada analogi bukanlah suatu kisah yang sama sekali tidak memiliki realitas dan kesesuaian eksternal, melainkan bermakna sebagai suatu hakikat rasional dan pengetahuan gaib yang menemukan wujud riil, terungkapkan kembali dalam bentuk terindra dan terlihat.(1) Kalangan pemikir Kristen menegaskan pula kemajasian sebagian ungkapan-ungkapan yang digunakan dalam kitab suci; sebagai contoh, "karang" dan "penggembala"-an Tuhan bermakna sebagai “kepelindungan" dan "kepengasuhan"-Nya. (2) PIKIRKAN DAN DISKUSIKAN Alasan Penggunaan Bahasa Simbolik dalam Teks- Teks Keagamaan Salah seorang di antara penulis-penulis Kristen menyebutkan alasan-alasan penggunaan bahasa simbolis dalam teks-teks keagamaan sebagai berikut:(3) "Agama-agama diperkirakan menggunakan dua dalil yang sama sekali berbeda dalam bentuk-bentuk:

tidak-langsung, tidak-gamblang serta simbolik, guna menyampaikan maksud atau tujuan-tujuannya. Pertama, agama-agama berusaha supaya pengalaman-pengalaman dan perasaan-perasaan yang dijelaskannya berefek pada tindakan dan karakter manusia. Kedua, berusaha berbicara tentang suatu subjek yang tidak lazim dan sulit dimengerti seperti Tuhan atau tuhan-tuhan, hal-hal yang bersifat supranatural atau stratum-stratum misterius batin. Bahasa

p: 226


1- Abdullah Jawadi Amuli, Tafsir Tasnim, jil. 3, hlm. 224. Begitu pula, silakan lihat hlm. 288.
2- Silakan lihat Michael Peterson et al., 'Aql wa l'tiqād Dīnī, hlm. 254; John Hick, Falsafah Din, terjemahan Parsi oleh Behzat Saleki, hlm. 198-199; Daniel Stewart, Falsafah Zabān Dini [Philosophy of Language and Religion), terjemahan Parsi oleh Husain Nuruzi, hlm. 174.
3- Untuk mengetahui pandangan-pandangan lain tentang tema ini, silakan lihat Rasāil Ikhwan al-Safā, jil. 4, 105.

tidak gamblang dan alegoris, di samping memenuhi tujuan yang pertama, yakni merangsang atau membangkitkan emosi atau perasaan seseorang dan menyebabkannya bereaksi; dalam batas tertentu, mewujudkan pula tujuan kedua, yakni berfungsi menjelaskan dan mendeskripsikan hal-hal transenden dan nonnatural. "(1) Diskusikanlah tentang kedua faktor ini, berikut kebenaran dan ketidakbenaran antara satu dengan lainnya! Melewati faktor-faktor ini, apakah dengan hanya sekedar sebahasa dengan masyarakat (berbahasa dengan bahasa kaum) penggunaan alegori dan metafora menjadi tak terelakkan? Tentunya, sebagian kalangan pemikir barat seperti Paul Tilich (1886–1965 M) menyebut seluruh proposisi-proposisi religius (terkait dengan sifat-sifat Tuhan) sebagai simbolis dan peralihan serta penerjemahan proposisi ini kepada bahasa yang gamblang dan nonsimbolis ia anggap mustahil.(2) Akan tetapi, perkataan ini sepertinya mengandung fallasi; maksud Tilich yang sesungguhnya ialah menegaskan poin bahwa Tuhan adalah hakikat atau prinsip "eksistensi", bukan "suatu eksistensi di antara eksistensi-eksistensi" di mana perbedaan-Nya dengan wujud-wujud yang lain hanyalah sesuatu yang misalnya "mempunyai kekuasaan lebih tinggi." Menurut keyakinannya, ketika kita berbincang tentang Tuhan, kita harus berbicara secara simbolis. Satu-satunya kalimat yang bisa kita katakan dengan cara tidak simbolis ialah bahwa Tuhan adalah wujud itu sendiri. Tuhan bukan suatu keberadaan yang ada, melainkan suatu kuasa kewujudan yang ada pada seluruh keberadaan serta memberi kekuatan wujud kepada mereka dan tanpa itu, eksistensi mereka menjadi mustahil. Segala sesuatu lainnya yang kita katakan tentang Tuhan adalah simbolis. Misalnya kita katakan: Tuhan adalah sebab

p: 227


1- Peter Donovan“Ahamiyat Tarjamah Zaban Majāzi dar Dīn", dalam: Justār-hā dar Falsafah Din, terjemahan Parsi oleh Murtadha Fathi Zadeh, hlm. 84.
2- Silakan lihat Michael Peterson et al., 'Aql wa l'tigād Dīnī (Dar Amadi bar Falsafah Dīn), terjemahan Parsi oleh Ahmad Naraqi dan Ibrahim Sultani, hlm. 277.

dari sebagian sesuatu, tetapi perkataan ini pun adalah simbolis karena Tuhan adalah sebab dari segala sebab dan tanpa Dia, baik sebab maupun akibat, keduanya tidak ada. Akan tetapi, penggunaan istilah "Sebab segala sebab" juga tidak tepat karena alam semesta tidak terpisah dari Tuhan, melainkan perantara bagi aktivitas-Nya yang berlangsung terus menerus.(1)

Kebutuhan atas Takwil

Berbicara tentang bahasa simbolik keagamaan tanpa terelakkan akan menggiring manusia kepada pembahasan penggunaan takwil atau interpretasi, (2) karena takwil—dalam maknanya yang digunakan secara umum, tidak lain adalah suatu pelepasan diri dari makna formal (lahiriah) serta mengambil makna yang tidak gamblang.(3) Di sini, tanpa berniat untuk mendedah pembahasan panjang ini secara lebih rinci, kami mencukupkan diri dengan mengisyaratkan bahwa kejumudan atas formalitas kata dari teks-teks suci atau penakwilan teks-teks suci dengan kriteria-kriteria rasional akan memecah penganut agama-agama ke dalam berbagai macam sekte- sekte; sebagaimana dalam sejarah agama-agama, perbedaan utama antara dua golongan Yahudi Saduki dan Farisi disebutkan seperti ini:

Saduki, antara prinsip-prinsip pemikiran-pemikiran logis dan bijak bapak-bapak serta kakek-kakek tua kami yang terjaga dan tergariskan di dalam kitab-kitab suci, dengan ajaran-ajaran dan pemikiran- pemikiran orang-orang Yunani timbul suatu hubungan dan kompilasi; ... tetapi, ... farisiun mengatakan: kewajiban dan taklif komunitas ialah tetap tegar dan setia kepada kitab Taurat, yakni syariat Musa, menjaga bentuk dan makna agama tanpa interpretasi dan tafsiran apa pun.(4)

p: 228


1- William Hordern, Rāhnamā Ilāhiyyāt Protestan [Guide to Protestant Theology), terjemahan Parsi oleh Thatehvos Mikailiyan, hlm. 151.
2- Untuk telaah lebih jauh tentang hubungan majas dan takwil, silakan lihat: Nasr Hamid Abu Zaid, al-Ittijah al-Aqli fi al-Tafsir, hlm. 141-239.
3- "Ma nā al-ta wil huwa ikhrājun dalālat al-lafzi min al-dalālat al-haqiqah ilā dalālat al- majāziah..." Ibn Rusyd, Fashl al-Maqāl, hlm. 35. Menurut Allamah Thabathabai, al-Qur'an menggunakan kata takwil dalam suatu makna yang berbeda dari maknanya yang lazim (sudah umum). Muhammad Husain Thabathabai, al-Mizān, jil. 3, hlm. 27 dan 44.
4- John B Noss, Tārikh Jāmi'ah Adyān (Man's Religion), terjemahan Parsi oleh Ali Asghar Hikmat, hlm. 549–550.

Dalam dunia Islam pun, timbul banyak perbedaan tentang perlunya interpretasi dan takwil serta batasannya dan telah banyak orang-orang yang melakukan kajian terhadap masalah ini. Di antara mereka, filsuf Muslim Andalusia, Ibn Rusyd (520–595 Hq) dengan menulis buku-buku seperti;: Fashl al-Maqāl wa Taqrir mā Bayna al- Syarī ah wa al-Hikmah min al-Ittishāl, menyebut penakwilan ayat-ayat wahyu sebagai satu-satunya jalan mempertahankan keselarasan agama dengan filsafat. Atas maksud ini, Ibn Rusyd membangun suatu aliran rasionalis yang banyak didukung oleh orang Kristen yang sezaman dengannya.(1)

Bahasa Manusia dan Sifat-Sifat Ilahi

Di antara tiga pertanyaan yang telah lalu di awal pasal, apa yang hari ini lebih banyak dibahas dalam kajian "bahasa religius" adalah bagaimana bisa dengan suatu bahasa yang mencitrakan sifat-sifat atau ciri-ciri manusia, berbicara tentang Tuhan yang transenden.

Makna yang kita dapatkan dari kata-kata seperti ilmu, kuasa, adil, dan bijaksana dalam akal kita, telah tersimpul dengan batasan-batasan manusiawi, dan hal ini menyebabkan penerapan atau penggunaan mereka terhadap "wujud tak terbatas” menemui kesulitan yang sangat besar. Dari satu sisi, suatu pengetahuan tentang Tuhan dapat dicapai di saat tangan kita tidak menyentuh makna umum yang telah diterima dari sifat-sifat (terbebas dari agnostisisme); dari sisi lain, menganggap sama sifat-sifat manusia dan Tuhan akan berujung pada "pengiyasan" dan "antropomorfisme" terhadap Tuhan; suatu cara pandang di mana kebanyakan pengikut-pengikut agama-agama wahyu menyatakan penolakan darinya.

Dengan menggunakan istilah-istilah umum dan baku di kalangan pemikir Muslim, dalam pandangan awal dapat disebutkan dua perkiraan, yaitu kesamaan lafaz (kata) dan kesamaan makna. Selain itu, mungkin saja seseorang memahami penggunaan konsep-konsep

p: 229


1- Untuk berkenalan dengan pandangan-pandangan para pengikut lain Ibn Rusyd, silakan Etienne Gilson, Aql wa Wahy dar Qurūn Wustā [Reason and Revelation in the Middle Ages], terjemahan Parsi oleh Syahram Pazuki, hlm. 38-45.

ini pada salah satu dari dua objek (Tuhan dan manusia) bersifat hakiki dan lainnya bersifat majasi.

Dari sisi lain, sebagian dari kalangan pemikir Kristen dengan menolak kesamaan lafaz dan makna, mengembangkan teori lain yang mereka namakan dengan "tamsil atau analogi." Pada akhirnya dapat ditemui pula orang-orang yang mengajukan suatu makna penafian dari seluruh sifat-sifat Tuhan yang secara formal bersifat tetap. Pandangan ini dalam istilah pemikir Barat disebut dengan teologi penafian-dapat diposisikan sebagai "bagian yang sejajar atau berdampingan" dengan pandangan-pandangan yang telah disebutkan, meskipun sebagian di antara pembela-pembelanya secara gamblang menyatakan kecenderungan atas kesamaan lafaz (kata) dari pada sifat-sifat.

Teologi Penegasian

Sebagaimana yang telah disebutkan, sebagian dari kalangan pemikir, berpaling kepada teologi penegasian untuk melepaskan diri dari persoalan-persoalan semantik sifat-sifat Tuhan dan dengan menegaskan kesamaran (kemustahilan mengetahui) sifat-sifat ini, mereka menyebut tafsiran yang benar atas "tahu dan kuasanya" Tuhan adalah "tidak jahil dan tidak lemahnya" Dia, sebagaimana Ibn Maimun (530—603 H) mengatakan: "Ketahuilah bahwa penyifatan Tuhan melalui jalan penegasian kekurangan-kekurangan merupakan satu- satunya penyifatan benar yang kosong dari segala bentuk pengabaian (tasāmuh) ... tetapi penyifatan Dia dengan sifat-sifat penetapan (positif) disertai dengan syirik dan kekurangan yang telah kami jelaskan jauh sebelumnya."(1) Ulama terkemuka Yahudi ini, dengan menerima teologi penegasian, berupaya melepaskan diri dari "penyerupaan" dan "agnostisisme" secara bersamaan. Ia mengira pandangan ini secara tegas akan menjauhkan dari penyerupaan Tuhan dengan ciptaan- ciptaan-Nya (pengiyasan), pada saat yang sama juga tidak berujung kepada "agnostisisme" dan menghasilkan suatu pengetahuan tentang

p: 230


1- Ibn Maimun, Dalālat al-Hairīn, hlm. 136.

Tuhan, karena ketika kita memuji Tuhan dengan sifat-sifat seperti "hidup", dari satu sisi kita tidak memperhatikan makna positif dari sifat ini, sehingga kita terperosok ke jurang "penyerupaan" (tasybih); dari sisi lain, menghiasi Tuhan dengan sifat "kematian" merupakan suatu langkah guna mengetahuinya. Berdasarkan hal ini, semakin bertambah "penegasian-penegasian" tersebut, maka pengetahuan kita terhadap Tuhan akan semakin banyak pula: "Kullamā zidta fī al-salbi anhu taāla qarabta min al-idrāk. "(1) Demikian pula, Syekh Shaduq (w. 381 H) yang menyebut sifat- sifat Tuhan sama persis dengan zat-Nya (atau diri zat itu sendiri), (2) berkeyakinan bahwa untuk membela kesamaan identikal ('ainiyyat) ini, seluruh sifat-sifat zat yang tetap mesti dikembalikan kepada penegasian sifat-sifat yang berlawanan dengannya: "Ketika kita menyebutkan sifat- sifat Tuhan, sejatinya, dengan menyebut setiap sifat, kita menafikan lawannya dari dia. Maka, setiap kali kita mengatakan "Tuhan adalah hidup" kita telah menafikan lawan hidup (mati) dari-Nya. ... jika tidak seperti ini (yakni sifat-sifat tsubūt [positif) tidak kembali pada sifat-sifat penegasian (negatif), maka kita sedang membuktikan hal-hal selain dia dan selalu bersama dia." (3) Qadhi Said al-Qummy (1045–1103 H) sekaitan dengan hal ini juga mengatakan: Tujuan pada setiap sifat di antara sifat-sifat di mana Wājib al-Wujūd tersifati dengannya adalah bahwa Dia tidak tersifati dengan lawan (naqidh) sifat tersebut, misalnya, dikatakan: "Dia tahu (“alim)" bermakna bahwa "Dia bukan tidak tahu (bukan jahil)" dan "Dia kuasa (mampu)" artinya “Dia bukan tidak kuasa (bukan tidak mampu)". (4) Sebagaimana dalam bagian empat yang telah lalu, Qadhi Said menyebut Tuhan suci dari segala bentuk sifat dan ungkapan terkenal dari Imam Ali bin Abi Thalib pun (kesempurnaan ikhlas mengharuskan penegasian sifat-sifat dari-Nya) menyatakan tafsiran ini pula. (5) Ia berdasarkan cara pandang penegasian ini, cenderung kepada teori

p: 231


1- Ibn Maimun, Dalalat al-Hāirīn, hlm. 140.
2- "AL-Dalīl'alā annallāha - Ta ālā 'azza wa jallā - ālimūn hayyun qūdirun linafsihi lā bi ilmin wa qudratin wa hayātin huwa gairuh...” Syekh Shaduq, al-Tawhid, hlm. 223.
3- Syekh Shaduq, al-Tawhid, hlm.148.
4- Qadhi Said Qummy, Kelid Behesyt, hlm. 71.
5- Untuk telaah lebih jauh tentang pandangan Qadhi Said Qummy, silakan lihat Ghulam Muhsin Ibrahimi Dinani, Asmā 'wa Shifāt Haqq, hlm. 187-285.

"kesamaan lafaz (kata)" sifat-sifat dan membedakannya dengan dua pandangan asli lainnya, yaitu A) Kesamaan makna; B) Hakikat dan majasi.(1) PIKIRKAN DAN DISKUSIKAN Teologi Penegasian-Telaah dan Kritik Bagaimana Anda menilai pandangan Ibn Maimun tentang makna semantik sifat-sifat Ilahi?(2) Menurut sebagian kritikus, apabila "hidup" Tuhan tidak meninggalkan suatu makna pada pikiran (mental) seseorang, bagaimana "ketidakmatian-Nya" menjadi tampak! Dengan kata lain: "Penafian salah satu dari dua hal yang saling berhadapan di mana tak ada suatu penghubung di antara keduanya (seperti tahu dan tak tahu), pada dasarnya bermakna pembuktian sesuatu hal yang lain. Berdasarkan ini, adalah kontradiktif dan tak bermakna jika kita menafikan "ketidaktahuan" dan "ketidakkuasaan" dari Tuhan, tetapi ilmu dan kekuasaan tidak kita buktikan. Selain itu, konsep-konsep yang bersifat tiada ini (seperti tahu dan tidak tahu) timbul dengan cara penghubungan "tiada" kepada malakah-malakah (pengetahuan yang dikuasai secara inheren). Hal ini (tidak tahu = tiadanya ilmu/tahu) oleh karena itu, selama malakah-malakah tersebut tidak tergambarkan, konsep- konsep yang bersifat tiada ini tidak dapat diabstraksikan, dan selama malakah-malakah tersebut belum terbuktikan bagi subjeknya, ketiadaan mereka dari subjek tersebut tidak dapat dinegasikan."(3)

p: 232


1- Silakan lihat Qadhi Said Qummy, Syarh Tawhid al-Shaduq, jil. 1, hlm. 116 dan jil. 3, hlm. 108-113.
2- Untuk telaah lebih jauh, silakan lihat Brian Davies, Dar Amadi beh Falsafah Dīn [Introduction to Philosophy of Religion terjemahan Parsi oleh Maliheh Saberi, hlm. 20-22; Amir Abbas Ali Zamani, Khudā, Zabān,wa Ma'na, hlm. 44-47, Daniel Stewart, Falsafah Zabān Dīnī, hlm. 38.
3- Muhammad Taqi Misbah Yazdi, Ta ligat 'alā Nihāyat al-Hikmah, hlm. 440.

Diskusikanlah tentang kritikan ini antara satu dengan lainnya! Selain itu, apakah Syekh Shaduq dan Qadhi Said dapat dikatakan sependapat dengan Ibn Maimun? Apakah ketiga orang ini memiliki cara pandang yang sama terhadap masalah dan sedang berupaya menemukan suatu jalan untuk penyelesaian kesesatan peyerupaan? Tentunya bahwa dalam dunia Islam kebanyakan para pemikir lebih cenderung kepada teori "kesamaan makna" sementara di dunia Barat, teori "analogi (tamsil)" menemukan popularitas yang lebih luas.

Kesamaan Makna

Menurut laporan sebagian literatur, teolog seperti Abu al-Hasan Asy`ari (260—sekitar 324 Hq) dan Abu al-Hasan Bashri Mutazili (w.

436 H) menyebut kata "wujud (eksistensi)" sebagai suatu kesamaan lafaz serta memiliki makna yang tak terhitung (sejumlah esensi-esensi yang ada pada alam). Dengan penjelasan ini, wujud segala sesuatu (Tuhan, manusia, pohon...) adalah bermakna esensinya.(1) Menurut yang dikatakan sebagian lainnya, wujud dalam pandangan keduanya tidak memiliki makna yang sedemikian luas dan hanya merupakan kesamaan lafaz (kata) antara Pencipta (Khāliq) dan makhluk. (2) Filsuf Paripatetik, Mulla Rajab Ali Tabrizi (w. 1080 H) juga termasuk pembela pandangan ini dan secara gamblang mengatakan:

samaan wujud dan maujud antara wājib dan mumkin adalah kesamaan lafaz (ekuivokal), bukan kesamaan makna (univokal). "(3) Ia berusaha menampakkan bahwa kebanyakan filsuf dan arif seperti Abu Nasr al-Farabi (259—339 Hq) sepakat dengan pandangan ini, sebagaimana ia mengatakan: "Guru kedua (second master) dalam

p: 233


1- Saiduddin Taftazani, Syarh al-Maqāsid, jil. 1, hlm. 307; Fadhil Miqdad Sayuri, Irsyād al-Thālibīn ilā Nahj al-Mustarsyidin, hlm. 38; Abdurrazaq Lahiji, Syawāriq al-Ilhām fi Syarh Tajrīd al-Kalām, hlm. 25.
2- Fakhruddin al-Razi, al-Mathālib al-Aliyah min al-Ilm al-Ilāhī, jil. 1, hlm. 291. Dikatakan bahwa Mir Sayid Syarif Jurjani (w. 812 H) menis bahkan pandangan ini kepada yang lain. Silakan lihat Syarh al-Mawaqif, jil. 2, hlm. 127.
3- Mulla Rajab Ali Tabrizi, "Itsbāt Wājib" dalam: Muntakhabūt az Atsūr Hukama Ilahi Irān, jil. 1, hlm. 249.

pasal-pasal madaniyah, menjelaskan (kesamaan lafaz wujud) dengan ungkapan bahwa "wujud Tuhan Yang Mahatinggi berbeda dengan wujud-wujud lainnya dan tak satu pun di antara mereka yang mempunyai kesamaan makna dengannya; jika terdapat kesamaan, maka hanya sekedar kesamaan dalam nama, bukan dalam makna yang terpahami dari nama tersebut."(1) Walaupun demikian, dari sebagian pernyataan al-Farabi dapat disimpulkan bahwa penegasannya adalah pada gradasi kata-kata ini, bukan kesamaan lafaz mereka; sebagaimana ia ungkapkan: kebanyakan nama yang sama antara Tuhan dan selain-Nya-seperti "maujud" dan "satu"-pada tingkatan pertama, menyiratkan kesempurnaan- Nya, kemudian digunakan untuk selain-Nya berdasarkan tingkatan keberadaan mereka ... Oleh karena itu, kebenaran nama-nama ini atas Tuhan-dibandingkan dengan wujud-wujud lainnya lebih banyak dan lebih dahulu. (2) Bagaimanapun, Fakhrurazi (544–606 H),salah seorang teolog bermazhab Asy'ariah-dalam banyak karyanya melakukan kritikan atas pandangan-pandangan yang disandarkan kepada tokoh-tokoh Asy`ariah(3) dan menyatakan kesamaan makna "wujud" mencapai batas hal-hal yang bersifat badihi (swabukti dan tidak memerlukan argumen).(4) Kebanyakan lainnya dari kalangan pemikir Muslim-baik filsuf maupun teolog-cenderung pula pada kesamaan makna wujud dan pada saat yang sama menegaskan kegradasian konsep ini.(5) Meskipun pada umumnya yang menjadi poros (tema sentral) dari diskusi-diskusi ini adalah "wujud", tetapi dapat ditularkan pula

p: 234


1- Mulla Rajab Ali Tabrizi, "Itsbāt Wajib", hlm. 243.
2- Abu Nashr Farabi, al-Siyāsat al-Madaniyyah, hlm. 50–51. Dalam lanjutan pembahasan, kami akan mengisyaratkan ungkapan-ungkapan lainnya dari Farabi yang mengimplikasikan makna ini pula.
3- Sebagai contoh, silakan lihat Fakhruddin al-Razi, al-Barāhin dar 'Ilm Kalām, jil. 1, hlm. 83; Fakhruddin al-Razi, al-Mathālib al-Aliyah min al-Ilm al-Ilahi, jil. 1, hlm. 290-294. Meskipun demikian, ia pada satu tempat tidak memberikan kesamaan makna wujud. Silakan lihat al- Muhasshal, hlm. 47.
4- Fakhruddin al-Razi, al-Mabāhits al-Masyriqiyyah, jil. 1, hlm. 18.
5- Silakan lihat Qadhi Adhad lji, al-Mawaqif, hlm. 46 dan 51; Mir Sayid Syarif Jurjani, Syarh al- Mawāgif, jil. 2, hlm. 113 dan 161; Fadhil Miqdad Sayuri, Irsyād al-Thālibīn ilā Nahj al-Mustarsyidin, hlm. 38–39; Shadr al-Muta'allihin Syirazi, al-Hikmat al-Muta'āliyah fi al-Asfar Aqliyāt al-Arba ah, jil. 1, hlm. 35.

kepada semua sifat-sifat yang sama antara Tuhan dan manusia;(1) sebagaimana al-Farabi menulis: Ketika kita mengatakan "Tuhan ada," kita mengetahui bahwa wujud-Nya tidak sama dengan wujud entitas- entitas yang lebih rendah. Ketika kita mengatakan "Tuhan hidup," kita mengetahui bahwa hidup-Nya lebih baik dari hidup wujud-wujud di bawah-Nya. Begitu pula sifat-sifat Tuhan yang lain.(2) Mulla Hadi Sabzewari (1212—1289 Hq.) dalam suatu risalah tersendiri yang ia tulis tentang tema ini, mengatakan: yang benar ialah bahwa "wujud" merupakan kesamaan makna dan suatu hal yang bergradasi, meskipun semakna dari segi kesempurnaan dan kekurangan (kecacatan), awal dan akhir, kuat dan lemah mempunyai tingkatan-tingkatan yang beragam. Tanpa disebutkan lagi, telah jelas bahwa konsekuensi pernyataan ini bukanlah bahwa hakikat Wajib al-Wujūd (yang maha tinggi) dan mumkin al-wujūd (wujud kontingen) sedang disamakan, karena sesuatu yang sama di antara keduanya, tiada lain kecuali suatu konsep yang dipredikatkan kepada mereka.

Berdasarkan komparasi ini, yang dimaksud dengan alim (yang tahu)— ketika disebutkan bagi selain Tuhan ialah seseorang di mana ide atau sebuah gagasan baginya menjadi tampak (tersingkap) dengan jelas dan yang dimaksud dengan kuasa ialah seseorang yang mengerjakan suatu perbuatan dengan ilmu dan kehendaknya. Ketika kata-kata ini kita gunakan dalam kaitannya dengan Tuhan, makna-makna ini pulalah yang kita maksudkan; meskipun ketersingkapan bagi Tuhan dari segi ukuran, volume, isi, kuatnya adalah tak terhingga dan tidak dapat dibandingkan dengan ilmu terbatas kita (yang pada hakikatnya bayangan, bukan asli [prinsip] dan sesuatu). (3)

p: 235


1- Kant, filsuf berkebangsaan Jerman, dalam mengkritik argumen ontologis Anselm memiliki sebuah pernyataan di mana berdasarkan itu, wujud tidak dapat disebut sebagai suatu sifat di antara sifat-sifat. Untuk mengkaji pandangan ini, silakan lihat Mahdi Haeri Yazdi, Kāwushhāe Agle Nazari, hlm. 106-115; Abdullah Jawadi Amuli,Tabyin Barāhin Itsbāt Khudā, hlm. 202-206.
2- Abu Nash Farabi, Al-Jam u Bayna Ra yi al-Hakimayn, hlm. 106. Begitu pula, silakan lihat Shadr al-Muta'alihin Syirazi (Mulla Sadra), al-Mabdā wa al-Ma'ad, jil. 1, hlm. 249–250.
3- Isytirāk-e Wujūd wa Shifāte Ilahiyeh Bain Haqq wa Khalq, dalam: Majmu' Rasāil Filosuf Kabir Haj Mulla Hādi Sabziwari, koreksi oleh Sayid Jalaluddin Astiyani, hlm. 675-677 (terjemahan dengan peringkasan).

PIKIRKAN DAN DISKUSIKAN Kesamaan Kata (Lafaz) atau Makna? Mulla Muhsin Faidh Kasyani (w. 1091 H) tentang ciri-ciri yang sama bagi Tuhan dan manusia mengatakan seperti ini:

"Segala sesuatu yang dipredikatkan bagi Tuhan dan selain-Nya adalah dengan dua makna yang berbeda dan tidak dalam satu tingkatan; bahkan wujud yang cakupan maknanya lebih luas dari segala hal, sedemikian rupa mencakup Tuhan dan yang lainnya dengan satu bentuk, namun wujud seluruh makhluk Tuhan (mā siwallāh) merupakan bayangan dan simbol dari wujud Tuhan.

Begitu pula dengan sifat-sifat lain-Nya seperti; ilmu ('ilm), kuasa (qudrah), kehendak (iradah) dll... Bahkan sebagaimana halnya yang lain tidak mampu memperoleh peliputan atas hakikat (kunh) zat Tuhan, mereka pun tidak mampu mencapai wujud sifat-sifat-Nya. Segala apa yang dibahasakan orang-orang berakal dalam menyifatinya adalah seukuran pahaman dan kemampuannya karena mereka menerapkan sifat-sifat tentang-Nya yang mereka temukan dalam diri mereka dan sesudah menyucikannya dari kekurangan-kekurangan yang bersumber dari penisbahan mereka kepada manusia, menisbahkannya kepada Tuhan dengan sejenis perbandingan (1) dan penyerupaan. ... oleh karena itu, apa yang mereka katakan dalam menyifati-Nya, pantas bagi daya atau kemampuan mereka, bukan bagi Dia."(2) Menurut Anda, apakah orang yang mengungkapkan pendapat ini dapat disebut sebagai bagian dari orang-orang

p: 236


1- Kata "mugāyasah" dari segi makna sepadan dengan kata "analogia" dalam bahasa Latin; sebutan yang digunakan Aquinas dalam menjelaskan pandangannya (yang dalam lanjutan pembicaraan ini akan dibahas dalam tema "Predikasi analogis.")
2- Mulla Muhsin Faidh Kasyani, 'Ilm al-Yaqin fi Ushūluddin, jil. 1, hlm. 72-73 (Maqsad Awwāl, bab al- Rabi', fashl 20).

yang cenderung pada kesamaan lafaz (kata) sifat-sifat? Apakah sebagian dari dialog-dialog yang timbul dalam masalah ini dapat digolongkan sebagai suatu perdebatan seputar lafaz?

Predikasi Analogis

Predikasi Analogis(1) Thomas Aquinas (1225–1274 M) seorang teolog terkemuka Kristen, dalam pembahasan semantik sifat-sifat Tuhan mengembangkan suatu teori yang ia namakan dengan "analogi (nisbah)."(2) Ia menyebut analogi sebagai suatu jalan tengah yang dalam perkara semantik sifat-sifat Ilahi menggantikan dua metode umum, yaitu atribusi satu makna (univokal) dan atribusi beberapa makna (ekuivokal). (3) Menurut Aquinas, dari satu sisi, sifat-sifat yang secara sama dipredikatkan kepada khaliq dan makhluk, tidak dapat sama secara persis, sebagai contoh: ketika kita mengatakan seorang manusia adalah berakal, kita sedang mengisyaratkan sesuatu yang berbeda dengan substansi, kuasa, dan eksistensinya; sementara kebijakan dan keilmuan Tuhan tidak terpisah dari zat, kuasa, dan wujud-Nya.(4) Dari sisi lain, makna-makna sifat-sifat ini sama sekali tidak bisa disebut asing antara satu dengan lainnya dan kesamaannya hanya dalam lafaz saja, karena tak diragukan lagi, antara Tuhan dengan makhluk-Nya terdapat sejenis kemiripan.(5) Berdasarkan hal ini, supaya kita tidak menyamakan Tuhan dengan makhluk-makhluk secara sempurna dan pada saat yang sama kita mendapatkan suatu pengetahuan dari-Nya, di hadapan kita tak ada jalan kecuali melakukan analogi (tamtsil).

p: 237


1- Analogical predication.
2- Untuk mengetahui latar belakang sejarah pandangan ini, silakan lihat G.P. Klubertanz, “Analogy", dalam: New Catholic Encyclopedia, vol.1, hlm. 461; Robert L. Calhoun, “The Place of Language in Religion", hlm. 303–304.
3- "Such words apply to god and creatures neither univocally nor equivocally,but by what I call analogy (or proportion)." Thomas Aquinas, Summa Theologica (A Concise Translation), disunting oleh Tinothy McDermott, hlm. 32 (13,5); Thomas Aquinas, Summa Contra Gentiles, diterjemahkan oleh By Anton C, Pegis, vol. 1, hlm. 147 (Pasal 33).
4- Thomas Aquinas, Summa Theologica, hlm. 31(13,5)
5- Thomas Aquinas, Summa Contra Gentiles, vol. 1, hlm. 146 (Pasal 33)

Dalam beberapa tahun terakhir, telah banyak upaya-upaya yang dilakukan untuk menafsirkan dan menjelaskan pandangan ini. Sebagai contoh, menurut pendapat sebagian filsuf-filsuf agama, manusia dalam rangka mengenal makhluk-makhluk lainnya-entah ia lebih tinggi atau lebih rendah dari manusia-menggunakan sejenis analogi dan komparasi yang dapat dibagi ke dalam dua bagian: menaik dan menurun.

Dalam anologi menurun, dengan membandingkan perilaku manusia dengan wujud yang lebih rendah, kita menisbahkan suatu sifat seperti "kesetiaan" kepada seekor binatang semisal anjing- meskipun mungkin saja faktor-faktor seperti pilihan sadar dan bertujuan, menempatkan kesetiaan manusia dalam suatu tingkatan yang lebih tinggi. Dan dalam analogi menaik, kita menyebut sifat- sifat insaniah diri kita sebagai seberkas cahaya dari kesempurnaan- kesempurnaan yang lebih tinggi (dan bahkan tak terhingga) dari suatu wujud suprainsani dan dengan perantaraan ini kita melangkah ke arah mengetahui-Nya.(1) Analogi Atributif dan Perimbangan (Proporsi) Aquinas terkadang menggunakan contoh di bawah ini untuk memperjelas makna analogi; Kata "sehat" selain digunakan dalam menyifati badan yang tidak sakit, juga dalam menjelaskan sifat makanan (dari sisi penyebab kesehatan), juga berkenaan dengan wajah manusia (sebagai tanda sehat). (2) Sebagaimana yang tampak dari contoh ini, dalam jenis penerapan ini, salah satu dari makna-makna (seperti makna pertama dari kata sehat) merupakan asli dan sumber di mana makna-makna lainnya timbul akibat pengembangannya.

Walaupun demikian, tidak boleh menganggap bahwa disebutnya Tuhan sebagai tahu dan bijak semata-mata hanya karena merupakan sumber kebijaksanaan dan pengetahuan (sebagaimana makanan sehat menyebabkan kesehatan), dan dirinya sendiri tidak memiliki kekhususan-kekhususan ini karena seluruh kesempurnaan-

p: 238


1- John Hick, Philosophy of Religion, hlm. 83–84.
2- Thomas Aquinas, Summa Theologica, hlm. 32 (13,5) and hlm. 46 (16,6); Thomas Aquinas, Summa Contra Gentiles, vol. 1, hlm. 147 (chapter 34).

kesempurnaan dalam bentuknya yang paling tinggi terkumpul di dalam wujud-Nya, dan mereka sendiri merupakan sumber kesempurnaan makhluk-makhluk. (1) Ungkapan-ungkapan ini merupakan penjelasan dari suatu jenis analogi yang dikenal dengan analogi atributif(2), yaitu atribusi suatu predikat (seperti sehat yang dalam derajat pertama digunakan untuk menyifati badan) kepada suatu subjek kedua (seperti makanan) dengan alasan adanya sejenis hubungan dengan subjek pertama.

Jenis lain analogi dapat disimpulkan dari ungkapan-ungkapan Thomas Aquinas yang dinamai dengan "analogi proporsional."(3) Menurut jenis analogi ini, berdasarkan hubungan di mana zat Tuhan lebih tinggi dari pada tabiat atau kodrat manusia, kesempurnaan- kesempurnaan-Nya pun lebih tinggi; dan pada hakikatnya, hubungan antara kesempurnaan-kesempurnaan dan zat masing-masing, proporsional terhadap hubungan ini sendiri dari yang lain-sebagai contoh, hubungan antara "kebijaksanaan Tuhan" dan "zat tak terhingga"-Nya-sama seperti hubungan antara "kebijaksanaan Socrates" dan "zat terhingga"-Nya.(4) Kebijaksanaan Socrates Zat terhingga Socrates Kebijaksanaan Tuhan Zat tak terhingga Tuhan PIKIRKAN DAN DISKUSIKAN Analogi Atributif dan Proporsi—Telaah dan Kritik Predikasi analogis dalam kedua ulasannya (atributif dan perimbangan) dihadapkan dengan banyak kritik.

Sebagai contoh, jika yang dimaksud Aquinas (dalam

p: 239


1- Thomas Aquinas, Summa Theologica, hlm. 32 (13,6).
2- The analogy of attribution.
3- "The Analogy of Proportionality" Frederick Ferre, “Analogy in Theology" dalam Paul Edwards (ed.), The Encyclopedia of Philosophy, vol. 1, hlm. 95; E.L. Mascall, “The Doctrine of analogy", dalam Abernethy and Langford (Eds.) Philosophy of Religion, hlm. 371.
4- Michael Peterson et. al., 'Aql wa I'tiqād Dīni, terjemahan Parsi oleh Ahmad Naraqi dan Ibrahim Sultani, hlm. 258.

predikasi analogis) ialah bahwa disebutnya Tuhan sebagai berilmu dan bijaksana karena ia merupakan sumber kesempurnaan-kesempurnaan ini, mengapa-sesuai dengan analogi ini-sifat-sifat tak terhitung lainnya tidak dapat dinisbahkan kepada-Nya?(1) Begitu pula, salah satu di antara keberatan-keberatan mendasar analogi perimbangan yang mereka sebutkan ialah tidak menghasilkan makna jelas dari sifat-sifat Ilahi dan akan berujung kepada agnostisisme.(2) Dengan penjelasan lain, pada bagan yang lalu (yang seharusnya satu bagian) dua bagian dari keempat bagian keselarasan gaib dan tidak diketahui, yaitu hikmah Tuhan dan Dzat tak terhingga-Nya.(3) Tanpa melihat kritikan-kritikan ini, apakah analogi yang bersifat atribut dapat dikembalikan kepada "hakikat dan majas" serta analogi perimbangan kepada "kesamaan makna dan gradasi sifat-sifat"?

Kebermaknaan Proposisi-Proposisi Religius

Perhatikanlah proposisi-proposisi di bawah ini:

a. Sekumpulan sudut-sudut bagian dalam dari suatu segitiga adalah 180 derajat.

b. Hari Rabu saya akan pergi ke Teheran.

C. Air murni dalam kedinginan 100 derajat akan membeku dan dalam 0 derajat akan mendidih.

d. Rabu adalah segitiga.

Apa perbedaan proposisi-proposisi ini antara satu dengan lainnya? Jika kita tidak merujuk kepada pengetahuan-pengetahuan kita sebelumnya dan kata-kata yang digunakan dalam kalimat-kalimat ini kita tinggalkan dengan maknanya yang umum (biasa), kita akan

p: 240


1- Frederick Ferre, "Analogy in theology" dalam: Paul Edwards (ed.), The Encyclopedia of Philosophy, vol. 1, hlm. 96. Salah satu jawaban atas kritikan ini terdapat pada sumber di bawah ini; Daniel Stewart, Falsafah Zabān Dīni, hlm. 46.
2- Daniel Stewart, Falsafah Zabān Dini, hlm. 94-95.
3- Michael Peterson, et al, 'Aql wa I'tiqad Dīni, hlm. 259.

menyebut tiga proposisi pertama "bermakna" dan proposisi keempat "tak-bermakna". Proposisi-proposisi bermakna dapat ditempatkan dalam tiga kelompok "mesti benar", "tidak mesti benar", atau "kira-kira benar (dan kira-kira tidak benar)." Namun, dalam kaitannya dengan proposisi-proposisi tak-bermakna, pada dasarnya tidak bisa dibicarakan tentang "kebenaran atau ketidakbenaran." Golongan dari kaum empiris, yang dinamakan dengan "positivisme logis", menyebut proposisi-proposisi religius sebagai proposisi-proposisi tak-bermakna(1) dan dalam kesimpulannya, mereka menyebut tidak bijak membicarakan tentang benar atau tidak benarnya proposisi- proposisi religius. Menurut pandangan mereka, bermaknanya setiap proposisi (2) bergantung pada "bisanya diverifikasi" dan segala sesuatu yang tidak dapat diuji dengan kriteria-kriteria tentatif (empiris) adalah tak-bermakna. Alfred Jules Ayer (1910–1989 M) dalam kaitannya dengan prinsip verifikasi dan konsekuensinya mengatakan:

Suatu kalimat hanya akan memiliki makna nyata bagi orang tertentu manakala orang tersebut mengetahui bagaimana proposisi yang dinyatakan dalam kalimat tersebut dapat diverifikasi, yakni mengetahui penyaksian-penyaksian apa dan pada kondisi-kondisi bagaimana yang menyebabkan kita menerima proposisi tersebut sebagai proposisi yang benar atau menafikannya sebagai suatu proposisi yang salah atau bohong.(3) Berdasarkan ini, ke-mumkin-an hakikat-hakikat transenden keagamaan menurut pandangan kami ternafikan, karena kalimat-kalimat yang digunakan orang beragama untuk menyatakan hakikat-hakikat ini, tidak mempunyai makna tetap (definite) dan hakiki.(4)

p: 241


1- Sepertinya maksud kaum positivis yang sebenarnya adalah bahwa proposisi-proposisi religius tidak memiliki makna yang menghasilkan pengetahuan dan maksimalnya, hanya membuka perasaan-perasaan dan emosi pembicara. Silakan lihat John Hick, Philosophy of Religion, hlm. 101.
2- Tentu saja yang dimaksud ialah kalimat-kalimat yang sifatnya bukan analisis atau dengan kata lain terpinggirkan dari pengungkapan sama dan kontradiksi logis. Silakan lihat R. W. Ashby, "Asl-e Tahqiq Paziri", dalam 'Ilm Syināsi Falsafi, terjemahan Parsi oleh Abdul Karim Soroush, hlm. 293; Mir Syamsuddin Adib Sultani, Risāle Win, hlm. 74.
3- Michael Peterson, et. al., 'Aql wa I'tiqād Dīnī, hlm. 261. Begitu pula, silakan lihat Alfred Jules Ayer, Zabān, Haqiqat wa Mantiq (Language, Truth and Logic], terjemahan Parsi oleh Manucher Buzurgmehr, hlm. 19 (Terjemahan kalimat pada sumber kedua tidak begitu akurat).
4- Alfred Jules Ayer, Zabān, Haqiqat wa Mantiq, hlm. 164.

DISKUSIKAN DAN PIKIRKAN Dapat Diverifikasi (Dibuktikan) dan Dapat Dibatalkan Kalangan positivis tidak sama dalam berpikir tentang kriteria-kriteria kebermaknaan, sebagai contoh, sebagian menegaskan kebisaan-verifikasi dan kelompok lainnya menekankan kebisaan-batal.(1) Guna memperjelas perbedaan kedua istilah ini, berusahalah temukan suatu jalan untuk membuktikan atau membatalkan proposisi- proposisi di bawah ini:

1. Dalam sebuah kamar terdapat satu meja dan empat kursi.

2. Dalam bilangan bilangan desimal angka x tiga angka 5 bisa didapatkan secara kontinu.

3. Semua orang-orang Iran adalah cerdas.

4. Sejak subuh hari ini, volume dan ukuran seluruh benda-benda natural menjadi dua kali lipat.

Apakah proposisi pertama dapat dibuktikan atau dibatalkan? Jika dalam desimal angka x kita lalui hingga sepuluh ribu bilangan dan kita tidak menemukan tiga angka 5 secara kontinu, apakah proposisi kedua dapat kita namakan telah batal? Untuk hal ini, hingga berapa bilangan yang harus kita lalui? Untuk pembuktian tentatif proposisi ketiga, metode atau trik apa yang dapat dipikirkan? Apakah dapat dikatakan bahwa proposisi pertama bisa dibatalkan dan juga dapat dibuktikan; sementara dua proposisi selanjutnya, secara berurutan, hanya dapat dibuktikan dan hanya bisa dibatalkan? Bagaimana dengan proposisi keempat?

p: 242


1- Sebagai contoh, Anthony Plew (1923-M) berdasarkan prinsip dapat dibatalkan dan dengan menjelaskan kisah "tukang kebun yang tidak terlihat” berkeyakinan bahwa kaum Mukmin menganggap tak ada satu pun kejadian yang berlawanan dengan doktrin-doktrin seperti kasih sayang Tuhan dan dengan menambahkan batasan atau syarat-syarat yang banyak pada klaim- klaimnya, mereka membuatnya kehilangan keutamaan." Silakan lihat Michael Peterson et. al., 'Aql wa I'tiqad Dīnī, hlm. 263.

Sebagian kaum agamawan menerima kriteria kebermaknaan kaum positivis dan juga menyebutkan bahwa agama dapat diverifikasi. (1) Namun, kebanyakan lainnya mempermasalahkan(2) serta menghitung sederet kekurangan-kekurangannya dalam bagian ini:

1. Prinsip verifikasi sendiri adalah merusak; jika prinsip ini kita sebut valid, maka dalam derajat pertama, ia sendiri mesti disebut tak-bermakna, karena tak satu pun cara atau metode tentatif (empiris) yang dapat menyentuh atau mencapai makna dari prinsip ini. (3) Atas dasar prinsip ini, bukan hanya filsafat dan teologi, bahkan kebanyakan di antara proposisi ilmu-ilmu empiris akan menjadi tak bermakna; (4) karena, sebagai contoh, eksperimen (tanpa menggunakan argumentasi rasional) tidak akan pernah berujung kepada munculnya suatu hukum-hukum universal seperti "setiap air mendidih pada seratus derajat." 3. Kewajiban para logikawan dan ahli bahasa (linguis) adalah menemukan dan menganalisis fenomena-fenomena bahasa dan dalam hal ini tidak dapat dikemukakan suatu pandangan atau teori-teori yang tidak selaras dengan temuan-temuan batin yang sifatnya umum. Jika kita menganalisis batin diri kita sendiri, kita tidak akan melihat makna sebuah proposisi dalam jaminan bahwa ia dapat diverifikasi secara empiris; dari sisi ini, bukan hanya kaum agamawan, kebanyakan di antara kaum empiris yang tidak menerima proposisi-proposisi wahyu, menerima pula kebermaknaan mereka.

p: 243


1- Sebagai contoh, John Hick (1922-M) mendukung pandangan tentang "verifikasi yang bersifat ukhrawi." Untuk mengetahui lebih jauh tentang pandangan ini, silakan lihat Hadi Shadiqi, Ilāhiyyāt wa Tahqiqpaziri; Michael Peterson et. al., Aql wa I'tiqad Dīni, hlm. 244.
2- Silakan lihat R. W. Ashby, “Asl-e Tahqiq Paziri", hlm. 309-317, Bahauddin Khurramsyahi, Positivism Mantiqi, hlm. 31–34.
3- Charles Tellaferro, Falsafah Din dar Qarn Bistum [Contemporary Philosophy of Religion), terjemahan Parsi oleh Insyaallah Rahmati, hlm. 179.
4- Michael Peterson et al., 'Aql wa l'tiqād Dini, hlm. 267.

PIKIRKAN DAN DISKUSIKAN Suatu Cerita (Hikayat) Bermakna dan Tidak Dapat Diverifikasi Bacalah cerita di bawah dan pikirkanlah tentang bagaimana ia dapat diverifikasi dan dibatalkan:

"Sebagian dari boneka boneka mainan ketika orang- orang sedang tidur dan tak ada satu pun mata atau kamera yang mengawasinya, menari-nari dan setelah berakhir, tidak meninggalkan tanda atau jejak sedikit pun darinya". Apakah dengan membaca cerita ini, suatu makna muncul dalam benak (akal) anda? dengan metode empiris manakah kebenaran atau ketidakbenaran maknanya dapat ditunjukkan?

Kesimpulan

1. Pertanyaan-pertanyaan seperti "Dengan bahasa manakah Tuhan berbicara dengan hamba-hambanya?" dan "Bagaimanakah kita dapat berbicara tentang Tuhan?" menempati suatu kategori yang bernama "bahasa religius" (bahasa agama).

2. Sebagian penulis berbicara tentang terwarnainya wahyu dengan budaya zaman dan sebagai contoh, bukan hanya bahasa Islam, budayanya pun mereka sebut ke-Arab-an (“Arabī).

3. Pada hakikatnya bahwa dengan tuntutan hikmah Ilahi dan untuk memenuhi tujuan pembimbingan (hidayah), para nabi berbicara dengan bahasa kaumnya, dan mereka tunduk pada konsekuensi- konsekuensi satu bahasa ini, selama tidak berujung pada perkataan batil dan buruk.

4. Mayoritas pemikir Muslim dan non-Muslim sepakat dengan penggunaan bahasa analogi (tamtsili) dalam teks-teks suci.

5. Salah satu pertanyaan mendasar dalam pembahasan bahasa religius ialah bahwa bagaimana dapat berbicara tentang Tuhan

p: 244

yang transenden, dengan bahasa yang mencitrakan tipologi manusiawi.

6. Sebagian teolog dalam merespon pertanyaan di atas, berpaling kepada teologi penegasian dan dengan menegaskan tidak diketahuinya (tidak dapat diketahuinya) sifat-sifat Ilahi, mereka menyebut "tahu dan kuasanya" Tuhan sebagai sesuatu yang tidak lebih unggul dari "tidak bodoh (tidak-jahil) dan tidak lemahnya".

7. Menurut kebanyakan pemikir Muslim, sifat-sifat sama (musytarak) antara khaliq dan makhluk memiliki kesamaan makna serta penerapan mereka pada objek-objek mereka yang beragam bersifat gradisional.

8. Thomas Aquinas dalam pembahasan semantik sifat-sifat Tuhan, mengembangkan suatu teori yang disebut dengan "analogi" dan memiliki dua ulasan yang dikenal dengan atributif dan perimbangan (proporsional).

9. Kaum positivisme logis, menyebut proposisi-proposisi religius sebagai proposisi-proposisi yang tidak memiliki makna (menghasilkan pengetahuan dan menganggap tidak bijak berbicara tentang benar atau tidak benarnya mereka.

10. Kriteria kebermaknaan positivisme sendiri adalah perusak dan menjadikan pula kebanyakan di antara proposisi-proposisi ilmu- ilmu empiris tak bermakna.

Pertanyaan

1. Apa makna istilah "bahasa religius?" Apakah terdapat perbedaan di antara kedua ungkapan "bahasa religius" dan "bahasa agama"? 2. Apa maksud orang-orang yang menyatakan bahwa budaya Islam pun-sebagaimana bahasanya-adalah ke-Arab-an (Arabicnized)? 3. Apakah para nabi berbicara dengan bahasa kaumnya? Bagaimana? 4. Apakah persetujuan Islam dengan sebagian adab-adab dan tradisi- tradisi jahiliyah bermakna sebagai penerimaan efek budaya jahiliyah? Jelaskan!

p: 245

5. Apakah dalam teks-teks suci religius, teknik-teknik seperti majas dan metafora pun diterapkan? Jelaskanlah pandangan Ibn Qutaibah tentang hal ini! 6. Apakah penyebutan suatu cerita (hikayat) sebagai analogi mesti bermakna bahwa ia adalah rekayasa atau palsu? Jelaskan! 7. Menurut kalangan pemikir Kristen, mengapa agama-agama guna mencapai tujuan-tujuan mereka, menggunakan bahasa simbolis? 8. Bahasa manusia, guna menjelaskan sifat-sifat Ilahi, dengan keterbatasan-keterbatasan apakah ia akan dihadapkan? 9. Apa pandangan Qadhi Said Qummi dalam kajian semantik sifat sifat Ilahi? 10. Bagaimanakah perbedaan pemikir muslim tentang kesamaan lafaz dan makna "wujud" terkait dengan pembahasan semantik sifat- sifat Ilahi? 11. Jelaskan maksud dari predikasi analogis dengan menggunakan dua istilah analogi menaik dan menurun! 12. Analogi atribusi itu apa? Apa hubungan antara istilah ini dengan masalah "hakikat dan majas"? 13. Jelaskanlah analogi perimbangan dan tuliskan pandangan Anda tentangnya! 14. Apa prinsip "dapat diverifikasi" itu? Dan bagaimanakah kaum positivis menggunakannya guna membuktikan ketidakbermaknaan proposisi-proposisi religius? 15. Jelaskan perbedaan dua kriteria "dapat dibuktikan" dan "dapat dibatalkan" dengan menyebutkan contoh! 16. Telaah dan kritiklah tolok ukur kebermaknaan Positivisme!

p: 246

BAGIAN 8: AKAL DAN WAHYU

Point

BAGIAN 8 AKAL DAN WAHYU(1) Sesungguhnya bagi Tuhan terdapat dua hujjah atas manusia:

hujjah lahir (luar) dan hujjah batin (dalam); hujjah lahir adalah para rasul dan nabi serta para imam as; sedangkan hujjah batin adalah akal manusia. (2) alah satu pertanyaan yang senantiasa dihadapi manusia dan U sekarang ini muncul dalam bentuk-bentuk yang lebih baru dan lebih menantang (kontroversial) adalah apakah data-data akal manusia selaras dengan pengetahuan-pengetahuan wahyu? Apakah rasionalitas dan kepercayaan atas agama akan saling berdampingan antara satu dengan lainnya? Ataukah mesti salah satu di antara keduanya harus dikorbankan bagi yang lainnya?(3) Hal yang tak dapat diragukan ialah kontradiksi formal (lahiriah) antara kedua sumber akal dan wahyu-pada sebagian doktrin-doktrin- yang telah menjadi sumber munculnya "kaum rasionalis anti agama" dan "kaum agamawan yang kontra rasionalitas." Sepanjang sejarah, pertarungan akal dan wahyu-sesuai dengan pengetahuan-pengetahuan

p: 247


1- Kebanyakan gagasan-gagasan pasal ini merupakan pilihan dari dua buku yang ditulis oleh penulis bersama dengan Dr. Ahmad Husain Syarifi.
2- Muhammad Bin Ya'qub Kulaini, al-Kafi, jil. 1, hlm. 60 (Kitab al-Aql wa al-Jahl).
3- Sebagaimana Maulawi mengatakan: "Aql qurban kun beh pisye Mustafa-hasbiyaallāh ghu keh Alluhuyam kafa" (Korbankanlah akal di hadapan al-Mustafa-katakan hasbiyallah karena Tuhan- ku telah mencukupi). Jalaluddin Maulawi, Matsnawi Ma'nawī, Daftar Chārum, Bait 1408.

terkini manusia di setiap zaman-tampil dalam bentuk-bentuk yang beragam dan bentuk paling kunonya tampak dalam pertentangan "filsafat dan agama".

Doktrin-doktrin filosofis-sebagai suatu kumpulan sistematis dari data-data akal manusia-dipahami kontradiksi dengan doktrin-doktrin religius dan terdapat segolongan kaum Mukmin yang berupaya keras membersihkan lingkaran agama dari noda atau kotoran kotoran filsafat.

Cemoohan dan cercaan-cercaan ini bahkan tergiring pula ke wilayah logika dan ilmu kalam (teologi) dan tidak sedikit orang-orang yang menulis dalam bidang ini. Mereka menulis buku-buku dan risalah- risalah tersendiri terkait dengan masalah ini.

PIKIRKAN DAN DISKUSIKAN Perlawanan terhadap Logika Aristoteles! Ibn Taimiyyah (661–728 H) dengan menulis kitab "Nashihat Ahl al-Imān fi Raddi 'ala Mantiqi Yunānin" mengingatkan orang-orang Mukmin untuk waspada dalam mengikuti logika Yunani. Murid Ibn Taimiyyah, Ibn Qayyim (691–751 H) pun sama dengan orang-orang yang memusuhi logika Yunani menyatakan: "Mengherankan, logika Yunani-betapa banyak ungkapan-ungkapannya yang tidak sah-mencemari pemikiran-pemikiran bersih (suci)—dan membuat fitrah seseorang tidak berkembang- mendiamkan kalbu dan lidah-dan mempunyai dasar- dasar yang begitu rapuh."(1) Menurut Anda, faktor-faktor apakah yang menyebabkan seseorang bangkit memerangi ilmu logika- yang merupakan ilmu yang bersifat alat dan instrumental? Wajah baru perjumpaan akal dan wahyu, dinamakan dengan kontradiksi antara ilmu dan agama; sebagian dari data-data ilmu-ilmu empiris dipahami bertentangan dengan pengetahuan-pengetahuan wahyu dan telah menggiring segolongan orang menjauhi agama.

p: 248


1- Ibn Qayyim al-Jauziyyah, Miftāhun Dar al-Sa ādah, hlm. 189.

Sesuatu yang menjadikan proses ini semakin laju dan kuat ialah bahwa pada abad-abad pertengahan, kaum gerejawan secara keliru menganggap kebanyakan di antara pengetahuan-pengetahuan manusia sebagai bagian dari agama dan tidak sanggup menerima ketidaksesuaian mereka dengan data-data ilmu-ilmu baru. Sebagai reaksi negatif terhadap anti rasionalitas ini telah memicu kemunculan gerakan rasionalisme dan dalam memuji akal bergerak maju hingga pada tahap sedemikian, sehingga terkadang mereka mendudukkannya di atas singgasana ketuhanan: "Wahai sekalian alam! Wahai raja seluruh keberadaan! Dan kalian wahai fadhilah, akal dan hakikat yang paling dimuliakan, Jadilah tuhan-tuhan kami selamanya!"(1) Rasionalitas kering dan ekstrem ini pada gilirannya menumbuhkembangkan sejumlah orang-orang yang kontra; sedemikian sehingga muncul suatu kelompok, mencari bagian hati yang terlupakan dan menyebut akal sebagai "bul fudhuli (bapak keusilan)" di mana satu- satunya keterampilan yang ia miliki adalah merusak rupa keindahan- keindahan dan kebaikan-kebaikan:

"bul fuzul 'aql bi tadbir maa—har cheh zibai keh mibinand ze syekl andāzadesy—kur sāzad cyesm ra ta wasm bar abru kesyad" (Keusilan akal tak berbudi kita-apa pun keindahan yang dilihatnya, ia rusak rupanya-menjadikan mata buta, hingga nila terukir di atas alis).(2)

Terminologi

Rangkapan-rangkapan seperti "akal dan wahyu", "akal dan naql", "akal dan agama", "iman dan inteleksi", "agama dan filsafat", serta "ilmu dan agama"-yang terkadang dihadapkan pada posisi antara satu dengan lainnya-apakah mempunyai makna yang satu atau berbeda antara satu dengan lainnya? Guna menjawab pertanyaan tersebut kita akan membahas sebagian dari rangkapan-rangkapan ini.

p: 249


1- lan Barbour, 'Ilm wa Din, terjemahan Parsi oleh Bahauddin Khurramsyahi, hlm. 77.
2- lan Barbour, 'Ilm wa Dīn, hlm. 83–84.

Akal dan Wahyu

Kata akal-dalam filsafat dan ilmu-ilmu lainnya diterapkan dalam makna-makna yang bermacam-macam dan yang paling umum darinya bermakna suatu daya khusus manusia yang membedakan antara baik dan buruk serta dapat mengenali mana jalan dan mana lubang. Mulla Sadra (979–1050 H) menyebutkan enam makna dari akal dan penerapan akal dalam makna-makna tersebut ia sebut dengan suatu bentuk kesamaan lafaz (kata).(1) Jika kita ingin menambahkan pula bentuk-bentuk penerapan akal dalam kamus Barat,(2) maka satuan makna-makna terminologisnya pun akan lebih banyak daripada ini.

DISKUSIKAN DAN PIKIRKAN Sekarang ini, khususnya dalam kajian-kajian sosiologi, tafsiran atau peristilahan seperti "rasionalitas instrumental" makin banyak ditemui dan hal itu menjelaskan bahwa guna mencapai tujuan-tujuan kita, kita harus memilih alat atau instrumen terbaik.(3) Makna rasionalitas ini-yang merupakan peninggalan gagasan-gagasan Max Weber (1864—1920 M)— telah dihadapkan pula dengan pelbagai kritikan dari para sosiolog lainnya. (4) Bagaimanapun, cara pandang ini mempunyai aspek pragmatis;(5) sementara dalam kajian tentang hubungan akal dan wahyu, dengan cara pandang epistemologis, kita akan mengkaji ukuran kemampuan dan ketidakmampuan akal dalam ranah agama.

p: 250


1- Shadr al-Muta'allihin Syirazi (Mulla Sadra), Syarh Ushūl al-Kāfi, jil. 1, hlm. 222-227. Begitu pula, silakan lihat Muhammad Ghazali, Ihyā 'Ulum al-Dīn, jil. 1, hlm. 101–102.
2- Silakan lihat Paul Foulquié, Falsafah Umum ya Mā ba dat Thabiat [Treatise on Metaphysic), terjemahan Parsi oleh Yahya Mahdawi, hlm. 79–82.
3- Silakan lihat Hasan Rahim Pur Azagadi, 'Aqlaniyāt (Bahts dar Mabāni Jāmiah Syināsi Tause-eh), hlm. 63; Max Weber et. al., Aglaniyāt wa Azādi (Rationality and Freedom), terjemahan Parsi oleh Yadullah Muwaqqan dan Ahmad Tadayyun, hlm. 146; Husainali Nozari, Bāzkhāni Habermas, hlm. 181.
4- Lihat Jurgen Habermas, The Theory of Communicative Action, vol. 1, hlm. 366-399.
5- Silakan lihat, Max Weber, Din, Qudrat, Jāmiah [Religion, Power and Society), terjemahan Parsi oleh Ahmad Tadayyun, hlm. 332.

Seseorang guna mendapatkan pengetahuan, di hadapannya tersedia pelbagai macam jalan yang sebagian di antaranya bersifat umum dan seluruh individu manusia sedikit banyaknya bersentuhan dengannya, tetapi agama-agama wahyu berbicara pula tentang sebuah jalan khusus (wahyu) dalam kendali segolongan kecil manusia, dan yang lainnya tidak mempunyai kemampuan untuk menggunakannya secara langsung. Dalam pembahasan neoteologi, terkadang yang dimaksud dengan akal ialah suatu pengetahuan-pengetahuan yang dihasilkan melalui semua jalan-jalan yang bersifat umum dalam memperoleh pengetahuan;(1) dan yang dimaksud dengan wahyu ialah, bagian dari suatu pengetahuan-pengetahuan yang didapatkan segolongan khusus dari manusia melalui suatu jalan atau cara khusus.

Tentunya, kata akal terkadang mengisyaratkan suatu "daya" yang merupakan sumber persepsi-persepsi dan pengetahuan- pengetahuan manusia dan terkadang pula (khususnya dalam bahasa Arab) yang dimaksud adalah makna mashdar-nya, yakni berpikir dan perenungan serta dalam penggunaan ketiga, akal sebagai mashdar yang bermakna ism maf ul, yakni dengan kata ini kita mengisyaratkan suatu pengetahuan-pengetahuan yang dihasilkan melalui kesadaran dan perenungan (berpikir). (2)

Akal dan Agama

"Akal dan wahyu" beserta padanan-padanannya (seperti reason and religion) adalah sebuah tema yang di dalamya dapat mencakup pelbagai pembahasan yang berhubungan dengan akal dan wahyu. Ungkapan atau penyebutan ini digunakan pula dalam beberapa tulisan pada

p: 251


1- Penggunaan akal dalam cakupan yang luas ini meskipun tampak tidak lazim, tetapi dalam tulisan-tulisan pemikir-pemikir Timur dan Barat, bukanlah tanpa latar belakang sejarah; sebagai contoh, Ibn Thufail (w. 581 H) dalam cerita analogis Hayy bin Yaqzan setelah menjelaskan bahwa Hayy, pada awalnya dengan menggunakan perenungan dan argumentasi kemudian melalui kasyf dan syuhūd irfani mencapai pengetahuan-pengetahuan tinggi tentang mabda' (awal) dan ma'ād (akhir) menceritakan keselarasan dan kesesuaian makrifat-makrifat yang dipelajari sendiri ini dengan ajaran-ajaran para nabi sebagai berikut: "Ma qul dan manqul sesuai dalam pandangannya." Ibn Thufail, Zendeh Bidār, terjemahan Parsi oleh Badiuzzaman Furuzanfar, hlm. 93. Poin ini harus diingat pula bahwa kebanyakan kata atau istilah-istilah yang digunakan secara berlawanan antara satu dengan lainnya dan terkadang dalam penggunaan lain, batasan cakupan salah satu di antara mereka mencakup pula yang lainnya.
2- Silakan lihat Shadr al-Muta'allihin Syirazi (Mulla Sadra), al-Hikmat al-Muta'āliyah fi al-Asfar al- Aqliyyāt al-Arba àh, jil. 3, hlm. 419; Ibn Taimiyyah, Dar'u Ta'ārudh al-Aqli wa al-Nagli, jil. 1, hlm. 89.

umumnya pemikir Timur dan Barat serta terdapat pula suatu kelompok yang menyatakan ketidakpuasannya dengan penggunaan terma seperti ini; dengan argumentasi ini bahwa ketika kita menempatkan agama berhadapan dengan akal, seolah-olah sejak awal, kita menyebut keduanya berbeda atau saling berlawanan antara satu dengan lainnya.

Akal tidak berlawanan dan bukan merupakan bagian (qasim) yang dibedakan dengan agama sehingga dikatakan bahwa "ide atau gagasan ini rasional atau religius dan begitu pula rasional atau syar`i?"; melainkan akal berhadapan dengan naqli (referensial) dan merupakan bagian (qasim) yang dibedakan darinya karena keduanya merupakan bagian-bagian (aqsām) dari sumber inferensi agama dan syariat. (1)

Agama dan Filsafat

Sebagaimana yang telah lalu, "hubungan akal dan wahyu" telah tampak dalam bentuk "hubungan filsafat dan agama" semenjak masa- masa awal pemikiran (perenungan) filosofis manusia, kebanyakan penganut agama, menganggap doktrin-doktrin filsafat berlawanan dan bertentangan dengan ajaran-ajaran para nabi. Namun demikian, terdapat juga banyak filsuf yang berupaya membuktikan keselarasan keduanya. Sebagai contoh, Ya`kub bin Ishaq al-Kindi (sekitar 185—250 H)-yang disebut sebagai filsuf pertama dunia Islam-menegaskan poin bahwa apa yang telah dibawa Rasulullah Saw. dari sisi Tuhan, disahkan atau didukung pula dengan kriteria-kriteria rasional: "Demi usiaku, sesungguhnya tuturan benar Muhammad dan apa yang bersumber dari Allah, seluruhnya dapat ditimbang dengan timbangan akal. (2) Ibn Rusyd (520–595 H) juga berkeyakinan bahwa penalaran argumentatif (burhani) tidak akan pernah berujung kepada pertentangan dengan syariat yang bersifat revelasional (wahyu) karena secara mendasar kebenaran dan kebenaran tidak memiliki pertentangan.(3) Menurut Mulla Sadra, hukum-hukum syariat Ilahi yang benar adalah tidak dapat bertentangan dengan pengetahuan-pengetahuan

p: 252


1- Abdullah Jawadi Amuli, Falsafah Huquq Basyar, hlm. 40.
2- “Al-Ibānatu 'an sujūd al-Jurmil Aqsha wa taa atuhullāhi azza wajalla” dalam: Muhammad Abdurrahman Marhaban, al-Kindi - Falsafah - muntakhābat, hlm. 174.
3- Ibn Rusyd, Fashl al-Maqāl wa Taqrīr mā Bayna al-Syarī'ah wa al-Hikmah min al-Ittishāl, hlm. 35.

pasti (yakin) akal manusia. Dengan suatu bahasa yang terkesan mencela, ia menuntut atau menginginkan keruntuhan filsafat yang hukum-hukumnya tidak selaras dengan kitab dan sunah.(1) Walaupun demikian, perseteruan para filsuf dengan para penentangnya tidak pernah berhenti dan pada tahap tertentu dalam sejarah, intensitasnya semakin bertambah.

DISKUSIKAN DAN PIKIRKAN Tempat Kelahiran Nonreligius Filsafat Sepanjang sejarah agama-agama, kebanyakan agamawan menjadikan tempat kelahiran nonreligius filsafat sebagai bukti atau alasan atas kebatilannya; sebagaimana Syekh Bahai (953—1030 H) lebih mengutamakan jalan hati di atas jalan akal, melantunkan syair seperti ini:

Ilmu bukanlah selain ilmu pecinta, selainnya adalah muslihat iblis yang menjijikkan Ilmu bukanlah selain tafsir dan hadis, selainnya adalah tipuan iblis yang kotor Beberapa dan beberapa dari hikmah (filsafat) orang- orang Yunani, ketahuilah pula hikmah orang-orang beriman Penguasa alam dunia dan agama, jamuan mukmin mengobati wahai kesendirian Jamuan Aristoteles dan jamuan Ibn Sina, kapankah nabi penerang mengobati Pergilah lapangkan dadamu, sucikan hati dari kotoran atau noda-noda itu.(2) Menurut Anda, apakah tempat kelahiran suatu pemikiran dapat dijadikan sebagai kriteria guna melakukan penilaian tentangnya?

p: 253


1- Shadr al-Muta'allihin Syirazi (Mulla Sadra), al-Hikmat al-Muta'āliyah fi Asfar al-Aqliyyāt al-Arba ah jil. 8, hlm. 303.
2- Syekh Bahai, Kulliyāt Atsār Farsi wa Mosh wa Ghurbe Matsnawi Nān wa Halwa, hlm. 18-19.

Di dunia Barat pun analisis dan kajian tentang pertentangan kontradiksi atau kesesuaian filsafat Aristotelian dengan iman Kristen telah membangkitkan banyak perseteruan. Pada abad-abad pertengahan, pemikir-pemikir semisal Thomas Aquinas (1225–1274 M) berusaha mewujudkan rekonsiliasi antara agama dan filsafat, tetapi upaya ini disebut oleh segolongan kaum agamawan sebagai heresy (bid'ah) dan kesesatan. (1) Bagaimanapun, jika yang dimaksud dengan filsafat ialah pengetahuan-pengetahuan rasional secara mutlak (berhadapan dengan pengetahuan-pengetahuan wahyu), maka hubungan agama dengan filsafat, tepat bermakna hubungan antara akal dan wahyu serta merupakan judul lain dari pembahasan ini. Dari sebagian dalil dalil para penentang filsafat tersimpulkan bahwa menurut keyakinan mereka, lingkaran lingkaran pengetahuan wahyu harus senantiasa terjaga, bukan hanya dari filsafat-filsafat umum, melainkan dari segala jenis polusi (kotoran) pemikiran manusia. Sebagaimana sebab penentangan sebagian pemimpin-pemimpin gereja dengan filsafat dijelaskan seperti ini:

Mereka berkeyakinan bahwa pengembaraan rasionalitas, meskipun dalam beberapa hari menghasilkan kekuatan dan keagungan bagi gereja, tetapi sesudah itu mungkin saja akan lari menjauh dari garis pengawasan dan membuat orang-orang sedemikian sesat dari jalan iman, di mana Kristen tertinggal dalam suatu alam yang penuh dengan dosa dan kufur, lemah dan tanpa pelindung.(2)

Ilmu dan Agama

Hubungan antara ilmu dan agama serta penentuan ruang lingkup masing-masing dari keduanya merupakan salah satu pembahasan utama filsafat agama dan teologi (ilmu kalam) pada masa modern.

Dewasa ini, dengan kemajuan ilmu-ilmu empiris, ufuk-ufuk baru bagi manusia akan terbuka dan memperoleh pengetahuan-pengetahuan

p: 254


1- Collin Brown, Falsafah wa Imān Masihi [Philosophy and Christian Faith), terjemahan Parsi oleh Thathavous Mikailiyan, hlm. 25.
2- Will Durant, Tārīkh Tamaddun (History of Civilization), jil. 4, terjemahan Parsi oleh Abu al Qasim Thahiri, hlm. 1292.

baru tentang alam semesta yang terkadang-secara lahir-tidak begitu selaras dengan doktrin-doktrin keagamaan. Poin yang patut diperhatikan ialah bahwa jika yang dimaksud dengan "ilmu" hanyalah ilmu empiris (science), maka pembahasan tentang "ilmu dan agama" berada di bawah sekumpulan pembahasan tentang "akal dan wahyu" karena-sebagaimana yang telah lalu-yang dimaksud dengan akal di sini ialah seluruh pengetahuan-pengetahuan umum (biasa) manusia yang mencakup pula pengetahuan-pengetahuan yang didapatkan melalui jalan eksperimen, tetapi jika yang dimaksud dengan ilmu (dengan melihat perlawanannya dengan agama) ialah pengetahuan- pengetahuan secara mutlak yang dihasilkan melalui jalan-jalan umum dalam memperoleh pengetahuan,(1) sebutan "ilmu dan agama" adalah padanan yang tepat bagi "akal dan wahyu".

Pelbagai Macam Cara Pandang terhadap Masalah "Akal dan Wahyu"

Mungkin tak ada seorang pun manusia dapat ditemukan yang secara totalitas menyebut akal tidak berdaya dalam memahami dan menilai pengetahuan-pengetahuan wahyu serta menyangka bahwa syarat memasuki kampung iman adalah dengan menanggalkan akal.

Sedikit perenungan dalam perkataan-perkataan musuh-musuh sengit dan radikal rasionalisme akan memperjelas bahwa tujuan atau sasaran serangan mereka adalah kepercayaan ekstrem atau berlebihan terhadap akal atau penerapan jenis tertentu darinya dalam agama.(2) Sebagai contoh, Santo Paulus (sekitar 3—62 M)-dikenal sebagai tokoh fideisme Kristen terlama dan merupakan penentang rasionalisme yang paling gigih-hanya menjadikan akal yang berdebu dan kotor dengan pelbagai hawa nafsu sebagai sasaran serangannya.(3) Dalam dunia Islam pun, golongan-golongan seperti kaum Akhbariyyun-yang meninggalkan banyak perkataan-perkataan dalam menggugat penerapan akal dalam urusan-urusan religius-

p: 255


1- Lihat: W.Owen Chadwick, "Religion and Science ..., dalam Dictionary of History of Ideas, hlm. 106.
2- Silakan lihat Aql wa wahy az Didghāh Masihiyate Artādaks – Dar Guftegu ba Pedar Mitalinus" dalam: Naqd wa Nazhar, no. 2, hlm. 195–200.
3- Michael Peterson, et.al, Reason and Religious Belief, hlm. 33.

menekankan kehujahan "akal fitrawi"; meskipun mereka menyebut hanya sedikit manusia yang memiliki atau bersentuhan dengannya. (1) Dari sisi lain, sebagian kaum rasionalis menimbang kebenaran setiap ajaran hanya dengan kriteria-kriteria rasional (akal), dan segolongan di antara mereka melangkah lebih jauh lagi hingga menganggap doktrin- doktrin religius anti terhadap akal (dan hasilnya, mereka tidak dapat diterima). Perbedaan-perbedaan ini, melahirkan pandangan-pandangan yang sangat beragam, di mana yang terpenting di antaranya akan kita bahas sekarang ini.

Rasionalisme

Rasionalisme adalah suatu titel dengan skop luas yang dapat mencakup sangat banyak di antara golongan-golongan kaum Mukmin dan kaum ateis. Sebagian pemikir Barat, membagi rasionalisme ke dalam dua cabang "radikal" dan "kritis"; kendati demikian, dapat disebutkan pula jenis lain dari rasionalisme yang kita namakan dengan rasionalisme moderat (moderate rationalism) a. Rasionalisme Radika/(2) Yang dimaksud dengan rasionalisme radikal adalah bahwa "kebenaran suatu kepercayaan kita jelaskan sedemikian rupa sedemikian seluruh orang-orang berakal menjadi puas (merasa yakin). "(3) Kriteria ini meskipun dapat disebut sebagai sesuatu hal yang disahkan oleh kebanyakan aliran-aliran Rasionalisme Timur dan Barat, tetapi lebih banyak terkait dengan Evidensialisme(4)–yang merupakan ciri khas zaman pencerahan.

Biasanya sejarah Eropa dibagi ke dalam ragam periode seperti zaman kuno, abad-abad pertengahan, dan era modern. Pada era modern

p: 256


1- “Tak ada keraguan bahwa akal sehat fitrawi merupakan hujah dari hujah-hujah Tuhan.... akal ini tidak menentang syariat, bahkan ia sediri merupakan syariat internal.... akal seperti ini adalah salah satu di antara hujah-hujah penguasa yang maha tahu (Tuhan), meskipun keberadaannya di tengah-tengah masyarakat sangat sedikit. Yusuf Ibn Ahmad Bahrani, al-Hadā'iq al-Nādhirah, jil. 1, hlm. 131-133.
2- Strong rationalism
3- Michael Peterson et al., Reason and Religious Belief, hlm. 72.
4- Evidentalism

zaman-zaman renaisans (masa pencerahan), reformasi dan pencerahan dapat pula dibedakan antara satu dengan lainnya. Meskipun suatu pemilahan atau pembagian waktu dari beberapa periode zaman ini secara akurat tidak dapat ditunjukkan, tetapi secara umum abad ketujuh belas disebut sebagai abad pencerahan. Ciri khas yang sangat tampak di zaman ini adalah upaya untuk melepaskan diri dari ikatan serta jeratan khurafat (takhayul), dan menurut anggapan sebagian pemikir abad pencerahan salah satu di antara khurafat-khurafat yang paling merugikan di mana seseorang akan tercegah untuk maju dan menyempurna ialah agama dan religiusitas;(1) sebagaimana Denis Diderot (1713–1784 M)-salah seorang pencetus abad pencerahan- membahasakan pesan alam kepada manusia zaman modern seperti ini: Wahai budak khurafat! Janganlah sia-sia mencari kebahagiaan dirimu di balik batas-batas alam ini, di mana engkau aku tempatkan di dalamnya, beranilah dan bebaskanlah dirimu dari belenggu agama dan rival pembangkang yang tidak mengenal hak-hak diriku ini. Buanglah jauh-jauh tuhan-tuhan yang merampas kekuasaanku dan kembalilah kepada aturan-aturanku, serahkanlah kembali dirimu kepada alam, kemanusiaan, dan kedirianmu. Dalam keadaan seperti ini engkau akan menemukan bahwa jalan hidupmu telah ditaburi bunga.(2) Ciri khas abad pencerahan dan kerangka dasar pemikirannya dapat dinamai dengan "evidensialisme", (3) maksud dari evidensialisme ialah bahwa manusia berakal tidak boleh percaya kepada sesuatu tanpa mendapatkan bukti-bukti dan dalil-dalil yang cukup. Slogan utama kaum evidensialis bisa disimpulkan dari ungkapan terkenal Clifford (1845–1879 M) seorang matematikawan Inggris, "Selalu, di semua tempat dan bagi semua orang, percaya kepada setiap sesuatu atas dasar dalil-dalil yang tidak cukup adalah perbuatan tidak benar."(4)

p: 257


1- Poin yang patut diperhatikan ialah bahwa kebanyakan pemikir-pemikir zaman pencerahan (aufklarung) berseteru dengan gereja dan para pendeta-pendeta penipu rakyat, bukan dengan agama dan iman, tetapi generasi selanjutnya tidak begitu memperhatikan perbedaan ini, menyebut perlawanan dengan agama wahyu sebagai tugas manusia berakal dan tercerahkan.
2- Ernst Cassirer, Falsafah Roushangary [Philosophy of The Enlightenment), terjemahan Parsi oleh Yadullah Muwaqqan, hlm. 211.
3- Kelly James Clark, Return to Reason, hlm. 3.
4- "It is wrong always, every where and for any one,to believe anything upon insufficient evidence."W.K. Clifford, “The Ethics of Belief, dalam Rowe and Wainwright (Eds) Philosophy of Religion, hlm. 405.

Clifford dan kawan-kawannya yang sepemikiran dengan menegaskan bahwa kriteria rasionalitas setiap suatu proposisi ialah adanya dalil-dalil yang mendukung atau mengesahkannya-dengan isyarah atau secara gamblang-kepercayaan-kepercayaan religius mereka jadikan sebagai sasaran serangan dan menyebut keyakinan- keyakinan seperti kepercayaan terhadap eksistensi Tuhan (dengan alasan tidak memiliki dalil-dalil yang didukung akal) sebagai tidak rasional.

PIKIRKAN DAN DISKUSIKAN Russell mengklaim atas dalil-dalil yang tidak cukup guna membuktikan wujud Tuhan. Disebutkan bahwa suatu hari Bertrand Russell (1872–1970 M) ditanya:

• Jika setelah mati, engkau dihadirkan kehadapan Tuhan dan ditanya: "Dengan dalil apa engkau tidak memercayai wujud Tuhan dan validitas ajaran-ajaran wahyu?" Apa jawaban yang engkau miliki? Ia dengan tenang menjawab:

Dalam menjawabnya, saya akan mengatakan :

"Tuhan! Dalil yang tidak cukup, dalil yang tidak cukup!"(1) Clifford memublikasikan pandangannya dalam sebuah makalah dengan judul "Prinsip-Prinsip Moral Kepercayaan". Makalah ini dimulai dengan penjelasan suatu proposisi sederhana tentang suatu kapal: "kelapukan dan berkaratnya kapal penumpang-yang sudah siap memulai pelayaran-mengusik pikiran pemiliknya dan pikiran ini sangat menyedihkan dan menyiksanya bahwa mungkin saja badan kapal tak mampu menahan terjangan keras ombak-ombak laut dan hasilnya, ia mengirim penumpang yang tak terhitung pada hasrat kematian. Tanggung jawab moral dan rasionalnya mengharuskan supaya kapal tersebut diuji dan diperiksa kembali, dan bila perlu,

p: 258


1- Keith M.Parsons, God and the Burden of Proof, hlm. 19.

memperbaiki dan membangunnya kembali, tetapi pekerjaan ini membutuhkan biaya yang banyak.

Pada akhirnya, ia mengatasi pikiran-pikiran mengerikan ini dan menenangkan hatinya dengan justifikasi bahwa kapal ini hingga sekarang telah melewati kebanyakan pelayaran-pelayaran dengan sukses dan Tuhan adalah lebih penyayang ketimbang dengan menenggelamkan kapal, menjadikan keluarga-keluarga kebanyakan orang berduka. Meskipun demikian, setelah beberapa lama, berita tenggelamnya kapal di tengah samudra sampai ke telinga pemilik kapal dan tanpa kebimbangan sedikit pun pada dirinya, dengan memperoleh biaya asuransi, melanjutkan kehidupannya seperti biasa. "(1) Setelah menjelaskan kisah ini, Clifford mengingatkan poin ini bahwa tanpa ragu kita semua, dengan hukum akal sehat, menyebut pemilik kapal sebagai orang yang bertanggungjawab atas kematian para penumpang, meskipun hukum tidak menyatakannya bersalah.

Menurut Clifford, masalah asasi dalam setiap akidah dan kepercayaan, bukan kepercayaan itu sendiri, melainkan bagaimana memperolehnya; dan pemilik kapal memperoleh keyakinan atas kekokohan kapal dengan tidak mengindahkan bukti-bukti yang berlawanan dan meredakan timbulnya pelbagai keraguan-keraguan, bukan dengan mengkaji dalil- dalil secara teliti.

Menurut keyakinan Clifford, bahkan sekiranya perjalanan kapal ini berakhir dengan selamat, kelalaian dan kekeliruan (ketidakbenaran) yang dilakukan pemiliknya tidak akan berkurang seujung jarum pun, karena masalah benar dan tidak benar berkaitan dengan sumber kepercayaan, bukan pada objeknya; bergantung pada bagaimana kepercayaan dihasilkan, bukan kepada jenisnya. "(2)

p: 259


1- W.K. Clifford, “The Ethics of Belief”, hlm. 400.
2- W.K. Clifford, “The Ethics of Belief”, hlm. 401.

PIKIRKAN DAN DISKUSIKAN Kritik atas Rasionalisme Radikal dengan Berlindung pada Relativitas Sebagian di antara para penulis, menyebut salah satu dari kekurangan-kekurangan rasionalisme radikal seperti ini:

"Rasionalisme radikal menganggap akal manusia sebagai suatu daya kekuatan yang netral dalam berhadapan dengan pandangan-pandangan dunia yang saling bertentangan; dan olehnya itu, dengan bantuannya, tanpa penilaian sebelumnya serta bebas dari ideologi atau pandangan dunia yang diakui oleh orang-orang-dapat membuktikan sesuatu hal bagi semuanya. Akan tetapi ...

kebanyakan filsuf kontemporer ... sampai pada kesimpulan bahwa tak satu pun sikap yang tulus dan bebas dari sebuah asumsi yang dapat menjadi dasar pengetahuan kita. "(1) Bagaimana Anda menilai kritikan ini? Apakah perkataan ini dapat dimaknai sebagai sebuah bentuk penerimaan atas relativitas? Dalam keadaan apa pun, apa pendapat Anda tantang rasionalisme radikal? b. Rasionalisme Kritis(2) Berdasarkan pandangan yang dikenal dengan rasionalisme kritis "struktur atau sistem kepercayaan-kepercayaan agama dapat dan mesti dievaluasi serta dikritik secara rasional, meskipun pembuktian secara pasti sistem-sistem seperti ini tidak memungkinkan."(3) Orang- orang yang cenderung kepada pandangan ini, menyebut sikap mereka "kritis" dari dua sudut pandang: penegasan atas peran akal dalam menimbang secara kritis kepercayaan-kepercayaan religius (sebagai

p: 260


1- Michael Peterson et. al., Reason and Religious Belief, hlm. 77–78.
2- Critical rationalism.
3- Michael Peterson et. al., Reason and Religious Belief, hlm. 86.

ganti pembuktian mereka secara pasti), dan kritik atas pemahaman optimistis dari kemampuan-kemampuan akal.(1) Kelompok ini menyebut "pembuktian bagi semua (umum)"-yang diinginkan rasionalisme radikal-tidak dapat dicapai dan dengan memberi penegasan atas "pembuktian yang bergantung pada person", (2) mereka tunduk kepada suatu jenis relativitas.

Pada hakikatnya, kritik terhadap rasionalisme ekstrem tidak mesti disertai dengan penerimaan apa yang disebut "rasionalisme kritis." Sumber-sumber original Islam tanpa menyebut relativisme sebagai sesuatu yang dibolehkan, menekankan keterbatasan-keterbatasan akal dan kekeliruan-kekeliruan pemikiran serta memperingatkan orang- orang berakal dari sikap ekstrem dan berlebihan dalam kemampuan- kemampuan akal. Pandangan ini dapat dinamakan sebagai rasionalisme moderat.

C. Rasionalisme Moderat Al-Qur'an mengajak manusia untuk berpikir dan berenung serta menamakan mereka yang tidak menggunakan akalnya, lebih sesat dari pada binatang (QS Al-A'rāf [7]: 179). Dalam kitab hidayah ini, mengikuti orang-orang terdahulu secara buta sangatlah dicela (QS Al- Baqarah [2]: 170) dan perkataan-perkataan yang mengajarkan hikmah disebutnya sebagai sebuah pelajaran atau ibrah yang berguna bagi "orang-orang berakal" (QS Shād [38]: 29).

Alih-alih mengajak manusia kepada penghambaan murni serta penerimaan keyakinan-keyakinan agama tanpa dalil, al-Qur'an sendiri justru mengemukakan dalil rasional dan meminta pula argumentasi dari penentang-penentangnya (QS Al-Baqarah [2]: 111). Pada akhirnya, menurut kitab Ilahi ini, dosa manusia yang paling dasar-yang mengondisikan sebab-sebab menjadi penduduk neraka-ialah tidak mematuhi tuntunan-tuntunan akal; sebagaimana ketika membahasakan ulang ungkapan penduduk neraka seperti ini: “Jika saja kami punya telinga yang mendengar atau menggunakan akal kami, kami adalah bukan dari penduduk neraka," (QS Al-Mulk [67]: 10).

p: 261


1- Michael Peterson et al., Reason and Religious Belief, hlm. 86–87.
2- Michael Peterson et al., Reason and Religious Belief, hlm. 88.

Ahlulbait Nabi Islam juga mendudukkan akal pada suatu maqam (kedudukan) yang tinggi dan dalam memuji keseimbangan darinya, seakan-akan mereka telah mendahului para pemuja rasionalitas. Dalam kaitan ini, riwayat Hisyam bin Hakam dari Imam Musa bin Ja'far mempunyai kecemerlangan tersendiri. Imam dalam hadis mulia ini, sambil menyebutkan sebagian di antara ciri-ciri akal serta orang-orang berakal, mengatakan: "Tuhan menetapkan dua hujjah bagi masyarakat:

satu hujjah lahir (eksternal) dan satu hujjah batin (internal). Hujjah lahir adalah para nabi serta para imam dan hujjah batin adalah akal manusia. "(1) UNTUK LEBIH DIKETAHUI:

Akal dalam Pandangan Riwayat-Riwayat Islam Tuturan-tuturan pendek yang diambil dari riwayat- riwayat Islam di bawah ini sangat patut untuk direnungkan dan diperhatikan:

Dasar agama berdiri kokoh di atas akal dan Tuhan hanya dapat dikenali dengan instrumen ini.(2) Seseorang menjadi teguh (tidak goyah) dengan akal dan tanpanya, ia tidak bisa menemukan agama yang benar. (3) Mengikuti akal, merupakan sebab dalam menemukan jalan dan ketidakpatuhan darinya, menyebabkan penyesalan.(4) Derajat-derajat penduduk surga akan ditimbang dengan timbangan akal dan setiap orang akan menemukan kedekatan kepada Tuhan seukuran penggunaan akalnya.(5)

p: 262


1- Muhammad Bin Ya'qub Kulaini, al-Kāfi, jil. 1, hlm. 60. Kitāb al-Aql wa al-Jahl, Hadis 12.
2- Muhammad Baqir Majlisi, Bihar al-Anwār, jil. 1, hlm. 94, Hadis 28.
3- Muhammad Baqir Majlisi, Bihār al-Anwār, jil. 1, hlm. 94, Hadis 29.
4- Muhammad Baqir Majlisi, Bihār al-Anwār, jil. 1, hlm. 96, Hadis 41.
5- Muhammad bin Ya'qub Kulaini, al-Kāfi, jil. 1, hlm.54–55, Hadis 7 dan 8.

Tidurnya orang-orang berakal lebih utama (baik) dari pada terjaganya (bangunnya) orang-orang yang sedikit akal dan makannya mereka lebih banyak mendatangkan kedekatan dan kedudukan ketimbang puasa mereka. (1) Ketiadaan akal seperti keterpisahan jiwa seseorang yang tidak menyisakan sesuatu kecuali sebuah bentuk tanpa ruh.(2) Akal adalah rasul dan nabi Ilahi(3) dan tak ada kefakiran yang lebih susah dari keterlarangan darinya. (4) Kepercayaan terhadap agama dan kepemilikan rasa malu tidak akan pernah berpisah dari rasionalitas serta meninggalkannya sendirian. (5) Walaupun demikan, para pemuka Islam mengingatkan pula akan ketidakmampuan-ketidakmampuan akal serta menampilkan sebuah rasionalisme yang moderat; sebagaimana Imam Ali tentang batas efisiensi (daya kerja) akal dalam mengenal Tuhan dan sifat-sifat tinggi- Nya mengatakan:

"Akal-akal tersebut tidak diciptakan untuk mengetahui keadaan sifat-sifat-Nya dan dalam mengetahui diri-Nya-hingga pada yang semestinya tidak meletakkan tirai (penutup) atas penglihatan mereka."(6) Berdasarkan hal ini, kita pun seperti halnya para pembela "rasionalisme radikal" berkeyakinan bahwa "selalunya, di pelbagai tempat dan bagi semua orang, memercayai segala sesuatu yang didasari dengan dalil-dalil yang tidak cukup, merupakan perbuatan yang tidak benar." Hal yang memisahkan kita dengan kelompok ini ialah anggapan cukup atau tidak cukupnya dalil-dalil yang diajukan dalam membuktikan keberadaan Tuhan serta doktrin-doktrin religius.

p: 263


1- Muhammad Ridha Hakimi et. al., al-Hayāt, jil. 1, hlm. 45.
2- Muhammad Ridha Hakimi et. al., al-Hayāt, jil. 1, hlm. 46.
3- Muhammad Ridha Hakimi et. al., al-Hayāt, jil.1, hlm. 46.
4- Nahj al-Balāghah, Hikmat 54.
5- Muhammad bin Ya'qub Kulainy, al-Kāfi, jil. 1, hlm. 53.
6- Nahj al-Balāghah, Khotbah 49.

Dengan penjelasan lain, pada bagian ini, perbedaan kita dengan kelompok tersebut, pada premis minor bukan pada premis mayor.

Tentunya sudah jelas bahwa pengkajian satu persatu dalil-dalil ini serta pembuktian tentang kuat atau tidak kuatnya mereka, lebih luas dari kemampuan dan tujuan tulisan ini. Namun demikian, poin yang patut diperhatikan di sini ialah bahwa sebagian di antara kaum anti- agama, dalam suatu fallasi, menonjolkannya seperti ini bahwa setiap orang yang mengingkari klaim-klaim religius dengan "akal" merupakan pencari kebenaran serta rasionalis dan barang siapa yang melakukan pembuktian terhadap klaim-klaim ini dengan klaim telah menggunakan akal adalah dogmatis dan anti-rasionalitas! Apakah pernyataan seperti ini bukan "argumen berputar (daur atau circular reasoning)" serta bertumpu pada asumsi yang belum terbuktikan ini bahwa akal dan wahyu saling memusuhi antara satu dengan lainnya? Jika para pembela rasionalisme radikal menyebut dalil-dalil orang-orang yang percaya Tuhan tidak rasional karena dalil-dalil tersebut hingga saat ini belum mampu memuaskan seluruh orang-orang berakal yang ada di alam ini, memangnya dalil-dalil kaum ateis dalam hal ini lebih baik? Sebenarnya, apakah tuntutan-tuntutan rasionalitas bermakna bahwa kita harus senantiasa menerima arahan atau petunjuk-petunjuk akal, kecuali pada tempat di mana kita diarahkan untuk merujuk kepada sumber pengetahuan lainnya (wahyu)!

Fideisme

Dalam budaya Islam, ilmu dan iman dianggap memiliki hubungan yang sangat erat antara satu dengan lainnya; sedemikian erat di mana sebagian orang membuat perpaduan di antara keduanya serta menyebut iman bukanlah sesuatu selain dari pada pengetahuan dan makrifat; dan segolongan lainnya, meskipun tidak menerima kesatuan mereka, menekankan poin bahwa "iman" tidak dapat dicapai tanpa "pengetahuan" dan "kebergantungannya" pada "pengetahuan."(1) Dalam riwayat-riwayat Islam pun, ilmu disebut sebagai penolong dan teman

p: 264


1- Silakan lihat Saiduddin Taftazani, Syarh al-Aqa'idīn Nasafiyah, hlm. 82; Muhammad bin Abdul Karim Syahristani, Nihāyat al-Aqdam fi 'Ilm al-Kalām, hlm. 472; Mulla Muhsin Faidh Kasyani, 'Ilm al-Yaqin fi Ushūliddin, jil. 1, hlm. 6; Ruhullah Musawi Khomeni, Syarh Hadits Junūd Aql wa Jahl, hlm. 89; Abdullah Jawadi Amuli, Tabyin Barāhin Itsbāt Khudā, hlm. 117–120.

terbaik bagi iman, (1) dan iman tanpa rasionalitas serta pemikiran adalah sesuatu yang tidak mungkin. (2) Walaupun demikian, dalam budaya Kristen terkadang iman disebut sebagai "ganti daripada akal" dan menegaskan keterpisahan objek keduanya:

Sesuatu yang satu adalah mutahil bahwa ... bagi orang tertentu ... juga merupakan subjek bagi ilmu dan juga merupakan subjek bagi iman. Walaupun demikian, mungkin saja ... sesuatu bagi satu orang adalah subjek bashirah atau ilmu, bagi orang lain adalah bahan iman karena kita berharap, apa yang sekarang ini kita imani tentang trinitas, suatu hari kita saksikan dengan mata. (3) Berdasarkan inilah, Tertullian (160-220 M) mewariskan perkataan ini-yang menurut sebagian penulis, kalimat yang lebih kontradiktif dari pada itu tidak bisa disebutkan(4)—sebagai cendera mata bagi kaum fideis setelah dia [menyebutkan]: "Saya percaya karena tidak rasional." Menurut Augustine (354–430 M), pemahaman adalah buah dan pahala iman, bukan pilar dan kerangka dasarnya: "Janganlah engkau berusaha untuk memahami sehingga engkau beriman, melainkan berimanlah sehingga engkau memahami!"(5) Martin Luther (1483–1546 M) juga mengatakan: "Jika aku dapat memahami dengan bantuan logika tentang bagaimana Tuhan yang pemurah dan penolong dapat murka dan bersikap tidak adil, maka kebutuhan atas iman tidak tersisa lagi."(6) Pada akhirnya, penyair Jacopone merefleksikan perasaan-perasaan sama kaum fideis dalam sepotong syair seperti ini:

Plato dan Socrates saling mendebat dengan seluruh dayanya diskusi mereka tidak memiliki akhir namun apa urusanku dengan perkataan-perkataan ini hanyalah kalbu suci nan sederhana

p: 265


1- Silakan lihat Jamaluddin Muhammad Khunsary, Syarh Ghurar wa Durar, jil. 6, hlm. 159.
2- Jamaluddin Muhammad Khunsary, Syarh Ghurar wa Durar, jil.6, hlm. 70.
3- Anne Fremantle, Ashr l'tiqād [The Age of Belief], terjemahan Parsi oleh Ahmad Karimi, hlm. 182.
4- Geddes MacGregor, Dictionary of Religion and Philosophy, hlm. 241.
5- Etienne Gilson, Aql wa Wahy dar Qurūn Wusthā [Reason and Revelation in the Middle Ages), terjemahan Parsi oleh Shahram Pazaki, hlm. 10.
6- Will Durant, Tarikh Tamaddun (History of Civilization), jil. 6, terjemahan Parsi oleh Feraidun Badrei et. al., hlm. 447.

mendapati jalannya, langsung menuju malakut dan memuja Tuhan sang maha raja sementara filsafat para manusia tertinggal di tempat yang sangat jauh.(1) Berdasarkan apa yang telah lalu, maksud dari fideisme adalah suatu pandangan yang mengingatkan kaum religius untuk mewaspadai penilaian rasional atas kepercayaan-kepercayaan agama. Berdasarkan pandangan ini, iman adalah "kebergantungan final" kaum beriman dan penilaian rasional tidak berperan dalam kemapanan atau kejatuhannya.(2) Apabila seseorang berupaya mengkaji imannya secara rasional, pada hakikatnya ia telah mengabarkan ketiadaan iman serta kekufuran batinnya.(3) Pendek kata, iman bermakna penerimaan sesuatu di mana akal tidak memiliki jalan untuk membuktikannya atau bahkan menemukannya tidak beralasan. (4) Telaah dan Kritik Pengajuan suatu definisi baru tentang iman, dengan sendirinya, tidak masalah, tetapi jika perbuatan ini terjadi dengan maksud lari dari mengemukakan dalil-dalil rasional, maka tak ada nama yang tepat baginya kecuali "penghapusan bentuk masalah"; sebagaimana salah seorang penulis Barat mengatakan: Sekadar menggunakan kata iman dalam makna baru ini, tidak membuktikan bahwa iman merupakan jalan untuk mencapai hakikat. Penamaan ini seperti ketika kata "menang" kita gunakan sebagai padanan "permainan", sebagai ganti kita menyebut salah satu di antara hasil perkiraan dalam permainan.

Perbuatan ini adalah sesuatu yang menarik, tetapi sama sekali tidak

p: 266


1- Etienne Gilson, Aql wa Wahy dar Qurūn Wusthā, hlm. 7.
2- Michael peterson, et. al., Reason and Religious Belief, hlm. 37–38.
3- John E. Smith, "Philosophy and Religion", dalam Mircea Eliade (ed.), The Encyclopedia of Religion, vol. 11, hlm. 299.
4- Sebagian penulis, membagi kaum fideis ke dalam tiga bagian: 1. Orang-orang yang menyebut akal tidak mampu hanya dalam membuktikan doktrin-doktrin khusus seperti trinitas dan inkarnasi; 2. Golongan yang menyebut doktrin-doktrin religius lebih tinggi dari jangkauan akal dan menyebut gabungan iman rasional" bersifat kontradiktif dan paradoksikal; 3. Orang- orang yang menyebut penyingkiran syarat keberimanan sebagai prinsip rasionalitas yang paling gamblang, juga tidak menghindari anggapan "anti akal" terhadap keyakinan-keyakinan religius. Silakan lihat Kelly James Clark, Return to Reason, hlm. 154-155.

bisa disebut sebagai suatu cara yang memuaskan guna membuktikan "kemenangan." Setiap kali kita mengganti makna kata "menang" kemenangan hanya akan sekedar menjadi sesuatu yang bersifat khayalan. (1) Bagaimanapun, seperti inilah yang terpahami bahwa tidak ada pertentangan antara adanya keyakinan kalbu yang kuat dan pengajuan dalil rasional. Dengan ungkapan yang lebih komunikatif, meskipun jalan akal dan hati saling terpisah antara satu dengan lainnya, "bergantung" pada sesuatu yang dijustifikasi dengan dalil rasional bukanlah asumsi yang tidak rasional. Telah diketahui bahwa sebagian dari kalangan pemikir-pemikir Kristen pun, menyadari peranan ilmu dan pengetahuan bagi kemunculan iman dan meyakini bahwa iman tegak atau dibangun melalui tiga unsur "pengetahuan, persetujuan, dan kepercayaan". (2) PIKIRKAN DAN DISKUSIKAN Rasionalitas Tanpa Didasarkan atas Premis-Premis Rasional Menurut sebagian kalangan fideis, (3) "rasionalitas" tidak boleh dianggap satu dengan "keberdasaran atas premis-premis rasional"; iman kepada Tuhan dan doktrin- doktrin religius lainnya adalah rasional dan diterima oleh akal, meskipun tidak didasarkan atas asumsi-asumsi rasional(4) karena kepercayaan-kepercayaan ini merupakan bagian dari asumsi-asumsi dasar yang tidak dapat dibuktikan dengan mengajukan suatu dalil baginya.

Menurut Anda apakah hanya dengan pernyataan bahwa kaum religius menyebut doktrin-

p: 267


1- Michael Scriven, “The Presumption of Atheism", dalam Louis Pojman (ed.) Philosophy of Religion, hlm. 365.
2- Geddes MacGregor, Dictionary of Religion and Philosophy, hlm. 241.
3- Pandangan ini pada umumnya mereka namakan dengan epistemologi yang telah direformasi (Reformed Epistemology) dan berdasarkan alasan-alasan tertentu, mereka menahan diri untuk menerapkan istilah Fideisme tentangnya. Silakan lihat Kelly James Clark, Return to Reason, hlm. 7.
4- Kelly James Clark, Return to Reason, hlm. 156.

doktrin wahyu sebagai bagian dari "asumsi-asumsi yang paling mendasar", dapat menyiapkan suatu justifikasi rasional bagi pandangan Fideisme?(1) Pendek kata, di antara ketiga proposisi-proposisi rasional, meta- rasional dan anti rasional-yang terkadang secara berurutan disebut pula dengan pro akal, (2) eskapis dari akal dan anti akal; iman dalam satu bagian adalah tidak rasional dan pada dua bagian lainnya rasional. Proposisi-proposisi anti akal yang dihukumi akal secara jelas sebagai hal yang batil (seperti bundarnya segiempat) juga tidak bisa menjadi objek iman. Proposisi-proposisi yang hanya dipersepsi oleh akal sendirian serta mendapatinya selaras dengan realitas, dapat pula naik ketingkatan iman; sebagaimana terkadang kita menerima eksistensi Tuhan dengan argumentasi rasional dan terkadang pula kita ubah menjadi kepercayaan batin yang kuat. Dalam proposisi- proposisi jenis ketiga yang kita sebut dengan meta-rasional atau eskapis dari akal, iman berfungsi melebihi segala sesuatu. Tentu saja jika proposisi-proposisi ini keluar dari orang-orang yang sebelumnya telah membuktikan pernyataan-pernyataannya dengan dalil-dalil yang kokoh, akal pun akan memverifikasi iman seperti ini.

Literalisme

Literalisme(3) Dalam suatu agama seperti Islam di mana referensi asli para penganutnya adalah teks wahyu yang bahkan kata-katanya pun diyakini sebagai wahyu langsung Ilahi-munculnya aliran-aliran yang

p: 268


1- Alvin Platingga (1932 M) filsuf kontemporer berkebangsaan Amerika yang menyebut kepercayaan kepada Tuhan sebagai bagian dari kepercayaan-kepercayaan dasar dan tak memerlukan argumentasi (dan pada saat yang sama tidak gamblang)-menyadari sendiri kritikan atau keberatan ini dan berupaya untuk menjawabnya. Untuk telaah lebih jauh, silakan lihat "Apakah kepercayaan kepada Tuhan benar-benar adalah dasar" dalam: Kalām falsafi, terjemahan Parsi oleh Ibrahim Sultani dan Ahmad Naraqi, hlm. 49-72.
2- Istilah rasionalitas di sini meskipun lebih populer, tetapi mengelirukan dan memberi anggapan bahwa kedua bagian lainnya adalah tidak rasional; sementara hal-hal yang tidak rasional dapat pula diterima oleh akal.
3- Kata "nash" terkadang diposisikan berhadapan dengan "zhahir" dan maksudnya adalah suatu perkataan yang tidak menerima kecuali satu makna. Dalam penggunaan lainnya, nash bermakna sebagai segala sesuatu yang muncul pada lafaz dan dalam keadaan ini, mencakup pula “zhahir”- dalam makna pertama. Di sini yang dimaksud adalah penggunaan umumnya.

jumud atas makna awal dan formal kata-kata yang digunakan dalam teks-teks religius, sudah dapat ditebak dengan mudah. Cara pandang literalis terhadap agama meliputi spektrum luas dari individu-individu serta kelompok-kelompok di mana ciri kesamaan mereka adalah acuh tak acuh dengan rasionalitas dan pemikiran.

Dalam pandangan mereka, tuntunan akal hanya akan bermanfaat ketika tangan kita ditempatkan dalam tangan pemimpin-pemimpin agama; boleh jadi sebagian di antara mereka bahkan tidak menerima kedudukan seperti ini bagi akal serta tidak mengokohkan pilar-pilar fundamental agama di atas argumen-argumen rasional. Bagaimanapun, kebanyakan kaum literalis sendiri dalam mempertahankan atau membela doktrin-doktrin religius memakai dalil-dalil rasional; dan meskipun demikian, mereka berpandangan bahwa jika akal berupaya mencari pemahaman yang lebih dalam dan lebih luas dari lahiriah kata-kata, maka ia tidak akan sampai kepada suatu tempat (tujuan) serta tidak memperoleh sesuatu, kecuali dugaan dan perkiraan semata.

Dalam dunia Islam dan masyarakat Syi'ah, terdapat golongan- golongan seperti "Akhbariyyun" yang jumud atas formalitas teks teks religius dan terkadang menyebut produk-produk akal tidak lain hanyalah sebuah dugaan-dugaan yang tak berdasar: "Maka hasil (kesimpulan-kesimpulan) akal semuanya berupa dugaan-dugaan serta imajinasi dan berujung pada fantasi dan kalkulasi-kalkulasi (perkiraan). "(1) Kelompok ini dengan mengabaikan ayat-ayat dan hadis- hadis yang memuji akal, menyangka kecaman para maksum tentang penerapan qiyas(2) bermakna ketidakvalidan segala bentuk argumentasi rasional! Walaupun demikian, literalisme juga terdapat di tengah-tengah kalangan Ahlisunah. Sebagian di antara mereka, yang dengan alasan kejumudan terhadap riwayat-riwayat-mereka terkenal dengan

p: 269


1- Sayid Nikmatullah Jazairi, al-Anwār al-Nu maniyyah, jil. 3, hlm. 127.
2- Qiyas dalam penggunaan umumnya, bermakna segala bentuk cara ijtihad guna menginferensi (istinbāth) hukum-hukum syar'i, tetapi makna khususnya adalah bahwa sebab wajib atau haram suatu masalah-yang hukumnya dalam syariat, telah ditentukan-kita perkirakan dan kemudian hukum tersebut dengan alasan (dalil) adanya sebab itu pula, kita pindahkan kepada hal-hal lain yang hukumnya belum diketahui. Para fukaha Syi'ah, menyebut jenis qiyas ini bukan hujjah dengan merujuk kepada hadis-hadis semacam ini: "Sunah yang diqiyaskan, maka agama akan tergiring pada kehancuran." Muhammad Baqir Majlisi, Bihār al-Anwār, jil. 101, hlm. 405.

"ahli hadis"(1)—menganggap bahwa ketekunan dan perhatian penuh terhadap teks-teks religius sama dengan pengabaian total terhadap akal dan sikap berlebihan dalam tekstualisme sampai pada tahap di mana setiap yang dinamakan "hadis" dipandangnya dengan penuh hormat serta tidak menunjukkan perhatian berarti atas benar dan tidaknya sanad. Kelompok ini-disebabkan penerimaan hadis-hadis tak berdasar dinamakan pula dengan "Hasywiah"-dengan menerapkan metode tekstual dan formalistis, menegaskan kematerian Tuhan tanpa sedikit pun mereka tutup-tutupi(2) dan secara gamblang mengumumkan bahwa orang-orang muslim yang ikhlas dapat mencapai suatu maqam (kedudukan) dengan melalui jalan ketaatan dan penghambaan, di mana mereka bersalaman dan menciumi wajah Tuhan.(3) Meskipun demikian, kebanyakan ahli hadis, takut tergelincir ke dalam lembah penyerupaan (tasybih) dan penjasadan (tajsīm) serta mereka memandang bahwa jalan keluar dalam hal ini ialah dengan tidak membicarakan sesuatu tentang sifat-sifat manusiawi Tuhan. Dari sisi ini, ketika maksud dari "semayam atau duduknya (istawā) Tuhan di atas arsy"(4) ditanyakan kepada Malik bin Anas (93—179 H), ia akan menjawabnya seperti ini: "Makna duduk atau bersemayam (istawā)" adalah jelas(5) dan bagaimananya duduk (semayam) itu tidak jelas.

p: 270


1- Untuk lebih mengetahui tentang ahli hadis dan golongan yang berhadapan dengannya (ahli ray), silakan lihat Muhammad bin Abdul Karim Syahristani, al-Milal wa al-Nihal, jil. 1, hlm. 206- 207.
2- Abu Rayhan Biruni (362-440 H) dalam mencari akar kepercayaan ini memiliki perkataan- perkataan baik, di mana sebagian dari seperti ini: “Kelompok Sunni...mengira bahwa peliputan terjadi dengan penglihatan dan penglihatan adalah instrumen mata, dan mempunyai dua mata adalah lebih baik dari satu mata, dan berdasarkan makna ini mereka menyifatinya dengan seribu mata yang merupakan kesempurnaan pengetahuan!" Abu Rayhan Biruni, Tahqiq mā li al- hindi, terjemahan Parsi oleh Manucher Shaduqi Saha, jil. 1, hlm. 20. Perkataan ini mengingatkan suatu hadis yang disandarkan kepada Imam Baqir yang maknanya seperti ini bahwa "Semut karena melihat kesempurnaan dirinya pada adanya antena (alat peraba serangga), mungkin menganggap Tuhan mempunyai dua antena pula." Untuk lebih mengetahui lebih jauh tentang hadis ini serta sumber-sumbernya, kami persilakan untuk merujuk pada bagian keempat buku ini.
3- Muhammad bin Abdul Karim Syahristani, al-Milal wa al-Nihal, jil. 1, hlm. 105. Begitu pula salah satu di antara para pemuka golongan ini berkata: "A fūni 'an al-faraji wa al-lihyah wa asalūni 'an mā warā'a dzalik," (Maafkan aku [jangan tanyakan kepadaku) tentang kemaluan (pemuasan syahwat], dan jenggot [masa tua), tanyalah aku tentang sesuatu selain itu).
4- (QS Al-A'rāf [7]: 54); (QS Yunus [10]: 3); (QS Al-Ra'd [13]: 2; (QS Al-Furq\n [25]: 59); (QS Al- Sajdah [32]: 4); (QS Al-Hadid [57]: 4).
5- Atau terjadinya duduk (istiwā') adalah pasti dan tidak dapat diragukan.

Namun demikian, mengimani hakikat ini adalah mesti dan selayaknya serta mempertanyakannya adalah bid`ah (heresy)."(1) DISKUSIKAN DAN PIKIRKAN Ibn Hanbal dan Upaya Kabur dari Penyerupaan Ahmad bin Hanbal (161—241 H)-salah satu imam dari empat mazhab fikih Ahlisunah-sedapat mungkin menghindar dari mengeluarkan fatwa serta dalam hal-hal yang bersifat darurat, tidak keluar dari lafaz-lafaz (kata- kata) yang terdapat dalam riwayat. Shirah atau perilaku- perilaku hidupnya pun menampakkan loyalitas terhadap apa yang dianggapnya sebagai sunah nabi; sebagai contoh, menurut satu riwayat di mana berdasarkan itu, Nabi Saw.

membayar satu dinar kepada seorang tukang bekam, ia pun tidak melakukan pengurangan dari biaya ini serta tidak menambahnya! Duduknya ia sebagai pemegang sanad hadis dan fatwa pada usia empat puluh tahun juga dianggap sebagai tanda mengikut kepada Nabi Mulia Islam.(2) Ia mengumpulkan akidah-akidah yang ia terima dalam sebuah risalah pendek yang sebagian di antaranya sebagai berikut:

"Tuhan Mahatinggi, setiap malam-dengan bentuk yang diinginkan-Nya meskipun "tidak ada sesuatu yang menyerupainya dan Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat" —"turun" ke langit dunia dan hati-hati manusia berada di antara dua "jari" dari jari-jemari Tuhan; ...dan Tuhan menciptakan Adam dengan tangan-Nya; dan pada hari kiamat langit dan bumi berada dalam "telapak tangan- Nya"; dengan "tangan-Nya" mengeluarkan suatu golongan dari api neraka dan penghuni surga menatap ke wajah- Nya dan melihat-Nya; maka Tuhan memuliakan mereka

p: 271


1- Muhammad bin Abdulkarim Syahristani, al-Milal wa al-Nihal, hlm. 85; Demikian pula, silakan lihat Ibn Taimiyyah, Majmuat al-Fatāwa, jil. 6, hlm. 240.
2- Silakan lihat Muhammad Abu Zuhrah, Ibn Hanbal-Hayātuhu wa Ashruhu, Arāuhu wa Fiqhuhu, hlm. 35-36.

dan menjelma kepada mereka dan membuat mereka menikmati anugerah-anugerah-Nya."(1) Menurut Anda, apakah berpegang kepada ayat "tidak ada sesuatu yang menyerupainya" serta mengungkapkan kalimat "dengan bentuk yang diinginkan-Nya" (kayfa yasyā) dapat membebaskan orang yang mengungkapkan perkataan-perkataan ini dari literalisme ekstrem serta keterjatuhan dalam jeratan-jeratan penyerupaan? Telaah dan Kritik Guna melakukan kritik terhadap pandangan literalistis, kami mencukupkan diri dengan mengemukakan dua poin:

1. Tak syak lagi, konsekuensi iman kepada Tuhan dan rasul adalah penerimaan kalam Ilahi tanpa bertanya ini-itu, dan seseorang tidak bisa menakwilkan dari dirinya sendiri dan tanpa suatu kriteria yang diterima akal serta memaksakan makna-makna yang diinginkannya kepada kitab dan sunah.(2) Hal ini merupakan "tafsir tanpa kaidah (tafsir bi al-ra'y)" yang dikecam keras dalam perkataan-perkatan para penghulu agama.

Berdasarkan hal ini, mengikut kepada lahiriah merupakan suatu perbuatan yang layak dan pantas, tetapi terkadang dari perkataan benar ini yang dimaksudkan adalah suatu makna batil yang terefleksikan dalam pandangan literalisme ekstrem.

Kebanyakan di antara kaum literalis dengan slogan mengikuti formalitas (lahiriah) kitab dan sunah, menyebut Tuhan mempunyai sifat-sifat kebendaan; sementara ayat-ayat dan riwayat-riwayat yang mereka rujuk sama sekali tidak membuktikan maksud ini. Sebagai contoh, kata "tangan"- di mana pada umumnya menunjuk pada apa yang dikenal sebagai organ tubuh manusia- ketika diterapkan dalam susunan kata "tangan terbuka", tidak lagi tampak (sebagai makna lahiriah) dari organ materi dan secara jelas menerangkan suatu makna metaforis. Kendati demikian,

p: 272


1- Silakan lihat Ja'far Subhani, Buhuts fi al-Milal wa al-Nihal, jil. 1, hlm. 165.
2- Kelly James Clark, Return to Reason, jil. 2, hlm. 96–97.

sangat mengherankan di mana orang-orang seperti Ibn Taimiyyah, menyebut pula ayat ini: "bal yadāhu mabsuthatan (melainkan, kedua tangan-Nya terbuka)" (QS Al-Māidah [5]: 64) tak urung untuk membuktikan tangan bendawi! (1) 2. Dalam kaitannya dengan ciri-ciri manusiawi Tuhan-yang dalam istilah kalam Islam, dinamakan sifat-sifat predikatif, sebagian cenderung kepada "agnostisisme" dan menganggap akal manusia tidak mampu melakukan persepsi apa pun terhadap makna sifat- sifat ini. Golongan lainnya terjatuh dalam jurang "penyerupaan" dan tidak pula mengizinkan diri mereka untuk cemas dalam menyebut kematerian Tuhan. Golongan ketiga, dengan ungkapan yang samar dan penuh teka-teki, kadang menegaskan poin bahwa tangan dan kaki Tuhan bermakna sebagaimana makna leksikalnya; dan meski demikian, tidak seperti tangan dan kaki manusia. Begitu pula, Tuhan Mahatinggi, benar-benar turun dari Arsy-Nya; sebagaimana kita turun dari ketinggian ke bawah; dengan perbedaan ini bahwa dengan turunnya Tuhan, Arsy tidak kosong dari wujud-Nya.(2) Terkadang pula kelompok ini menganggap sebutan "bilā kayf" sebagai sebuah benteng kokoh yang menjadikan mereka aman dari segala bentuk tuduhan penyerupaan atau antropomorpisme; "Qad syabbahuhu bikhalqihi wa takhawwafū—syan`al wariyu fatastarrū bil bilākafati" (Mereka menyerupakan Dia dengan makhluk-makhluk dan karena takut dikecam orang-orang mereka berlindung kepada "bilā kayf"). (3) Mungkin lebih dari semuanya, sesuatu yang telah menggiring golongan ahlulhadis kepada kubah-kubah tak menenangkan ini adanya riwayat-riwayat yang tanpa ditutup-tutupi berbicara tentang sifat-sifat kematerian Tuhan. Benar, ketika kita menyebut hadis-hadis yang berhubungan dengan terlihatnya Tuhan pada hari kiamat sebagai hal yang tidak dapat dikoreksi, maka tak terelakkan, bahkan makna yang paling jelas pun dari ayat-ayat

p: 273


1- lbn Taimiyyah, Majmu'at al-Fatāwa, jil. 6, hlm. 218; Muhammad Shaleh Al-Atyamin, Syarh Lum'at al-l'ttiqād libni Qudamah, hlm. 7; Abdul Azis bin Abdullah Bin Baz, Majmu' Fatāwa (Fatāwa al- Aqidah), jil. 1, hlm. 310.
2- Ibn Taimiyyah, Majmuat al-Fatāwa, jil. 5, hlm. 248.
3- Mahmud Zamakhsyari, al-Kasysyāf, jil. 2, hlm. 156.

akan tercuri, dan kita akan menyebut ayat mulia ini: "lā tudrikuhu al-abshāru wa huwa yudriku al-abshāra" (Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata, sedang Dia melihat segala penglihatan itu) (QS Al-An'ām [6]: 103), bukan sebagai ayat yang menafikan penglihatan, tetapi sebagai ayat yang membuktikannya!(1)

Kesimpulan

1. Sepanjang sejarah, perseteruan akal dan wahyu menemukan bentuk- bentuk yang beragam, dan bentuk paling kunonya tampak dalam pertentangan filsafat dan agama. Wajah baru posisi berhadap- hadapan ini dinamai dengan pertentangan ilmu dan agama.

2. Dalam pembahasan-pembahasan Kalam Jadid (Neoteologi), terkadang yang dimaksud dengan akal ialah semua pengetahuan- pengetahuan yang didapatkan melalui jalan-jalan yang sifatnya umum, dan yang dimaksud dengan wahyu ialah bagian pengetahuan-pengetahuan yang diperoleh segolongan khusus manusia melalui jalan khusus.

3. Ungkapan-ungkapan seperti "akal dan wahyu", "akal dan agama", "agama dan filsafat " (dan bahkan ilmu dan agama) pada sebagian penggunaannya memiliki makna yang saling mendekati serta dapat digunakan pada posisi masing-masing antara satu dengan lainnya.

4. Pada umumnya, target (tujuan) serangan kaum agamawan yang anti rasional adalah penyandaran secara ekstrem terhadap akal atau penggunaan jenis khusus darinya dalam agama.

5. Maksud dari rasionalisme radikal ialah bahwa "kebenaran suatu kepercayaan kita jelaskan sedemikian rupa di mana seluruh orang-orang berakal menjadi puas (merasa yakin)".

6. Slogan utama kaum evidensialis zaman pencerahan-yang cenderung kepada rasionalisme radikal –adalah seperti ini: "Selalunya, di semua tempat dan bagi semua orang, percaya kepada setiap sesuatu atas dasar dalil-dalil yang tidak cukup adalah perbuatan tidak benar."

p: 274


1- "Inna hadzihi al-āyah tadullu alā its bāti al-ru yati a žham min dalālatihā alā nafyihā” Ibn Taimiyyah, Dara a Ta ārudh al-Aqli wa al-Naqli, jil. 1, hlm. 374.

7. Berdasarkan pandangan yang dikenal dengan rasionalisme kritis "struktur atau sistem kepercayaan-kepercayaan agama bisa dan mesti dievaluasi serta dikritik secara rasional, meskipun pembuktian secara pasti sistem-sistem seperti ini tidak memungkinkan." 8. Sumber-sumber orisinal Islam, meskipun menyebut akal sebagai hujjah Ilahi, menegaskan keterbatasan-keterbatasan akal dan mengembangkan sejenis rasionalisme yang dapat dinamai dengan "rasionalisme moderat".

9. Sebagian kalangan Kristen menyebut iman sebagai "pengganti akal" dan dengan mendukung atau cenderung kepada pandangan yang dinamakan dengan "Fideisme", menyeru kaum religius untuk waspada dalam melakukan penilaian rasional atas kepercayaan- kepercayaan religius.

10. Pengajuan suatu definisi baru tentang iman, tidak melepaskan lilitan dari pekerjaan kaum beriman dan tidak menjadikan mereka tak butuh dengan justifikasi rasional atas kepercayaan- kepercayaan religius.

11. Dalam agama-agama yang rujukan asli para penganutnya merupakan teks wahyu, kemunculan aliran-aliran yang jumud dengan makna formal (zhāhir) dan awal (ibtidā i) dari kata-kata (alfādz) yang digunakan dalam teks-teks religius, tidaklah begitu jauh dari penantian.

12. Sebagian kaum literalis Muslim menganggap sama ketekunan dan perhatian penuh terhadap teks-teks religius dengan pengabaian total terhadap akal dan sikap ekstrim dalam tekstualisme sampai pada tahap di mana setiap yang dinamakan "hadis" dipandangnya dengan penuh hormat serta tidak menunjukkan perhatian berarti atas kebenaran dan ketidakbenaran sai 13. Kebanyakan kaum literalis—dengan kejumudan atas makna-makna awal dan permukaan kata-kata-bukan hanya menyingkirkan akal, dari makna-makna urfi ayat-ayat dan riwayat-riwayat pun mereka berlepas tangan.

p: 275

Pertanyaan

1. Jelaskanlah potongan pilihan tentang sejarah pendek pembahasan "akal dan wahyu"! 2. Dalam pembahasan Kalam Jadid (Neoteologi), apa yang dimaksud dari dua istilah "akal" dan "wahyu?" 3. Mengapa sebagian pemikir menghindar dari penggunaan istilah "akal dan agama" dan lebih mengutamakan penggunaan rangkapan istilah "akal dan naql?" 4. Apakah dua sebutan "agama dan filsafat" dan "akal dan wahyu" merupakan padanan antara satu dengan lainnya? Jelaskan! 5. Pembahasan apakah yang diisyarahkan dalam istilah "ilmu dan agama"? Dan bagaimana hubungannya dengan pembahasan "akal dan wahyu"? 6. Dengan mengisyaratkan definisi dua pandangan "rasionalisme radikal" dan "rasionalisme kritis", bandingkanlah antara satu dengan lainnya! 7. Bagaimana Clifford menyebut keyakinan-keyakinan kaum religius tidak berdasar dengan menjelaskan kisah bahtera yang diterjang topan? 8. Mengapa orang-orang yang cenderung kepada rasionalisme kritis menyebut pandangan mereka dengan nama ini? 9. Jelaskan ulang maksud dari pada "rasionalisme moderat", dan tulislah pendapat Anda tentangnya! 10. Bagaimanakah kaum fideis Kristen menggambarkan hubungan antara akal dan iman? 11. Jelaskanlah maksud dari pernyataan ini: kaum fideis Kristen, dengan mengajukan suatu definisi baru tentang iman, menghapus bentuk masalah? 12. Apa makna literalisme dan mengapa kemunculannya dalam Islam-dibandingkan dengan kebanyakan agama-agama lainnya, lebih menyebar atau meluas? 13. Siapakah orang-orang Ahlulhadis dan bagaimanakah mereka berpikir tentang sifat-sifat manusiawi Tuhan? 14. Telaah dan kritiklah pandangan Literalisme!

p: 276

BAGIAN 9: PENGALAMAN KEAGAMAAN

Point

"Maka tatkala Musa telah menyelesaikan waktu yang ditentukan dan dia berangkat dengan keluarganya (menuju Mesir), ia melihat api di lereng gunung. Ia berkata kepada keluarganya, "Tunggulah (di sini), sesungguhnya aku melihat api, mudah- mudahan aku dapat membawa suatu berita kepadamu dari (tempat) api itu atau (membawa) sesuluh api, agar kamu dapat menghangatkan badan." Maka tatkala Musa sampai ke tempat) api itu, diserulah dia dari (arah) pinggir lembah yang diberkahi, dari sebatang pohon kayu, "Hai Musa, sesungguhnya aku adalah Allah, Tuhan semesta alam," (QS Al-Qashash [28]: 29–30).

"Lalu Malaikat TUHAN menampakkan diri kepadanya di dalam nyala api yang keluar dari semak duri. Lalu ia melihat, dan tampaklah: semak duri itu menyala, tetapi tidak dimakan api. Musa berkata: "Baiklah aku menyimpang ke sana untuk memeriksa penglihatan yang hebat itu. Mengapakah tidak terbakar semak duri itu?" Ketika dilihat TUHAN, bahwa Musa menyimpang untuk memeriksanya, berserulah Allah dari tengah-tengah semak duri itu kepadanya: "Musa, Musa!" dan ia menjawab: "Ya, Allah." Lalu Ia berfirman: "Janganlah datang dekat-dekat: tanggalkanlah kasutmu dari kakimu, sebab tempat, di mana engkau berdiri itu adalah tanah yang kudus. "(1)

p: 277


1- (Keluaran 3:2-5)

para peneliti agama Barat menyebut peristiwa-peristiwa semacam ini sebagai "pengalaman keagamaan" (religious experience)(1) dan kebanyakan menyebutnya sebagai esensi dan inti religiusitas. Friedrich Schleiermacher (1768—1834 M) seorang filsuf dan teolog berkebangsaan Jerman dan merupakan orang pertama yang menggunakan ungkapan atau frase yang mendekati istilah ini,(2) meyakini bahwa prinsip dasar ketulusan atau keikhlasan, bukanlah ajaran-ajaran revelasional dan bukan pula akal yang mengajarkan makrifat, melainkan pengetahuan (pengalaman) religius.(3) Ia dari satu sisi mendapati sebagian doktrin-doktrin kitab suci Kristen kontradiktif dengan pemahaman manusia; dan dari sisi lain, tidak setuju dengan pengabaian agama. Oleh karena itu, ia membangun alirannya berasaskan pengalaman religius dan dengan mereduksi kedudukan akidah-akidah dan upacara keagamaan, menyebut perasaan batin sebagai inti atau esensi agama.(4) Setelah Schleiermacher, masalah pengalaman keagamaan menjadi pusat perhatian kebanyakan pemikir Barat dan dewasa ini termasuk salah satu dari argumen-argumen pembuktian wujud Tuhan yang paling umum diterima di Barat.

Meskipun kemunculan istilah ini belum berlalu lebih dari dua abad, tetapi maknanya telah mengemuka sebelumnya dalam bentuk- bentuk, seperti wahyu dan ilham, penyingkapan dan penyaksian mistikal (irfani), teologi intrinsik, penyaksian tangan kekuasaan dan inayah Ilahi (dalam mukjizat dan perbuatan-perbuatan luar bisa seperti penyembuhan penyakit-penyakit yang sulit disembuhkan serta terkabulkannya doa-doa) serta melihat Tuhan hadir dan mengawasi dalam keseharian kehidupan dunia.(5) Pengalaman keagamaan,

p: 278


1- Religious experience
2- Sebenarnya, orang yang pertama kali menerapkan istilah ini adalah William James (1842-1910 M) dalam The Varieties of Religious Experience.
3- lan Barbour, 'Ilm wa Dīn Science and Religion), terjemahan Parsi oleh Bahauddin Khurramsyahi, hlm. 131.
4- Wayne Proudfoot, Tajrubah Dīni [Religious Experience], terjemahan Parsi oleh Abbar Yazdani, catatan penerjemah, hlm. 315-316.
5- Poin tepat yang seharusnya sejak awal pembahasan pengalaman keagamaan kita tegaskan adalah bahwa-tanpa melihat pengeliruan-pengeliruan kata "pengalaman"-penggunaan istilah pengalaman religius dalam cakupan luas ini (sedemikian sehingga mencakup baik kondisi-kondisi normal golongan orang-orang beriman maupun wahyu para nabi) sebagaimana adanya ia, tidaklah masalah, dalam ungkapan terkenal: "lā masyahatun fi al-isthilāh; tak ada perseteruan dalam membuat istilah." Walaupun demikian-sebagaimana akan datangseluruh pengalaman-pengalaman religius tidak boleh dianggap berada dalam satu tingkatan, melainkan mereka dapat disebut mempunyai tahapan-tahapan gradasional di mana tingkatan tertingginya menyiapkan suatu pengetahuan yang terjaga dari segala bentuk kesalahan. Bagaimanapun sebagian penulis dengan tidak mengindahkan lingkaran luas istilah ini, mereka menyebut pengalaman keagamaan "terkhususkan bagi para nabi dan para penghulu agama." Silakan lihat Abdulhusain Khusropanah, Kalam Jadīd, hlm. 297. Sebagian lainnya, tanpa membatasi cakupan penggunaan istilah ini-guna menjawab orang-orang yang dengan bersandar pada pelbagai tipologi pengalaman keagamaan, menyebut semua agama-agama sebagai benar, mereka menulis kalimat-kalimat seperti ini: “Pengalaman keagamaan sama sekali tidak mempunyai nilai pengetahuan"! Sayid Mahmud Nabawian, Syumul Gherai, hlm. 81.

sebagaimana tampak dengan jelas-berkaitan secara langsung dengan hal-hal yang bersifat supranatural dan definisi secara umum dan sederhana darinya adalah "perasaan kebergantungan terhadap suatu wujud yang bersifat transenden."(1) Dengan kata lain, secara umum maksud dari istilah ini adalah bahwa seluruh (atau setidaknya kebanyakan di antara) manusia sedikit banyaknya mempunyai pengetahuan tentang "sesuatu yang bersifat transenden" -yang dapat disepadankan dengan Tuhan agama-agama tauhid-dan menemukannya dalam pengalaman-pengalaman mereka.(2) Walaupun demikian, definisi dan penjelasan ini tidak boleh menghalangi pemikiran dan menjadikan seseorang lalai dari penggunaan luas istilah ini dan jenis-jenis pengalaman keagamaan yang beragam.(3) DISKUSIKAN DAN PIKIRKAN Beberapa Contoh Pengalaman Keagamaan Apakah Anda memiliki pengalaman keagamaan? Apakah Anda sama sekali tidak pernah merasakan kehadiran Tuhan dengan kalbu dalam kehidupan Anda? Apakah Anda mengenal orang-orang di mana tangan mereka telah terputus dari sebab-sebab materiel, tetapi

p: 279


1- Silakan lihat Norman L Geisler, Falsafah Dīn Philosophy of Religion), terjemahan Parsi oleh Hamid Ridha Ayatullahi, jil. 1, hlm. 53; Michael Peterson et al., 'Aql wa I'tiqād Dīnī (Dar Amadi bar Falsafah Dīn), terjemahan Parsi oleh Ahmad Naraqi dan Ibrahim Sultani, hlm. 37; lan Barbour, 'Ilm wa Dīn, hlm. 131.
2- Menurut Willian Alston (1921 M), istilah ini dapat diterapkan dalam kaitannya dengan segala jenis pengalaman yang berhubungan dengan kehidupan religius, meskipun penggunaan umum dan filosofisnya tentang pengalaman pengetahuan tentang Tuhan", untuk penjelasan lebih jauh, silakan lihat William P. Alston, "God and Religious Experience", dalam Brian Davies (Ed), Philosophy of Religion, hlm. 65; Brian Davies, Perceiving God, hlm. 34.
3- Lihat: Caroline Franks Davis, The Evidential Force of Religious Experience, hlm. 29.

terbebas dari berbagai masalah dan penyakit melalui tawassul (berperantara) kepada mereka yang dekat dengan gerbang Ilahi? Akhirnya, menurut Anda apakah konsep ini dapat disebut memiliki derajat-derajat dan tingkatan- tingkatan yang beragam?

Faktor-faktor yang Berpengaruh atas Cara Pandang Empiris terhadap Agama

Faktor-faktor di bawah ini dapat disebut berpengaruh dalam mengemukakan masalah-masalah pengalaman religius dan begitu pula dalam memfokuskan diri kepadanya:

Lemahnya Sistem-Sistem Filosofis dalam Melakukan Pembelaan Rasional terhadap Doktrin-Doktrin Keagamaan

Di dunia Barat, setelah argumen-argumen rasional pembuktian eksistensi Tuhan dihadapkan dengan pelbagai kritik dan sistem-sistem filosofis Barat melihat diri mereka tidak berdaya dalam melakukan pembelaan rasional, maka masalah pengalaman keagamaan menjadi lokus perhatian dan tempat berlindung bagi kelestarian iman agama.

David Hume (1711–1776 M) dengan kritikan-kritikannya, dari satu sisi-menurut pendapat kebanyakan orang-telah menjadikan argumen-argumen keteraturan (the argument from design) melemah atau kehilangan daya,(1) dan dari sisi lain, memperhadapkan mukjizat- mukjizat dengan pelbagai tantangan dan permasalahan. (2) Immanuel Kant (1724–1804 M) dengan mengkritik daya-daya kemampuan akal teoretis (theoritical reason), menyebut wujud Tuhan hanya dapat terbuktikan dalam sorotan akal praktis (desakan kehidupan moral). (3)

p: 280


1- Wayne Proudfoot, Tajrubah Dīnī, hlm. 10. Begitu pula, silakan lihat John Macquarrie, Tafakkur Dini dan Qarn Bistum [Twentieth-Century Religious Thought), terjemahan Parsi oleh Abbas Syekh Syua'i dan Muhammad Ridhai, hlm. 216.
2- Silakan lihat William H Hordern, Rāhnamā llāhiyyāt Protestan [Guide to Protestant Theology], terjemahan Parsi oleh Thathavus Mikailiyan, hlm. 30.
3- William H. Hordern, Rāhnamā llāhiyyāt Protestani, hlm. 30.

Dari sisi lain, Schleiermacher-pemegang panji gerakan yang menganggap agama sebagai sebuah pengalaman-hidup dalam suatu zaman di mana posisi rasionalisme radikal abad ke-18 tergantikan oleh Romantisisme(1) yang sedang mencari bagian hati yang terlupakan serta menekankan perasaan-perasaan dan emosi-emosi. Dalam kondisi seperti inilah Schleiermacher-dengan mengisyaratkan bahwa masalah- masalah seperti dalil-dalil pembuktian wujud Tuhan serta mukjizat- mukjizat berada pada tepian agama-sangat bersikeras dengan poin bahwa: "Jantung agama senantiasa adalah perasaan-perasaan serta emosi-emosi, bukan dalil-dalil dan pembahasan-pembahasan rasional ... Tuhan bagi individu yang saleh adalah suatu pengalaman serta hakikat yang hidup." (2)

Kritik terhadap Kitab Suci

Salah satu masalah yang menyebar secara umum pada abad ke- 19 dan memperhadapkan para pembela tradisional agama dengan berbagai kritik dan keberatan ialah telaah kritis terhadap kitab suci. (3) Kritik konseptual kitab suci-yang secara terminologis dinamakan dengan higher criticism(4)—dengan menggunakan bukti-bukti internal dan eksternal dalam kaitannya dengan masing-masing dari kitab-kitab Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru, [menjadikan] masalah-masalah berikut diposisikan sebagai objek sasaran kajian dan kritik, yaitu; jati diri penulis atau para penulis, sejarah penulisan, sumber atau referensi- referensi yang digunakan penulis, latar belakang sejarah, validitas ilmiah, dan lain sebagainya.(5) Hasil-hasil pengkajian ini tidak begitu menyenangkan bagi kalangan kaum beriman Kristen dan Yahudi.

p: 281


1- Romanticism.
2- William H. Hordern, Rāhnamā llāhiyyāt Protestani, hlm. 40.
3- William H. Hordern, Rāhnamā llāhiyyāt Protestani, hlm. 36-39,54-59, 83, 84, dan 158-166; Muhammad Mujtahid Syabestari, Hermeneutik Kitāb wa Sunnat, hlm. 160-167.
4- Berhadapan dengan Lower Criticism yang membahas masalah-masalah seperti pengenalan lembaran-lembaran tulisan tangan orisinal serta pembedaan bacaan benar dari tidak benar.
5- Lihat: M.R.R. McGuire, "Higher Criticism", dalam New Catholic Encyclopedia, vol. 6, hlm. 1102- 1103; Sylvester Burnham, "Higher Criticism, The", dalam The Encyclopedia Americana (1957 Edition), vol. 14, hlm. 183-184; Roy A. Harrisville and Walter Sunberg, The Bible in Modern Culture, hlm. 262-272.

Dalam penelitian-penelitian ini, lima kitab pertama Perjanjian Lama-yang secara tradisional disandarkan kepada Musa- menunjukkan tanda-tanda akan keragaman penulis. Pengkajian secara teliti terhadap cerita-cerita yang selalu berulang-ulang serta perbedaan corak, istilah-istilah, dan pikiran, mengimplikasikan bahwa kitab-kitab ini (lima perjalanan) dalam bentuknya sekarang ini, merupakan suatu kumpulan dari beberapa riwayat serta berkaitan dengan beberapa masa yang berbeda-beda. Sebagian di antara bagian-bagiannya ditulis secara bebas dalam masa pengasingan atau penawanan orang-orang Babilonia (yaitu 800 tahun setelah Musa). Analisis serupa dari Injil Yohanes dan perbedaan-perbedaan yang dimilikinya dengan Injil lainnya-baik dari segi corak dan susunan (struktur) maupun dari segi makna-menghantarkan para peneliti kepada suatu kesimpulan untuk menyatakan bahwa itu hanyalah sirah Isa al-Masih yang ditulis lebih dari setengah abad setelah ia disalib. (1) Schleiermacher dengan menonjolkan masalah pengalaman religius berupaya memindahkan pusat atau lokus agama dari kitab suci ke dalam kalbu orang-orang beriman, dan dengan perantaraan ini, ia mengamankan Kristen dari serangan-serangan kritikan yang dilontarkan terhadap kitab suci. (2) Selain daripada itu, sebagian teolog-teolog Kristen memikirkan suatu cara di mana berdasarkan itu, dengan bersandar pada pengalaman-pengalaman keagamaan para penulis kitab suci, melakukan rasionalisasi atas masuknya doktrin-doktrin tidak benar ke dalam kitab ini. Mereka dengan menekankan keterbatasan- keterbatasan manusia dalam proses pengalaman dan penafsirannya, menyebarluaskan kepercayaan bahwa kontradiksi antara sebagian doktrin-doktrin kitab suci dengan data-data pengetahuan manusia,

p: 282


1- lan Barbour, 'Ilm wa Dīn, hlm. 130–131. Salah seorang penulis Kristen lainnya berkata tentang hal ini: "Para kritikus secara umum berkeyakinan bahwa-berlawanan dengan pandangan tradisional, penulis lima kitab pertama kitab suci bukanlah Musa, melainkan para penulisnya minimal empat orang yang berbeda. Salah satu hasil dari keyakinan ini yang terdapat dalam Kitab Kejadian [adalah] dua jenis berbeda penjelasan penciptaan. Para kritikus berkeyakinan bahwa kitab-kitab dan bagian-bagian yang di dalamnya terdapat ramalan-ramalan tentang kejadian-kejadian masa depan, ditulis setelah terjadinya peristiwa-peristiwa tersebut. Pendapat umum adalah bahwa Injil Yohanesyang sekian lama merupakan Injil paling disukai orang- orang beragama lurus-tidak ditulis oleh rasul Yohanes dan aspek sejarahnya tidak begitu kuat." William H. Hordern, Rāhnamā llāhiyyāt Protestani, hlm. 38.
2- William H. Hordern, Rāhnamā llāhiyyāt Protestani, hlm. 41.

tidak membahayakan dimensi keilahian dan kesamawian kitab ini, karena pada dasarnya atensi dan perhatian Tuhan bukanlah mendiktekan sebuah kitab maksum, ... melainkan suatu perjumpaan dengan aturan dan percobaan yang sifatnya Ilahi, dialami, dinyatakan, dan dijelaskan oleh manusia yang bisa saja salah."(1) Dalam lanjutan bagian sembilan buku ini, kami akan lebih banyak berbicara tentang poin terakhir ini.

Perjumpaan dengan Agama-Agama Lain

Dengan meluasnya interaksi dan berkembangnya ilmu studi perbandingan agama, orang-orang Kristen memperoleh informasi atau pengetahuan yang lebih banyak tentang pelbagai ragam agama dan melihat kebanyakan dari keyakinan-keyakinan dan aturan-aturan moral agama-agama tersebut yang serupa dengan doktrin-doktrin religius mereka. Setelah memperhatikan kesamaan-kesamaan ini, yang tentunya disertai pula dengan suatu kontradiksi-kontradiksi dan disparitas—"Tipologi atau eksklusivitas Kristen menjadi dipertanyakan"(2) dan diragukan, bahkan muncul ketakutan di mana agama-agama, bukan hanya kehilangan kebenaran tipikalnya, tetapi prinsip validitas mereka pun akan lenyap dan dalam kondisi terbaik memuluskan jalan bagi penerimaan agama natural dan tidak bersifat wahyu-yang didukung oleh aliran Deisme. Pengalaman religius menyiapkan suatu justifikasi bagi kemengapaan pelbagai kesamaan dan disparitas ini(3) dan sekarang ini masih termasuk sebagai salah satu dasar pluralisme agama.

Kebersamaan dalam Kafilah Ilmu Empiris

Kemajuan menakjubkan ilmu-ilmu empiris serta adanya pemahaman tentang tiadanya validitas hal-hal yang bersifat metafisik merupakan salah satu di antara faktor-faktor yang menjadikan sebagian orang memasukkan agama sebagai bagian dari kategori pengalaman

p: 283


1- lan Barbour, 'Ilm wa Din, hlm. 269.
2- William H. Hordern, Rāhnamā llāhiyyāt Protestani, hlm. 36.
3- William H. Hordern, Rāhnamā llāhiyyāt Protestani, hlm. 41-42.

dan di samping pengalaman-pengalaman eksternal, menekankan pentingnya pengalaman batin (internal). Iqbal Lahore (1876–1938 M) sepertinya dengan cara pandang ini, berbicara tentang tiga pengalaman- pengalaman batin, eksternal dan historis serta menyebut wahyu sebagai pengalaman batin nabi.(1) Walaupun demikan, sebagian ilmuwan Barat menyebut tipuan (siasat) ini tidak memiliki efisiensi atau daya kerja dan dalam kritiknya, mereka mengatakan: "Para filsuf-filsuf Ilahi liberal ingin menggunakan metode empiris, tetapi mereka menerima atau mengakui pengalaman religius dan melalui ini mereka melangkah ke jalan yang tidak riil dan bukan empiris atau bersifat mental."(2)

Antroposentrisme Menggantikan Teosentrisme

Dalam dunia modern dan dengan perkembangan serta dominasi aliran-aliran pemikiran seperti Humanisme, bahkan dalam ranah- ranah religius dan teologi pun, boleh jadi teosentrisme telah tergantikan posisinya dengan antroposentrisme.(3) Sebagai contoh, sebagaimana dalam bagian enam yang lalu-menurut pandangan sebagian peneliti-peneliti agama, suatu hal yang menentukan ruang lingkup agama adalah harapan "manusia" terhadap agama, bukan "teks-teks keagamaan". Menurut golongan ini, manusia dalam suatu masa meyakini bahwa agama memenuhi semua kebutuhan-kebutuhan dan berdasarkan hal ini, ia memunculkan "ilmu pengobatan al-Ridha" (thibb al-Ridhā) dan "ilmu pengobatan al-Shadiq" (Thibb al-Shādig), tetapi sekarang ini, dengan memperbarui pandangan dalam harapan- harapannya menjadikan ruang lingkup agama semakin terbatas.

Berdasarkan cara pandang ini, "pengalaman manusia" tentang Tuhan serta hakikat-hakikat keagamaan lainnya menemukan signifikansi yang lebih besar dan menjadi inti utama agama. Tentunya, sebagian humanis yang beraliran ateis-di mana iman terhadap manusia berserta daya-daya potensialnya mereka jadikan sebagai

p: 284


1- Silakan lihat Muhammad Iqbal Lahore, Thyā Fikr Dini dar Islām (Reconstruction of Religious Thought in Islam, terjemahan Parsi oleh Ahmad Aram, hlm. 147.
2- William H. Hordern, Rāhnamā llāhiyyāt Protestani, hlm. 75.
3- Silakan lihat Mustafa Malikiyan, Kalām-e Jadīd 2 (Diktat), hlm. 22 dan 31.

alternatif guna menggantikan kepercayaan terhadap Tuhan dan urusan-urusan supranatural-menunjukkan kesenangannya dengan pengalaman keagamaan, dengan penjelasan ini bahwa "agama dan pengalaman adalah satu, di mana pun terdapat individu manusia yang sedang menyempurna, maka di situ pula terdapat agama."(1)

Analisis Materialistis terhadap Fenomena-Fenomena yang Tampak Bersifat Supranatural

Sebagian orang-orang yang mengingkari hal-hal bersifat supranatural sampai pada kesimpulan bahwa seluruh laporan-laporan yang terkait dengan kondisi-kondisi batin dan penyaksian-penyaksian kaum agamawan tidak bisa dianggap sebagai sesuatu yang tidak berdasar. Dari sisi ini, mereka menerima keberadaan pengalaman pengalaman seperti ini dan di saat yang sama menegaskan bahwa adanya sensasi batin ini, tidak dapat menjadi justifikasi terhadap keberadaan objeknya.(2) Dengan kata lain, menurut pandangan kelompok ini, Tuhan, wahyu, dan hari kiamat merupakan hal-hal yang bersifat takhayul, meskipun pengalaman keagaman adalah sebuah realitas tak teringkari.

Emile Durkheim (1858–1917 M) yang menyebut Tuhan sebagai masyarakat itu sendiri, dengan mengisyaratkan gagasan tersebut, mengatakan, "Mengingat adanya sejenis "pengalaman keagamaan" dan pengalaman ini pun istilahnya bukan tanpa asas ... sama sekali tak dapat disimpulkan bahwa realitas fundamentalnya persis dengan apa yang diduga oleh orang-orang yang mengimaninya. "(3)

p: 285


1- William H. Hordern, Rāhnamā llāhiyyāt Protestani, hlm. 75.
2- Salah seorang pemikir kontemporer dalam mengkritik cara pandang seperti ini terhadap pengalaman keagamaan mengatakan: "Apa yang dikemukakan hari ini dengan nama pengalaman keagamaan ... tidak lain kecuali logika Yazid; pengingkaran seluruh hakikat- hakikat keagamaan, yakni mereka memperkenalkan seluruh nabi-nabi seperti seorang darwisyi yang ditimpa khayalan-khayalan! ... baginya muncul suatu perasaan batin dan tidak pula memiliki suatu dalil bahwa hal itu adalah benar" Muhammad Taqi Misbah Yazdi, Hafte Nāmeh Partu Sukhan (25 Urdibehesht 81) hlm. 4.
3- Emile Durkheim, Shuwar Bunyāni Hayāt Dīni (The Elementary Forms of Religious Life), terjemahan Parsi oleh Baqir Parham, hlm. 578-579.

Klasifikasi Beberapa Pengalaman Keagamaan

Keenam bagian-bagian pengalaman religius yang dikemukakan oleh Caroline Franks Davis(1) telah menarik perhatian sekelompok penulis berbahasa Parsi dan dengan suatu istilah-istilah yang lebih diterima oleh mereka. (2) Walaupun demikian, sepertinya Davis dalam pembagian ini memadukan beberapa kriteria yang berbeda-beda dan memunculkan suatu komposisi yang tidak serasi. (3) Bagaimanapun, dengan memperhatikan kriteria-kriteria yang berbeda dalam suatu pembagian, dapat memberikan pembagian-pembagian yang lebih variatif tentang pengalaman keagamaan, di mana sebagian di antaranya akan kami jelaskan sebagai berikut.

Pengalaman-Pengalaman Indriawi (Pseudo Indriawi) dan Bukan Indriawi

Richard Swinburne (1934 M) menyebut bentuk realisasi pengalaman pengalaman religius-dari sudut pandang kebutuhan pada perantara perantara indriawi (atau ketidakbutuhan dengannya) dan juga keumuman atau personalitas fenomena yang telah dialami-dalam lima jenis:(4) a. Dengan perantaraan sesuatu yang bersifat indriawi dan dalam bentuk suatu fenomena yang bersifat umum dan lazim. Sebagai contoh, tenggelamnya matahari adalah suatu fenomena umum yang dapat disaksikan oleh semua orang; walaupun demikian,

p: 286


1- Bagian-bagian ini terdiri dari: Interpretive, quasi-sensory, revelatory, regenerative, numinous, dan mystical. Silakan lihat Caroline Franks Davis, The Evidential Force of Religious Experience, hlm. 33–56.
2- Sebagai contoh, silakan lihat Muhammad Taqi Fuali, Tajrube-e Dīni wa Mukāsyafa Irfānī, hlm. 348-373; Ali Shirwani, “Tajrube-e Dīni", dalam: Justarhae dar Kalam-e Jadid, hlm. 158-172.
3- Pembagian ini mirip dengan individu-individu manusia kita kelompokkan seperti ini: kulit putih, kulit hitam, para penyair, orang-orang sakit, orang-orang Iran, orang-orang Indonesia, dan lain sebagainya, sementara cara yang benar ialah bahwa sejumlah kriteria-kriteria yang dimaksudkan (seperti: warna kulit, bangsa, profesi, dan ...) kita melakukan suatu pembagian- pembagian terpisah. Tentu saja, salah seorang di antara para penulis, kendatipun menyebut keenam bagian yang telah disebutkan sebelumnya, tidak kosong dari kesalingtindihan (saling memasuki) antara satu dengan lainnya, ia sendiri mencampuradukkan dua pembahasan "esensi pengalaman keagamaan" dan "jenis-jenisnya" antara satu dengan lainnya dan menghitung bagian-bagian pengalaman keagamaan seperti ini: A) Pengalaman irfan; B) Pengalaman keagamaan adalah sejenis perasaan; c) Pengalaman keagamaan yang setara atau sama dengan pengalaman indra; D) Pengalaman-pengalaman menyerupai indra! silakan lihat Muhammad Muhammad Ridhai, "Neghāhi beh Tajrubah Dini", dalam: Qabasāt, No.26, hlm. 5-9.
4- Richard Swinburne, The Existence of God, hlm. 249–253.

boleh jadi fenomena lazim ini pula yang menyebabkan orang- orang merenung dan kemudian teringat dengan Tuhan.

b. Dengan perantaraan sesuatu yang bersifat indriawi dan dalam bentuk suatu fenomena yang bersifat umum dan tidak lazim.

Terkadang suatu fenomena yang dialami, bukan fenomena biasa dan tak lazim (seperti terdegarnya suara dari pohon atau dengan ungkapan lain, dari semak belukar yang menyala tapi tidak terbakar),(1) tetapi merupakan suatu yang bersifat umum, yakni sesuai kaidah, semua orang-orang yang menyaksikan kejadian tersebut memperoleh pengalaman perjumpaan dan pendengaran darinya. (2) Swinburne menyebut munculnya Bunda Maria (Maryam) pada Fatima(3) termasuk dalam kategori ini. (4) Menurutnya, hari kebangkitan (kehidupan kembali) al-Masih(5) adalah contoh yang lain dari bagian ini.

Di hari awal pekan, ketika fajar telah menyingsing, mereka mengambil hanuth (obat wangi pengawet mayat) yang mereka telah buat, lalu mereka datang ke kuburan. ...dan mereka melihat batu bergelindingan dari atas kuburan. Mereka masuk dan tidak

p: 287


1- Isyarah kepada awal kali turunnya wahyu kepada Nabi Musa. Para penulis buku "Aql wa I'tiqād Dīni" [Reason and Religious Belief mengisyaratkan kejadian ini pula di sini. Silakan lihat Michael Peterson et al., 'Aql wa I'tiqād Dīni, hlm. 38–39.
2- Contoh dari jenis pengalaman-pengalaman keagamaan adalah sesuatu yang terjadi pada penulis pada tahun 1362 S. Pada masa kanak-kanak saya pernah mendengar bahwa setiap kali seekor anjing menyerang manusia, dengan membaca ayat "wa kalbuhum bāsithun dzirā ayhi bi al-washīdi” (QS Al-Kahf (18]: 18) akan sangat bermanfaat. Pada suatu subuh, saya melalui suatu jalan bersama dengan salah seorang teman dan dalam jarak yang dekat saya melihat seekor anjing melintas, meski tak ada serangan dari anjing, beberapa kali saya membaca ayat dan setiap kali dengan sangat takjub saya melihat bahwa anjing berhenti dan dengan dari apa yang ada dalam makna ayat, melebarkan lengan dan pahanya pada tanah!
3- Fatima adalah nama suatu daerah di negara Portugal; suatu tempat di mana pada tahun 1917 M seorang putri yang bercahaya melebihi matahari, menunggangi sepotong awan dan terlihat oleh anak Kristen di atas pohon yang selalu hijau. Dalam enam bulan berturut-turut kejadian ini terulang dan masyarakat yang menemani ketiga anak ini dan terkadang jumlah mereka sampai pada lima puluh ribu orang bergerak mendatangi pohon dan melihat awan tersebut dengan mata mereka. Silakan lihat: Michel Malherbe, Insān wa Adyān (Man and Religons), terjemahan Parsi oleh Mehran Tawakkuli, hlm. 297-299; H. M. Gillett, "Fatima" dalam New Catholic Encyclopedia, vol. 5, hlm. 855.
4- Richard Swinburne, The Existence of God, hlm. 250.
5- Tafsiran "Kebangkitan kembali al-Masih" dan hikayat-hikayat yang terkait dengannya adalah berdasarkan pandangan orang-orang Kristen yang percaya dengan tersalibnya Isa; sementara menurut pandangan al-Qur'an, kenyataannya ialah bahwa "Padahal mereka tidak membunuhnya dan tidak (pula) menyalibnya, tetapi yang mereka bunuh ialah) orang yang diserupakan dengan Isa bagi mereka.” (QS Al-Nisā [4]: 157)

menemukan jazad tuhan Isa.(1) ... Tiba-tiba Isa berdiri di tengah- tengah mereka dan berkata kepada mereka: "Salam kepada kalian," tetapi mereka gemetaran dan menjadi takut, mereka mengira telah melihat ruh Isa berkata kepada mereka: "Mengapa kalian gugup? Dan untuk apa dalam hati kalian timbul keraguan (syubhat)? Lihatlah tangan dan kakiku, ini adalah aku, letakkanlah tangan kepadaku, lihatlah karena ruh tidak memiliki daging dan tulang."(2) Poin yang ingin ditunjukkan Swinburne ialah bahwa universalitas atau keumuman suatu kejadian tidak begitu bisa dibuktikan.(3) Sebagai contoh, apabila saya melihat wujud berkulit putih dan dengannya saya berbicara, dari mana saya dapat mengetahui bahwa jika sekiranya ada orang lain yang bersama saya, dia pun akan mengalami fenomena ini.(4) DISKUSIKAN DAN PIKIRKAN Keumuman dan Ketidakumuman Pengalaman Wahyu Imam Ali dalam menjelaskan suatu peristiwa, di mana hal itu dalam istilah para peneliti agama Barat- dapat disebut sebagai suatu pengalaman keagamaan, tentang kesannya bersama Rasulullah Saw. dalam gua Hira, berkata seperti ini:

Setiap tahun ia berkhalwat di gua Hira. Aku melihatnya dan selain diriku tak ada seorang pun yang melihatnya. ... Aku melihat cahaya wahyu dan kenabian serta mencium aroma nubuwwah. Ketika wahyu turun

p: 288


1- Lukas, 24: 1–3.
2- Lukas, 24: 36-39.
3- Dari kaidah filsafat "hukm al-amtsāl fi mā yajūz wa fi mā lā yajūz wāhidun" (Hukum sesuatu yang sama pada apa yang dibolehkan dan pada apa yang tidak dibolehkan adalah satu) dihasilkan bahwa siapa yang seperti orang yang melihat ini dari segala sudut pandang, jika ia di sini, maka kejadian ini pula yang dilihatnya. Namun, hakikatnya adalah bahwa dengan mudah tidak dapat dibuktikan bahwa dalam kejadian khusus, orang lain dari segala sudut pandang seperti orang yang melihat ini.
4- Richard Swinbune, The Existence of God, hlm. 252.

kepadanya, aku mendengarkan suara setan. Aku berkata:

"Wahai utusan Tuhan, suara apa gerangan ini?" Nabi Muhammad Saw. berkata: "Ini adalah setan yang sedang khawatir dan berputus asa karena tidak menyembah- Nya. Sesungguhnya engkau mendengar apa yang aku dengar dan melihat apa yang aku lihat, hanya saja engkau bukanlah nabi." (1) Menurut Anda, apakah fenomena tidak lazim ini dapat dikatakan bersifat umum? Yakni sekiranya kita pun menemani Nabi Saw. di gua Hira, apakah kita dapat mendengar apa yang ia dengar dan melihat apa yang ia lihat?(2) c. Dengan perantaraan suatu hal yang bersifat indriawi dan dalam bentuk suatu fenomena personal yang dapat diungkapkan dengan menggunakan kata-kata biasa atau standar. Sebagai contoh, apa yang dialami dalam mimpi benar-benar merupakan sesuatu hal yang bersifat personal (individual) dan tidak disaksikan secara terbuka oleh semua orang, tetapi sangat banyak di antara jenis- jenis pengalaman seperti ini dapat dijelaskan dengan begitu mudah. Swinburne dalam hal ini mengisyaratkan kepada hikayat di bawah ini dari kitab suci:

Kelahiran Isa al-Masih dulunya seperti berikut bahwa karena ibunya Maryam telah bertunangan dengan Yusuf, sebelum mereka bersama, ia hamil dari Ruhul kudus. Suaminya Yusuf, karena ia adalah seorang laki-laki yang saleh, ia tidak ingin memberitahunya, Ia putuskan untuk meninggalkannya secara sembunyi-sembunyi. Namun, ketika ia memikirkan hal ini, tiba- tiba malaikat Tuhan tampak kepadanya dalam tidur, berkata: "Hai Yusuf, putra Dawud, janganlah takut mengambil istrimu Maryam karena apa yang ada padanya adalah dari Ruhul kudus." (3)

p: 289


1- Nahj al-Balāghah, Khotbah 192, hlm. 222-223.
2- Silakan lihat Murtadha Muthahhari, Majmū'Atsār, jil. 4, hlm. 356.
3- Matius,1: 18-20

Sebagaimana yang tampak, kebanyakan perbincangan malaikat dengan manusia dimasukkan dalam bagian ini karena secara umum kejadian seperti ini merupakan suatu fenomena yang bersifat personal dan pesan yang dibawa malaikat meskipun dengan bantuan kekuatan hayal, sebagaimana yang dikatakan para filsuf muslim(1) didapatkan dalam bentuk bahasa yang lazim (biasa) dan dalam bentuk ini dapat ditransmisikan kepada yang lain.

DISKUSIKAN DAN PIKIRKAN Personalitas Pengalaman Wahyu dan Terlihatnya Malaikat Pembawa Wahyu Berdasarkan sebagian riwayat-riwayat Islam, ketika malaikat Jibril hadir mendatangi Nabi Saw., ia duduk berhadapan dengannya sebagaimana halnya para pelayan (budak laki-laki);(2) dan boleh jadi dengan wajah seseorang yang bernama Dahiyah bin Khalifah Kalbi dan dalam keadaan ini, terkadang disaksikan oleh sahabat-sahabat Nabi Saw.. (3) Menurut Anda, jika kita menyebut wahyu sebagai pengalaman keagamaan nabi, dengan memperhatikan riwayat-riwayat semacam ini apakah fenomena wahyu (yang disertai dengan perantaraan malaikat) dapat dikatakan termasuk dari bagian ketiga ini? d. Dengan perantaraan suatu hal yang bersifat indriawi dan dalam bentuk suatu fenomena personal yang tidak dapat dijelaskan dengan bahasa biasa (bahasa lazim). Para arif yang mendapati pengalaman religiusnya sulit dan mustahil untuk dideskripsikan,

p: 290


1- Silakan lihat Abu Nashr Farabi, Ārā Ahl al-Madīnah al-Fādhilah, hlm. 115-116; Ibn Sina, al- Mabdā wa al ma'ād, hlm. 115-121; Shadr al-Muta'allihin Syirazi (Mulla Sadra), al-Mabdā wa al-Ma'ād, jil. 1, hlm. 803-804; Mulla Sadra, al-Hikmat al-Muta'āliyah fī al-Asfar al-Aqliyyāt al- Arba'ah, jil. 7, hlm. 24-28.
2- Muhammad Baqir Majlisi, Bihar al-Anwār, jil. 18, hlm. 256 dan 260.
3- Muhammad Baqir Majlisi, Bihār al-Anwār, jil. 18, hlm. 267; jil. 20, hlm. 210; jil. 22, hlm. 332; jil. 92, hlm. 354; Muhammad bin Ya'qub Kulaini, al Kāfi, jil. 2, hlm. 587.

boleh jadi memiliki suatu pengalaman dari jenis ini.(1) Sebagian penulis Kristen, menyebut pengalaman Bunda Teresa (1512–1582 M) sebagai contoh dari bagian ini:(2) Aku pada perayaan megah tradisi Petrus, dalam keadaan memanjatkan puji dan doa melihat al-Masih berada di dekatku atau lebih baik kukatakan: aku mengetahui kehadirannya karena tidak dengan mata kepala aku melihat sesuatu, tidak pula dengan mata hati. Aku merasakan bahwa ia benar-benar dekat denganku dan melihatnya serta mengira bahwa dirinya yang berbicara denganku. ... di sepanjang (dalam seluruh) waktu seolah Isa al- Masih berada di dekatku, tetapi hal ini bukanlah perjumpaan ilusif. Aku tidak mampu melihatnya dalam suatu bentuk apa pun; Aku hanya merasakan bahwa di sepanjang (dalam seluruh) waktu ia tepat berada di belakangku dan mengawasi seluruh amal perbuatanku. (3) e. Tanpa perantaraan suatu hal yang bersifat indriawi. Pada empat bagian sebelumnya, pengalaman keagamaan merupakan suatu fenomena yang sifatnya terlihat dan terdengar; meskipun mungkin saja penglihatan dan pendengaran ini tidak pantas bagi setiap mata dan telinga. Namun pada jenis kelima, tanpa perantaraan hal-hal yang bersifat indriawi suatu pengalaman religius dapat diperoleh, dan "dengan bantuan kedua mata; ruh dan akal" wajah "hakikat tak terlihat" tersebut dipersepsi. (4) Bagian ini mencakup banyak tipe dari pengalaman- pengalaman keagamaan, di mana dalam satu sisinya terdapat ilham dan penyingkapan-penyingkapan (mukāsyafah) tinggi para arif dan pada sisi lainnya, pengalaman-pengalaman

p: 291


1- Richard Swinburne, The Existence of God, hlm. 251.
2- Sepertinya, mengingat bahwa Bunda Teresa merasakan kehadiran Isa al-Masih dengan kalbunya dan tidak melihatnya dalam bentuk fenomena indriawi apa pun, pengalaman keagamaannya harus dianggap sebagai pengalaman keagamaan bagian kelima.
3- Michael Peterson et al., 'Aql wa I'tiqad Dini, hlm. 39-40.
4- Nicholas Cozai (1401–1464 M), arif dan intelektual berkebangsaan Jerman, menulis, "Namun, aku menemukan apa yang diisyaratkan oleh patungmu ini, tetapi tidak dengan bantuan mata lahiriahku, melainkan dengan bantuan kedua mata ruh dan akalku; dengan bantuan merekalah aku menemukan hakikat tak terlihat wajahmu.” Silakan lihat Michael Peterson et. al., 'Aql wa I'tiqad Dīnī, hlm. 40.

sekelompok orang-orang beriman. (1) Sesungguhnya, apa yang disebut dengan fitrah pengetahuan ketuhanan manusia, akan menampakkan hakikat akhir itu dalam bentuk ini (tanpa dibantu indra) kepada seseorang. Kendati mungkin saja hakikat-hakikat indiriawi menyiapkan prakondisi mekarnya pengalaman ini.

Berdasarkan hal ini, Imam Shadiq mengajak seseorang di mana dialog tentang Tuhan tidak lagi mengantarkannya kepada suatu tempat dan terjatuh dalam keheranan, kepada suatu kondisi di mana harapan atas seluruh sebab-sebab materi telah terputus, tetapi tetap menatap kepada penolong yang lebih tinggi. (2) Ia...., ketika peristiwa-peristiwa masa menghempaskan bahtera daya kekuatan manusia serta menampakkan pelbagai kekurangan dan ketidakmampuannya, timbul suatu kekuatan lain dan menepis hijab dari wajah. Pada saat itu, semuanya menemukan Tuhan dalam dirinya dan memanggilnya dengan niat tulus; meskipun hanya segelintir orang di antara mereka yang tetap tinggal dalam keadaan ini, "Dan apabila mereka dihantam ombak yang besar seperti gunung, mereka menyeru Tuhan dengan memurnikan agama (ketaatan) kepada-Nya. Maka tatkala Tuhan menyelamatkan mereka sampai kedaratan, hanya sebagian saja dari mereka yang serius dan lurus" (QS Luqmān [31]: 32). (3)

Pengalaman Religius yang Orisinal dan Pengalaman-Pengalaman yang Bersifat Tafsiran

Pengalaman Religius yang Orisinal dan Pengalaman-Pengalaman yang Bersifat Tafsiran yang Bersifat Tafsiran(4) Dalam suatu pembagian lain, pengalaman keagamaan dapat disebut dalam dua bagian:

a. Suatu pengalaman pengalaman di mana penamaan keagamaan (religius) tidak memiliki sandaran selain daripada pengalaman itu sendiri dan seluruh orang-orang yang menyaksikan-tanpa melihat pengalaman-pengalaman tersebut dinyatakan valid atau tidak, sependapat atas religiusitas pengalaman pengalaman tersebut.

p: 292


1- Lihat: Richard Swinburne, The Existence of God, hlm. 251.
2- Muhammad Baqir Majlisi, Bihār al-Anwār, jil. 3, hlm. 41.
3- Demikian juga, silakan lihat (QS Al-Anka būt [29]: 65).
4- Lihat: Caroline Franks Davis, The Evidential Force of Religious Experience, hlm. 33–35.

Sebagai contoh, terdengarnya panggilan dari pohon bahwa "Sesungguhnya aku adalah Allah, Tuhan semesta alam" (QS Qashash [28]: 30) tanpa ragu adalah sebuah pengalaman keagamaan dan penyebutan keagamaan terhadapnya bukan dalam jaminan suatu tafsiran khusus dari kejadian ini.

b. Suatu pengalaman di mana penamaan keagamaan mereka disebabkan suatu tafsiran khusus dari mereka yang diberikan oleh orang yang mengalami.(1) Davis dalam hal ini mengomentari (menjelaskan) suatu peristiwa di mana berdasarkan itu, seseorang yang sesudah mencium bau hangus yang tak lazim, tanpa disadari, dari bioskop ia kembali ke rumahnya dan menyelamatkan bayinya yang masih berumur enam bulan dari keterjebakan dalam api.

Menurutnya, penyebutan keagamaan terhadap pengalaman ini karena suatu penafsiran yang dikemukakan oleh orang yang mengalaminya: "Tuhanlah yang dengan segera mengirimku ke rumah, sehingga aku menyelamatkan anakku."(2) Selain kejadian khusus ini, Davis menempatkan pula contoh-contoh umum di bawah ini ke dalam kategori pengalaman-pengalaman keagamaan yang bersifat interpretabel: menyebut musibah dan kejadian- kejadian mengerikan sebagai hasil dosa sebelumnya; bersegera dalam menjemput penyakit guna bergabung dalam penderitaan dan musibah-musibah al-Masih; memandang semua kejadian- kejadian getir ataupun manis disenangi jiwa-jiwa; menganggap kejadian tertentu (khusus) sebagai jawaban atas doanya."(3)

p: 293


1- Interpretabelnya sebuah pengalaman keagamaan bukan bermakna tanpa dasar, sebagaimana jika seorang dokter spesialis menyebut suatu fenomena yang secara lahir biasa saja sebagai tanda suatu penyakit, tidak boleh dianggap tidak valid dengan alasan bahwa semua orang tidak sependapat dengan tafsiran khusus ini.
2- Caroline Franks Davis, The Evidential Force of Religious Experience, hlm. 34.
3- Caroline Franks Davis, The Evidential Force of Religious Experience, hlm. 33.

DISKUSIKAN DAN PIKIRKAN Pengalaman-Pengalaman Religius yang Sifatnya Tafsiran Berdasarkan sebagian riwayat-riwayat Islam, takaran musibah dan ujian setiap orang di dunia ini adalah seukuran dengan derajat kedekatannya kepada Tuhan, "Sesungguhnya manusia yang paling keras cobaannya adalah para nabi, kemudian yang mengikuti mereka, kemudian yang sepertinya, lalu yang sepertinya“(1) Begitu pula menurut perkataan para Imam Maksum, hal-hal seperti; kehilangan rezeki (2) dan secara umum nikmat-nikmat Tuhan, (3) terjauhkan dari ibadah-ibadah seperti salat malam dan terjangkiti dengan berbagai macam penyakit(4) merupakan konsekuensi dari dosa-dosa seseorang.

Menurut Anda, kepercayaan atas doktrin-doktrin keagamaan semacam ini—khususnya ketika dilegitimasi dengan penyaksian-penyaksian riil-sejauh mana akan berujung kepada pengalaman-pengalaman yang sifatnya tafsiran? Apakah pengalaman-pengalaman keagamaan semua kaum agamawan tentang hal ini sama? Apakah Anda mengenal orang-orang yang dengan cara pandang seperti ini, memberikan warna religius kepada seluruh dimensi-dimensi kehidupannya?(5)

p: 294


1- Muhammad bin Ya'qub Kulaini, al-Kafi, jil. 2, hlm. 252 (Kitāb al-Imān wa al-Kufr, Bab "Syiddat ibtilāi al- Mukmin", hadis 1). Dalam bab ini, terdapat 30 hadis.
2- Inna dzunūba yahrumu al-abdu al-rizqa (Sesungguhnya dosa-dosa mencegah seorang hamba dari rezeki)." Muhammad bin Ya'qub Kulaini, al-Kafi, jil. 2, hlm. 271 (Kitāb al-Imān wa al-Kufr, Bab "al-Dzunub", hadis 11).
3- "Mā an'amaLlahu alā abdi ni matan fasalabahā iyyāhu hattā yadznubu dzanban yastahiqqu bidzalik al-salb"( Muhammad bin Ya'qub Kulaini, al-Kafi, jil. 2, hlm. 274, hadis 24)
4- Muhammad bin Ya'qub Kulaini, al-Kāfi, jil. 2, hlm.169, hadis 3.
5- Davis tentang orang-orang seperti ini mengatakan: "Sebagian masyarakat dalam iman mereka sedemikian teguh sehingga dalam pandangan mereka, semua apa yang mereka lakukan dan alami (baik perbuatan-perbuatan besar maupun perbuatan-perbuatan keseharian) memiliki warna religius." Caroline Franks Davis, The Evidential Force of Religious Experience, hlm. 43.

Pengalaman-Pengalaman yang Menghasilkan Pengetahuan serta Menghidupkan

Dilihat dari fungsinya, pengalaman-pengalaman keagamaan dapat digolongkan ke dalam dua bagian utama (asli), yaitu pengalaman- pengalaman yang menghasilkan pengetahuan (makrifat) dan pengalaman-pengalaman yang menghidupkan. Maksud kami dari pengalaman-pengalaman keagamaan yang menghasilkan pengetahuan kira-kira adalah sesuatu di mana Davis terkait dengan mereka menggunakan terma revelatory experience.(1) Menurutnya, pengalaman- pengalaman ini biasanya terjadi secara tiba-tiba serta dalam rentang waktu yang pendek dan pengetahuan yang diperoleh melalui jalan ini bukan bersifat penalaran dan difusi serta sebagian besarnya tidak dapat dideskripsikan. (2) Menurut pandangan orang-orang seperti Meister Eckhart (sekitar 1260—1328 M), nilai dan validitas pengetahuan-pengetahuan ini, setiap kali diperoleh dengan perantaraan suatu entitas seperti malaikat, lebih sedikit dari sesuatu yang dihasilkan melalui suatu relasi langsung dan tulus dengan Tuhan. (3) Bagian lain dari pengalaman-pengalaman keagamaan, lebih dari sekadar munculnya pengetahuan-pengetahuan baru, menjadi sumber perubahan (boleh jadi sangat menentukan nasib) bagi kehidupan orang yang mengalami. Pengalaman-pengalaman yang menghidupkan ini-yang kurang lebih dapat ditemui dalam kehidupan semua kaum Mukmin-memiliki bentuk atau tipe yang tersebar luas dan mencakup mulai dari perasaan-perasaan hening dan tenang ketika berdoa hingga

p: 295


1- Revelatory dalam kamus bermakna penyingkapan dan pewahyuan (bersifat wahyu), tetapi secara teknis memberi pengetahuan lebih baik dalam menampakkan maksud dari bagian pengalaman-pengalaman keagamaan ini. Bagaimanapun, poin yang patut diperhatikan ialah bahwa maksud Davis di sini bukan sekedar pengalaman-pengalaman wahyu para nabi.
2- Caroline Franks Davis, The Evidential Force of Religious Experience, hlm. 40.
3- Caroline Franks Davis, The Evidential Force of Religious Experience, hlm. 43. Dalam khazanah budaya Islam pun, wahyu langsung dan tanpa perantara adalah lebih baik (lebih utama) dari wahyu yang disertai dengan perantaraan malaikat. Silakan lihat Muhammad Baqir Majlisi, Bihār al-Anwār, jil. 18, hlm. 256 dan 268. Meskipun demikian, maksud Eckhart tentang hubungan langsung dan dekat dengan Tuhan bukan terbatas atau terkhusus pada wahyu tanpa perantaraan bagi para nabi.

penyaksian pebuatan-perbuatan menakjubkan (ajaib).(1) Hikayat tentang pengalaman-pengalaman semacam ini sangat banyak dan kisah pertobatan Fudhail Ayyadh (w. 187 H) merupakan salah satu contohnya:

Diriwayatkan bahwa pada awalnya ia jatuh cinta kepada seorang gadis. Apa saja yang didapatkannya dengan merampok, ia kirimkan kepadanya. Terkadang ia mendatanginya dan menangisi tingkahnya.

Hingga pada suatu malam, karavan lewat. Di tengah-tengah karavan seseorang membaca ayat ini: "Belumkah datang waktunya bagi orang- orang yang beriman untuk tunduk hati mereka mengingat Allah?" (QS Al Hadid [57]: 16). Ayat ini laksana sebuah anak panah yang menancap pada hati Fudhail. Ia berkata: Telah datang! Telah datang..! Dan waktu pun telah berlalu." Dengan tidak sadar, malu dan risau meletakkan wajah pada reruntuhan. Tadinya, sekelompok anggota karavan turun dari kendaraannya. Mereka ingin bergegas pergi, sebagian berkata:

"Karena kita pergi? Fudhail di depan jalan."Fudhail berkata: "Karena petunjuk kalian, ia telah bertobat dan lari menghindari kalian, sebagaimana kalian lari menghindarinya."(2)

Watak Pengalaman Keagamaan

Orang-orang seperti Schleiermacher, William James, dan Rudolf Otto (1869–1937 M) menyebutkan pengalaman keagamaan semacam perasaan-perasaan dan emosi atau sentimen-sentimen(3) dan memahami perenungan-perenungan filosofis dan teologis sebagai hal-hal yang tunduk atau mengikut dari pengalaman ini (seperti terjemahan suatu teks ke bahasa yang lain).(4) Golongan lainnya berkeyakinan bahwa pengalaman keagamaan adalah sama dengan persepsi indriawi dan strukturnya tidak memiliki perbedaan substansial dengan persepsi

p: 296


1- Silakan lihat Caroline Franks Davis, The Evidential Force of Religious Experience, hlm. 45.
2- Fariduddin Atthar Nisyaburi, Tadzkirat al-Awliyā, hlm. 90.
3- Meski Schleiermacher tidak senang dengan penyebutan intelektual dan kognitif atas pengalaman pengalaman ini, Otto menegaskan nilai pengetahuan pengalaman ini. Silakan lihat Rudolf Otto, The Idea of the Holy, diterjemahkan oleh By John W. Harvey, hlm. 146–147.
4- Michael Peterson et. al., 'Aql wa I'tiqād Dīni, hlm. 41-42. Begitu pula, Friedrich Schleiermacher, On Religion, diterjemahkan oleh Richard Crouter, hlm. 108; William James, The Varieties of Religious Experience, hlm. 470; Wayne Proudfoot, Religious Experience, hlm. 156-169.

seperti ini;(1) dengan ungkapan lain, antara pengalaman keagamaan dan pengalaman pengalaman umum yang bersifat indriawi, dapat ditemukan banyak kemiripan-kemiripan yang sifatnya mendasar dan substansial.(2) DISKUSIKAN DAN PIKIRKAN Pengalaman Religius dan Persepsi Indriawi Anggapan sama antara pengalaman keagamaan dan persepsi indriawi telah dihadapkan dengan kritikan- kritikan seperti ini:

1. Persepsi indriawi adalah suatu pengalaman yang sifatnya umum, tetapi pengalaman keagamaan memiliki keumuman yang lebih minim dan bahkan mungkin saja merupakan suatu pengalaman yang langka.

2. Persepsi indriawi menghasilkan informasi-informasi terperinci yang sangat banyak tentang alam, tetapi sepertinya pengalaman keagamaan memberikan suatu informasi yang sediki tentang Tuhan. (3) 3. Persepsi-persepsi indriawi manusia secara keseluruhan bersesuaian antara satu dengan lainnya.

Oleh karena itu, kita dapat menilai keakuratan dan keabsahan setiap persepsi khusus dengan merujukkannya kepada pengalaman-pengalaman indriawi lainnya. Namun, pengalaman-pengalaman keagamaan mempunyai variasi yang begitu banyak dan oleh karena itu, kebenaran (keabsahan) dan keakuratan suatu pengalaman keagamaan khusus dengan mudah tidak dapat disahkan. Pengalaman- pengalaman keagamaan terbatasi dan tersyarati dengan pandangan-pandangan keagamaan dan

p: 297


1- Michael Peterson et al., 'Aql wa I'tiqād Dīni, hlm. 43–44.
2- Lihat: William P. Alston, Perceiving God, hlm. 9; William J. Wainwright, "The Cognitive Status of Mystical Experience”, dalam Rowe and Wainwright (Eds.) Philosophy of Religion, hlm. 362.
3- Michael Peterson et. al., 'Aql wa l'tiqād Dini, hlm. 44.

kultural yang secara totalitas berbeda dan dengan alasan ini pula objek persepsi para penganut agama- agama yang berbeda-beda sangat berbeda antara satu dengan lainnya."(1) Menurut Anda, apakah kritikan-kritikan ini kokoh dan mampu membuktikan maksud dari orang yang mengkritik?(2) Diskusikanlah tentang kritikan-kritikan tersebut serta keberatan-keberatan lainnya yang berkenaan dengan pandangan ini antara satu dengan lainnya! Sepertinya tingkatan-tingkatan tinggi pengalaman keagamaan termasuk dalam kategori ilmu hudhuri; di mana tidak terdapat perantara antara subjek (orang yang mengalami) dan objek pengalaman.

Berdasarkan keyakinan para filsuf Muslim, bahkan dalam sebagian pengalaman-pengalaman keagamaan yang bersifat pendengaran pun, sebelum orang yang mengalami mendengarkan suara-suara, hati (qalbu)-nya telah tahu tentangnya: "Kalam Ilahi pertama didengar oleh hati nabi, ... dan setelah itu terdengar oleh pendengaran lahiriah (zhahir)."(3)

Pandangan tentang Pengalaman Wahyu dalam Dunia Islam

Dalam dunia Islam, Iqbal Lahore merupakan salah seorang yang pertama kali menamakan wahyu sebagai pengalaman batin nabi.

Ia menempatkan pengalaman ini berdampingan dengan dua jenis pengalaman lainnya, yaitu pengalaman luar (eksternal) dan pengalaman historis.(4) Sebagian penulis lainnya yang cenderung kepada pandangan ini, berkeyakinan bahwa pola-pola tradisional harus kita kesampingkan dan fenomena-fenomena seperti wahyu kita pandang sebagai prospek pengalaman.

p: 298


1- Michael Peterson et al., 'Aql wa I'tiqād Dīnī, hlm. 48.
2- Silakan lihat Michael Peterson et. al., 'Aql wa I'tiqād Dīni, hlm. 44-48.
3- Mulla Abdurrazak Lahiji, Ghauhar Murād, hlm. 366.
4- Muhammad Iqbal Lahore, Ihyā Fikr Dīnī dar Islām, hlm. 147.

Sepanjang sejarah agama-agama wahyu, para penganut agama-agama ini ketika ingin memahami wahyu itu apa, mereka menafsirkannya dengan paradigma-paradigma pengetahuan yang mereka miliki, ... dewasa ini, jika suatu model pengetahuan lain diterima; seperti model pengalaman keagamaan, maka pada kondisi seperti ini, wahyu mesti didekati dengan paradigma ini dan semua masalah harus ditinjau dari sudut ini.(1) Selain dari pada faktor-faktor yang secara umum berpengaruh dalam pemetaan masalah pengalaman keagamaan, sesuatu yang menggiring sebagian dari kalangan pemikir untuk mengemukakan analisis baru tentang wahyu ini ialah terjadinya suatu keselarasan antara "stabilitas agama" dan "perubahan dalam kehidupan manusia".

Menurut sebagian penulis Islam dan Kristen, tafsiran tradisional atas wahyu tidak mampu mendamaikan antara hal-hal religius yang sifatnya tetap dengan perubahan dalam kebutuhan-kebutuhan masyarakat; sementara jika wahyu terhitung sebagai suatu pengalaman keagamaan nabi, landasan analisis ini menjadi tersedia di mana meskipun seluruh nabi memperoleh wahyu dari satu sumber, tetapi peran nabi dalam menyebutkan pengalaman ini, menjadikan hal itu tetap selaras dengan peruntukan zamannya.

Begitu pula para penganut agama juga senantiasa memberikan interpretasi baru tentang pengalaman ini dan menyiapkan sebuah penafsiran baru dari agama. Dengan demikian, teologi merupakan tafsiran secara terus-menerus atas pengalaman keagamaan ini; dan karena tafsiran ini dalam setiap zaman tersyarati dan terbatasi oleh faktor-faktor kesejarahan pemahaman, maka teologi pun akan senantiasa mengalami perubahan."(2) Di samping hal ini, sebagaimana yang telah lalu-sebagian pemikir Kristen, menjadikan pengalaman keagamaan sebagai sebuah pretensi guna menjustifikasi ide-ide pemikiran kitab suci (Injil).

Penjustifikasian ini dilakukan dengan bantuan konsep "keterangan" atau "tafsiran"-yang akan dibahas berikut ini.

p: 299


1- Muhammad Mujtahid Shabestari, Naqdi bar Qira'at Rasmi az Dīn, hlm. 405.
2- Muhammad Mujtahid Shabestari, “Modernism wa Wahy", dalam Kiyān, No. 29, hlm. 18.

Tafsiran Pengalaman Keagamaan dan Batasan-Batasan Manusiawi

Meskipun objek pengalaman keagamaan-sebagaimana telah lalu, tidak mesti merupakan hal-hal yang bersifat nonindriawi (tidak terlihat dan tidak terdengar), sebagian berkeyakinan bahwa sesuatu yang diperoleh dengan pengalaman keagamaan, bukan kata-kata (berupa lafaz-lafaz), melainkan makna-makna dan hakikat-hakikat yang memerlukan tafsiran dan "ketika pengalaman religius ditafsirkan, akan terpengaruh dengan budaya dan empat keterbatasan manusia, yakni; keterbatasan sejarah, keterbatasan bahasa, keterbatasan sosial, dan keterbatasan fisikal akan berpengaruh dalam pengalamannya."(1) Berdasarkan pandangan ini, pengalaman keagamaan para nabi pun bukanlah rajutan terpisah dan seperti halnya dengan pengalaman- pengalaman lainnya, tertawan dalam penjara batasan-batasan manusiawi serta tidak memiliki jalan untuk menghindar dari kesalahan.

Atensi dan perhatian Tuhan bukan pada ini, Dia mendiktekan sebuah kitab yang maksum atau membisikkan (mewahyukan) ajaran- ajaran yang tidak bisa salah dan tak dapat disalahkan. ... wahyu ketuhanan dan respon manusiawi senantiasa saling bertautan. Suatu perjumpaan dengan kehendak dan aturan Ilahi (bersifat ketuhanan) yang telah dialami, ditafsirkan dan dideskripsikan oleh manusia yang bisa salah.(2) Dikatakan bahwa sebagian kaum Muslim guna, dari satu sisi memikirkan sebuah solusi bagi kewahyuan kata-kata al-Qur'an dan dari sisi lain, menunjukkan keselarasan agama wahyu yang bersifat tetap (permanen) dengan kondisi-kondisi sosial yang sifatnya berubah, menyebut pengalaman keagamaan Nabi Saw. belum ditafsirkan(3) dan menyerahkan ulasan atau tafsirannya kepada orang-orang di sepanjang sejarah. Berdasarkan pandangan ini, rahasia keparipurnaan agama Islam implisit dalam poin bahwa wahyu Islam sedemikian rupa berada dalam ikhtiar (kuasa) semua orang dalam keadaan belum ditafsirkan,

p: 300


1- Muhammad Mujtahid Shabestari, Naqdi bar Qira'at Rasmi az Dīn, hlm. 383.
2- lan Barbour, 'Ilm wa Dīn, terjemahan Parsi oleh Bahauddin Khurramsyahi, hlm. 269. Begitu pula, silakan lihat Muhammad Mujtahid Shabestari, Hermeneutik Kitāb wa Sunnat, hlm. 200.
3- Sementara, pada umumnya ditekankan poin bahwa tak ada satu pun pengalaman yang tidak tertafsirkan. Silakan lihat lan Barbour, 'Ilm wa Din, hlm. 246.

sehingga dalam setiap zaman suatu tafsiran yang sesuai darinya dapat diajukan serta tersedianya pembacaan atau interpretasi baru, yakni berlawanan dengan nabi-nabi lainnya yang mendedikasikan tafsiran (interpretasi) pengalaman batin mereka kepada umat, dalam kaitannya dengan Rasul Mulia Islam Saw. takdir Ilahi berlaku seperti ini bahwa "Pengalaman riil batin nabi, tanpa tafsiran, berada dalam ikhtiar (kuasa) masyarakat seolah pengalaman tersebut terulang bagi kita dan bagi setiap generasi dalam setiap masa. "(1) Telaah dan Kritik Dalam mengkaji gagasan-gagasan yang telah lalu kami akan mencukupkan diri dengan menjelaskan beberapa poin-poin mendasar:

1. Perhatian terhadap pengalaman keagamaan, meskipun pada umumnya dilakukan dengan motivasi keinginan baik serta dimaksudkan sebagai pembelaan atas wilayah suci religiusitas, tetapi tidak boleh berakhir pada ketersingkiran akal dan argumen (burhān). Pengetahuan-pengetahuan Islam memosisikan masing- masing dari akal dan syuhūd (penyaksian) dalam kedudukannya yang layak dan tidak mengambil data salah satu darinya dengan cara menistakan yang lain dan melalui jalan ini, dengan baik mereka menunjukkan keselarasannya dengan daya dan kebutuhan-kebutuhan manusia yang sesungguhnya.

2. Tanpa memperhatikan perampasan dan upaya pengeliruan istilah "pengalaman religius", penggunaan istilah pengalaman religius dalam ruang lingkup yang luas ini (sedemikian hingga meliputi kondisi-kondisi lazim (biasa) segolongan kaum Mukmin serta wahyu para nabi) dengan sendirinya adalah perbuatan yang tidak dipermasalahkan. Walaupun demikian, semua pengalaman- pengalaman religius tidak boleh dianggap berada dalam satu level (tingkatan), melainkan mereka harus disebut memiliki tingkatan- tingkatan yang sifatnya derivatif, di mana level tertingginya menyediakan suatu pengetahuan yang terjaga dari segala bentuk kesalahan. Sebagian dari kaum Muslim lalai dari poin ini dan

p: 301


1- Abdul Karim Soroush, Furbehtar az Ideologi, hlm. 77. Seperti diketahui bahwa penulis dalam karya lainnya tidak konsisten dengan pandangan ini.

menurunkan derajat wahyu para nabi pada level syuhūd dan perolehan para arif; sementara pencerapan wahyu bisa dinamai dengan pengalaman keagamaan dengan tetap menegaskan kekhususan atau ciri metafisik pengalaman ini, begitu pula dengan tafsirannya. Berdasarkan hal ini, nabi bukan hanya pada proses pengalaman, melainkan dalam penafsiran pun mendapatkan inayah khusus Ilahi dan hal ini merupakan salah satu tipologi yang menjadikan wahyu berbeda dengan perolehan (pencerapan) dan syuhud para arif. (1) UNTUK DIKETAHUI LEBIH JAUH:

Pengalaman Keagamaan dan Penjelasan Filosofis Wahyu Para filsuf Muslim-dalam suatu analisis yang mungkin saja dalam pandangan awal digolongkan sama dengan masalah kebutuhan pengalaman religius terhadap tafsiran (dalam tafsirannya yang umum)-berbicara tentang naiknya ruh nabi ke alam yang lain dan mendapatkan hakikat-hakikat maknawinya dan secara gamblang menegaskan poin bahwa hakikat-hakikat nonmateriel tersebut turun ke alam ini hanya ketika muncul dalam busana terindra dan dalam bentuk terlihat dan terdengar.

Akan tetapi, poin yang patut diperhatikan adalah bahwa berdasarkan pandangan ini, seluruh tahapan-tahapan ini merupakan suatu fenomena pengecualian dan bersifat supranatural dan keterbatasan-keterbatasan manusiawi tidak berpengaruh dalam menjadikan pengalaman batin ini terindra. Dengan kata lain, alam-alam materiel dan nonmateriel saling bersesuaian antara satu dengan lainnya

p: 302


1- Penerimaan pemilahan tersebut di antara pengalaman dan tafsiran, berdasarkan analisis para filsuf Muslim tentang fenomena wahyu. Berdasarkan analisis lainnya, secara asasi di sini tidak dapat dibicarakan tentang suatu unsur yang bernama ta bir atau tafsiran (membawanya dalam bentuk lafaz dan redaksi-redaksi).

dan "apa yang ada pada alam ini merupakan bayangan alam itu. "(1) Kata-kata wahyu-sebagaimana fenomena-fenomena materiel lainnya-pada alam yang lebih tinggi memiliki realitas nonindriawi dan ketika realitas tersebut turun dalam tingkatan-tingkatan eksistensial nabi dan terbawa ke alam ini, tampak dalam bentuk kata-kata; sedemikian rupa sehingga seolah antara kata-kata ini dengan makna- makna tersebut terjalin suatu relasi yang bersifat takwini. (2) 3. Penegasan tentang kebutuhan pengalaman terhadap tafsiran dan keterkungkungannya dalam lingkaran batasan-batasan manusiawi, menyebabkan kemaksuman para nabi dalam menyampaikan wahyu dipertanyakan;(3) sementara dimensi kemaksuman (infallible) ini tidak menerima bentuk keraguan apa pun dan pengingkaran atasnya akan berujung kepada terhentinya ekspansi nubuwwah. Jika satu-satunya jalan keselamatan manusia itu sendiri mengalami perubahan dan kesalahan serta hanya merupakan refleksi dari lingkungan sosial dan kebudayaan, lalu apa yang menjadi cinderamata diutusnya para nabi bagi manusia! Dari sisi inilah, al-Qur'an dengan suatu penjelasan indah menegaskan kemaksuman para nabi dalam menyampaikan wahyu:(4) "Mengetahui yang gaib, maka Dia tidak memberitahukan kepada seorang pun tentang yang gaib itu, kecuali yang diridhoi-Nya;

p: 303


1- Murtadha Muthahhari, Majmu'Ātsār, jil. 4, hlm. 416.
2- Untuk memperjelas gagasan ini, peran nabi dalam proses atau prosedur turunnya wahyu disamakan dengan fungsi sistem-sistem (alat) suara dan gambar standar. Sistem-sistem ini tidak menampilkan kembali gelombang-gelombang yang telah diperoleh, selain dalam bentuk tertentu dan tertetapkan.
3- Kemungkinan atau kebisaan salah pengalaman keagamaan adalah ditegaskan oleh kebanyakan di antara penulis-penulis Barat, sebagai contoh, silakan lihat Norman L. Geisler, Falsafah Din, terjemahan Parsi oleh Hamid Ridha Ayatullahi, jil. 1, hlm. 92. Walaupun demikian, sebagian orang yang memandang tafsiran pengalaman keagamaan terpenjara dalam lingkaran keterbatasan-keterbatasan manusia, tanpa menunjukkan jalan keluar dari pusaran ini, menyebut pengalaman keagamaan nabi sebagai sebuah tolok ukur dalam menimbang kebenaran pengalaman-pengalaman keagamaan yang lain. Silakan lihat Muhammad Mujtahid Shabestari, "Modernism wa Wahy", dalam: Kiyān, no. 29, hlm. 18).
4- Untuk telaah lebih jauh, silakan lihat Ahmad Husain Syarifi dan Hasan Yusufian, Pazyuhesysi dar Ishmat Ma shumān, hlm. 93-115.

maka sesungguhnya Dia mengadakan penjaga-penjaga di muka dan di belakangnya, supaya Dia mengetahui bahwa sesungguhnya rasul- rasul itu telah menyampaikan risalah-risalah Tuhan-nya, sedang ilmunya meliputi apa yang ada pada mereka, dan dia menghitung segala sesuatu satu persatu," (QS Al-Jinn [72]: 26–28).

4. Sebagaimana yang telah lalu, salah satu faktor yang menyebabkan sebagian orang menyebut wahyu sebagai sebuah pengalaman, dengan tafsiran tipikalnya-adalah terbangunnya rekonsiliasi antara "keadaan tetap wahyu" dan "perubahan dalam kehidupan manusia". Menurut dugaan mereka, apa yang menjadikan wahyu Ilahi bersesuaian dengan kebutuhan-kebutuhan setiap zaman ialah peran yang diemban oleh para nabi dan para pengikutnya dalam menafsirkan pengalaman batin ini; sementara dapat dikatakan bahwa pengirim wahyu (Tuhan), lebih tahu tentang kemaslahatan-kemaslahatan masyarakat yang plural dan dengan alasan kekuasaan takterhingga-Nya mampu mewujudkan kebutuhan-kebutuhan permanen (tetap) dan temporer (berubah) manusia dengan suatu lafaz atau kata-kata yang bersifat wahyu.

Pengikut-pengikut para nabi pun dengan penggunaan metode ijtihad dapat mencari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan baru mereka dari syariat dan melakukan penyesuaian antara hukum-hukum universal dan kejadian-kejadian partikular.

5. Wahyu Ilahi adalah suatu fenomena yang bersifat metafisikal dan tidak lazim (tidak umum). Oleh karena itu, jalan terbaik untuk mengenalinya ialah dengan mendengarkan perkataan-perkataan orang-orang yang telah mencapai sumber pengetahuan ini, yakni Nabi Saw., yang bukan hanya makna-makna ajaran-ajaran al- Qur'an, melainkan lafaz atau kata-katanya pun, berasal dari Tuhan dan menyebut dirinya tidak lebih dari sekadar penyampai atau perantara.(1) Berdasarkan pandangan inilah, kemukjizatan lafaz (kata-kata) al-Qur'an yang membuat dimensi keilahian kitab ini tidak diragukan menemukan makna. Kesimpulannya, tidaklah

p: 304


1- Dalam wahyu selain al-Qur'an, lafaz-lafaz dapat disebut sebagai gubahan nabi; kendati demikian, poin yang patut diperhatikan ialah bahwa wahyu merupakan sebuah fenomena yang lebih tinggi dari mukāsyafah-mukūsyafah dan ilham para arif serta tidak memiliki keterbatasan- keterbatasannya.

berarti bahwa nabi mewujudkan makna-makna wahyu dari dirinya dalam bentuk kata-kata (lafaz) dan dalam hal ini batasan- batasan insaninya telah menjadikan samar hakikat yang bersifat Ilahi: "Sesungguhnya kami menurunkannya [berupa al-Qur`an] dengan berbahasa Arab, supaya kamu memahaminya," (QS Yūsuf [12]: 2).

Kesimpulan

1. Istilah "pengalaman keagamaan" (religious experience) dalam penggunaan umum, diterapkan dalam kaitannya dengan segala jenis pengalaman yang berhubungan dengan kehidupan religius (mulai dari keadaan-keadaan segolongan kaum beriman hingga penyingkapan dan syuhūd para arif dan wahyu para nabi); dan dalam penggunaan khusus, terkhususkan pada pengalaman "pengetahuan atau kesadaran tentang Tuhan".

2. Faktor-faktor di bawah dapat disebut berpengaruh dalam memetakkan dan menekuni masalah pengalaman keagamaan, lemahnya sistem-sistem filosofis Barat dalam melakukan pembelaan rasional terhadap doktrin-doktrin keagamaan; kritik kitab suci; perjumpaan dengan agama-agama lain; kebersamaan dengan kafilah ilmu empirik; Humanisme; analisis materialistis tentang fenomena-fenomena yang tampak metafisik.

3. Salah seorang pemikir Kristen menyebut bagian dari pengalaman-pengalaman religius yang terwujud dengan perantaraan sesuatu yang indriawi, terbagi ke dalam empat bagian: fenomena yang bersifat umum dan lazim; fenomena yang bersifat umum dan tidak lazim; fenomena personal dan dapat dideskripsikan dengan bahasa lazim; fenomena personal dan tidak dapat dideskripsikan dengan bahasa lazim.

4. Sebutan religius (keagamaan) bagi sebagian pengalaman- pengalaman karena suatu "tafsiran" khusus yang dilakukan oleh individu yang mengalami. Sebagian penulis menyebut hal-hal di bawah ini sebagai pengalaman-pengalaman religius "tafsiran": menyebut bala dan kejadian-kejadian mengerikan sebagai hasil dari dosa sebelumnya; memandang semua

p: 305

peristiwa-peristiwa pahit dan manis diterima oleh jiwa-jiwa; menganggap kejadian khusus sebagai jawaban atas doanya.

Menurut fungsinya pengalaman-pengalaman keagamaan dapat dikelompokkan dalam dua bagian utama: pengalaman pengalaman yang menghasilkan pengetahuan dan pengalaman-pengalaman pembaru. Menurut sebagian peneliti agama, pengalaman yang menghasilkan pengetahuan biasanya bersifat dadakan atau tiba- tiba dan terjadi dalam waktu yang sangat singkat dan pengetahuan yang diperoleh melalui jalan ini, tidak argumentatif, emanatif, dan kebanyakannya tidak dapat dideskripsikan. Pengalaman-pengalaman pembaru yang menghidupkan) di samping menghasilkan pengetahuan (makrifat) baru, juga merupakan sumber suatu perubahan (boleh jadi menentukan nasib) orang yang mengalami.

6. Segolongan menyebut pengalaman keagamaan semacam perasaan- perasaan dan emosi-emosi dan sebagian lainnya menyebutnya sama dengan persepsi indriawi. Sepertinya tingkatan-tingkatan tinggi pengalaman keagamaan termasuk dalam kategori ilmu hudhuri (presentif).

7. Sebagian kaum Muslim berkeyakinan bahwa pola-pola tradisional mesti kita singkirkan dan "wahyu" harus kita pandang sebagai pengalaman keagamaan nabi. Golongan ini dengan menekankan perlunya pengalaman pada tafsir atau interpretasi (ta`bir), mengingatkan bahwa "ketika pengalaman ditafsirkan, akan terpengaruh dengan budaya dan empat keterbatasan manusia, yakni; keterbatasan historis, keterbatasan temporal (zamāni), keterbatasan sosial, dan keterbatasan fisik akan berpengaruh pada pengalamannya." 8. Penerapan istilah pengalaman keagamaan dalam ruang lingkup yang cukup luas ini (sedemikian sehingga mencakup keadaan- keadaan lazim segolongan kaum Mukmin dan wahyu para nabi) dengan sendirinya tak bermasalah. Walaupun demikian, seluruh pengalaman-pengalaman keagamaan tidak boleh dianggap berada pada satu tingkatan, melainkan mereka dapat disebut memiliki tingkatan-tingkatan yang derivatif di mana tingkatan tertingginya

p: 306

dapat menyiapkan suatu pengetahuan yang terjaga dari segala bentuk kesalahan.

Pertanyaan

1. Jelaskan apa yang dimaksud dengan istilah pengalaman keagamaan! 2. Bagaimanakah kritik terhadap argumen-argumen rasional pembuktian wujud Tuhan berpengaruh atas cara pandang empiris kepada agama? 3. Apa yang dimaksud dengan kritik konseptual atas kitab suci dan bagaimanakah masalah ini mengondisikan ketekunan terhadap pengalaman keagamaan? 4. Jelaskan secara singkat peranan tema-tema di bawah dalam menekuni dan memetakkan masalah pengalaman religius:

perjumpaan dengan agama-agama lain, kemajuan ilmu-ilmu empiris dan humanisme dalam ranah teologi.

5. Apa yang dimaksud dengan kejadian-kejadian lazim dan tak lazim dalam pengalaman-pengalaman keagamaan? Jelaskanlah dengan menyebutkan beberapa contoh! 6. Apa makna dari personalitas dan keumuman suatu pengalaman keagamaan dan dengan kriteria apa ia dapat dievaluasi (dibandingkan)? 7. Apakah kalangan pemikir Barat mesti menyebut seluruh pengalaman-pengalaman religius sebagai nonindriawi (atau mesti memerlukan perantara-perantara indriawi)? Jelaskan! 8. Apa pengalaman pengalaman keagamaan tafsiran itu? Sebutkanlah nama beberapa contoh dari jenis pengalaman pengalaman ini! 9. Dengan menyebutkan ciri-ciri pengalaman keagamaan yang menghasilkan pengetahuan, jelaskan perbedaan ciri-ciri ini dengan pengalaman-pengalaman pembaru (menghidupkan)! 10. Apa kritikan-kritikan yang dihadapi oleh pandangan yang menyebut pengalaman religius sama dengan persepsi indriawi? 11. Jelaskanlah maksud dari pernyataan ini dan tulislah kritikannya:

Terwujudnya kesesuaian antara tetapnya agama dan perubahan

p: 307

dalam kehidupan manusia, berpengaruh pada cara pandang empiris terhadap wahyu.

12. Berdasarkan pandangan kaum Muslim yang menekankan wahyu sebagai sebuah pengalaman keagamaan, di tangan siapakah "penafsiran" pengalaman keagamaan Nabi Saw. dilakukan:

Dia sendiri atau kaum Muslim sepanjang sejarah? Jelaskan! 13. Apakah wahyu dapat disebut sebagai pengalaman keagamaan nabi dan pada saat yang sama dikatakan tidak dapat salah? Mengapa?

p: 308

BAGIAN 10: PLURALISME AGAMA

Point

"Sesungguhnya agama (yang diridai) di sisi Allah hanyalah Islam" (QS Ali 'Imrān [3]: 19).

"Siapa yang memilih agama selain Islam, maka tidaklah diterima (agama itu) darinya dan di akhirat dia termasuk orang-orang yang merugi" (QS Ali 'Imrān [3]: 85).

Tak syak lagi bahwa hari ini akan ditemui pelbagai macam agama,(1) di mana perbedaan mereka antara satu dengan lainnya sedemikian, sehingga sangat sulit untuk mengumpulkannya di bawah satu nama (seperti agama).(2) Pluralitas agama-agama dalam makna yang telah disebutkan tidak mungkin dapat diingkari, tetapi pertanyaan yang menarik perhatian kebanyakan orang khususnya dalam beberapa tahun terakhir ini adalah bahwa apakah pluralitas ini dapat diakui? Dan seluruh agama-agama-setidaknya segolongan yang terpilih di antara mereka-dapat disebut memiliki Hakikat? Apakah agama-agama tersebut dapat disebut suatu agama-wahyu, seperti Islam dan Kristen;

p: 309


1- Pada pasal ini, kami memaksudkan agama-berdasarkan penerapan umumnya, dalam makna yang luas, sementara menurut pandangan al-Qur'an, agama Ilahi tidak lebih dari satu yang tampak pada zaman yang berbeda-beda dalam bentuk "syariat" yang beragam. Silakan lihat Muhammad Husain Thabathabai, al-Mīzān, jil. 5, hlm. 350-352; Raghib Isfahani, Mufradāt Alfāz al-Qur'ān, hlm. 450.
2- Pada pasal pertama, sambil mengisyarahkan kepada sebagian kesulitan-kesulitan dalam mendefinisikan agama, kita telah mengenal teori "kemiripan keluarga"-yang tidak mengharuskan adanya ciri-ciri yang sama di antara semua objek-objek dari satu konsep.

dan pada saat yang sama menyebut seluruh agama-agama yang ada sebagai agama yang menyelamatkan dan menciptakan kebahagiaan? Apakah penyebutan sesat dan ahli neraka terhadap para penganut agama-agama lainnya bukan merupakan cerminan dari sifat egois serta selaras dengan rahmat Ilahi yang tak terbatas?

Ragam Pandangan Ihwal Kebenaran dan Keselamatan Agama- Agama

Dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan yang telah lalu, muncul pelbagai pandangan-pandangan, di mana paling umumnya di antaranya adalah tiga pandangan yang terbentuk dalam budaya Kristen(1) serta berdiri kokoh di atas asumsi bahwa antara "kebenaran" dan "keselamatan" (salvation) dapat dibedakan.(2) Sekarang, kita akan mengkaji pandangan-pandangan tersebut:

Eksklusivisme

Eksklusivisme(3) Eksklusivisme adalah suatu pandangan yang menyebutkan bahwa bukan hanya kebenaran dan keabsahan, bahkan keselamatan dalam monopoli agama tertentu serta melihat pintu surga dan kebahagiaan akhirat bagi para pemeluk agama-agama lainnya tertutup. Kebanyakan

p: 310


1- Ketiga pandangan ini seakan-akan telah tersimpul dengan budaya kristen, tetapi yang seperti mereka-dengan beberapa perbedaan-dapat pula ditemukan di antara para penganut agama- agama lainnya. Ditambah, pandangan-pandangan ini dapat dibersihkan dari tambahan- tambahan yang berciri Kristen dan dalam suatu pembagian rasional, dikatakan seperti ini: Agama yang benar (hak), entah tidak lebih dari satu atau lebih dari satu: dalam kondisi pertama, entah kita menyebut keselamatan terbatas atau terkhususkan kepada para pengikut agama yang benar atau kita menganggap bahwa para penganut agama-agama lainnya pun tercakup olehnya.
2- Telah diketahui bahwa sebagian tidak menerima asumsi ini dan berkeyakinan bahwa sesuatu yang tidak benar, juga tidak dapat menyelamatkan dan dengan menapaki jalan yang menyimpang tidak dapat sampai pada rumah yang dituju. Seyyed Hossein Nasr (1312 S) dalam hal ini mengatakan: "Antara pluralitas kebenaran (truth) dan pluralitas keselamatan (salvation) serta kebahagiaan tidak dapat dipahami terpilah dan mengklaim bahwa para pengikut agama- agama bisa selamat tanpa memiliki kebenaran." Silakan lihat Sayid Hasan Husaini, Pluralisme Dīni ya Pluralisme dar Dīn, hlm. 311, wawancara penulis dengan Doktor Nasr. Menurut pendapat kami, pernyataan ini adalah tidak benar karena keselamatan dapat dikatakan berada dalam jaminan ketulusan niat dan menganggap para pejalan yang jujur (shadig)—walaupun berjalan pada suatu jalan yang tidak menyampaikan pejalan kepada tujuan hakiki-bersentuhan dengan inaya h-inayah Ilahi dan terselamatkan dari api neraka.
3- Exclusivism.

orang-orang Kristen dalam menafsirkan doktrin-doktrin seperti "inkarnasi" dan "penebusan" –yang merupakan termasuk pilar-pilar utama dan mendasar agama Kristen-berbicara sedemikian, sehingga bahkan para nabi sebelum Isa pun memerlukan penyelamatan darinya.

UNTUK LEBIH DIKETAHUI :

Dante dan Eksklusivisme Kristen Dante (1265—1321 M), seorang penyair besar berkebangsaan Italia, pada catatan perjalanan imajinatifnya dalam menyifati orang-orang yang terkurung dalam tingkatan pertama neraka (limbu), menulis seperti ini:

"Mereka tidak berbuat dosa dan mungkin pula mempunyai kebaikan-kebaikan, tetapi keutamaan-keutamaan mereka ini tidak cukup karena upacara pembabtisan ... bagi mereka belum dilakukan. Seandainya pun mereka hidup sebelum Kristen, mereka tidak menyembah Tuhan sebagaimana mestinya."(1) Dante dalam tulisan ini menyebut pemikir-pemikir non-Kristen sebagai penghuni limbu(2) dan melalui lisan seseorang yang pada perjalanan imajinatif ini bertugas sebagai penuntun dirinya-dan ia sendiri meninggal tidak lama sebelum Isa al-Masih lahir dan memilih tempat berlindung di dalam limbu-berkata seperti ini:

"Aku baru saja datang ke tempat ini, seorang lelaki kuat yang mengenakan mahkota dengan tanda kemenangan(3) menghampiri kami. Dia adalah ruh ayah pertama kita, dan Habil putranya, dan ruh Nuh, dan Musa sang legislator

p: 311


1- Dante Alighieri, Kamedi Ilahi [Divine Comedy], terjemahan Parsi oleh Sujauddin Syifa, jil. 1, hlm. 124.
2- Sebagaimana tentang para filsuf, dia berkata, “Karena Aku memandang sedikit lebih tinggi, Aku lihat guru semua orang-orang pandai (Aristoteles) yang duduk bersama para filsuf. Semua perhatian tertuju kepadanya dan menghormati kedudukannya yang tinggi. Aku melihat Socrates dan Plato lebih dekat kepadanya dari yang lain; ... dan Geometri Euklides, Ptolemius, Hippokrates, Ibn Sina, Claudius Galenus, dan Ibn Rusyd." Dante Alighieri, Kamedi Ilahi, hlm. 133-135.
3- Yang dimaksud adalah Isa.

yang patuh, dan Ibrahim syekh besar, dan Dawud sang raja, dan Israil (Ya qub) bersama ayah serta anak-anaknya ... dan banyak lagi arwah-arwah lainnya, ia bawa bersama dirinya keluar dan menyelamatkan mereka semua. Aku ingin engkau tahu bahwa sebelum mereka, belum pernah ada arwah-arwah manusia yang keluar dari sini."(1) Sebagian ayat-ayat dari kitab suci, disebut pula sebagai penjelasan atas Eksklusivisme Kristen; sebagai contoh, di tempat di mana Yohana melalui lisan Isa mengatakan: "Tak seorang pun yang akan datang kepada ayah, kecuali dengan perantaraanku."(2) Dari sisi ini pula, gereja sejak abad ke-3 M menjadikan kepercayaan dogmatis ini sebagai slogannya bahwa "Di luar gereja, tak ada keselamatan."(3) Walaupun demikian, dalam beberapa tahun terakhir, kaum Nasrani hingga batas tertentu memperlunak sikap eksklusivitas mereka; sebagaimana menurut sebagian pemikir Kristen, gereja Katolik sejak dewan Vatikan kedua (1962–1965 M)(4)—setidaknya dalam pernyataan resmi mereka, berpaling kepada pandangan inklusif.(5)

p: 312


1- Dante Alighieri, Kamedi Ilahi, hlm. 125-127.
2- Injil Yohanes, 14:6.
3- Extra ecclesiam nulla sallus (Outside the Church, No Salvation). Lihat John Hick, "Religious Pluralism" dalam Mircea Eliade (ed.), The Encyclopedia of Religion, vol. 12, hlm. 331; John Hick, God and the Universe of Faiths, hlm. 123.
4- Salah satu di antara ketetapan-ketetapan dewan ini dalam kaitannya dengan Islam, seperti ini: "Kaum Kristen mesti memandang kaum Muslim secara hormat serta memuliakan mereka. Kaum Kristen dan Muslim menyembah Tuhan yang satu pencipta langit dan bumi, kuasa dan pengasih, dan berbicara dengan manusia." Dewan ini mengakhiri pandangannya tentang Islam dan kaum Muslimin dengan anjuran ini: "Mengingat pada abad-abad sebelumnya, telah terjadi banyak perseteruan dan permusuhan antara kaum Muslim dan Kristen, dewan secara tegas menginginkan kepada semua pihak untuk melupakan masa lalu dan secara tulus menemukan kesepahaman dan berusaha antara satu dengan lainnya guna menjaga dan menguatkan perdamaian, kebebasan, keadilan sosial serta nilai-nilai moral untuk kebaikan semua individu." Silakan lihat Thomas Mishel, Kalām Masihi, terjemahan Prsi oleh Husain Taufiqi, hlm. 112-113. Walaupun demikian, sepertinya pernyataan-pernyataan sikap dewan ini lebih banyak mengarah pada aspek-aspek perilaku dan berlawanan dengan pendapat yang dikemukakan John Hick- tidak termasuk sebagai suatu tanda atas moderasi dalam kepercayaan-kepercayaan dogmatis.
5- John Hick, “Religious Pluralism", dalam Mircea Eliade (ed.), The Encyclopedia of Religion, vol. 12, hlm. 331.

Inklusivisme

Inklusivisme(1) Inklusivisme adalah suatu pandangan yang membatasi monopoli "kebenaran (keabsahan)" kepada suatu agama tertentu, tetapi memperluas cakupan "keselamatan" bagi kebanyakan di antara para penganut agama-agama lainnya.(2) Orang-orang Kristen yang mendukung pandangan ini seperti halnya kaum eksklusivis, menekankan peranan khusus inkarnasi Isa serta penebusan beliau atas dosa-dosa esensial (dzāti) manusia; dan meski demikian, mereka berkeyakinan bahwa "efek-efek serta manfaat-manfaat dari pengorbanan dan pengabdian ini sama sekali tidak terbatas hanya kepada mereka yang secara terbuka (jelas) menyatakan keimanan atasnya."(3) Inklusivisme Kristen umumnya dikaitkan dengan nama Karl Rahner (1904—1984 M) dari kalangan pemikir kontemporer Katolik, berikut ini adalah pilihan di antara pernyataan-pernyataannya:

"Kristen adalah sebuah agama yang mutlak dan keselamatan tidak bisa didapatkan melalui jalan agama lain apa pun, kalimat khusus Tuhan berinkarnasi dalam diri Isa-yang tersalib karena seluruh manusia. Kristen bukan hanya mengenalkan kita dengan kalimat personal ini, bahkan menyiapkan pula dasar atau prakondisi sosial bagi kehadiran Isa di tengah-tengah manusia. Tentu saja poin berikut benar pula bahwa Tuhan cenderung menginginkan semua manusia mendapatkan keselamatan. Guna terwujudnya keselamatan yang meliputi ini, Isa rela menjadi tebusnya dan Tuhan menjadikan berkah

p: 313


1- Inclusivism.
2- Inklusivisme didefinisikan pula dalam bentuk-bentuk lainnya, sebagai contoh: “Percaya kepada gagasan ... bahwa hanya tradisi religius individu itu sendiri yang mencakup keseluruhan Hakikat; meski demikian, Hakikat ini terefleksikan pula dalam tradisi-tradisi lainnya dalam bentuk partikular serta samar." Silakan lihat John Hick, Mabāhits Pluralisme Dīni [Problems of Religious Pluralism), terjemahan Parsi oleh Abdurrahim Ghowahi, hlm. 160-161. John Hick guna menjustifikasi pandangan ini, menggunakan penyerupaan berikut ini: "Gagasan ini sama dengan bahwa saya pikir ada obat yang menghidupkan, di mana nama Kimia hakikinya adalah "Masih". Obat tersebut dalam bentuk seratus persen murni dan bermanfaat, hanya disalurkan (dipasarkan) di bawah nama Kristen, tetapi terdapat pula produk-produk lainnya berlawanan dengan informasi dan pengetahuan para penyalur atau pemasarnya-mereka pun mempunyai bahan kimia masih", meskipun bahan ini pada mereka telah tipis dengan terangkap dengan unsur-unsur lainnya dan dipasarkan di bawah nama-nama lainnya." John Hick, Mabāhits Pluralisme Dīnī, hlm. 99.
3- John Hick, Mabāhits Pluralisme Dīnī, hlm. 66-67.

perbuatannya yang menyelamatkan itu mencakup seluruh manusia (bahkan mereka yang sama sekali tidak pernah mendengarkan tentang Isa, kematiannya dan kerajaannya)."(1) Rahner menyebut orang-orang non-Kristen yang terliputi keselamatan sebagai "orang-orang Kristen tanpa nama";(2) sebuah ungkapan di mana sebagian menyerupakannya dengan "anggota kehormatan" dalam satu organisasi.(3) Ia berkeyakinan bahwa bahkan sebelum era Kristen sekalipun, perolehan keselamatan para penganut agama-agama lainnya, hanya "dengan alasan ketaatan terhadap Isa yang dinantikan."(4) DISKUSIKAN DAN PIKIRKAN Renungan Tentang Inklusivisme Salah seorang dari kalangan pemikir Kristen dalam mengkritik inklusivisme mengatakan seperti ini:

"Ketika kita membenarkan (mengakui) bahwa keselamatan dan kebahagiaan dapat terwujud tanpa adanya bentuk hubungan formal dan resmi apa pun dengan gereja Kristen atau Injil dan tempat mewujudnya pun dalam diri mereka yang melewatkan hidupnya berdasarkan agama-agama lainnya yang sama sekali berbeda, dalam kondisi seperti ini, apakah bukan suatu kepedulian yang sepenuhnya sia-sia di mana kita bersikeras untuk menempelkan label Kristen kepada mereka? Di samping itu, ... mengapa kita masih pula mendakwahkan Kristen

p: 314


1- Michael Peterson, et. al., 'Aql wa l’tigād Dīnī (Dar Āmadi bar Falsafah Dīn), terjemahan Parsi oleh Ahmad Naraqi dan Ibrahim Sultani, hlm. 415.
2- Anonymous Christian. Sebagian besar penulis yang menulis dalam pembahasan ini, mengikuti Hick-menyebut judul ini sebagai temuan-temuan Rahner, sementara makna ini telah digunakan pertama kali dalam pernyataan-pernyataan Yustinus Martir (100-163 M) di antara bapa-bapa pertama gereja: "Semua orang-orang yang hidup sesuai atau selaras dengan logos (seperti Socrates, Heraclitus, dan orang-orang seperti mereka) adalah Kristen, meskipun mungkin saja dianggap sebagai ateis." Silakan lihat Alister E. McGrath (ed.), The Christian Theology Reader, hlm. 4. Lihat: Karl Rahner, "Religious Inclusivism", dalam Michael Peterson, et. al. (ed.), Philosophy of Religion, hlm. 512.
3- Silakan lihat John Hick, Mabahetse Pluralisme Dīnī, hlm. 68.
4- Michael Peterson et al., 'Aql wa l’tiqād Dīnī, hlm. 416-417.

dan bersikukuh atas tujuan bahwa seluruh anak-anak manusia kita kumpulkan dalam gereja?"(1) Sebagian lainnya dari kalangan pemikir Kristen dalam menjawab pertanyaan terakhir, mengatakan seperti ini:

Pada dasarnya keterbebasan dan keselamatan merupakan hasil dari pengetahuan (makrifat), dengan alasan inilah kita bertanggung jawab untuk mendakwahkan Kristen dan memberitahukan "orang-orang Kristen tanpa nama" tentang fondasi dan dasar keselamatan serta perubahan mereka.(2) Bagaimana Anda menilai jawaban dan kritik ini? Apakah pandangan umum yang ada di tengah- tengah kalangan pemikir Muslim dapat disebut sebagai inklusivisme-dengan menghapus riasan-riasan Kristen- nya?

Pluralisme

Pluralisme(3) Pluralisme atau pluralisme agama adalah suatu pandangan yang mengakui keberadaan agama-agama yang berbeda-beda dan menyebut hal-hal tersebut sebagai sebuah jalan menuju Hakikat.(4) Pluralisme agama merupakan sebuah pandangan epistemologis dan studi religius dalam bab kebenaran agama-agama serta benarnya kaum agamawan dan berpendapat bahwa kejamakan yang timbul dalam dunia keagamaan-dan secara lahir tak dapat disingkirkan dan dihilangkan-adalah suatu peristiwa alami yang menyingkap kebenaran

p: 315


1- John Hick, Mabahetse Pluralisme Dīnī, hlm. 68.
2- Michael Peterson et. al., 'Aql wa I'tiqad Dīnī, hlm. 418-419.
3- Pluralism.
4- Sebagaimana yang akan datang, istilah pluralisme agama memiliki penerapan yang beragam di mana paling umumnya dinamakan "pluralisme dalam kebenaran (keabsahan)" Sesuatu yang dianggap sebagai bagian berbeda dari dua pandangan sebelumnya adalah bagian ini pula; bagian-bagian lain pluralisme (seperti pluralisme dalam perilaku dan keselamatan) berdampingan dengan dua pandangan sebelumnya (atau setidaknya salah satu dari mereka) dan bukan bagian berbeda dari mereka.

kebanyakan di antara agama-agama(1) dan benarnya kebanyakan pemeluk agama serta peruntukan sistem persepsi (pengetahuan) manusia serta struktur multidimensional realitas; ... dan tidaklah berarti bahwa pemahaman menyimpang atau keinginan buruk dan persekongkolan atau permusuhan terhadap hak dan menghindarinya, atau pemikiran batil, atau pemujaan hawa nafsu, atau pelemahan pemikiran, atau ikhtiar buruk, atau dominasi ahriman (kekuatan buruk) memiliki peran utama di dalamnya.(2) John Hick (1922-2012 M), filsuf dan peneliti agama berkebangsaan Inggris, mengembangkan pandangan ini dalam beberapa tahun terakhir serta menulis banyak buku dan makalah dalam bidang ini.(3) Ia untuk kali pertama pada tahun 1977 M dengan menerbitkan buku yang berjudul The Myth of God Incarnate, (4) mempersoalkan pandangan umum kaum Kristiani tentang inkarnasi Tuhan dalam Isa al-Masih dan menghendaki bahwa dengan sebuah pandangan mitologis(5) terhadap doktrin-doktrin ini, membuat prakondisi penerimaan agama-agama lainnya tersiapkan.(6) Tentunya, John Hick mengisyaratkan pula asal usul sosiologis dalam mencapai sikap dan pandangan pluralis ini dan menyebut para imigran Birmingham-yang menurutnya "secara kesukuan, budaya,

p: 316


1- Kebanyakan di antara para pendukung pluralisme agama berbicara tentang kebenaran "semua" agama-agama (bahkan apa yang dalam pandangan kita sebagai penyembah berhala), bukan hanya "banyak dari mereka.
2- Abdul Karim Soroush, Shirāthā Mustaqīm, hlm. A dan B.
3- Sebelum Hick, penyebaran pemikiran ini dapat ditemukan di tengah-tengah sebagian kalangan pemikir Timur dan Barat; sebagaimana pemikir dan politikus India Radha Krishnan (1888- 1975 M) mengatakan: "Penyalahan seluruh agama-agama lainnya-yang merupakan cara kaum Katolik dan para pengikut gereja Inggris-sepertinya sudah tidak rasional. ... tidak lagi dapat dikatakan bahwa hakikat hanya bertempat tinggal di sebagian dunia.... tentang agama-agama, masalah kebenaran dan kebatilan tidak mengemuka." Radha Krishnan, Madzhab dar Sharq wa Gharb [East and West in Religion), terjemahan Parsi oleh Fereidun Gorgani, hlm. 36–37.
4- Kitab ini-yang ditulis dengan pengeditan Hick dan kerjasama enam penulis lainnya-telah diperhadapkan dengan banyak penentangan-penentangan dari gereja; di mana salah satu majalah gereja memilih judul di bawah ini guna melaporkannya: "Tujuh Orang Menentang Isa al-Masih". Kitab tersendiri dengan cepat diterbitkan dalam menjawab kitab ini, bernama “Hakikat Tuhan yang Mengalami Inkarnasi". Silakan lihat John Hick, Mabāhats-e Pluralisme Dīnī, hlm. 33–36.
5- Dia, dalam kitab ini pula, menyebut legenda bermakna sebagai suatu kisah (cerita) yang menarik perhatian pendengar kepada suatu hakikat yang lebih tinggi dari makna-makna yang terdapat dalam lafaz-lafaznya. Silahkan lihat John Hick, "Jesus and the world Religions", dalam John Hick (ed.), The Myth of God Incarnate, hlm. 178.
6- John Hick, "Jesus and the World Religions", hlm. 178-184.

dan religiusitas merupakan kota yang sangat pluralis" — sebagai titik rujuk dalam kehidupannya.(1) Ia dari satu sisi dalam berinteraksi dengan para penganut agama-agama lainnya, kebanyakan di antara mereka ia temukan sebagai masyarakat rasional dan terhormat; dan dari sisi lain, sangat terganggu dengan rasisme atau prajudis-prajudis yang marak dalam masyarakat Inggris terkait dengan hak-hak kaum minoritas agama dan kesukuan.(2) Kesimpulan yang diperoleh Hick darinya ialah bahwa salah satu solusi-solusi mendasar untuk menghilangkan rasisme atau prajudis seperti ini adalah "pengakuan atau pembenaran secara jujur dan gamblang bahwa dalam kategori pesan wahyu ... kita mesti berpaling atau mengarah pada pemikiran pluralis". (3) Pada hakikatnya, dapat dikatakan bahwa John Hick dan para pengikutnya atau yang sepemikiran dengannya menyebut "pluralisme dalam keabsahan atau kebenaran (haqqaniyyat)" sebagai jalan terbaik (atau satu-satunya jalan) bagi terwujudnya "pluralisme dalam perilaku" dan terkadang secara keliru mereka letakkan jembatan antara satu dengan lainnya. (4)

Jenis-Jenis Pluralisme Agama

Sebagaimana yang baru saja disebutkan, pluralisme agama memiliki bagian-bagian yang pembauran antara satu dengan lainnya mesti kita hindari dan hukum yang satu dengan lainnya jangan kita

p: 317


1- John Hick, Mabāhits Pluralisme Dīnī, hlm. 21-22.
2- John Hick, Mabāhits Pluralisme Dīnī, hlm. 22–30.
3- John Hick, Mabāhits Pluralisme Dīnī, hlm. 32.
4- Sebagai contoh, perhatikan dua ungkapan di bawah ini: A). “Mereka selalu menuduh kaum Muslim bahwa mereka tidak mau hidup berdampingan dengan individu-indvidu lainnya dan menentang pluralisme agama. ... dalam kondisi sekarang ini, penting bahwa kita mengemukakan suatu pandangan Islam tentang pluralitas agama di mana selain menegaskan keagungan dan hakikat mutlak Islam, juga menegaskan penghormatan kepada agama-agama lainnya." Sayid Hasan Husaini, Pluralisme Dīnī ya Pluralisme Dar Dīn, hlm. 315, dinukil dari Sayyed Hossein Nasr. B). "Jalan persatuan kelompok-kelompok Islam yang hari ini banyak dibicarakan tidak ada kecuali bahwa perbedaan-perbedaan ini benar-benar kita sebut natural serta menerimanya; ... bukannya dalam hati, masing-masing menyebut yang lain sebagai ahli neraka ... tetapi di dunia kita saling berdamai demi kemaslahatan dan secara lahiriah kita tidak saling memusuhi. Api seperti ini boleh jadi tidak bertahan dan selama tidak mendapatkan suatu dasar teoretis dan kuat, tidak akan bertahan.... harus diterima bahwa tasyayyu' (Syi'ah) dan tasannun (Sunni) merupakan dua jawaban atas ajakan (dakwah) Nabi Islam dan sebagai konsekuensi dari ekspansi historis Islam, bukan produk konspirasi ini dan itu." Abdul Karim Soroush, Shirūthū Mustaqīm, hlm. 66-67.

campuradukkan. Sebagian kalangan pemikir memilah kelima jenis pluralisme agama antara satu dengan lainnya, (1) di mana sekarang ini kami hanya mencukupkan diri menjelaskan yang terpenting di antaranya sebagaimana berikut:

Pluralisme dalam Perilaku

Salah satu di antara makna-makna pluralisme agama ialah bahwa kita berperilaku atau bersikap toleran dengan para penganut agama- agama lainnya dan menghindarkan diri dari mengobarkan api fanatisme keagamaan. Jenis pluralisme ini tidak begitu mengundang pembahasan serta dapat pula didamaikan dengan Eksklusivisme dan Inklusivisme.

Di antara doktrin-doktrin Islam, bukti-bukti dalam menjustifikasi pandangan ini dapat dijumpai dan kami akan menyebutkan beberapa contoh di antaranya sebagai berikut:

a. Al-Qur'an mengajak para penganut agama-agama wahyu kepada cara pandang praktis ini bahwa ketimbang berusaha untuk saling mendominasi antara satu dengan lainnya, para penganut agama- agama tersebut selayaknya berkumpul pada poros tauhid yang sama dan berusaha meninggikan kalimat ini serta mengamalkan tuntutan maknanya:(2) "Katakan Wahai ahlul kitab, kemarilah sehingga kita berdiri di atas perkataan yang sama antara kami dengan kalian, di mana tidak menyembah selain Tuhan dan tidak membawa baginya sekutu apa pun dan tidak ada di antara kita yang mengambil yang lain sebagai Tuhan guna menggantikan Tuhan," (QS Ali 'Imrān [3]: 64).

b. Menurut pandangan al-Qur'an, bukan hanya ahlul kitab, bahkan orang-orang musyrik yang menginginkan kedamaian pun pantas untuk kebaikan dan belas kasih serta kaum Mukmin tidak dibolehkan untuk tidak menegakkan keadilan atas mereka: "Tuhan tidak mencegah kalian dari berbuat baik dan bersikap adil dengan

p: 318


1- Kelima jenis-jenis ini terdiri dari: norma, sekuriti, epistemologi, pengenalan hakikat, pengenalan tanggung jawab. Silakan lihat Muhammad Laghenhausen, Islām wa Katsratgherāi Dīnī, terjemahan Parsi oleh Narges Jawandel, hlm. 34-38.
2- Silakan lihat Muhammad Husain Thabathabai, al-Mīzān, jil. 3, hlm. 250; Abdullah Jawadi Amuli, Dīn Syināsi, hlm. 196-197.

orang-orang yang tidak mengganggu kalian dalam urusan agama, serta tidak menelantarkan kalian dari rumah dan gubuk kalian," (QS Al- Mumtahanah [60]: 8).

Imam Ali dalam surat wasiat terkenal beliau kepada Malik Asytar, menghendaki darinya untuk menjadikan kasih sayang terhadap bawahannya-dari kredo dan ajaran apa pun-sebagai slogannya dan tidak menyerang mereka layaknya binatang buas; dengan argumentasi ini bahwa meskipun mereka dari agama dan mazhab yang lain, dalam kemanusiaan adalah sama denganmu:

"Dan kenakanlah kasih sayang terhadap bawahan (rakyat) dan kecintaan pada mereka serta berkasih sayang bagi semua sebagai pakaian bagi hatimu. Jangan menjadi seperti binatang di mana memakan mereka adalah sangat berharga bagimu.

Bawahan (rakyat) terbagi dua: segolongan adalah saudara seagama denganmu dan segolongan lainnya sama dengan dirimu dalam penciptaan."(1) UNTUK LEBIH DIKETAHUI:

Para Orientalis dan Pluralisme Perilaku dalam Islam Sebagian di antara para orientalis mengingkari pluralisme perilaku dalam Islam dan mencari atau meneliti penyebaran agama ini dalam faktor-faktor seperti kekerasan dan pedang. Tuduhan ini dijawab oleh golongan lainnya dari kalangan orientalis dan menegaskan perilaku damai kaum Muslimin dengan para penganut agama- agama lainnya, sebagaimana pemikir Prancis, Gustave Lebon (1841–1931 M) mengatakan: "Kekerasan pedang ... tidak menyebabkan kemajuan al-Qur'an, karena tradisi orang-orang Arab (kaum Muslim) adalah setiap daerah yang mereka taklukan, mereka membebaskan rakyatnya dalam agama mereka, dan bahwa masyarakat Kristen berlepas tangan dari agama mereka dan cenderung kepada

p: 319


1- Nahj al-Balāghah, Surat 53.

agama Islam ... adalah karena keadilan yang mereka lihat dari para penakluk Arab, tidak pernah mereka saksikan "kesamaannya" dari para pemimpin sebelum mereka. "(1)

Pluralisme dalam keselamatan

Salah satu makna lain dari Pluralisme agama adalah kebahagiaan dan keselamatan di mana level terendahnya adalah keterbebasan dari azab abadi(2)— tidak kita batasi pada agama tertentu (khusus) dan menyebut para penganut agama-agama yang berbeda-beda (setidaknya dalam kondisi khusus) sebagai ahli keselamatan (salvation).

Mereka yang cenderung atau mendukung pandangan ini, dalam kaitannya dengan keabsahan (kebenaran) agama-agama, tidak mesti sama dalam berpikir, kaum inklusivis-berdasarkan salah satu dari tafsiran pandangan ini-membatasi kebenaran (hak) pada satu agama tertentu dan menyebut perolehan keselamatan para penganut agama- agama lainnya bersumber dari keluasan rahmat dan ampunan Ilahi.

Terdapat pula lainnya yang menyebut para penganut agama-agama yang berbeda-beda-dalam bentuk yang sama atau dengan tingkatan- tingkatan yang bermacam-macam-bersentuhan dengan Hakikat dan menghubungkan perolehan keselamatan mereka dengan persentuhan atau kepemilikan ini.(3)

p: 320


1- Gustave Lebon, Tamaddun-e Islām wa Arab [Civilization of Islam and Arab], terjemahan Parsi oleh Sayid Hasyem Husaini, hlm. 145. Seperti diketahui bahwa penulis buku membawakan pula pernyataan-pernyataan dari para orientalis lainnya seperti ini: "Al-Qur'an yang memerintahkan kepada jihad itu pula yang bersifat acuh dan mengabaikan terhadap agama-agama lainnya. ... pada masa Umar bin Khattab ketika menaklukkan Bait al-Muqaddas, sama sekali tidak melakukan penyiksaan terhadap ka um Kristen, tetapi sebaliknya ketika kaum Kristen mengambil alih kota ini, dengan sama sekali tidak memberi ampun membunuh secara massal kaum Muslim dan Yahudi ketika datang ke situ, dengan lancang membakar semuanya." Gustave Lebon, Tamaddun-e Islam wa Arab, hlm. 147.
2- "Siapa dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke dalam surga, maka sungguh ia telah beruntung," (QS Ali Imrān [3]: 185).
3- Dengan kata lain, orang-orang yang tidak membatasi kebenaran (keabsahan) pada suatu agama khusus, secara alami-dengan memakai premis mayor ini “para pesuluk jalan kebenaran adalah orang-orang yang selamat”-akan memperluas pula lingkaran keselamatan. Dengan kondisi ini, kita harus waspada agar tidak terjebak dalam fallasi ambiguitas; (setiap bola adalah bundar -setiap bundaran adalah bola) Dan, dengan berpegang pada kebalikan proposisi universal tersebut (para pesuluk jalan kebenaran adalah orang-orang yang selamat-orang-orang yang selamat adalah para pesuluk kebenaran) tidak menyimpulkan kebenaran (keabsahan) agama mereka dari perlunya berlaku baik dengan para penganut agama-agama lainnya atau menyebut kebanyakan di antara mereka sebagai orang-orang yang selamat. Lalai dari poin ini, akan berujung pada penjelasan pernyataan-pernyataan semacam ini: “Jika selain Islam tidak ada agama lain yang diterima dan orisinal (yakni jika-sebagaimana yang dikatakan sebagian kaum Muslim-dengan hadirnya agama Islam agama-agama lainnya telah dibatalkan) soal ini akan muncul, lalu mengapa Tuhan dalam al-Our'an dan Nabi Saw. dalam hadis-hadisnya memberikan tanggung jawab kepada kaum Muslim untuk menjaga harta, jiwa, kehidupan, kebebasan, dan ibadah umat-umat lainnya, yakni Ahlul Kitab? Artinya, Tuhan memberi tanggung jawab kepada kita untuk menyiapkan orang-orang untuk pergi ke neraka!" Sayid Hasan Husaini, Pluralisme Dīni ya Pluralisme Dar Dīn, hlm. 307. (Wawancara penulis dengan Seyyed Hossein Nasr).

Bagaimanapun, al-Qur'an meski tidak menyebut semua orang- orang yang sesat termaafkan dan selamat, segolongan di antara mereka dinamai sebagai "mustadh afīn"(1) dan "murja'ūna li amrillāh"(2); dan dengan perantaraan ini, memisahkan perhitungan orang-orang yang membenci dan memusuhi hak (kebenaran) dari orang-orang sesat yang terhalangi. Berdasarkan hal ini, Imam Baqir dalam reaksinya terhadap perkataan-perkataan salah seorang pembantunya yang membandingkan orang-orang dengan ukuran (mīzān)(3) ke-Syi`ah-an dan mencintai mereka hanya dengan kriteria ini, berkata: "Maka kemana mereka pergi (dan mengapa mereka telah melupakan) orang-orang di mana Tuhan berfirman tentang mereka: "Kecuali laki-laki dan wanita-wanita serta anak-anak yang terlemahkan yang tidak menemukan jalan keluar serta tidak memiliki jalan menghindar atau melarikan diri?" di manakah mereka yang "perbuatan-perbuatan mereka berada dalam jaminan perintah Ilahi"? ... adalah layak Tuhan menempatkan orang-orang sesat (yang tak bersalah) di dalam surga."(4)

p: 321


1- “Kecuali mereka yang tertindas, dari laki-laki dan perempuan serta anak-anak yang tidak mampu berupaya dan tidak menemukan jalan. Maka mereka itu (yang secara global memiliki uzur), mudah- mudahan Allah memaafkan mereka; Dan Allah adalah Mahapemaaf lagi Mahapengampun" (QS Al-Nisā [4]: 98-99).
2- "Dan terdapat orang-orang lainnya (perbuatan mereka) ditangguhkan dengan perintah Tuhan: entah Tuhan mengazab mereka dan ataukah Tuhan menerima taubat mereka. Dan, Tuhan Mahatahu dan Mahabijaksana." (QS Al-Tawbah [9]: 106)
3- Dalam teks riwayat digunakan kata “mithmār" yang bermakna terkatung-katung (shaqul): "Kami akan mengulur mithmār (pendulum/terkatung-katung)... maka siapa yang sejalan dengan kami, dia adalah teman dan bersama kami, entah ia seorang sayyid Alawi atau selainnya, dan siapa yang menentang kami, kami berlepas diri darinya, entah ia seorang sayyid Alawi atau selainnya."
4- Muhammad bin Ya'qub Kulaini, al-Kāfi, jil. 2, hlm. 383. Kitab al-Imān wa al-Kufr, bab ash nāfinnas. Dalam sebagian lembaran-lembaran teks terdapat "la yadhūl", tetapi mengingat susunan teks riwayat, lembaran-lembaran teks yang di dalam tidak terdapat "lā” sepertinya adalah yang benar. Dari Imam Shadiq pun dengan ungkapan-ungkapan yang mirip diriwayatkan seperti ini: "haqīqun alallāh an yadhula al-dalāl al-jannah." Silakan lihat Muhammad Baqir Majlisi, Bihār al-Anwār, jil. 5, hlm. 290. Sebagaimana diketahui bahwa sebagian di antara pemikir Muslim dengan merujuk pada riwayat lainnya, senantiasa tidak menyebut orang-orang seperti ini layak dengan neraka dan juga tidak menganggapnya pantas dengan surga. Menurut keyakinan golongan ini, posisi orang-orang tersebut adalah suatu tempat yang dikenal dengan a sāf, sebagaimana Allamah Majlisi (1037–1111 H) tentang anak-anak kaum kafir menulis: "Para teolog berpendapat bahwa sesungguhnya anak-anak kaum kafir tidak masuk neraka; mereka entah masuk surga atau tinggal pada a raf' Muhammad Baqir Majlisi, Bihār al-Anwār, jil. 5, hlm. 296-297.

DISKUSIKAN DAN PIKIRKAN Orang-Orang yang Terlemahkan Pikirannya Ayat al-Qur'an yang menyebut orang-orang terlemahkan (mustadh'afl pantas mendapatkan maaf dan ampunan Ilahi, turun dalam kedudukan orang-orang muslim yang tidak memiliki kemampuan untuk berhijrah ke Madinah dan dengan tetap tinggal di Mekkah, mereka tercegah untuk menjalankan kebanyakan dari kewajiban- kewajiban religius mereka. (1) Walaupun demikian, sepertinya ungkapan ayat ini mencakup semua orang-orang yang tanpa mereka inginkan tercegah dari pengetahuan (ma'ārif) yang benar dan tanpa mereka bersalah, tidak menemukan jalan ke arah yang benar (Hakikat). (2) Dari sisi ini, mengikut sabda Imam Ali, mustadh'af adalah setiap orang di mana hujjah baginya belum sempurna, yakni orang yang belum mendengarkan pesan kebenaran (haqg) atau terhalangi dalam memahaminya.(3) Menurut Anda, pada dunia kontemporer, kelompok-kelompok apakah yang dapat dinamakan sebagai mustadh afin? Apakah keberadaan media-media kelompok serta pelbagai alat- alat interaksi (komunikasi) yang beraneka ragam guna mencegah pelemahan (istidh āf) adalah cukup? Apakah sebagian ulama atau para pemikir dapat pula disebut mustadh`af secara pemikiran?

p: 322


1- Silakan lihat Mahmud Zamakhsyari, al-Kassyāf, jil. 1, hlm. 555; Fadhl bin Hasan Thabarsi, Majma' al- Bayān, jil. 3-4, hlm. 151.
2- Muhammad Husain Thabathabai, al-Mīzān, jil. 5, hlm. 51.
3- Nahj al-Balāghah, Khotbah 189. Tentang hal ini pula, silakan lihat Abdu Ali bin Jum'at al Huwaizi, Tafsir Nür al-Tsaqalain, jil. 1, hlm. 539.

Pluralisme dalam kebenaran

Maksud dari pada pluralisme agama ketika digunakan secara mutlak dan tidak disertai batasan adalah sesuatu yang dapat dinamai dengan "pluralisme dalam kebenaran". Makna pluralisme agama ini sendiri mempunyai tafsiran-tafsiran yang beraneka ragam:

a. Hakikat-hakikat alam bervariasi, rumit, dan saling terpintal serta agama-agama yang beraneka ragam masing-masingnya disertai dengan sebagian dari hakikat-hakikat ini. Salah seorang di antara para pembela pluralisme agama dalam kaitan ini mengatakan:

Ketimbang kita memandang alam ini memiliki satu garis lurus dan ratusan garis bengkok dan patah, semestinya kita melihatnya sebagai sekumpulan garis-garis lurus yang saling melintang, paralel, dan bersesuaian: "Melainkan hakikat tenggelam dalam hakikat". (1) Dan apakah bahwa al-Qur'an menyebut para nabi berada di atas jalan lurus (shirātin mustaqīm)-yakni salah satu dari jalan-jalan lurus, bukan hanya jalan lurus (al-shirāt al-mustaqīm)(2)— bukan dalam makna ini?(3) Jawaban kami terhadap pertanyaan ini adalah negatif, karena dalam bahasa Arab nama-nama yang mempunyai tanwin (tanpa alif dan lam) digunakan dengan tujuan atau motivasi-motivasi yang bermacam-macam dan tidak mesti menunjukkan ketidaktentuan objeknya.(4) Di samping itu, al-Qur'an menggunakan pula ungkapan "al-shirāt al-mustaqīm";(5) sebuah ungkapan di mana penulis sendiri memaknainya dengan "satu-satunya jalan lurus".

Demikian pula terdapat dalam salah satu ayat seperti ini: "... inna

p: 323


1- "Bal haqīgat dar haqiqat gharq syud - zein sabab haftad bal shad ferqeh syud" Jalaluddin Maulawi, Matsnawi-e Ma'nawī, Daftar Syisyum, Bait 1636.
2- Silakan lihat (QS Al-Nahl [16]: 121); (OS Yāsīn [36]: 4; (QS Al-Fath [48]: 2).
3- Abdul Karim Soroush, Shirāthā Mustaqīm, hlm. 27.
4- Sebagai contoh, tanwin terkadang menunjukkan keagungan dan kebesaran, di mana ia dinamakan dengan tanwin "tafhim"; tanwin pada “shirāthun mustaqīmun" dapat disebut dari jenis tanwin ini pula; sebagaimana Alusi (w. 1270 H) dalam tafsiran ayat "Wa ani budūnī hadzā shirāthun mustaqīmun"(QS Yāsīn [36]: 61) menulis: “Nakirah (al-Tankīr) menunjukkan bentuk hiperbola dan penghormatan; [dalam konteks ayat ini) artinya ini adalah jalan yang sampai dalam keistiqamahan, yang mencakup segala yang niscaya terjadi padanya "Syihabuddin Alusi, Rūh al-Ma'ānī, jil. 23, hlm. 40-41. Begitu pula, silakan lihat Muhammad Husain Thabathabai, al-Mīzān, jil. 5, hlm. 246.
5- Silakan lihat (QS al-Fatihah [1]: 6; (QS Al-Shāffāt [37]: 118).

rabbi ilā shirātin mustaqīm..., [Sesungguhnya Tuhanku di atas jalan yang lurus)" (QS Hūd [11]: 56). Apakah dapat dikatakan bahwa hanya satu di antara jalan-jalan lurus yang merupakan milik Tuhan! Poin ini patut diperhatikan pula bahwa berdasarkan sebagian riwayat, Nabi Mulia Saw. dengan berpegang pada ayat "Dan bahwa ini adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah dia; dan janganlah kamu ikuti jalan-jalan yang lain yang mencerai-beraikan kamu dari jalan-Nya. Yang demikian itu diperintahkan Tuhan kepadamu agar kamu bertaqwa," (QS Al-An'ām [6]: 153). Menggunakan metafora garis-garis itu pula dalam "menafikan" pluralisme agama:

"Rasulullah menarik garis lurus di atas tanah lalu berkata: "ini adalah jalan yang benar (shawab)." Kemudian menarik lagi garis- garis lain di sebelah kanan dan kirinya dan berkata: "Mereka ini adalah jalan-jalan menyimpang dan pada masing-masingnya terdapat setan yang mengajak kepadanya."(1) Tentunya, keragaman atau pluralitas hakikat-hakikat itu sendiri memiliki pintalan atau lilitan makna yang beraneka macam, yaitu kemungkinan benarnya proposisi-proposisi yang saling kontradiksi (seperti "a" adalah "b" dan "b" bukan "a"), adanya hakikat-hakikat yang beraneka ragam dan tidak saling kontradiksi (seperti "a" adalah "b" dan "c" adalah "d") dan kemungkinan interpretasi-interpretasi berbeda-beda secara vertikal dari suatu hakikat tunggal (di mana sebagian lebih dalam dari sebagian lainnya). Penulis buku-pada sebagian ungkapannya-seakan-akan memaksudkan dua makna yang terakhir; sementara proposisi-proposisi mendasar agama-agama yang beraneka ragam, kita jumpai pula proposisi-proposisi dari jenis pertama (saling kontradiksi) yang membuat kalangan pluralis

p: 324


1- Mahmud Zamkhsyari, al-Kassyāf, jil. 2, hlm. 80.

DISKUSIKAN DAN PIKIRKAN Eksklusivisme Para Nabi dan Pluralisme Para Pengikutnya! Penulis ungkapan yang telah disebutkan, dalam langkah lainnya, berlepas tangan dari upaya penisbahan pluralisme kepada al-Qur'an dan menjelaskan pandangan bahwa penerimaan agama tertentu (seperti Islam) tidak bermakna sebagai ketundukan pada klaim eksklusivitasnya; secara prinsip, para nabi tidak dapat menjadi seseorang yang noneksklusif dan dari sinilah muncul pluralitas dan mempersiapkan prakondisi bagi munculnya pluralisme: "Dalam pembahasan pluralisme, kita mesti memisahkan sikap diri kita dari sikap para nabi.

... tak ada seorang pun nabi yang dapat menjadi pluralis; seluruh esensi risalahnya ialah bahwa ia hanya mengajak orang lain kepada dirinya dan menjauh dari firkah-firkah dan ajaran-ajaran lainnya. Artinya, bahwa setiap nabi secara esensial mengajak masyarakat kepada agamanya dan secara aksidental semakin memanaskan tungku pluralisme karena menambah sebuah firkah dari firkah- firkah yang telah ada. "(1) Kaji dan evaluasilah pernyataan ini. Menurut Anda, apakah para pengikut nabi-nabi dapat memiliki visi (pemahaman) yang lebih dari pada mereka? b. Agama-agama yang berbeda-beda masing-masing mendapatkan penampakan tidak sempurna dari Hakikat dan tak satu pun di antaranya yang memperoleh kebenaran murni. Berdasarkan pandangan ini, pencetus atau pendiri masing-masing agama dan penganut-penganut mereka dapat diserupakan dengan orang-orang buta yang menyentuh dan merabakan tangannya pada salah satu bagian dari organ-organ tubuh seekor gajah dan menyangkanya

p: 325


1- Abdul Karim Soroush, Shirāthā Mustaqim, hlm. 140.

sebagai sesuatu yang menyerupai pipa tabung, kipas, dan tiang(1). Analogi kuno (tua) ini(2) senantiasa menjadi perhatian kaum pluralis Barat dan Timur dalam pembahasan pluralisme agama. (3)

Dasar-Dasar Filosofis-Teologis Pluralisme Agama

Pluralisme agama yang juga dapat ditemukan dalam pernyataan- pernyataan sebagian orang-orang terdahulu, pada beberapa dekade terakhir ini dan dalam hubungannya dengan "liberalisme politik"(4) telah muncul dalam bentuk modern serta bertumpu pada dalil-dalil internal dan eksternal agama. Di tengah-tengah kalangan pemikir dunia Islam, terdapat orang-orang yang seakan-akan dianggap sebagai pembela pandangan ini, di mana perenungan ulang atas pernyataan pernyataan kebanyakan di antara mereka, menampakkan kenyataan sebaliknya dari penisbahan ini; sebagai contoh, sepertinya maksud dari pada Syekh Abu al-Hasan Khurqani (wafat 425 H) dalam pernyataan terkenal berikut ini, bukan pluralisme dalam kebenaran (validitas) melainkan pluralisme dalam perilaku: "Siapa pun yang datang ke

p: 326


1- Abu Hamid al-Ghazali (450-505 H) guna mencari akar perbedaan-perbedaan masyarakat, menggunakan analogi ini, berkata: "Kebanyakan perbedaan di antara masyarakat seperti ini, yakni dari satu sisi semua berkata benar, tetapi sebagian tidak melihat, mereka mengira bahwa mereka semua melihat. Permisalan mereka seperti sekelompok orang-orang buta yang mendengar bahwa telah datang seekor gajah di kota mereka, mereka ingin mengenalinya, mereka mengira dapat mengenalinya dengan tangan. Mereka merabakan tangan padanya; satu orang menyentuh telinganya, satunya pada kaki, satu lagi pada paha, dan satunya lagi pada gading. Setelah mereka saling bertemu dengan orang buta lainnya dan menanyakan sifat gajah dari mereka, orang yang tadinya meletakkan tangan pada kaki, berkata: "seperti sebuah pilar" dan orang yang menyentuhkan tangannya pada gading, berkata: "sepeti tiang vertikal"; dan orang yang memegang telinga, berkata: "seperti sebuah karpet". Semua berkata benar dan semua salah; di mana mereka mengira telah mengetahui keseluruhan gajah padahal mereka tidak mengetahuinya." Kimiyā Sa ādat, judul ke-2, pasal 6, hlm. 83–84. Begitu pula, silakan lihat al-Ghazali, Thyā 'Ulūm al-Dīn, jil. 4, hlm. 8; Sinai Gaznawi, Hadiqat al-Haqīgah, hlm. 69-70. Hikayat ini, dengan sedikit perbedaan terdapat pula dalam sumber berikut ini: Muhammad bin Mahmud Hamadani, Ajaib Nāmeh, hlm. 21, Jalaluddin Maulawi, Matsnawi Ma'nawī, Daftar 3, Bait-bait 1259-1266.
2- Abu Hayyan Tauhidi (w. sekitar 414 H) menis bahkan analogi ini kepada Plato (427-348 SM). Silakan lihat Abu Hayyan Tauhidi, al-Muqābisāt, hlm. 269, No. 64.
3- Silakan lihat John Hick, Mabāhits Pluralisme Dīnī, hlm. 73 dan 169; Abdul Karim Soroush, Shirūthū Mustaqīm, hlm. 15.
4- Legenhausen (1953- M) dalam hal ini mengatakan, “Saling toleransi terhadap pendapat- pendapat religius, bertumpu pada liberalisme politik dan mungkin dapat dianggap bahwa pluralisme agama merupakan suatu jalan bagi toleransi ini dalam rangka menemukan sebuah dasar teologis." Muhammad Legenhausen, Islam wa Katsratgerāi Dīni [Islam and Pluralism), terjemahan Parsi oleh Narges Javandel, hlm. 14.

rumah ini, berilah roti kepadanya dan jangan tanyakan imannya; meski orang tersebut di hadapan Tuhan bernilai dengan jiwa, tentu saja di meja Abul Hasan bernilai dengan roti."(1) Pernyataan-pernyataan yang terkesan pluralistis dari orang-orang seperti Ikhwan al-Shafa (abad ke- 4), Abul `Ala Mu`arri (363—449 H), Muhyiddin Ibn Arabi(2) (560–638 H), dan Jalaluddin Maulawi(3) (604—672 H) pada umumnya sangat berjarak dengan gagasan pluralisme agama. Salah seorang pemikir kontemporer dalam kaitannya dengan hubungan irfan dan pluralisme agama menyatakan: "Keselarasan ... " mistisisme (irfan) dan pandangan indah terhadap alam" dengan "pluralisme" pada hakikatnya merupakan fallasi (kerancuan) antara takwin dan tasyri“, karena pandangan indah terhadap alam adalah pandangan arif terhadap alam takwini (dan karena arif memandang alam sebagai karya dari Tuhan yang indah dan tahu tentang rahasia mereka, semuanya ia lihat selaras dan indah).

Namun, dalam maqam tasyri i, ... arif menemukan dirinya wajib menaati perintah-perintah Ilahi dan ... memberi perbedaan antara manusia taat dan pelaku maksiat serta membedakan Mukmin dari kafir dan munafik. (4) Bagaimanapun juga, keyakinan terhadap pluralisme agama bertumpu pada sebagian dasar-dasar filosofis dan teologis yang akan kami jelaskan, yang paling penting di antaranya sebagai berikut:

Relativitas Hakikat

Meskipun pada umumnya para penganut pluralisme agama menyatakan kebencian (kejemuan) yang sangat terhadap relativisme, (5)

p: 327


1- Abdurrafi Haqiqat, Tārīkh 'Irfan wa 'Arifān Irāni, hlm. 12.
2- Silakan lihat Rasāil Ikhwān al-Shafa, riset oleh Arif Tamer, jil. 3, hlm. 412; jil. 4, hlm. 139; Abul Ala' Muarri, Luzumun mā lā Yalzum, jil. 2, hlm. 528; Muhyiddin Ibn Arabi, Tarjumān al-Asywāg, hlm. 57.
3- Matsnawi Ma'nawī, Daftar-e 3, Bait 1258; Matsnawi Ma'nawi, Daftar-e 1, bait 2467; Matsnawi Ma'nawī, Daftar 2, Bait 3680. Guna mengetahui maksud sebenarnya Maulawi dari syair-syair seperti ini, silakan lihat Abdullah Jawadi Amuli, Dīn Syināsi, hlm. 220-222; Ali Rabbani Gulpaigani, Tahlil wa Naqd Pluralisme Dīni, hlm. 72, 76-82 dan 117–118.
4- Abdullah Jawadi Amuli, Dīn Syināsi, hlm. 235.
5- Dr. Nasr tentang hal ini berkata, "Seseorang yang berkata: 'Segala sesuatu mempunyai hakikat, dalam kenyataannya adalah mengingkari hakikat. Jika semua sesuatu adalah benar, maka tak ada sesuatu yang benar. Poin ini, suatu prinsip yang sifatnya badihi (swabukti dan gamblang). Saya sama sekali tidak sepakat dengan relativisme-yang sekarang mengemuka di Barat, yakni pengingkaran kemutlakan mengingat perlunya kebersamaan hidup." (Sayid Hasan Husaini, Pluralisme Dīni ya Pluralisme Dar Dīn, hlm. 312. (Wawancara penulis dengan Seyyed Hossein Nasr).

tetapi terkadang dalam bentuk tertentu terpaksa mengakui relativitas dan membedakan antara "kebenaran bagi dia" dan "kebenaran bagi saya". Berdasarkan hal ini, jika kebenaran satu agama-sebagaimana umumnya kaum Muslimin mengatakannya-dibatasi dengan "waktu khusus", mengapa batasan seperti ini tidak dapat diterapkan dalam kaitannya dengan golongan-golongan dan budaya-budaya tertentu dan sebagai contoh, berbicara tentang kebenaran suatu agama "bagi kaum Muslim" dan kebenaran agama lainnya "bagi kaum Kristiani"? Dengan bahasa lain:

Menurut keyakinan para penganut agama-agama itu sendiri, dengan menyisipkan suatu batasan semua agama-agama dapat disebut benar (hak); A pada zaman A adalah benar, B pada zaman B, C pada zaman C, dan seterusnya. Nah, jika dengan batasan ini dapat dikatakan:

"juga A adalah benar, juga B, juga C", mengapa batasan lainnya tidak dapat ditambahkan dan dengan batasan tersebut tidak bisa dikatakan:

"A juga benar (bagi saya), B juga benar (bagi kamu), dan C juga benar (bagi dia)"?(1) DISKUSIKAN DAN PIKIRKAN Pluralisme dan Relativitas Menurut Anda, apakah pernyataan bahwa masing- masing agama "dalam hubungannya dengan segolongan orang-orang adalah benar"(2) dapat memiliki sumber (asal-usul) selain dari pada anggapan relativitas tentang Hakikat? Jika kita tidak menyebut pernyataan ini sebagai bagian dari pewujudan luar (mishdāq-mishdāq) relativisme, maka relativitas tercela di mana penulis sendiri dengan keras menyatakan kejemuan (kebencian)

p: 328


1- Abdul Karim Soroush, Shirūthū Mustaqīm, hlm. 159.
2- Abdul Karim Soroush, Shirāthā Mustaqīm, hlm. 161.

darinya(1)—dan dalam kalimat populer Protagoras (sekitar 481–411 S.M.) tersimpulkan bahwa "manusia adalah kriteria segala sesuatu"(2)—di manakah akan terwujud? Di samping itu, penulis setelah mengungkapkan secara jelas poin bahwa "kebenaran (hak)" di semua tempat selalu bermakna sesuatu yang selaras dengan kenyataan, menambahkan: "Tetapi, kebenaran dalam agama- agama memiliki hubungan mesti dan konsekuensi logis dengan kepenuntunan mereka. Ketika kita mengatakan "agama yang benar bagi Zaid" yakni "agama adalah penuntun Zaid"; bukan agama yang batil dan orang yang terhubungkan kepadanya adalah sesat, tetapi adalah yang selamat atau termaafkan (ma dzūr)."(3) Dengan mengingat bahwa sebagian di antara agama-agama secara gamblang menafikan doktrin-doktrin agama-agama lainnya, apakah dua proposisi yang saling kontradiksi dapat disebut penuntun dan "sesuai dengan realitas?"

Kesempitan-Kesempitan Persepsi Manusiawi

Salah satu dalil lainnya yang dijadikan sandaran kaum pluralis adalah kesempitan-kesempitan persepsi manusia; analogi (metafora) gajah dan orang-orang buta (atau gajah dan kegelapan) merupakan penjelasan atas kesempitan ini,(4) dan orang-orang seperti Rumi yang

p: 329


1- Sebagai contoh, silakan lihat Abdul Karim Soroush, Qabdh wa Basth Teorik Syariat, hlm. 275, 371-374 dan 489.
2- Richard H. Popkin, "Relativism", dalam The Encyclopedia of Religion, vol. 12, hlm. 274.
3- Abdul Karim Soroush, Shirathā Mustaqīm, hlm. 163. Seperti diketahui bahwa penulis, beberapa saat sebelum menegaskan secara jelas bahwa kebenaran di semua tempat adalah bermakna sesuatu hal yang bersesuaian dengan kenyataan-dalam suatu tafsiran berbeda-"kebenaran agama" dikatakan bermakna "benarnya para pemeluk agama dan kemudian menambahkan dengan pertanyaan retoris: "Apakah kita dapat pergi lebih jauh atau lebih tinggi dari ini dan di samping pada benarnya para penganut agama, kita sampai pula pada kebenaran nyata kepercayaan-kepercayaan mereka?" Abdul Karim Soroush, Shirathā Mustaqim, hlm. 162.
4- Di samping analogi tersebut, di sini telah digunakan pula dari perbedaan yang diletakkan kant di antara "noumenon" dan "phenomenon." Silakan lihat John Hick, Falsafah-e Dīn [Philosophy of Religion), terjemahan Parsi oleh Behram Rad, hlm. 245-249. Selain itu, kaum pluralis banyak memanfaatkan masalah kebutuhan pengalaman religius pada tafsiran dan keterpenjaraan tafsiran dalam lingkaran keterbatasan-keterbatasan manusiawi yang telah dibahas pada bagian sebelumnya dari buku ini. Silakan lihat John Hick, Mabāhits Pluralisme Dīnī, hlm. 74). Walaupun demikian, William Alston (1921- M), di antara orang-orang terpenting yang melakukan teoretisasi dalam masalah pengalaman keagamaan-meski menegaskan peranan pengalaman religius dalam agama-agama, ia tidak menerima pluralisme agama. Silakan lihat William P. Alston, “Response to Hick", dalam Faith and Philosophy, vol. 14, No. 3 (Juli 1997), hlm. 287–288.

menggunakan kiasan (tamsil) ini, dianggap sebagai pembela teguh pluralisme agama.(1) Berdasarkan hal ini, seolah masing-masing dari para nabi-dengan alasan keterbatasan-keterbatasan manusiawi- memandang dari suatu sudut pandang khusus dan mengemukakan suatu gambaran yang sesuai dengan asumsi-asumsi yang ia miliki sebelumnya, dari Hakikat tunggal tersebut:

Rumi banyak menggunakan istilah sudut pandang (mandzar) dalam Matsnawi. ... pada satu tempat dengan sangat berani dan lancang mengatakan: "Az nazar gah ast eii magz wujūd-ikhtilaf mukmin wa gabr wa jahūd" (Adalah dari sudut pandang wahai otak keberadaan [akal]- perbedaan mukmin dan Zoroaster serta Yahudi). Ia menyebutkan nama tiga agama besar: Islam, Zoroaster (Majusi), dan Yahudi. Maksudnya tentang mukmin adalah jelas atau pasti. Ia mengatakan: perbedaan pada yang tiga ini, bukan perbedaan dalam benar dan batil, melainkan perbedaan sudut pandang (dari tempat memandang); itu pun bukan sudut pandang para penganut agama-agama, melainkan sudut pandang para nabi. Hakikat hanya satu, di mana tiga nabi memandang dari tiga sudut kepada-Nya. ... sebagaimana keragaman tajalli Tuhan pada alam semesta menjadikan alam natural bervariasi, maka syariat pun dibuatnya bervariasi.(2) Tak ada keraguan dalam hal ini bahwa "kebanyakan" masyarakat "terkadang" berada dalam kondisi orang-orang buta tersebut, tetapi bahwa "semua" dari mereka "selalu" dalam keadaan seperti itu adalah perkataan tidak benar yang bukan merupakan maksud dari pada Rumi (dan sebelumnya, orang-orang seperti Imam Muhammad Ghazali).(3)

p: 330


1- Yang menakjubkan adalah mereka yang tidak menerima ke-hujjah-an perkataan siapa pun setelah Nabi Saw.. Silakan lihat Abdul Karim Soroush, Basth Tajrubah Nabawi, hlm. 133. di sini menekankan atas kehujahan perkataan Maulawi: "Perkataan-perkataan Maulawi (Rumi) di sini adalah hujjah. Saya secara khusus bersandar atas hal-hal (perbuatan-perbuatan) yang dilakukan Maulawi (Rumi) dalam bab ini.” Abdul Karim Soroush, Shirāthāe Mustaqim, hlm. 13.
2- Abdul Karim Soroush, Shirāthāe Mustaqim, hlm. 13-14.
3- Muhammad Ghazali, Kimiyāe Sa ādat, tema 2, pasal 6, hlm. 83–84. Salah satu motivasi Rumi dalam menggunakan analogi seperti ini ialah mencari celah kesalahan (mengkritik) orang- orang yang meninggalkan jalan penyingkapan dan penyaksian (syuhud) serta mencukupkan diri dengan data-data indra lahiriah. Hal ini sebagaimana disinggung oleh Rumi sendiri sebagai kelanjutan dari kisah di atas, Dar kaf har yek agar sam i budi - Ikhtilaf az Guftesyān birun syudi." (Sekiranya di tangan masing-masing mereka terdapat lilin (cahaya), niscaya mereka telah keluar dari kemelut perbedaan). Jalaluddin Rumi, Matsnawi Ma'nawī, Daftar 3, bait 1268-1270. Begitu pula, laporan dari perdebatan Rumi dengan salah seorang Kristen yang terdapat dalam Fīhi Mā Fīhi (hlm. 124-125) merupakan bukti jelas atas hakikat ini bahwa beliau bukanlah pembela pluralisme agama.

Bagaimanapun juga, John Hick sendiri menyadari dan memperhatikan sebagian dari kekurangan-kekurangan metaforis ini dan di antaranya, ia mengatakan seperti ini:

Orang-orang buta tersebut masing-masingnya menyentuh satu bagian dari tubuh gajah, tetapi ketika seorang muslim berbicara tentang Allah-yang menurunkan al-Qur'an-atau seorang Hindu berbicara tentang Brahman-sebagai satu pengetahuan dan kesadaran tak terhingga in-personal-mereka tidak merujukkannya pada dua bagian atau dua anggota yang berbeda dari realitas.(1) Di antara kritik-kritik lainnya yang mengarah kepada kaum pluralis dengan merujuk kepada kiasan ini adalah kemestian keraguan; dengan penjelasan ini bahwa orang-orang buta tersebut tidak mengetahui sedikit pun tentang gajah dan bahkan tidak yakin (tidak mencapai ketenangan) atas keberadaannya. Dengan bahasa lain, "poin yang bisa dipelajari dari kisah metaforis Hick, bukan hal ini; bahwa semua orang-orang buta mengatakan yang benar; melainkan hal ini; bahwa tak satu pun yang mengatakan dengan benar.(2) Adilnya ialah bahwa perkataan-perkataan semacam ini bahwa "orang-orang buta tidak yakin dengan keberadaan gajah" terkesan sedikit bombastis dan pernyataan Abu Hamid al-Ghazali tentang hal ini tidak begitu jauh dari kebenaran: "Semua berkata benar dan semua melakukan kesalahan; di mana mereka menyangka telah menemukan totalitas gajah; sementara mereka tidak pernah menemukannya."(3) Walaupun demikian, masalah penting yang harus mampu ditangani oleh kaum pluralis adalah membuktikan bahwa di antara seluruh manusia tidak dapat ditemukan orang-orang melek yang menemukan Hakikat murni-sebagaimana mestinya-dan mengemukakannya dalam batasan pemahaman sejumlah besar

p: 331


1- John Hick, Mabāhits Pluralisme Dīnī, hlm. 170.
2- Michael Peterson et. al., Aql wa I'tiqād Dīnī, hlm. 412.
3- Muhammad Ghazali, Kimiyāe Sa ādat, tema-2, pasal-6, hlm. 84.

masyarakat. Hal yang menakjubkan ialah pernyataan-pernyataan kaum pluralis di mana dari satu sisi menyebut semua manusia (di antaranya para nabi) terpenjara dalam kesempitan-kesempitan persepsi manusiawi dan kemudian mencari perbedaan agama-agama dalam perbedaan sudut pandang para nabi dan dari sisi lain, menerima pula kemaksuman para nabi(1) dan menyebut pengalaman keagamaan nabi sebagai kriteria dalam menimbang pengalaman-pengalaman keagamaan yang lain.(2)

Keluasan Rahmat dan Hidayah Ilahi

Salah satu di antara dalil-dalil kaum pluralis lainnya ialah keluasan rahmat dan hidayah Ilahi. Menurut mereka, tidaklah bisa menyebut Tuhan sebagai penyayang dan pemurah terhadap hamba-hamba Nya dan tetap menegaskan kesesatan mayoritas dari mereka. John Hick tentang hal ini mengatakan: Kita kaum Nasrani dari satu sisi menyebut Tuhan memiliki cinta yang meliputi dan kita percaya bahwa Dia adalah pencipta dan bapak seluruh manusia serta menghendaki keselamatan dan kebahagiaan mereka, tetapi dari sisi lain-dalam bentuk tradisional-kita menganggap Kristen sebagai satu-satunya jalan keselamatan. ... apakah bisa diterima bahwa Tuhan kecintaan, yang menginginkan keselamatan seluruh manusia-sedemikian rupa menentukan jalan keselamatan di mana hanya segolongan kecil (minoritas) yang dapat memanfaatkannya?(3) DISKUSIKAN DAN PIKIRKAN Pembelaan atas Trinitas dengan Bersandar pada Keluasan Hidayah Ilahi John Hick tidak menyebut kebenaran agama-agama bermakna sebagai benarnya seluruh doktrin-doktrin mereka (bahkan yang paling mendasar) dan dengan

p: 332


1- Silakan lihat Abdul Karim Soroush, Shirāthā Mustaqim, hlm. 11.
2- Silakan lihat Muhammad Mujtahid Shabestari, "Modernism wa Wahy", dalam: Kiyān, No. 29, hlm. 18.
3- John Hick, God and the Universe of Faiths, hlm. 122.

pandangan ini-sebagai seorang pemikir Kristen- menuntut pengkajian ulang terhadap doktrin-doktrin seperti Trinitas. Walaupun demikian, yang mengherankan ialah seorang pemikir Islam menentang bentuk pengkajian ulang seperti ini dan dengan bersandar pada kekhususan "kepenuntunan" Tuhan, mengatakan:

"Jika gagasan ini (kepercayaan pada Trinitas) hanya sekedar merupakan perpaduan dan pembauran, bagaimana bisa Tuhan-sekalipun dengan kebijakan dan rahmatnya yang tak terhingga-mengizinkan bahwa salah satu di antara agama-agama utama dunia-di mana jutaan orang mencari keselamatan mereka di dalamnya terlewatkan dalam kesesatan selama dua ribu tahun lamanya? ...

menurut keyakinan saya, bahkan jika data-data dan rujukan-rujukan secara historis tidak menguatkan doktrin ini, Tuhanlah yang menentukan doktrin ini bagi kaum Kristen-dan tentu saja bukan untuk kaum Muslim."(1) Sebagian penulis-penulis Muslim pun dengan menggunakan dalil ini, menekankan poin bahwa apabila nama "Hādi" Tuhan menginginkan yang dinamakan (musamma), maka ia harus mewujud dan memanifestasi di alam nyata (riil). Berdasarkan ini, jika kita menyatakan bahwa mayoritas manusia di sepanjang sejarah adalah sesat, nama ini hanyalah kita anggap sebagai sesuatu yang bersifat seremonial serta menganggap program Ilahi dalam menuntun manusia telah gagal dan menyebut setan lebih berjaya dalam menjinakkan trik- trik para nabi (2) Jika sekarang ini di antara semua golongan-golongan kaum beragama (kaum tak beragama dikesampingkan)-yang jumlahnya mencapai miliaran manusia-benar-benar hanyalah minoritas kaum Syi'ah Dua Belas Imam yang telah memperoleh hidayah (tuntunan) dan sisanya seluruhnya sesat atau kafir ... dalam keadaan seperti itu,

p: 333


1- Adnan Ashlan, "Adyān wa Mafhum Dzat Ghai - wawancara dengan John Hick dan Seyyed Hossein Nasr", terjemahan Parsi oleh Ahmad Ridha Jalili, dalam Ma rifat, No. 23 (Zemistan 1376 S), hlm. 73.
2- Silakan lihat Abdul Karim Soroush, Shirāthā Mustaqīm, hlm. 50-55.

di manakah kepenuntunan Tuhan mewujud? ... dan di manakah nama "Hādi" Tuhan bertajalli?(1) Dalam menjawab pernyataan-pernyataan ini, kami mencukupkan diri dengan menjelaskan beberapa poin singkat berikut ini:

a) Menyatakan sesat mayoritas manusia-di mana petunjuk-petunjuk tentangnya dapat pula ditemukan dalam ayat-ayat al-Qur'an(2)— tidak memberikan kemestian bagi penyebutan mereka semua sebagai ahli neraka. Sebagian besar dari para penganut agama- agama batil merupakan orang-orang jahil tak bersalah (gāshir) dan menikmati rahmat Tuhan.

b) Penegasan atas monopoli kebenaran pada satu agama tidaklah bermakna bahwa dalam agama-agama yang dibatalkan (mansukh) dan penuh khurafat (bahkan buatan manusia) sama sekali tidak dapat ditemukan ajaran-ajaran benar dan para nabi dalam mengajar dan menyucikan masyarakat sama sekali tidak mendapatkan keberhasilan (taufiq); peran personal (yang hanya dapat dilakukan) para nabi dalam mengembangkan budaya dan peradaban manusia merupakan hakikat yang tidak dapat diingkari.

c) Jika kita menyebut adanya "musamma (yang dinamakan)" bagi nama "Hādi (penuntun)" Tuhan berada dalam jaminan perolehan hidayah mayoritas manusia, secara tak terelakkan kita mesti menerapkan pula analisis yang serupa pada nama "Mudhillun (Penyesat)" —yang merupakan salah satu di antara nama-nama lain Tuhan(3)—dan ketika itu kita akan terperangkap dalam kontradiksi.

d) Fungsi kepenuntunan Tuhan ialah menyiapkan instrumen- instrumen bagi manusia guna menemukan jalan sehingga setiap orang-dengan kebebasan dan ikhtiarnya memilih jalan kebahagiaan (saºādat) atau penderitaan (syaqāwat): "Sesungguhnya

p: 334


1- Abdul Karim Soroush, hlm. 33. Begitu pula, silakan lihat Abdul Karim Soroush, Mudārā wa Mudiriyat, hlm. 386.
2- Sebagaimana Dia berfirman: “Dan kebanyakan manusia tidak akan beriman meskipun (atas keberimanan mereka) kamu sangat menginginkannya"(QS Yusuf [12]: 103)
3- Al-Qur'an menisbahkan kepada Tuhan baik hidayah maupun penyesatan: “Yudhillu man yasyāu wa yahdi man yasyāu"(QS Al-Nahl [16]: 93). Dalam sebagian riwayat-riwayat pun ungkapan “ya Mudhil” tentang Tuhan juga digunakan. Silakan lihat Muhammad Baqir Majlisi, Bihar al-Anwār, jil. 81, hlm. 184; jil. 92, hlm. 323.

kami telah menampakkan jalan kepadanya, entah ia akan bersyukur dan atau tidak bersyukur (kufur)," (QS Al-Insān [76]:

3). Berdasarkan hal ini, jika semua manusia-sepakat-berjalan di atas jalan yang lurus atau menempuh jalan lain, tidak akan menimbulkan pengurangan ataupun penambahan dalam ukuran (mizān) kepenuntunan Tuhan.

Pluralisme dalam Agama (Variasi Tafsiran)

Kaum pluralis dengan memanfaatkan dasar-dasar dan dalil-dalil yang telah lalu, menegaskan pula kebenaran dan kesetaraan maktab-maktab (mazhab-mazhab) dalam satu agama. Dengan perbedaan ini bahwa di sini kesempitan-kesempitan manusiawi menggantikan para nabi, membuat pengikut-pengikut mereka terkungkung dan mendesak mereka melakukan penafsiran-penafsiran beragam dari teks yang tunggal, serta memunculkan bacaan-bacaan yang berbeda-beda.(1) Dalam mengkaji pandangan ini, kami mencukupkan diri menjelaskan beberapa poin utama (asli):

1. Pandangan tradisional dalam menafsirkan pelbagai teks adalah sangat mengedepankan nilai penting penulis (muallef mehwari) dan berupaya untuk menemukan maksud sesungguhnya (hakiki) dari penulis melalui berbagai sudut-sudut teks, tetapi cara pandang baru dalam ilmu hermeneutik (ilmu tafsir teks-teks) penekanan ada pada penafsir (muallef mehwari) dan teks (matn-e mehwari); sedemikian rupa di mana orang-orang seperti Roland Barthes (1915–1980 M) berbicara tentang matinya penulis dan menganggap penulis teks sama seperti halnya dengan salah seorang di antara para pembaca. (2) Pandangan ini, anggaplah dapat diterima dalam teks-teks yang bersifat literer (adabi), tetapi dalam menafsirkan proposisi-proposisi wahyu adalah tidak fungsional karena kaum beragama berupaya atau berkeinginan untuk menyelaraskan program kehidupannya dengan maksud

p: 335


1- Berdasarkan pandangan ini, pengalaman religius para pengikut masing-masing aliran pun, yang menambah kekayaan aliran tersebut-terbentuk dalam suatu kerangka khusus dan ia sendiri menjadi sumber lebih banyak variasi.
2- Ahmad Waizi, "Qirāthā Mukhtalif az Matn", dalam Muhammad Husain Zadeh, Mabāni Ma rifat Dīnī, hlm. 179-180.

sesungguhnya dari pembawa agama, bukannya dengan mengabaikan niat dan motivasi penulis (muallef) menyimpulkan (menarik) makna-makna yang diinginkannya dari proposisi- proposisi wahyu.

PIKIRKAN DAN DISKUSIKAN:

Tafsiran dengan Poros Penulis, Poros Teks, dan Poros Penafsir Tafsirkan bait Hafiz di bawah ini dengan tiga cara pandang dengan poros penulis, poros teks, dan poros penafsir:

Tua kita berkata kesalahan tidak mendatangi pena penciptaan Mantap! Atas pandangan suci penutup kesalahan Penjelasan: dalam tafsiran dengan poros penulis, kita mesti ingat bahwa para urafa menafikan segala bentuk aib dan cacat dari alam semesta dan tidak melihat sesuatu di dalamnya kecuali kebaikan. Dalam sudut pandang dengan poros teks, kita tidak boleh memperhatikan subjek (orang) yang mengungkapkan perkataan tersebut dan hanya menganalisis teks itu sendiri. Apakah dalam kondisi seperti ini, dua penggalan dari bait ini dapat disebut saling kontradiksi? Untuk tafsiran dengan poros penafsir, dapat pula diasumsikan bahwa pandangan Anda-dalam posisi sebagai penafsir syair ini—ialah bahwa sistem alam tidaklah kosong dari kekurangan, tetapi adalah lebih baik tidak mengungkap kekurangan-kekurangan dan keburukan-keburukan penciptaan dan hanya berbicara tentang kebaikan-kebaikan.

2. Tak diragukan lagi bahwa pengetahuan-pengetahuan sebelumnya serta asumsi-asumsi pikiran (dzihni) penafsir terkadang berpengaruh dalam proses penafsiran dan penggunaan mereka dalam sebagian hal tak dapat dihindari; sebagai contoh, tanpa adanya pengenalan terhadap istilah-istilah bahasa dan kaidah-

p: 336

kaidah literer (sastra), maksud dari yang mengucapkan perkataan tersebut tidak dapat diperoleh. Apa yang disebutkan dalam literatur keagamaan dengan nama kondisi turunnya ayat (sya n al- nuzūl āyat) merupakan contoh lain dari pengetahuan-pengetahuan sebelumnya ini. Walaupun demikian, penafsir harus senantiasa berpikir bahwa ia mesti mengabaikan asumsi-asumsinya yang lain-di mana hal itu merupakan instrumen yang dianggap tidak perlu dalam memahami teks-serta tidak terjebak dalam kubangan tafsiran bebas atau tanpa kaidah (tafsir bi al-ra'y) dengan memaksakan makna-makna yang diinginkannya terhadap teks.

Terdapat dalam Hadis Qudsi: "Siapa menafsirkan perkataanku berdasarkan pendapat dan pandangan pribadinya, maka ia adalah jauh dari iman (yang sesungguhnya). "(1) Amirul Mukminin pun dalam mengecam orang-orang seperti ini mengatakan:

"... Dan, lainnya yang mereka sebut sebagai pemikir mereka dan tidak memiliki pengetahuan; ... menafsirkan kitab Tuhan dengan pendapat pribadinya dan mengartikan kebenaran menurut keinginannya."(2) 3. Perbedaan fatwa para ahli ilmu-ilmu keagamaan (para mujtahid) dengan alasan di bawah, tidak bisa dianggap sebagai pretensi (dalih) bagi anggapan bolehnya segala bentuk bacaan (tafsiran) atas agama:

a. Mereka dalam kebanyakan hal, yang dinamakan dengan nash- nash (nushūsh)(3), satu pendapat antara satu dengan lainnya dan


1- Muhammad Baqir Majlisi, Bihār al-Anwār, jil. 2, hlm. 297.
2- Nahj al-Balāghah, Khotbah 87.
3- Nash" adalah perkataan yang tidak menerima kecuali satu makna, dan “zhahir", meskipun salah satu di antara makna-maknanya tampak lebih benar, tetapi tidak dapat mengabaikan kemungkinan makna-makna lainnya. Terkadang pula suatu perkataan dari satu sudut pandang yang dimaksud adalah nash dan dari aspek lain tidak lebih jauh dari batas zhuhur (zhahir); sebagai contoh, perkataan ini "bawa segelas air". Nash dalam makna ini bahwa yang mengatakan itu menginginkan air dan zhuhur padanya bahwa air yang dapat diminum adalah keinginannya (cocok dengannya). Sebagian di antara penulis yang tidak menerima perbedaan antara nash dan zhahir mengatakan: "Semua teks tanpa kecuali-bahkan dalam hal-hal yang dinamakan oleh tuan-tuan sebagai nash-menerima tafsiran-tafsiran yang berbeda dan "hanya satu tafsiran yang mungkin" sama sekali tidak bermakna." Muhammad Mujtahid Shabestari, Naqdi bar Qira'at Rasmi az Dīn, hlm. 38. Kami pun menerima kemungkinan esensial tafsiran- tafsiran beragam (dalam sebagian hal-hal), tetapi kami berkeyakinan bahwa maksud hakiki tersebut dengan suatu cara dapat dibahasakan dan menyertakannya dengan beberapa indikasi (garāin) di mana di antara makna-makna yang beragam, mendudukkan satu makna di puncak serta menutup jalan uzur dan dalih bagi para audiens. Cara orang-orang berakal dalam percakapan-percakapan adalah seperti ini dan para nabi pun berbicara dengan masyarakat dengan bentuk seperti ini. p: 337

pada apa yang dinamakan sebagai kemestian agama (baca:

ushuluddin) juga tidak membolehkan bentuk keraguan apa pun.

b. Dalam setiap ilmu, hanya ungkapan pendapat para ahli yang dianggap valid dan dari perbedaan di antara mereka, yang dihasilkan secara metodologis-tidak bisa disimpulkan kesetaraan semua bentuk pembacaan.

C. Meskipun para mujtahid serta para muqallidnya dalam mengamalkan apa yang dihasilkan berdasarkan metodologi ijtihad, ter-udzur-kan (ma dzūr), tetapi semua jalan-jalan ini tidak dapat disebut sebagai jalan benar dan mesti senantiasa mencari satu-satunya jalan yang lurus (shirāt al-mustaqīm).

DISKUSIKAN DAN PIKIRKAN Pengesahan dan Pelarangan Sebagian dari kalangan pemikir Ahli Sunah-dalam dua aliran Asy`ariah dan Muktazilah-berkeyakinan bahwa hukum hakiki Ilahi hingga batas-batas tertentu mengikuti pandangan para mujtahid; setiap kali mujtahid menemukan suatu hukum dari hukum-hukum, Tuhan menyelaraskan hukum yang sesungguhnya dengan hukum lahiriah tersebut. Pandangan ini dalam istilahnya disebut dengan "pengesahan (tashwib). "(1) Pandangan lainnya yang bernama "kesalahan (takhtaeh)" yang didukung oleh kalangan pemikir Syi'ah, menjelaskan bahwa mujtahid pun terkadang mengalami atau melakukan kesalahan dan tidak mencapai apa yang dimaksudkan Tuhan.

Dengan menerima masing-masing dari kedua pandangan ini, apa konsekuensi yang akan menyertainya?

p: 338


1- Terdapat perbedaan antara "tashwib" Asy'ariah dan Muktazilah yang dapat dicari atau ditelusuri dalam kitab-kitab Ushul Fiqh; sebagai contoh, silakan lihat Muhammad Ali Kazimi Khurasani, Fawāid al-Ushūl, jil. 3, hlm. 95.

Apakah teori "pengesahan (tashwib)" mesti berujung pada pluralisme internal agama?

Kesimpulan

1. Pertanyaan asli dalam pembahasan yang dikenal dengan pluralisme agama adalah apakah seluruh agama-agama (syariat- syariat) yang ada dapat diakui dan disebut bersentuhan (memiliki) dengan Hakikat. Pandangan-pandangan paling utama yang merupakan rival pluralisme dinamakan dengan Eksklusivisme dan Inklusivisme.

2. Eksklusivisme adalah suatu pandangan yang menyebutkan bahwa bukan hanya kebenaran dan keabsahan, bahkan keselamatan pun dalam monopoli agama tertentu serta melihat pintu surga dan kebahagiaan akhirat bagi para pemeluk agama-agama lainnya tertutup. Melebihi segala sesuatu, pandangan tersebut mengkristal dalam slogan resmi Kristen yang menyatakan bahwa "tak ada keselamatan di luar gereja".

3. Inklusivisme adalah suatu pandangan yang membatasi monopoli "kebenaran (keabsahan)" kepada suatu agama tertentu, tetapi memperluas cakupan "keselamatan" bagi kebanyakan di antara para penganut agama-agama lainnya. Berdasarkan tafsiran yang lain, istilah ini menjelaskan bahwa Hakikat terpantulkan pula dalam agama-agama lain meski dalam bentuk yang kabur.

4. Karl Rahner menyebut orang-orang non-Kristen yang terliputi keselamatan sebagai "orang-orang Kristen tanpa nama"; suatu perumpamaan yang oleh sebagian orang menyamakannya dengan "anggota kehormatan" dalam suatu lembaga.

5. Penggunaan umum istilah "pluralisme agama" terkait dengan suatu gagasan yang dapat dinamakan pluralisme dalam kebenaran (keabsahan); jenis-jenis terpenting dari pluralisme agama ialah:

pluralisme dalam perilaku dan pluralisme dalam keselamatan.

p: 339

6. Pluralisme dalam perilaku bermakna bahwa kita berlaku baik dengan para penganut agama-agama lainnya yang berbeda-beda dan menghindari pengobaran api fanatisme keagamaan.

7. Maksud dari pada pluralisme dalam keselamatan ialah bahwa kita tidak mengkhususkan keselamatan dan kebahagian kepada agama tertentu (khusus) dan menyebut para penganut agama-agama yang berbeda-beda-setidaknya dalam kondisi-kondisi khusus sebagai orang-orang (ahli) selamat.

8. Pluralisme dalam kebenaran merupakan pandangan yang mengakui agama-agama yang berbeda-beda dan menyebut mereka sebagai sebuah jalan menuju Hakikat.

9. Dalam menjelaskan pluralisme agama (pluralisme dalam kebenaran), setidaknya menggunakan salah satu di antara dua ulasan di bawah ini: A). Hakikat-hakikat alam bervariasi, rumit, dan saling terpintal serta agama-agama yang beraneka ragam, masing-masingnya disertai dengan sebagian dari hakikat-hakikat ini. Variasi hakikat-hakikat sendiri mengandung makna-makna yang beragam: kemungkinan benarnya proposisi-proposisi yang saling kontradiksi, adanya hakikat-hakikat beragam yang tidak kontradiksi, kemungkinan interpretasi-interpretasi vertikal yang berbeda-beda dari hakikat yang satu. B). Agama-agama yang beragam masing-masing memperoleh penampakan tak sempurna dan tak satu pun yang mendapatkan kebenaran (hak) murni.

10. Kaum pluralis agama meskipun mayoritasnya menyatakan kebencian dengan relativisme, terkadang-dalam tindakannya, dalam bentuk tertentu tunduk pada relativitas dan membedakan antara "kebenaran bagi dia" dan "kebenaran bagi aku".

11. Salah satu dasar pluralisme lainnya ialah kesempitan-kesempitan persepsi manusiawi. Berdasarkan hal ini, seakan-akan masing- masing para nabi memandang agama dari sudut pandang khusus dan dari hakikat tunggal tersebut mengajukan suatu gambaran yang sesuai dengan asumsi-asumsi atau pengetahuan-pengetahuan mereka sebelumnya.

p: 340

12. Yang mengherankan ialah pernyataan-pernyataan kaum pluralis yang dari satu sisi, menyebut semua manusia (masyarakat) terpenjara dalam kesempitan-kesempitan manusiawi dan menelusuri (mencari) perbedan-perbedaan agama-agama dalam perbedaan-perbedaan sudut pandang para nabi; dan dari sisi lain, menerima pula kemaksuman para nabi dan menyebut pengalaman religius nabi sebagai kriteria atau tolok ukur dalam mengevaluasi (menilai) kebenaran pengalaman pengalaman keagamaan yang lain.

13. Kaum pluralis berkeyakinan pula bahwa Tuhan tidak dapat disebut penyayang serta lembut terhadap hamba-hamba-Nya dan tetap bersikeras atas kesesatan mayoritas mereka.

14. Sementara hal ini dalam keadaan di mana menyebut sesat mayoritas manusia (masyarakat) tidak meniscayakan untuk menyebut mereka semua sebagai ahli neraka dan tuntutan makna kepenuntunan Tuhan tidak lain kecuali penyiapan prakondisi- prakondisi untuk memilih secara bebas.

15. Kaum pluralis menekankan pula keabsahan (kebenaran) dan kesetaraan aliran-aliran internal suatu agama (variasi tafsiran- tafsiran); dengan perbedaan ini, bahwa di sini kesempitan- kesempitan manusiawi, menggantikan para nabi, memenjara para penganut mereka, dan memaksa mereka memberikan tafsiran- tafsiran beragam dari teks yang tunggal.

16. Berlawanan dengan pernyataan kaum pluralis, bisa saja mufasir teks-teks religius tidak mengindahkan asumsi-asumsi yang bukan termasuk sebagai instrumen yang diperlukan guna memahami teks dan tidak terjebak ke dalam "tafsir tanpa kaidah". (baca:

dekonstruksi)

Pertanyaan

1. Apa yang disebut Eksklusivisme agama dan manakah di antara doktrin-doktrin Kristen yang menghadirkannya?

p: 341

2. Apa yang dimaksud dengan Inklusivisme? Bandingkanlah kedua tafsirannya antara satu dengan yang lain! 3. Evaluasilah pandangan Inklusivisme dan tulislah pandangan Islam tentangnya! 4. Faktor sosial manakah yang berpengaruh dalam merumuskan pandangan pluralisme agama? 5. Apa yang dimaksud pluralisme dalam perilaku? Apakah agama Islam dapat dinamakan pluralis menurut pandangan ini? 6. Apa yang disebut dengan pluralisme dalam keselamatan dan apa hubungannya dengan pluralisme dalam kebenaran (keabsahan)? 7. Manakah konsep dan objek dari orang-orang yang lemah secara pemikiran? Apakah dapat dikatakan bahwa seluruh orang-orang sesat adalah ahli neraka? 8. Dengan menyebutkan dua tafsiran dari pluralisme dalam kebenaran, bandingkanlah mereka antara satu dengan lainnya! 9. Apa maksud kaum pluralis dari pernyataan ini "tak satu pun nabi yang dapat menjadi pluralis"? 10. Dengan dasar apakah perbedaan antara "kebenaran bagi aku" dan "kebenaran bagi dia" berpijak kuat dan bagaimana ia digunakan dalam pembahasan pluralisme agama? 11. Bagaimanakah kaum pluralis menggunakan analogi (tamtsil) "gajah dan orang-orang buta" guna membuktikan maksudnya? Telaah dan kritiklah gagasan ini! 12. Apakah konsekuensi keluasan rahmat dan hidayah Ilahi adalah bahwa seluruh agama-agama yang ada adalah benar? Mengapa? 13. Jelaskanlah hubungan antara anggapan bahwa agama dapat ditafsirkan dengan pluralisme agama! 14. Apakah bisa menghampiri teks-teks religius dengan benak yang kosong dari segala bentuk asumsi? Mengapa?

p: 342

BAGIAN 11: AGAMA DALAM ARENA SOSIAL

Point

"Tuhanku Engkau mengetahui apa yang telah pergi dari kami (dalam menerima kekuasaan), bukan karena alasan suka (ragbat) pada kekuasaan dan bukan menginginkan tambahan dari dunia tak bernilai; melainkan kami ingin mendudukkan tanda-tanda agama di tempatnya semula dan menampakkan perbaikan dalam kota-kota-Mu; sehingga menyiapkan keamanan bagi hamba-hamba-Mu yang telah teraniaya dan terealisasinya aturan-aturan (hudūd)-Mu yang telah tercampakkan.(1) ekarang ini dalam kebanyakan kelompok masyarakat manusia, agama terbatasi dalam ruang lingkup rumah, masjid, dan gereja serta peranannya dalam bidang sosial dan politik dari hari ke hari semakin memudar. Sebagian menyebut proses ini-yang dinamakan dengan sekularisasi(2)-sebagai suatu fenomena yang benar-benar alami dan merupakan ciri khas dunia modern(3) dan terkadang dengan adanya tendensi terhadap ideologi yang dikenal dengan sekularisme(4), mereka

p: 343


1- Nahj al-Balāghah, Khutbah 131.
2- Secularization
3- Menurut sebagian lainnya, secara mendasar "Sejarah manusia adalah sejarah sekularisasi gradual yang hingga saat ini belum berakhir" Willem A. Bijlefeld, “Reinach, Salomon", dalam Mircea Eliade (Ed.), The Encyclopedia of Religion, vol. 12, hlm. 264.
4- Secularism

menekankan upaya sadar dalam menyingkirkan agama dari arena sosial.(1) Di antara pertanyaan-pertanyaan mendasar di sini ialah apakah intervensi agama dalam urusan-urusan duniawi merupakan sesuatu hal yang mesti (setidaknya pantas)? Apakah instrumen-instrumen politik dapat digunakan untuk melakukan penyebarluasan agama? Apakah nabi-nabi Ilahi, selain mengarahkan kepada akhirat dan Tuhan, mengupayakan pula terwujudnya suatu tujuan lain? Apakah pembawa agama dapat menentukan ruang lingkupnya atau bahwa masalah ini seharusnya adalah masalah eksternal? Apakah masuknya agama ke dalam ranah dunia tidak akan mengurangi kesuciannya serta tidak menjadikan syariat sebagai mainan para politikus? Pada pasal ini, kita akan berupaya menemukan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan semacam ini.

Terminologi

Mengingat bahwa dalam pasal ini kita akan membahas dan menilai suatu pandangan yang membatasi agama pada wilayah kehidupan personal serta tidak menerima keterlibatannya dalam ranah sosial, sudah selayaknya untuk sedari awal menyebutkan istilah- istilah standar yang juga digunakan dalam kamus-kamus lainnya dalam menyampaikan maksud ini pula (tentu saja terkadang dengan dimensi- dimensi yang lebih luas) dan kurang lebihnya diterapkan pula dalam bahasa Parsi.

p: 344


1- Dalam tulisan ini (dan kebanyakan tulisan-tulisan serupa) paduan kata "agama dan politik" -dengan pengabaian-dianggap sepadan dengan agama dan pemerintahan”. Begitu pula ketika dibicarakan tentang privatisasi agama dalam masyarakat sekuler, yang dimaksud adalah bahwa agama tidak memiliki peran dalam menentukan kebijakan-kebijakan pemerintahan; bukan berarti gulung tikar dari semua arena-arena sosial. Berdasarkan hal ini, sepertinya pernyataan-pernyataan yang terdapat di bawah ini berlawanan dengan klaim penulisnya -tidak menceritakan tentang penemuan suatu kesalahan besar: “Sekularisme dan laisisme sama sekali tidak pernah ingin memisahkan agama dari politik... atau memprivatisasi agama dan memisahkannya dari kehidupan sosial. ... keterpisahan agama dan pemerintahan bukan bermakna pelarangan atas aktivitas-aktivitas politik secara bebas para penganut agama dan bukan pula bermakna ajakan kepada pemisahan agama dari masyarakat." Shayyidan Watsiq, Laisiteh Cist, hlm. 177.

Sekularisme dan Sekularisasi

Akar dari pada istilah-istilah seperti sekularisme dan sekularisasi ialah istilah Latin "saeculum" yang pada dasarnya bermakna ras dan keturunan, kemudian diterapkan pula dalam makna-makna seperti abad, dunia, duniawi, dan tak beragama.(1) Keragaman penggunaan istilah sekuler (secular) sedemikian sehingga terkadang makna "anti agama" dan "eskapis dari agama" terekam dalam benak kita dan terkadang dalam bentuk tertentu mengisyaratkan teologi atau pendeta- pendeta Kristen.(2) Menurut sebagian penulis, istilah sekularisasi kali pertama diterapkan pada abad ke-17 M dalam suatu teks perjanjian di mana kantor pengelolaan sebagian harta/warisan yang sebelumnya dalam penanganan para pejabat gereja, diserahkan kepada para pemegang posisi yang nonpendeta.(3) Mungkin dapat dikatakan bahwa turunan- turunan istilah sekuler senantiasa menjadi motivasi setiap jenis perhatian dan ketergantungan terhadap "dunia" dan pada umumnya menceritakan masalah-masalah yang kontras (dan tidak mesti kontradiksi) dengan urusan-urusan "akhirat" yang suci.

Walaupun demikian, dewasa ini-dalam penggunaan yang paling umum(4)-sekularisasi disebut sebagai suatu proses yang mengakibatkan institusi-institusi religius akan kehilangan posisi atau kedudukan sosialnya (atau dengan kata lain, agama dalam sistem sosial termarginalkan) dan analisis-analisis natural dan rasional akan menggantikan penjelasan-penjelasan supranatural. (5) Ketergantian ini, dapat pula terjadi dalam ranah pemikiran-pemikiran personal; (6) sebagai

p: 345


1- Lihat Charlton T. Lewis, A Latin Dictionary, hlm. 1613–1614.
2- Lihat Clayton Crockett (ed.), Secular Theology, hlm. 1-2; Geddes MacGregor, Dictionary of Religion and Philosophy, hlm. 564 (secular Clergy).
3- Lihat Bryan R. Wilson, "Secularization", dalam Mircea Eliade (ed.), The Encyclopedia of Religion, vol. 13, hlm. 159.
4- Untuk mengetahui penerapan-penerapan yang berbeda dari kata ini di mana berdasarkan sebagian dari mereka, agama berubah menjadi urusan personal dan berdasarkan sebagian lainnya teringkari secara total-silakan lihat Lary Shiner, "Mafhum Sekular Syudan dar Pazuheshhāe Tajrubi” The Concept of Secularization in Empirical Research], terjemahan Parsi oleh Sayid Husain Sarraj Zadeh, dalam Chaleshāe Dīn wa Moderniteh, hlm. 21–35.
5- Lary Shiner, "Mafhum Sekular Syudan dar Pazuheshhāe Tajrubi”, hlm. 160.
6- Sebagaimana (penjelasan) yang akan datang, sekularisasi tidak terbatas pada ruang lingkup masyarakat dan lingkarannya akan menyebar kepada ranah-ranah personal dan bahkan agama itu sendiri.

contoh, berdasarkan pemikiran sekuler, turun dan tidak turunnya hujan tidak bisa dinisbahkan kepada kesenangan dan kemurkaan tuhan-tuhan(1) atau sebagaimana Jalaluddin Rumi (604–672 H) melantunkan:

"Abr bar nayad pey man"-e zakāt—waz zena uftad wa ba andar jahāt" (Awan tidak akan muncul sesudah pelarangan zakat-dan dari keterjatuhan dalam perbuatan zina dan dalam pelbagai arah).(2) Dengan demikian, sekularisasi adalah penjelasan suatu proses natural dan tidak disertai dengan suatu rekomendasi, sementara "sekularisme merupakan suatu ideologi(3) di mana para pembelanya menganggap segala bentuk pengakuan prinsip terhadap hal-hal yang bersifat supranatural tidak dapat diterima dan menjadikan prinsip- prinsip nonreligius atau anti religius sebagai prinsip moral individu dan sistem sosial."(4) Salah seorang pemilik teori sekularisme dalam menjelaskan makna sekularisme mengatakan:(5) "Sekularisme sama sekali tidak memiliki hubungan dengan dunia lain beserta tafsirannya dan hanya berkenaan dunia empiris (indriawi) yang dapat ditafsirkan dengan pengalaman indriawi. ... dalam kerangka program yang bersifat sekuler, teisme dan ateisme tidak mempunyai tempat karena tak satu pun darinya dapat dibuktikan melalui eksperimen ... berdasarkan pandangan atau teori ini, keseluruhan moralitas dapat diperoleh melalui pemikiran-pemikiran murni yang

p: 346


1- “Secularization and Rationalization”, dalam Encyclopedia Britannica 2005(CD).
2- Jalaluddin Maulawi, Matsnawi Ma nawī, Daftar Awwal, bait 88. Bait ini mengisyaratkan hadis nabi berikut: "Mā zhaharat al-fāhisyat fihim illā zhahara fihim al-tha àūn; ... wa lā mana ū al-zakātu illā habasallāhu 'anhum al-mathār, perbuatan buruk (zina) di tengah-tengah masyarakat tidak akan merajalela, kecuali bahwa tha un atau wabah akan menyebar; ... dan tidak menahan diri dalam membayar zakat, kecuali bahwa Tuhan akan menahan hujan bagi mereka.” Tafsir al-Qurthubi, jil. 19, hlm. 253. Tentunya dalam bahasa Arab, terkadang thaun dan wabah disepadankan antara satu dengan lainnya).
3- Lihat R.H. Potvin, "Secularization", dalam New Catholic Encyclopedia, vol. 13, hlm. 38. Seperti diketahui bahwa perbedaan ini terkadang diabaikan dan kedua istilah ini digunakan antara tempat yang satu dengan lainnya, sebagaimana penggunaan atas ungkapan seperti “make secular" sebagai ganti "become secular" dalam menafsirkan istilah "secularization" merupakan tanda tiadanya konsistensi terhadap perbedaan tersebut. Sebagai contoh, silakan lihat Merriam- Websters Collegiate Dictionary, Microsoft Encarta Dictionary.
4- Bryan R. Wilson, "Secularization", hlm. 159.
5- Tentang hal ini pula, definisi singkat berikut patut diperhatikan: “Any movement in society directed away from otherworldliness to life on earth” “Secularism", dalam Encyclopedia Britannica 2005.

bersifat sekuler serta mengokohkan bangunannya dengan pemikiran- pemikiran ini pula."(1) Dari apa yang telah lalu, dapat disimpulkan bahwa pemikiran sekuler memiliki pelbagai ragam dimensi, di mana "anggapan keterpisahan agama dan politik" hanyalah salah satu di antaranya.

Sebagaimana yang dinyatakan oleh salah seorang penulis.

"Pemisahan agama dari pemerintahan-yang dijadikan sebagai simbol sekularisme-tentu saja merupakan salah satu buah sekunder dari sekularisme, tetapi karena paling teraba, paling tampak, dan paling jelasnya buah dan hasilnya, maka secara umum dialah yang akan ditunjuk. ... sekularisme, yakni "kecenderungan pada alam ini"; yakni mengarahkan perhatian pada alam ini dan memalingkan mata dari alam-alam lainnya (jika diasumsikan ada) serta memilih lalai. ...

Alam-alam lain tersebut secara jelas tidak lebih dari dua: salah satunya adalah alam nonmateriel dan yang lainnya adalah alam akhirat.

ketika keduanya kita singkirkan-entah dengan mengingkarinya ataukah dengan ketiadaan perhatian terhadap mereka-pada saat itu tentunya alam kita akan menjadi alam yang lebih rawit dan lebih kecil; motivasi-motivasi kita akan berganti; gagasan-gagasan kita pun akan berganti. ... rahasia hal ini bahwa manusia dalam dunia (alam) baru, dari sebagian sisi sepertinya lebih sukses ialah bahwa ia telah memperpendek dan memperkecil lingkaran dan domain kekuasaan serta wilayah pendudukan praktisnya, meskipun dengan penisbahan itu sendiri, ia kalah dan kehilangan sesuatu.(2) Sebagian penulis, guna mengisyaratkan dimensi-dimensi luas kecenderungan kepada alam ini, di bawah penjelasan kata sekularisasi disebutkan seperti ini: "Pemisahan urusan-urusan duniawi dari urusan- urusan religius dan pemisahan politik, pemerintahan dan kekuasaan, ekonomi, seni, pendidikan dan pengajaran serta aspek-aspek kehidupan lainnya dari hal-hal yang suci."(3) Berdasarkan hal ini pula, terkadang

p: 347


1- Eric S. Waterhouse, “Secularism", dalam James Hastings (ed.), Encyclopedia of Religion and Ethics, vol. 11, hlm. 348.
2- Abdul Karim Soroush et. al., Sunnat wa Sekularism, hlm. 70–79.
3- Ali Agha Bakhshi dan Mino Afsharirad, Farhangg 'Ulum Siyāsi.

ada pembicaraan tentang kesekuleran hal-hal seperti tarian, teater, permainan, dialog, dan ekonomi.(1) Poin yang patut diperhatikan ialah bahwa proses ini tidak terbatas pada wilayah masyarakat, dan fenomena-fenomena yang telah disebutkan dan lingkarannya mungkin saja mencakup "agama" itu sendiri; sekularitas agama adalah akibat dari fenomena-fenomena seperti demitologisasi.(2) Menurut salah seorang penulis Barat:

"Bukan hanya masyarakat besar yang ada di luar setiap hari lebih dari sebelumnya melakukan pembangkangan atas pengaruh agama, bahkan institusi-institusi dan perilaku religius itu sendiri dari hari ke hari juga di bawah pengaruh nilai-nilai, kriteria-kriteria, dan aturan-aturan yang diterima secara luas pada masyarakat nonreligius.

Mengingat masyarakat setiap hari lebih dari sebelumnya menyusun atau mengatur urusan-urusan mereka sesuai dengan kriteria-kriteria teknis dan ilmiah, institusi-institusi keagamaan pun berada di bawah pengaruh arus ini. ... Pemimpin-pemimpin gereja setiap harinya semakin ragu terhadap esensi dan tabiat supranatural dan semakin tidak percaya terhadap prinsip-prinsip akidah atau keyakinan keyakinan resmi keagamaan yang ketika pengangkatan mereka dilakukan dengannya, mereka memercayainya."(3) Berdasarkan ini pula, sebagian penulis berbicara tentang sekularitas "syariat Kristen" serta "fikih Syi'ah"(4) dan segolongan lainnya menegaskan poin bahwa sekularisasi harus dikaji dalam tiga ranah "agama", "individu", dan "masyarakat" serta menjauhi percampuran semuanya antara satu dengan lainnya.(5) Sebagai contoh, "kekinian agama" adalah suatu fenomena yang terkait dengan ranah

p: 348


1- Penggunaan istilah sekularisasi tentang tarian, bertumpu atas dasar bahwa fenomena ini di antara kebanyakan aliran-aliran (seperti tasawuf dalam dunia Islam) memiliki penampakan religius. Untuk telaah lebih jauh, silakan merujuk pada beberapa pengantar di bawah ini pada Dairāt al-Ma ārif Dīn (editor Mircea Ilyadeh): Dance and religion, vol. 4, hlm. 212; Theatrical and Liturgical Dance (vol. 4, hlm. 222); Modern Western Theater, vol. 4, hlm. 475; Economics and Religion, vol. 5, hlm.1; Games, vol. 5, hlm. 476; Salutations vol. 13, hlm. 27.
2- Tom F. Driver, "Drama: Modern Western Theater”, dalam Mircea Eliade (ed.), The Encyclopedia of Religion, vol. 4, hlm. 475.
3- Bryan R. Wilson, "Judā Engghāri Dīn wa Dunyā", terjemahan Parsi oleh Bahauddin Khurramsyahi, dalam: Farhang wa dīn (Majmu' Maqūlat), hlm. 132.
4- Silakan lihat Said Hejarian, Az Syahid Qudsi tā Syahid Bāzāri, hlm. 17–30 dan 69-91.
5- Silakan lihat Jean Paul Willa ime, Jāmi'ahh Syināsi-e Adyān (Religions Sociology), terjemahan Parsi oleh Abdurrahim Ghowahi, hlm. 140 (dinukil dari Karl Doblar).

yang pertama, berkurangnya fanatisme religius menjadikan "individu" sekuler dan perubahan pada struktur masyarakat modern-yang mengakibatkan agama akan kehilangan fungsi-fungsi sebelumnya, merupakan tanda terealisasinya proses ini pada ranah ketiga. (1) DISKUSIKAN DAN PIKIRKAN Padanan Persia Sekularisme dan Sekularisasi Para penulis dan penerjemah berbahasa Parsi memilih padanan-padanan kata seperti berikut dalam berhadapan dengan istilah sekularisme: A). Dunyā parasti (penyembahan dunia), I'tiqād be ashālat umur dunyāwi (percaya atas prinsip urusan-urusan duniawi), Nādīni ghary (kecenderungan nonreligiusitas), Judā syudan din az dunyā (keterpisahan agama dari dunia), Dunyāwiat (keduniawian); B). Ilmi budan (keilmiahan), Ilmi shudan (dapat ilmiah); C). In ālam gherāi (cenderung pada alam ini/keduniaan); D). Ghiti bavari (kepercayaan atas dunia), In jahān bawāri (kepercayaan atas alam ini/dunia), Dīn Ghurizi (menghindari agama), Dīn judā Khāhi (keinginan berpisah dari agama); E). Judāi Siyāsat az dīn (pemisahan politik dari agama), Juda enggari dīn wa dawlat (anggapan keterpisahan agama dari pemerintahan); F). Dunyāwi ghāry (cenderung duniawi); G). Urf gherāi (kecenderungan terhadap tradisi masyarakat). (2) Untuk istilah sekularisasi telah diusulkan pula padanan-padanan semacam ini: A) Dunyāwish (keduniawian); B) Nadīni (tan-agama), Dunyāwi kardan

p: 349


1- Ali Ridha Shujai Zend, Dīn, Jame-eh wa Urfi Syudan, hlm. 203, 225, 235, dan 239; Ali Ridha Syujai Zend,'Urfi Syudan dar Tajrubah Masihi wa Islāmi, hlm. 110, 119, dan 122.
2- Silakan lihat A). Mary Brijanian (penyusun), Farhange Isthilāhūt-e Falsafah wa 'Ulume Ijtimāi; B). Abdul Karim Soroush, "Ma'nā wa Mabnā-e Sekularism",dalam: Kiyan, No. 26, hlm. 6; C). Abdul Karim Soroush et. al., Sunnat wa Sekularism, hlm. 77; D). Dariush Ashuri, Farhange 'Ulum-e Insāni; E). Ali Agha Bakhshi dan Mino Afsharirad, Farhange 'Ulūme Siyāsi; F). Bryan R. Wilson, "Judā Engghāri-e Dīn wa Dunyā", terjemahan Parsi oleh Bahauddin Khurramsyahi, dalam: Farhang wa Dīn (Majmu' Maqālāt), hlm. 126; G). Majid Muhammadi, Sar bar Astān-e Qudsi Del dar Gheru-e 'Urfi, hlm. 18.

(penduniawian), Judā enggāri din wa dunyā (anggapan keterpisahan agama dan dunia), Din Zedāi (penyingkiran agama); C) Ghitiyāneh gary (cenderung bersifat duniawi), In jahāne gary (cenderung pada alam ini/duniawi), Nādīni gary (cenderung tanpa agama); D) Ghairi dini kardan (menjadikan bukan agama), Ghairi dīni shudan (dapat menjadi bukan agama), Dunyā Zadeghi (terpesona dunia), Dunyawi sāzi (duniasasi); E) Urfi syudan (berpihak pada tradisi).(1) Dengan memperhatikan penjelasan-penjelasan yang telah lalu, nilailah ukuran kebenaran (keshahihan) dan keakuratan padanan-padanan ini-dengan suatu pandangan universal dan global!

Laisisme dan Laisisasi

Dua istilah; laisisme(2) dan laisisasi yang satu akar dengan istilah terkenal "laic" dan diserap dari bahasa Prancis ke dalam bahasa Inggris-pada umumnya disepadankan dengan sekularisme dan sekularisasi. Dengan perbedaan bahwa dua istilah pertama (laisisme dan laisisasi) lebih umum dikenal di kalangan kaum Katolik dan dua istilah lainnya dikalangan kaum Protestan.(3) Walaupun demikian, terkadang penerapan istilah-istilah ini disertai pula dengan perbedaan- perbedaan lainnya;(4) sebagai contoh, dapat dikatakan bahwa upaya sekularisasi-berlawanan dengan laisisasi-merupakan suatu gerakan perlahan dan tidak menyertakan gesekan-gesekan tajam. (5)

p: 350


1- Silakan lihat A) Sayid Muhammad Naquib Al-Attas, Islam wa Dunyāwighari Islam and Secularism), terjemahan Parsi oleh Ahmad Aram, hlm. 13; B) Mary Brijanian (penyusun), Farhange Isthilāhāt Falsafah wa 'Ulume Ijtimai; C) Dariush Ashuri, Farhange 'Ulum-e Insāni; D) Ali Agha Bakhshi dan Mino Afsharirad, Farhangg 'Ulūm Siyāsi; E). Said Hejarian, Az Syahid Qudsi ta Syahid Bāzāri (Urfi Syudane Dīn dar Sepahr Siyāsi); Ali Ridha Syujai Zend, Din, Jāmi'ahh wa Urfi Syudan, hlm. 203, 225, 235, dan 239; Ali Ridha Syujai Zend, 'Urfi Syudan dar Tajrubah Masihi wa Islāmi.
2- Laicism. Derivasi kata ini berasal dari Prancis yaitu laicite dan akar Yunani-nya Laos bermakna segolongan besar masyarakat.
3- Silakan lihat Aziz al-Uzhmah, al-Almāniyah min Mandzurin Mukhtalif, hlm.18.
4- Lihat Briyan R. Wilson, "Judā Engghāri Dīn wa Dunya", hlm. 160.
5- Silakan lihat Jean Paul Willa ime, Jāmi'ahh Syināsi-e Adyān, hlm. 141-142.

Almāniyah

Para pemikir dunia Arab meletakkan istilah baru almāniyah sebagai ganti istilah sekularisme (sebagaimana kata almānah juga setara dengan kata sekularisasi). Berkenaan dengan dasar atau asal mula turunan kata ini-seperti halnya dengan sejarah kemunculannya(1) – telah terjadi banyak dialog dan diskusi. Segolongan berkeyakinan bahwa kata ini mesti dibaca dengan huruf ‘ain kasrah ('ilmāniyah) dan menyebutnya diambil dari kata "ilmu". (2) Sebagian lainnya menyebut turunan dari kata "'ālam" adalah lebih pantas;(3) berdasarkan hal ini, ketika melafazkan kata tersebut, dua huruf pertama (setidaknya yang paling awal di antara mereka) mesti diberikan fathah (alamaniyah, almaniyah). (4) DISKUSIKAN DAN PIKIRKAN Almāniyah, Derivasi dari Ilmu ("Ilm) atau Alam ("Alam) Sebagian orang yang menganggap kata almāniyah diambil dari kata ilmu, dengan menegaskan bahwa "Sekularisme bukanlah sesuatu selain daripada pengaturan masyarakat yang bersifat ilmiah dan rasional." Mereka menyatakan, "Almāniyah bermakna keilmiahan mestilah disebut sebagai terjemahan yang paling tepat dari sekularisme. "(5) Sebagian lain dari golongan ini pada

p: 351


1- Ahli bahasa berkebangsaan Libanon, Butrus al-Bustani (1819-1883 M), adalah salah orang yang pertama kali menggunakan istilah ini (muhith al-muhith); meskipun bukan dia sendiri yang menjadi peletak dasar pertama istilah ini. Sebelumnya, penerjemah berkebangsaan Mesir, Ilyas Bagthar (1784-1821 M) dalam kamus bahasa “Prancis-Arab"-nya, menerjemahkan kata secularite sebagai Alimaniyat. Silakan lihat Ali Rabbani Gulpaighani, Naqd Mabāni Sekularism, hlm. 9, dinukil dari Ahmad Faraj, Juzwe Almaniyah.
2- Silakan lihat Aziz al-Uzhmah, al-Almaniyah min Mandzurin Mukhtalif, hlm. 17–18.
3- Dengan penjelasan ini bahwa berlawanan dengan kaidah (dan untuk kemudahan pengucapan) alif kata "alam" dihapus.
4- Silakan lihat Butrus al-Bustani, Muhith al-Muhith; Adil Dzahir, Al-Asasul Falsafiyah lil Almaniyah, hlm. 37–38.
5- Abdul Karim Soroush, "Ma'na wa Mabnā Sekularism" dalam: Kiyān, No. 26, hlm. 6. Seperti telah diketahui bahwa penulis ini pula di tempat lain, menyebut pula derivasi almaniyat dari alam sebagai terma yang benar dan sesuai. Silakan lihat Abdul Karim Soroush et. al., Sunnat wa Sekularism, hlm. 73–74).

kondisi yang sama di mana kata almāniyah dengan kasrah pada huruf ‘ain dan sebagai turunan dari ilmu, menyebut terjemahan ini tidak benar.(1) Tanpa melihat manakah di antara kedua turunan yang dimaksudkan oleh para peletak pertama istilah ini, menurut Anda manakah di antara kedua pandangan tersebut yang lebih sesuai dengan akar kata Latin dari istilah sekularisme?(2)

Dukungan-Dukungan Pemikiran bagi Sekularisme

Sebagian pemikir menyebut sekularisasi sebagai salah satu ciri yang tak terpisahkan dari modernitas dan segolongan lain di antara mereka menegaskan keterpisahan kaitan ini. (3) Perbedaan ini pada batas tertentu bisa disebut bersumber dari perbedaan dalam makna sekularisasi; jika sekularitas dipahami sebagai lenyapnya agama secara mutlak serta menyingkirkannya dari ranah-ranah individual dan sosial, sudah pasti kebanyakan orang-orang tidak menyebut proses seperti ini sebagai konsekuensi-konsekuensi tak terelakkan dari modernitas serta menegaskan hubungan erat agama dengan kehidupan manusia. (4) Walaupun demikian, hal yang pasti adalah bahwa dunia modern merupakan wadah atau prakondisi bagi kemunculan dan penyebaran aliran-aliran pemikiran yang memiliki kaitan tak terpisahkan dengan sekularisme (bermakna kecenderungan duniawi); sebagian di antaranya merupakan prakondisi serta konsekuensi dari kecenderungan ini dan sebagian lainnya merupakan sisi lain dari "uang logam" ini. Di sini, kami akan membahas sebagian di antara aliran-aliran pemikiran ini:

p: 352


1- Silakan lihat Yusuf Al Qardawi, al-Islām wa Almāniyah, hlm. 48.
2- Silakan lihat An'am Ahmad Qaduh, al-Almāniyah fi al-Islām, hlm. 15.
3- Lihat Peter L. Berger, The Desecularization of the World, hlm. 2–3; Winston Davis, "Sociology of Religion", dalam Mircea Eliade (Ed.), The Encyclopedia of Religion, vol. 13, hlm. 396.
4- Salah seorang sosiolog Amerika berkata tentang hal ini: “Tak diragukan lagi, modernisasi disertai dengan pendesakan hal-hal yang menyebabkan sekularitas, tetapi membangkitkan pula gerakan-gerakan kuat anti sekularitas. Begitu pula, sekularitas masyarakat tidak mesti berujung kepada sekularitas individu; mungkin saja institusi-institusi religius kehilangan pengaruh dan kekuatan pada kebanyakan masyarakat-masyarakat, tetapi kepercayaan dan perilaku-perilaku religius baru dan lama dalam kehidupan individu-individu tetap berlanjut.". Peter Berger, "Barkhilaf Jaryān: Naqd Nazhariyah Sekular Syudan" terjemahan Parsi oleh Sayid Husain Sarraj Zadeh, dalam: Cāleshhā Dīn wa Moderniteh, hlm. 44.

Humanisme

Humanisme-yang dalam terjemahan Parsi-nya diterapkan dalam pengertian-pengertian seperti mazhab kemanusian, keyakinan terhadap manusia, prinsip manusia, humanisme, ajaran prinsip manusia(1)– dalam penggunaan umum bermakna sebuah sistem filosofis di mana "inti dan pusatnya adalah kecenderungan atau dukungan terhadap kebebasan dan martabat kemanusiaan."(2) Ungkapan terkenal Protagoras (sekitar 480-sekitar 411 SM),seorang sofis Yunani kuno kenamaan-bahwa "manusia adalah tolok ukur (criteria) segala sesuatu" dalam bentuk tafsiran apa pun(3) adalah termasuk salah satu fondasi bangunan pemikiran ini.

Dalam sejarah pemikiran manusia, pengakuan terhadap prinsip manusia serta penegasan atas penjagaan kedudukan manusia memiliki tingkatan-tingkatan yang beragam; terkadang berujung kepada penafian dan pengingkaran Tuhan dan terkadang pula bersandingan dengan teisme dan kecenderungan religius.

Orang-orang seperti August Comte (1798-1857 M)-sebagaimana pada pasal dua yang telah lalu-menyebut agama-agama Ilahi lahir dari kebodohan seseorang dan mengajak semua orang kepada mazhab (agama) pemujaan manusia. (4) Comte berkeyakinan bahwa guna menggantikan kedudukan Tuhan atau segala eksistensi lainnya yang tidak diketahui, kemanusiaanlah yang mesti diposisikan sebagai judul (kop) dalam urusan-urusan kita dan melalui jalan ini, kita mengantarkan masyarakat hingga tepian rumah yang mereka tuju (maksud). Menurut pendapat sebagian penulis:

p: 353


1- Silakan lihat Ghulam Muhsin Mushaheb (pimpinan editor), Dairat al-Ma ārif Farsi; Dariyush Ashuri, Farhangg 'Ulūm Insāni; Mary Bryjanian (penyusun), Farhange Isthilahāt-e Falsafah wa 'Ulūm-e ljtimā'i.
2- Ghulam Muhsin Mushaheb (pimpinan editor), Dāirat al-Ma ārif Farsi, jil. 1, hlm. 309. Untuk mengetahui ragam penggunaan istilah ini, silakan lihat Andry Laland, Mausu'atu Laland al- Falsafiyah, Ta'rib Khalil Ahmad Khalil, hlm. 566-570; Tony Davies, Humanism, terjemahan Parsi oleh Abbas Mokhber, hlm. 169-183.
3- Sebagai contoh, berdasarkan hal itu bahwa maksud dari pada Protagoras manusia personal atau jenis, pernyataan tersebut mempunyai dua tafsiran yang berbeda. Untuk telaah lebih jauh, silakan lihat Freiderick Capleston, Tārikh Falsafah (History of Philosophy], jil. 1, terjemahan Parsi oleh Sayid Jalaluddin Mujtabawi, hlm. 106-107.
4- Religion of Humanity. Lihat Gertrud Lenzer (ed.), Auguste Comte and positivism (the Essential Writings), hlm. 381-389,448-465, 484-485,488-491.

"Comte dalam gagasan atau pemikiran-pemikirannya tentang kemajuan masyarakat sampai pada kesimpulan bahwa dalam memimpin atau mengarahkan manusia menuju kesempurnaan, kedua faktor, akal dan perasaan, sangatlah berpengaruh dan guna menyintesakan akal dan perasaan dalam memperbaiki masyarakat, ia menetapkan sebuah agama yang di dalamnya kemanusiaan (menggantikan Tuhan) terpahami sebagai eksistensi terbesar. Hanya saja, sebagai ganti dari penyembahan terhadap eksistensi besar ini, ia mesti dipuja serta diupayakan kesempurnaan dan kesejahteraannya.

Bagi agama baru ini, Comte menetapkan adab-adab dan ritual-ritual seremonial khusus yang membuat sebagian penganut-penganutnya merasa takjub atau keheranan hingga kabur darinya, tetapi sebagai gantinya, hal itu menyiapkan lebih banyak lagi teman-teman dan murid- murid baginya. Dalam agama ini, orang-orang suci dan para wali adalah mereka yang telah berupaya di jalan kemanusiaan. Untuk maksud ini, ia menetapkan suatu kalender guna mengenang wali-wali suci ini.(1) Dari sisi lain, dalam sejarah pemikiran Barat terkadang kita jumpai aliran-aliran humanisme yang sama sekali tidak mengangkat wajah penentangan dari agama-agama seperti Kristen,(2) meskipun terkadang secara serius menyerang sebagian doktrin-doktrin gereja (seperti dosa esensial atau dosa bawaan sejak lahir manusia [the origin of sin]). (3) Dari sisi ini, sebagian pemikir menyebut humanisme mempunyai dua cabang asli; religius dan sekuler. (4) Humanisme sekuler

p: 354


1- Ghulam Muhsin Mushahib (pimpinan editor), Dairat al-Ma ārif Farsi, jil. 2, hlm. 2272. Untuk telaah lebih jauh, silakan lihat pengantar-pengantar di bawah dalam Dāirat al-Ma ārif Dīn (Editor Mircea Ilyadeh): Comte, Auguste (vol. 3, hlm. 581); Functionalism (vol. 5, hlm. 447); Naturalism (vol. 10, hlm. 317); Positivism (vol. 11, hlm. 460) Study of Religion (vol. 14, hlm. 69).
2- Bahkan, sebagian dari para Pope-seperti Nicholas V (1397–1455 M) Pius || (1405–1464 M)-termasuk pula sebagai humanis. Untuk telaah lebih jauh, silakan lihat J.Gill, “Nicholas V, Pope", dalam New Catholic Encyclopedia, vol. 10, hlm. 443; J.G. Rowem "Pius II, Pope", dalam New Catholic Encyclopedia, vol. 11, hlm. 393; Microsoft Encarta Reference Library 2004.
3- Sebagai contoh, seorang pemikir Belanda, Erasmus (1466?-1536 M)-termasuk di antara para humanis menonjol dengan alasan menyiapkan prakondisi-prakondisi revolusi Luther melawan gereja, terkadang disebut sebagai Bapak Gerakan Reformasi Religius-adalah seorang teolog Kristen yang telah menyiapkan suatu terjemahan akurat/teliti dengan bahasa Latin (disertai dengan poin-poin penjelasan) dari kitab Perjanjian Baru. Untuk telaah lebih jauh, silakan lihat Microsoft Encarta Reference Library 2004; B.A. Gerrish, "Erasmus,Desiderius", dalam Mircea Eliade (ed.), The Encyclopedia of Religion, vol. 5, hlm. 135–137.
4- Lihat W.P. Hass, "Humanism, Secular", dalam New Catholic Encyclopedia, vol. 7, hlm. 226; Nicola Abbagnano, "Humanism", dalam Paul Edwards (ed.), The Encyclopedia of Philosophy, vol. 4, hlm. 71.

menerima pula beragam tafsiran-tafsiran di mana berdasarkan salah satu di antaranya, wujud Tuhan dapat diterima, tetapi kepercayaan ini tidak memberi pengaruh dalam kehidupan praktis mereka. (1) Bagaimanapun, humanisme dengan beragam tingkatan- tingkatannya-di mana tingkatan tertingginya berujung kepada ateisme-menekankan pada kemampuan-kemampuan dan kelayakan- kelayakan manusia. Menurut ungkapan salah seorang penulis, "Esensi Humanisme adalah suatu perolehan baru dan penting dari martabat manusia sebagai eksistensi rasional dan lepas dari kekuasaan- kekuasaan ketuhanan."(2) Berdasarkan ini, setidaknya sebagian dari tingkatan-tingkatan humanisme-senada dengan sekularisme- mengajak orang-orang cenderung kepada keduniawian (dalam bentuk pengakuan prinsip manusia) dan (khususnya dalam pengaturan urusan- urusan masyarakat) menjadikan perhatian terhadap hal-hal yang bersifat supranatural semakin pudar dan tertolak. (3) Tanpa melihat poin tentang mana dari kedua aliran tersebut yang menjadi dasar bagi yang lainnya, secara historis kemunculan humanisme (sebagai sebuah aliran) lebih dahulu daripada sekularisme. (4) DISKUSIKAN DAN PIKIRKAN Hak dan Kewajiban serta Relasinya dengan Sekularisme Menurut sebagian penulis, salah satu fenomena yang memberi pengaruh sangat besar atas kemunculan dan penyebaran sekularisme adalah suatu perubahan yang terjadi dalam hubungannya antara hak dan kewajiban, karena itu berdasarkan pandangan ini:

p: 355


1- "To deny that belief in God could, or ought, to have any practical effect" James Hitchoock, What is Secular Humanism? hlm. 11.
2- Tony Davies, Umanism (Humanism), terjemahan Parsi oleh Abbas Mokhber, hlm. 31.
3- Lihat: C.T. McIntire, "Christian Views”, dalam Mircea Eliiade (Ed.), The Encyclopedia of Religion, vol. 6, hlm. 398.
4- Menurut ungkapan sebagian penulis, sekularisme awal tampak dalam bentuk humanisme. Silakan lihat "Secularism", dalam: Encyclopedia Britannica 2005 (CD).

1. "Kita kidup dalam suatu era kehidupan di mana manusia-manusia lebih dari pada mencari atau menuntut pemahaman serta penentuan kewajibannya, mencari dan menuntut hak-hak mereka. ... manusia masa lalu atau sebelum modern dapat dinamakan manusia "berkewajiban" dan berlawanan dengan itu, manusia modern disebut manusia "berhak".

2. "Bahasa agama (khususnya agama Islam, sebagaimana yang memanifestasi dalam al-Qur'an dan riwayat- riwayat), lebih dari pada bahasa hak (haq), merupakan bahasa kewajiban (taklif). ... Dalam teks-teks religius tentu saja berbicara pula tentang hak-hak manusia, tetapi penjelasan-penjelasan ini dibandingkan dengan penjelasan-penjelasan tentang kewajiban, luar biasa istimewa dan sangat sedikit".

3. "Manusia modern mengakui hak penghambaan bagi dirinya (perhatikan kami mengatakan hak penghambaan bukan kewajiban penghambaan), tetapi tidak mengakui hak ketuhanan bagi siapa pun (khususnya dalam ranah politik dan kekuasaan) dan ini adalah sebuah pencapaian yang sangat baik. ...

Dalam sekularisme ditekankan poin bahwa tak ada seorang pun yang memiliki hak ketuhanan dalam kedudukan kesultanan dan kekuasaan."(1) Dengan merenungkan pernyataan-pernyataan yang telah disebutkan, jawablah pertanyaan-pertanyaan di bawah ini:

1. Apakah keterbebasan dari kewajiban termasuk ciri- ciri yang "tak terpisahkan" dari manusia modern?(2)

p: 356


1- Abdul Karim Soroush, "Ma'nā wa Mabnā Secularism", dalam: Kiyān, No. 26, hlm. 9-10.
2- Sebagian pemikir dengan menganalisis konsep hak sampai pada kesimpulan bahwa pada dasarnya kebanyakan apa yang sekarang ini dinamakan "hak-hak” (huqūg), memiliki esensi "tugas (taklif)": "Segolongan pemikir ketika menengok kepada kehidupan, kebebasan, harga diri, kehormatan ... individu-individu diserang atau disakiti, ... berkumpul bersama dan menetapkan tugas-tugas bagi semua orang, khususnya pemerintahan-pemerintahan, mereka haruskan (wajibkan) untuk mematuhi dan menjalankannya dan menamakannya sebagai hak- hak manusia, meskipun nama dan penamaan ini hanya bersifat majas." Ahmad Ahmadi, "Huqūg Basyar wa Dharurat Ihtirām be Muqaddasāt", dalam: Fiqh wa Huqūq Tathbīgi, hlm. 15.

Apakah hal-hal seperti kepatuhan terhadap aturan tidak dapat disebut sebagai kewajiban-kewajiban manusia dalam dunia modern? Pada dasarnya apakah pembatasan-pembatasan seperti ini antara manusia modern dan tradisional tegak di atas fondasi yang kokoh? 2. Mengingat hubungan dua sisi hak dan kewajiban, apakah bahasa agama (setidaknya pada kebanyakan hal) dapat disebut hanya sekadar bahasa kewajiban? 3. Hanya dengan gagasan bahwa manusia hari ini sedang berupaya mencapai hak-hak dirinya (bukan mendapatkan kewajibannya) apakah sekularisme dapat dijustifikasi? 4. Apakah pemerintahan religius-di mana para pekerja atau aparat-aparatnya, dihadapan mereka telah mempunyai petunjuk-petunjuk kerja semacam ini: "Dan kasih sayang terhadap rakyat bagi hatimu menjadi penutup (pakaian) dan kecintaan bagi mereka dan kepemurahan bagi semuanya; dan jangan menjadi seperti binatang buas di mana engkau menganggap berharga (ghanīmah) memakan mereka"(1)—bermakna menuhankan segolongan kecil dari manusia dan mengabaikan hak-hak kebanyakan rakyat?(2)

Rasionalisme

Rasionalisme(3) Kebanyakan pemikir Timur dan Barat menyebut rasionalisme sebagai fondasi-fondasi dasar sekularisme (4) dan setidaknya menegaskan

p: 357


1- Nahj al-Balāghah, Surat 53.
2- Untuk telaah lebih jauh, silakan lihat Abdullah Jawadi Amuli, Haq wa Taklīf dar Islām, hlm. 250-278; Ali Rabbani Gulpaighani, Naqd Mabāni Sekularism, hlm. 137-172; Ahmad Behesty, "Haq wa Taklif, dalam: Kitāb Naqd, No. 1, hlm. 28-54.
3- Rationalism.
4- Lihat "Secularization and rationalization" pada Encyclopedia Britannica 2005 (CD).

keterhubungan antara keduanya. Penggunaan istilah rasionalisme cukup beragam dan dalam pelbagai ranah pemikiran memiliki makna- makna yang berbeda. (1) Pada zaman pencerahan (abad ke 18 Eropa) istilah ini merupakan simbol (penjelasan) atas keterbebasan dari belenggu khurafat, kembali kepada ciri-ciri orisinal kemanusiaan serta menutup mata dari kekuatan-kekuatan supranatural.(2) Menurut Rene Guenon (1886–1951 M), Rasionalisme mengandung "penafian segala jenis pengetahuan supranatural yang riil" dan salah satu di antara hasilnya ialah "pengingkaran segala bentuk rujukan spiritual yang secara mesti bersumber dari alam meta-insani."(3) Meskipun semua pemikir-pemikir zaman pencerahan tidak memiliki perselisihan (pertentangan) dengan Tuhan dan agama, segolongan dari mereka menyebut agama sebagai khurafat paling merugikan yang mencegah manusia dari kemajuan dan sublimitas serta memfokuskan perhatiannya kepada langit, menggantikan bumi; sebagaimana Denis Diderot (1713–1784 M), salah seorang pionir gerakan pencerahan-membahasakan ulang pesan alam natural kepada manusia modern dalam bentuk seperti ini: "Wahai budak khurafat! Janganlah sia-sia mencari kebahagiaan dirimu di balik batas-batas alam ini, di mana engkau aku tempatkan di dalamnya. Beranilah dan bebaskanlah dirimu dari belenggu agama dan rival pembangkang yang tidak mengenal hak-hak diriku ini. Buanglah jauh-jauh tuhan tuhan yang merampas kekuasaanku dan kembalilah kepada aturan- aturanku, serahkanlah kembali dirimu kepada alam kemanusiaan

p: 358


1- Sebagai contoh, dalam filsafat moral istilah ini ditempatkan berhadapan dengan "intuisionisme" dan dalam filsafat dan epistemologi berhadapan dengan "empirisisme." Silakan lihat Geddes MacGregor, Dictionary of Religion and Philosophy.
2- Ernest Cassirer (1874-1945 M) dalam menjelaskan cara pandang anti religius sebagian pemikir-pemikir zaman pencerahan menulis: "Manusia seharusnya memilih salah satu di antara kebebasan dan perbudakan, antara pengetahuan jelas dan emosi abstrak, antara ilmu dan iman. ... manusia zaman modern menutup mata dari segala bentuk bantuan dan pertolongan dari langit" Ernest Cassirer, Falsafah Raoshanghary (The Philosophy of The Enlightenment), terjemahan Persia oleh Yadullah Muwaqqan, hlm. 211-212.
3- Rene Guenon, Saitarah Kamiyat wa Alaim Akhiruzzamān (The Reign of Quantity and the Signs of the Times], terjemahan Parsi oleh Ali Muhammad Kardan. hlm. 105

dan kedirianmu. Dalam keadaan seperti ini engkau akan menemukan bahwa jalan hidupmu telah ditaburi bunga. "(1) Ungkapan-ungkapan di atas, menampakan secara baik relasi dan keterkaitan antara rasionalisme zaman pencerahan dan "sekularisme" yang sedang dibahas, sebagaimana kecenderungan humanisme-nya pun tampak dengan jelas. Poin penting yang menghikayatkan keterhubungan istilah-istilah ini antara satu dengan lainnya ialah bahwa menurut sebagian penulis, hari ini penggunaan istilah "rasionalisme" dalam makna yang telah disebutkan menjadi kurang populer dan tergantikan dengan humanisme.(2) Walaupun demikian, Ian Barbour (1923 M)-setelah mengisyaratkan poin bahwa para pemikir zaman pencerahan dengan bersandar pada rasionalisme-menyebutkan bahwa ada dan tiadanya Tuhan dalam menjelaskan masalah-masalah ilmiah adalah setara. Ia menambahkan: "Meskipun kebanyakan ahli ilmu mengimani wujud Tuhan, tetapi mereka menyebutkan tak satu pun isyarat tentang akidah seperti ini dalam risalah-risalah yang pantas. "Penduniawian" (sekularisasi) pengetahuan-pengetahuan ilmiah dan pengetahuan pengetahuan lainnya bermakna bahwa konsep-konsep kalam (Teologi) dengan peran apa pun yang dimilikinya dalam ranah-ranah lainnya, mesti terpinggirkan dari ranah pengetahuan tentang alam semesta. (3)

Liberalisme

Liberalisme(4) Liberalisme atau keinginan untuk bebas merupakan tema filosofis- politis yang dengan menekankan prinsip personal (berhadapan dengan prinsip masyarakat) membela atau memperjuangkan kebebasan manusia dan dengan pembedaan antara ranah-ranah individual dan

p: 359


1- Ernest Cassirer, Falsafah Raoshanghary [The Philosophy of The Enlightenment), terjemahan Parsi oleh Yadullah Muwaqqan, hlm. 211.
2- Bernard Williams, "Rationalism", dalam Paul Edwards (ed.), The Encyclopedia of Philosophy, vol. 7, hlm. 69.
3- lan Barbour, 'Ilm wa Dīn Science and Religion), terjemahan Parsi oleh Bahauddin Khurramsyahi, hlm. 72–73.
4- Untuk telaah lebih jauh tentang Liberalisme, silakan merujuk pada lampiran bagian 11 dari buku ini.

masyarakat serta pembatasan agama pada wilayah personal, tidak menerima kekuasaan atau pemerintahan religius.

John Locke (1632–1704 M)-seorang filsuf Inggris dan pencetus gagasan liberal-berkeyakinan bahwa tanggung jawab utama pemerintah ialah jaminan kebebasan dan kesejahteraan duniawi, bukan kebahagiaan ukhrawi.(1) Berdasarkan hal ini "seluruh kekuatan pemerintahan sipil hanya berhubungan dengan kepentingan-kepentingan sipil manusia dan terbatas pada penjagaan atas urusan-urusan duniawi dan sama sekali tidak berhubungan dengan alam akhirat."(2) Sebagian teoretikus-teoretikus Liberalisme-seperti sosiolog berkebangsaan Inggris (Britania), Herbert Spencer (1820–1903 M)—lebih jauh dari sekadar anggapan keterpisahan agama dengan pemerintahan, bahkan tidak menerima upaya pemerintah dalam mengobati sakit orang- orang yang menderita kesakitan dan dengan mengikuti Darwinisme sosial (dan kepercayaan akan perlunya struggle for the fittest dalam masyarakat) menegaskan poin bahwa jaminan perlindungan atas kebebasan- kebebasan individual tidaklah bermakna menyenangkan individu- individu serta upaya pemenuhan kebutuhan-kebutuhan mereka. (3) Bagaimanapun juga, kaum liberal umumnya adalah rasionalis dan- sebagaimana yang telah disebutkan-mempunyai cara pandang sekuler dalam masalah-masalah yang terkait dengan agama dan pemerintahan.(4) Mereka dengan menegaskan perlunya pemisahan gereja dengan pemerintah, berkeyakinan bahwa "agama merupakan sebuah masalah yang bersifat khusus antara seseorang (person) dengan Tuhan atau gerejanya"(5) dan "capaian atas kebebasan religius sempurna, mempersyaratkan keduniaan atau menjadikan kehidupan umum nonreligius."(6)

p: 360


1- The Works of John Locke, vol. 5 (A Letter Concerning Toleration), hlm. 10. Juga lihat "Liberalism", dalam Microsoft Encarta Reference Library 2004.
2- John Locke, Nāme-e dar Bab-e Tasahul [A Letter Concerning Toleration), terjemahan Parsi oleh Shirzad Ghusyahi Karim, hlm. 61. Begitu pula, silakan lihat J. Salwyn Schapiro, Liberalism - Ma'nā wa Tarikh An (Liberalism-Its Meaning and History), terjemahan Parsi oleh Muhammad Said Hanai Kasyani, hlm. 134; Michael Garandeu, Liberalism dar Tūrikh Andisyeh Garb, terjemahan Parsi oleh Abbas Bagiri, hlm. 49; Maurice Barbier, Dīn wa Siyāsat dar Andisyeh Modern, terjemahan Parsi oleh Amir Ridhai, hlm. 212.
3- J. Salwyn Schapiro, Liberalism - Ma'nā wa Tārīkh Ān, hlm. 173.
4- J. Salwyn Schapiro, Liberalism - Ma'nā wa Tārīkh An, hlm. 7.
5- George Bordeau, Liberalism, terjemahan Parsi oleh Abdul Wahab Ahmadi, hlm. 115.
6- J. Salwyn Schapiro, Liberalism - Ma'nā wa Tārīkh An, hlm. 7.

Agama dan Politik dalam Islam

Sekularisasi-berlawanan dengan apa yang diperkirakan sebagian orang-bukanlah suatu proses yang tidak dapat dihindari dan relasinya dengan seluruh agama-agama tidak sama. Menurut kebanyakan ahli, sekularisme di samping tempat lahirnya adalah Kristen, juga tidak begitu selaras dengan doktrin-doktrin agama-agama lainnya.(1) Hamilton setelah menukilkan maksud ungkapan-ungkapan yang telah disebutkan melalui lisan beberapa orang dari kalangan sosiolog(2), dengan sedikit ragu dan secara hati-hati berkata: "Sesungguhnya kita sampai sekarang ini belum tahu bahwa sekularisasi adalah suatu fenomena yang secara mendasar Kristen dan tipikal Barat, atau merupakan konsekuensi dari industrialisasi atau proses lebih luas dari modernisasi." Walaupun demikian, ia berkeyakinan bahwa dalam bentuk kedua (yakni jika fenomena ini bukan tipikal Barat atau Kristen), "Negara- negara non-Kristen atau non-Barat hanya akan mengalami sekularisasi ketika industrialisasi mereka sejalan dengan sekularisasi Barat atau modernisasi ala Barat."(3) Bagaimanapun juga, bukan hanya mayoritas pemikir Muslim, sebagian dari kalangan non-Muslim pun menekankan relasi agama dan politik dalam Islam(4) dan terkadang dalam kaitan ini, mereka menerbitkan karya tersendiri.

Teoretikus terkemuka dunia politik, Jean Jacques Rousseau (1712–1778 M), pun dengan menyebut pandangan pemisahan agama dan pemerintahan dalam Kristen mengatakan, "Sungguh Muhammad memiliki pandangan-pandangan yang akurat tentang hal ini dan menggagas suatu sistem politik yang kuat dan kokoh yang

p: 361


1- Sebagai contoh, silakan lihat: Jean-Paul Willaime, Jāmi'ahh Syināsi-e Adyāno.., hlm. 135; Winston Davis, "Sociology of Religion", dalam Mircea Eliade (Ed.), The Encyclopedia of Religion, vol. 13, hlm. 396; "Secularization and Rationalization", dalam Encyclopedia Britannica 2005(CD).
2- Malcolm Hamilton, Jāmi'ah Syināsi Dīn [The Sociology of Religion), terjemahan Parsi oleh: Muhsin Tsulasi, hlm. 297–299 dan 316-317.
3- Malcolm Hamilton, Jāmi'ah Syināsi Dīn, hlm. 317.
4- Sebagai contoh, selain dari penjelasan) yang akan datang, silakan lihat Joachim Wach, Jāmi'ah Syināsi Dīn [Sociology of Religion), terjemahan Parsi oleh Jamsyid Azadegan, hlm. 292-293; Mehrzad Borujerdi, "Aya mitawan Islām ra 'Urfi kard?", terjemahan Parsi oleh Ali Shadiq Zadeh, dalam: Kiyān, No. 49, hlm. 40 (dinukil dari filsuf dan antropolog Britania, Ernest Gellner); Steve Bruce, Politics and Religion, hlm. 182.

... senantiasa berlangsung terus-menerus di bawah naungan para khalifah-khalifahnya. Dalam sistem ini hanya ada satu pemerintahan yang mengatur semua urusan-urusan sosial, tetapi karena bangsa Arab telah mekar dan berkembang, secara lahiriah telah mencapai suatu peradaban kemanusian, tetapi pada hakikatnya telah berubah menjadi suatu entitas ... tanpa pergerakan; bangsa Barbar menjadi lebih unggul darinya dan menariknya hingga berada di bawah kekuasaan mereka.

Pada saat itu, pemisahan antara kekuasaan agama dan kekuasaan pemerintahan menjadi lebih jelas dan dua penguasa menemukan kekuasaan atas masyarakat. "(1) Guna mengkaji relasi agama dan politik dalam Islam, jauh sebelumnya, jawaban atas pertanyaan berikut; "Apakah secara mendasar dengan merujuk kepada kitab suci suatu agama, batasan atau ruang lingkupnya dapat diperoleh, ataukah masalah ini semestinya merupakan urusan eksternal agama?" mesti diberikan.

Ruang Lingkup Agama, Kajian Eksternal Agama atau Internal Agama?

Sebagian penulis dengan menyebutkan poin bahwa penentuan ruang lingkup agama berada dalam jaminan "pemahaman" atasnya, menyebut pemahaman atau interpretasi terhadap teks- teks religius bergantung pada "harapan manusia dari agama"(2) dan dalam lanjutannya menambahkan: "Dalam memperbarui harapan- harapan kita atas agama, penjelasan dua hal adalah sangat perlu:

satu hakikat atau inti agama(3) dan yang lainnya adalah bagian kebutuhan-kebutuhan mendasar manusia yang tidak bisa dipuaskan di tempat lain dan penjelasan kedua hal ini terjadi di luar agama."(4)

p: 362


1- Jean Jacques Rousseau, The Social Contract, Book 4, Chapter 8 (dalam Great Books, vol. 35, hlm. 436). terjemahan yang pada teks, diambil dari sumber berikut ini: Sayid Kazim Haeri, Bunyan-e Hukumat dar Islām, terjemahan Parsi oleh Vezarate Farhang wa Irsyade Islami, hlm. 50.
2- Silakan lihat Abdul Karim Soroush, Mudārā wa Mudiriyāt, hlm. 130.
3- Penulis ini terkadang juga berbicara seakan-akan inti agama berada dalam jaminan harapan- harapan manusia, bukan sebaliknya: "Masuknya teori-teori periode-periode (medis dan astronomi dan lain sebagainya) kitab dan tradisi religius ... merupakan sesuatu hal yang bersifat aksiden; ... karena syariat bukan datang untuk pembelajaran ilmu-ilmu tersebut dan bukan pula harapan seperti itu yang kita punyai" Abdul Karim Soroush, Basth Tajrubah Nabawi, hlm. 65.
4- Abdul Karim Soroush, Mudārā wa Mudiriyāt, hlm. 138.

Berdasarkan pandangan ini: Orang-orang sebelum merujuk kepada agama, mereka harus membagi masalah-masalah kepada masalah asli dan cabang, serta menentukan suatu kerangka bagi harapan-harapannya, lalu mendatangi teks-teks religius. ... jika harapan para pemeluk agama dari agama ialah bahwa agama hanya sempurna ketika mengajukan suatu pandangan yang jelas dan menentu-dengan seluruh bagian-bagian partikularnya-dalam bab model pemerintahan dalam masyarakat, maka tidak bisa tidak, isyarat terkecil dalam agama pun akan dimaknai secara khusus. ... Sebagai kebalikannya, asumsikan di mana seseorang percaya bahwa pada prinsipnya agama tidak datang untuk menjelaskan urusan-urusan semacam ini-baik hal-hal yang sifatnya umum maupun yang bersifat partikular terkait dengan mereka.

Dalam kondisi seperti ini, benak atau akal orang tersebut tidak akan pernah terarah untuk mengeluarkan suatu pandangan politik dari teks- teks religius dalam bab kekuasaan (hukūmah).(1) Untuk kajian terperinci pernyataan-pernyataan ini, pembahasan panjang epistemologi mesti diketengahkan serta memperjelas bahwa dalam prosedur pengetahuan, bagian manakah dari asumsi-asumsi tersebut yang tidak dapat dihindari dan manakah di antara asumsi-asumsi yang bisa atau mesti diabaikan.

Di sini, kami mencukupkan diri hanya dengan menjelaskan poin bahwa sekiranya semua orang yang dalam masalah ini melakukan perbandingan antara Islam dan Kristen-bahkan, tanpa adanya kesan pada salah satu di antara dua agama-melihat dimensi politik, Islam kerap kali lebih tampak dan menonjol dari Kristen.

Hakikat ini menunjukkan bahwa dengan berbekal dan menggunakan doktrin-doktrin religius serta cara-cara para penghulu agama-dan jauh dari apa yang istilahnya disebut "tafsir tanpa kaidah (bir-ray)"—ruang lingkup dapat ditentukan; dan kepada pembawanya, pertanyaan berikut dapat diajukan, yakni demi pemenuhan kebutuhan- kebutuhan apa ia datang?

p: 363


1- Abdul Karim Soroush, Mudārā wa Mudiriyāt, hlm. 135-136. Begitu pula, silakan lihat Muhammad Mujtahid Shabestari, Naqdi bar Qeraat-e Rasmi az Dīn, hlm. 45-46; Untuk mengetahui argumen lainnya tentang bagaimana pembahasan tersebut ditempatkan di luar agama, silakan lihat Adil Dzahir, al-Asās al-falsafiyyah li al-Almaniyah, hlm. 66.

DISKUSIKAN DAN PIKIRKAN Penentuan Ruang Lingkup Agama dalam Teks-Teks Religius Ringkasan argumen asli orang-orang yang menyebut "harapan manusia terhadap agama" sebagai penentuan ruang lingkupnya adalah sebagai berikut:

1. Sumber aktivitas-aktivitas manusia adalah perasaan butuh.

2. Seseorang sebelum berpaling kepada agama, ia menentukan daftar kebutuhan-kebutuhan serta batasan-batasan harapannya.(1) 3. Pada masa lalu, daftar ini sangat panjang. Namun, dengan kemajuan akal dan pengetahuan manusia, wilayah cakupannya telah berkurang.

4. Dewasa ini, akal dan pengetahuan manusia sampai pada tempat di mana selain dalam masalah Tuhan dan akhirat, mereka tidak melihat diri mereka butuh kepada para nabi.

Dengan melihat penjelasan yang mirip seperti bawah ini, kajilah argumen tersebut:

a. Jika rasa sakit dan kebutuhan pada penyembuhan tidak ada, maka tidak ada kebutuhan pada kedokteran dan penyembuhan dokter.

b. Pasien sebelum merujuk ke dokter, berdasarkan kebutuhan yang menggiringnya melakukan perbuatan, ia menentukan harapannya.

C. Meskipun demikian, dokter dapat memperbaiki atau menyeimbangkan daftar kebutuhan-kebutuhan pasien.

p: 364


1- Pada bagian ini, poin yang ditekankan bahwa kebutuhan-kebutuhan ini tidak dapat ditanyakan dari agama itu sendiri. Sebelum ini (pada bagian ini pula dan juga bagian enam dari buku ini) kami telah mengisyarahkan jawaban dari bagian argumen ini.

Poin lainnya yang patut diperhatikan ialah bahwa bukan hanya dimensi kebutuhan-kebutuhan manusia terhadap agama, penentuan mutiara (gauhar] dan permukaan [shadaf] agama pun merupakan urusan internal agama. Agama-agama antara satu dengan lainnya tidak sama dalam menentukan originalitas pelbagai hal yang berbeda-beda; sebagai contoh, kepercayaan terhadap konsep Trinitas yang merupakan salah satu di antara kepercayaan-kepercayaan paling mendasar orang- orang Kristen, menurut pandangan Islam adalah suatu kepercayaan yang mengandung kesyirikan.

Apakah dapat dikatakan bahwa esensi agama adalah "kepercayaan terhadapTuhan" itu sendiri dan "ketunggalan" ataupun "kejamakan" Tuhan sebagai ikutannya! Demikian pula, dengan kriteria eksternal agama (burun-e dini) manakah suatu pengalaman batin dapat disebut sebagai esensi dan perbuatan-perbuatan lahiriah hanya sebatas ikutan yang dapat dibuang? Di sini pun, pelbagai macam agama berbeda pandangan antara satu dengan lainnya. Semua peneliti-peneliti agama sependapat bahwa Kristen sekarang-berlawanan dengan Islam dan Yahudi, tidak begitu mementingkan nilai syariat dan bahkan memiliki pertikaian dengannya. Berdasarkan hal ini, hanya dengan merujuk kepada doktrin-doktrin suatu agama, mutiara (esensi, gauhar) dan permukaan (shadaf) dapat dibedakan secara benar.

Bagaimanapun, terkadang "kondisi-kondisi yang bertentangan dengan realitas" mereka anggap sebagai suatu kriteria luar agama guna membedakan mutiara (inti) dan permukaannya (shadaf) serta penentuan ruang lingkup agama. Berdasarkan kriteria ini, sebagai contoh, dengan memperhatikan proposisi berikut bahwa "apabila masyarakat Arab Saudi berbicara dengan bahasa lain, maka bahasa al- Qur'an bukanlah bahasa Arab" dapat disimpulkan bahwa ke-Arab-an merupakan bagian aksidental agama Islam, bukan bagian esensialnya.(1)

p: 365


1- Silakan lihat Abdul Karim Soroush, Basth Tajrubah Nabawi, hlm. 81. Tentunya maksud dari penulis tersebut dari "esensial (dzati)" dan "aksidental (aradhi) kira-kira adalah "gauhar (inti-mutiara)" dan "Shadaf (kulit-kotak mutiara)" itu sendiri, sebagaimana terkadang ungkapan ini digunakan pada posisi antara satu dengan lainnya dan mengatakan: "Tak diragukan bahwa pengutusan Nabi Islam dalam suatu lingkungan yang lain, kitab wahyu dan aturan-aturan penyembuhnya akan menimbulkan corak warna yang lain.... bukannya dalam bentuk seperti itu, menawarkan permata (inti) tanpa kotak (kulit) dan pesan tanpa penutup, melainkan telah menerobos kepada aksiden-aksiden lainnya dan perkataan serta pesannya, mengenakan kotak dan busana yang lain." (Abdul Karim Soroush, Basth Tajrubah Nabawi, hlm. 56-57).

Salah satu di antara hal-hal yang menjadikan kriteria ini bermasalah atau kontroversial ialah bahwa sampai di mana kondisi- kondisi ini akan berlanjut. (1)Jika sandaran kita dalam menentukan aksidental dan esensial agama hanyalah kriteria luar agama ini, apakah kondisi-kondisi yang bertentangan dengan realitas tersebut tidak bisa didorong pula hingga menyebut tauhid, kenabian, dan hari kebangkitan sebagai sesuatu yang besifat aksidental?(2)

Nabi Islam dan Pembentukan Pemerintahan

Masuknya Nabi Muhammad dalam gelanggang politik dan pembentukan pemerintahan di tangan beliau, menurut pandangan mayoritas pemikir Muslim dan non-Muslim-sebagaimana diisyarahkan sebelumnya merupakan satu hal yang pasti dan tak diragukan.

Walaupun demikian, Ali Abdurrazik (1888–1966 M) seorang penulis berkebangsaan Mesir dan merupakan seorang Muslim yang kali pertama menjadi pembela sekularisme di zaman ini, dalam buku al-Islām wa Ushūl al-Hukm mempermasalahkan pandangan yang telah diterima secara umum ini dan menegaskan poin bahwa pemerintahan Nabi Islam tidak mempunyai pilar-pilar yang diperlukan suatu pemerintahan dan tidak bisa-dalam makna yang sesungguhnya dari kata ini-dinamakan pemerintahan. (3) Kitab ini-yang membawa penulisnya hingga pada tataran tuduhan murtad-mengundang reaksi keras kaum Muslimin dan banyak buku- buku dan makalah-makalah yang telah ditulis dalam mengkritiknya.(4) Kaum Muslim lainnya yang juga cenderung kepada sekularisme, pada umumnya tidak menutup sumber air seperti ini dan memandang terbentuknya pemerintahan di tangan nabi sebagai sesuatu yang tidak

p: 366


1- Untuk mengetahui jawaban lainnya, silakan lihat Ahmad Ahmadi, Padzehr, hlm. 39–45.
2- Misalnya, dengan proposisi-proposisi kondisi ini, masalah kenabian pun akan menjadi salah satu dari kategori aksiden-aksiden: Jika akal manusia mampu memahami semua urusan-urusan yang terkait dengan keselamatan (kebahagiaan), maka tak ada kebutuhan terhadap wahyu.
3- Ali Abdurrazak, Islām wa Mabāni Qudrat, terjemahan Parsi oleh Amir Ridhai (sebagai contoh, silakan lihat hlm. 130).
4- Sebagai contoh, dapat diisyarahkan kepada kitab-kitab di bawah ini: Muhammad Bahiyat Muthi i Hanafi, Haqiqat al-Islām wa Ushūl al-Hukmi; Yusuf Dajwa, al-Ra du alā Kitāb al-Islām wa Ushūl al-Hukmi; Muhammad Hadhir Husain Tunisi, Naqdh Kitāb al-Islām wa Ushul al-Hukmi; Munir Ajlani, Abqariyat al-Islām fi Ushūl al-Hukmi.

dapat diingkari. Meskipun demikian, golongan ini—di mana di antara mereka, terlihat pula sebagian orang-orang Syi'ah-berkeyakinan bahwa Nabi Islam (dan para pemimpin maksum lainnya) tidak menyatakan pembentukan pemerintahan sebagai sebuah tugas yang bersifat Ilahi, melainkan gerakan mereka bangkit dari suatu "dakwah atau ajakan yang seratus persen merakyat dan demokratis". (1) Berdasarkan hal ini, jika masyarakat menyebut para pemimpin- pemimpin religius-seperti para nabi dan imam-pantas atau layak dengan kekuasaan, masyarakat akan memilih mereka untuk jabatan ini; dan jika tidak, maka seseorang tidak boleh dengan nama agama mengupayakan penegakan pemerintahan serta menganggapnya sebagai sebuah tugas yang bersifat Ilahi. Demikian pula, "Jika diasumsikan suatu pemerintahan religius yang sempurna dari segala sisi terbentuk di tangan seorang Mukmin yang benar-benar mukhlis, maka sesuatu yang tidak boleh disentuh oleh pemerintahan ini serta mencampurinya ialah agama, iman, dan moral masyarakat. "(2) Dalam pembahasan selanjutnya, dengan mengkaji ayat dan riwayat serta sirah penghulu-penghulu agama akan menjadi jelas bahwa pertama, perbaikan kondisi sosial masyarakat telah termuat dalam inti (matan) ajaran agama Islam dan-berlawanan dengan ungkapan-ungkapan golongan ini(3)—bukan merupakan konsekuensi- konsekuensi "yang bersifat kebetulan" darinya. Kedua, perhatian penuh terhadap urusan-urusan religius merupakan bagian dari tanggung jawab awal para pemimpin dalam masyarakat Islam.

Hubungan Agama dan Politik dalam Beberapa Ayat dan Riwayat

Menurut pandangan al-Qur'an, salah satu tujuan para nabi ialah dalam hal-hal yang berbeda, melakukan penilaian (memutuskan) di tengah-tengah masyarakat serta menegakkan keadilan.(4) Para nabi dalam hal ini tidak mencukupkan diri dengan memberi nasihat dan

p: 367


1- Mahdi Bazargan, Akhirat wa Khudā, Hadaf Bi tsat Anbiyā, hlm. 43.
2- Mahdi Bazargan, Akhirat wa Khudā, Hadaf Bi tsat Anbiyā, hlm. 88. Ringkasan pernyataan- pernyataan kelompok ini ialah bahwa bukan "agama bagi kekuasaan" dan bukan kekuasaan bagi agama".
3- Silakan lihat Mahdi Bazargan, Akhirat wa Khudā, Hadaf Bi tsat Anbiyā, hlm. 12.
4- Silakan lihat (QS Al-Baqarah [2]: 213); (QS Al-Hadid [57]: 25).

pengawasan, dan jika mendapatkan kemampuan, mereka mengambil alih kepemimpinan masyarakat.

Berdasarkan hal ini, Nabi Yusuf meminta sendiri perbendaharaan Mesir, (QS Yūsuf [12]: 55) dan Nabi Sulaiman meminta suatu pemerintahan dunia dari Tuhan, di mana sebelumnya tak pernah disiapkan bagi seorang pun yang mirip atau sebanding dengannya (QS Shād [38]: 35). Poin ini, khususnya tentang Nabi Mulia Islam yang merupakan penutup (khatam) para nabi dan penyempurna agama- agama sebelumnya, tidaklah bisa diragukan. Berdasarkan hal ini pula, Imam Ali setelah mengisyaratkan bahwa Tuhan membangkitkan nabi hingga menjadi sumber rahmat bagi seluruh alam, menyebut keluasan rahmat tersebut seperti ini:

"Maka apa yang dikatakan kepadanya telah ia jelaskan dan pesan- pesan dari Tuhannya telah ia sampaikan. Maka, Tuhan telah menutup baginya kekalahan dan disambungkannya lubang-lubang yang ada; mengamankan jalan-jalan di tangannya, menghentikan pertumpahan- pertumpahan darah dan menjadikan mereka yang hatinya dipenuhi dengan permusuhan dan kedengkian untuk saling mengasihi antara satu dengan lainnya."(1) Amirul Mukminin dalam menjelaskan maksud atau tujuan-tujuan reformis pemerintahannya menekankan pula hubungan antara agama dan politik seperti ini:

"Ya Tuhan engkau mengetahui apa yang telah pergi dari kami (dalam menerima pemerintahan), bukan karena alasan suka pada kekuasaan dan bukan menginginkan kelebihan dari dunia yang bukan apa-apa, melainkan kami ingin mendudukkan tanda-tanda agama di tempatnya semula dan menampakkan perbaikan (ishlah) dalam kota- kotamu hingga terjaminnya keamanan bagi hamba-hambamu yang terzalimi serta terlaksananya hukum-hukum-Mu (hudūd) yang telah tercampakkan."(2) Doktrin "pemerintahan dunia" Imam Mahdi pun-yang banyak disebutkan dalam hadis-hadis Syi'ah dan Sunni-merupakan bukti yang jelas atas hubungan agama dan politik dalam Islam. Dengan

p: 368


1- Muhammad Baqir Mahmudi, Nahj al-Sa ādah, jil. 1, hlm. 263.
2- Nahj al-Balāghah, Khotbah 131.

pengamatan yang meskipun sepintas terhadap riwayat-riwayat seperti ini, kita akan menemukan kesimpulan bahwa kepemimpinan religius masyarakat serta pemenuhan kesejahteraan duniawi tidak berada di pinggiran (marginal), melainkan terdapat di tengah-tengah atau inti gerakan ini (sentral).

Kebanyakan dari hadis-hadis tersebut, di samping menyebutkan bahwa tujuan kebangkitan ini adalah penegakan keadilan, berbicara pula tentang "kekuasaan" dan kepemimpinan Imam Mahdi serta pembentukan pemerintahan di tangannya;(1) suatu pemerintahan di mana dalam perlindungannya, manusia akan mencapai kesejahteraan yang hingga zaman itu, dalam sejarahnya belum pernah mereka saksikan.(2) Demikian pula, berdasarkan riwayat-riwayat tersebut, meskipun sebelumnya segolongan dari masyarakat dengan pertempuran atau perjuangan bersenjata,(3) menyiapkan prakondisi bagi "pemerintahan" sang Imam;(4) ia sendiri akan bangkit dan menaklukan negeri-negeri(5) serta terdapat pula orang-orang yang akan dilewatkannya melalui ujung tombak.(6) Di samping apa yang telah lalu, pandangan [sebagian] kalangan Syi'ah yang menjadi pembela sekularisme diperhadapkan pula dengan permasalahan bahwa jika pemimpin-pemimpin religius tidak melakukan tindakan dan upaya perbaikan terhadap urusan-urusan

p: 369


1- Dalam riwayat-riwayat ini dengan ungkapan-ungkapan yang berbeda-beda makna, telah dinukil dari lisan Nabi Muhammad Saw. bahwa sebelum tata letak alam ini bergeser, seseorang dari Ahlulbaitku akan memimpin" guna menegakkan keadilan:"lāa taqum al-sū ah hatta yamliku rajulun min ahli bayti ... yamla 'al-ardha adlān kamā muliat qabluhu dzulmān." Musnad Ahmad Ibn Hanbal, jil. 3, hlm. 17; Shahih Ibn Habban, jil. 15, hlm. 238. Begitu pula, silakan lihat Sunan Abi Dawud, jil. 4, hlm. 107 (kitab al Mahdi); Sunan al-Turmuzi, jil. 4, hlm. 505 (Kitāb al Fitan, bābun Mā jā'a fi al-Mahdi); Hakim Naisyaburi, al-Mustadrak alā al-Shahihayn, jil. 4, hlm. 489 (Kitab al-Fitan wa al Mulahim, hadis. 72).
2- Sunan Ibn Majah, jil. 2, hlm. 1367 (Kitāb al-Fitan, bab Khuruj al-Mahdi)
3- Sunan Ibn Majah, jil. 2, hlm. 1367 (Kitāb al-Fitan, bab Khuruj al-Mahdi. Begitu pula, silakan lihat Sunan Ibn Majah, jil. 2, hlm. 1366; Hakim Naisyaburi, al-Mustadrak alā Al-Shahihayn, jil. 4, hlm. 510 (Kitab al-Fitan, hadis 140); Hakim Naisyaburi, al-Mustadrak alā Al-Shahihayn, jil. 4, hlm. 511 (hadis 142).
4- Ali bin Abi Bakri Haitsami, Majma' al-Zawāid, jil. 7, hlm. 318. Begitu pula, silakan lihat Sunan Ibn Majah, jil. 2, hlm. 1368 (Kitāb al-Fitan, bab Khuruj al-Mahdi).
5- Sunan Ibn Majah, jil. 2, hlm. 928 (Kitāb al-Jihad, bab 11); Syeiruwiyah Dailami, Firdaws al-Akhbar, jil. 3, hlm. 418; Ali bin Isa Arbali, Kasyf al-Gummah, jil. 3, hlm. 377.
6- Silakan lihat Alauddin Muttaqi, Kanz al-Ummāl, Jil. 14, hlm. 585-589.

duniawi, lalu mengapa para Imam Maksum senantiasa berusaha ke arah pembentukan pemerintahan Islam dan berbicara tentang perampasan khilafah di tangan Bani Umayah dan Bani Abbasiyah? Imam Shadiq berkata kepada Sadir Shairafi, "Sekiranya aku memiliki penolong-penolong sejumlah domba-domba ini, aku akan bangkit." Sadir berkata, "Ketika saya menghitung domba-domba tersebut, tidak lebih dari tujuh belas kepala."(1) Imam Kazim pun dalam menjawab klaim Harun [al-Rasyid] yang berbicara tentang pengembalian tanah Fadak, batasannya sedemikian ia tentukan yang mencakup seluruh wilayah kekuasaan Harun;(2) kiasan atas hal ini bahwa kami sesungguhnya menganggap batil dasar pemerintahan kalian dan senantiasa memikirkan terbentuknya sebuah pemerintahan religius.

Apakah dalam berhadapan dengan teks-teks semacam ini, masih dapat bersikeras dengan poin bahwa, "akhirat dan Tuhan" merupakan satu-satunya "tujuan diutusnya para nabi" dan al-Qur'an tidak pernah mengajak seorang pun untuk bersama-sama dengan rakyat "berjuang melawan kezaliman, kediktatoran, dan arogansi atau menegakkan keadilan dan kejujuran di dunia"(3) dan "melakukan perbuatan- perbuatan yang reformis ... jauh dari kedudukan Tuhan sebagai pencipta manusia dan seluruh alam semesta?" (4) UNTUK DIKETAHUI LEBIH JAUH:

Ruh yang Menguasai Syariat Islam Sebagian dari dalil-dalil yang dirujuk guna membuktikan Wilāyat al-Faqih merupakan penjelasan bahwa gagasan pembentukan pemerintahan religius bukan hanya sekadar bersanadkan dengan suatu teks- teks khusus, melainkan diambil dari ruh yang menguasai

p: 370


1- Muhammad Baqir Majlisi, Bihār al-Anwār, Jil. 47, hlm. 373.
2- Muhammad Baqir Majlisi, Bihār al-Anwār, jil. 48, hlm. 144.
3- Mahdi Bazargan, Akhirat wa Khudā, Hadaf Bi tsat Anbiyā, hlm. 73.
4- Mahdi Bazargan, Akhirat wa Khudā, Hadaf Bi tsat Anbiyā, hlm. 37.

syariat Islam. Sebagai contoh, faqih terkemuka Ayatullah Husein Burujerdi (1292–1380 H), dengan menggunakan premis-premis rasional (aqli) dan tekstual (naqli) serta dengan sebuah pandangan universal terhadap syariat Islam, menarik kesimpulan bahwa dengan memperhatikan ruh yang menguasai aliran ini, tak ada jalan lain kecuali menerima wilāyah para fukaha. Premis-premis dalil ini secara singkat seperti berikut:

1. Dalam setiap masyarakat, kita akan menemui suatu masalah yang bukan merupakan tugas atau tanggung jawab personal orang-orang, melainkan urusan-urusan yang bersifat umum serta sosial dan kelangsungan hidup masyarakat berada dalam jaminan pelaksanaannya.

2. Dengan melihat secara sepintas aturan atau hukum- hukum Islam akan menjadi jelas bahwa agama ini tidak mencukupkan diri dengan ibadah atau ritual- ritual murni, melainkan juga membahas masyarakat dan politik. Hudud syar`i, qishas dan denda (diyat), hukum-hukum pengadilan dan kehakiman serta hukum-hukum pajak (finansial) seperti khumus dan zakat, semuanya merupakan penjelasan atas perhatian agama Islam terhadap masalah-masalah politik dan pemerintahan.

3. Segmen perpolitikan Islam tidak terpisah dari masalah-masalah spiritual dan maknawiahnya; sebagaimana Rasulullah Saw. mengatur sendiri urusan-urusan kaum Muslimin dan setelah dia pun, para pemimpin kaum Muslimin senantiasa mengemban tugas imam jemaah mereka.

4. Menurut keyakinan Syi'ah, Nabi Muhammad Saw. tidak meninggalkan masalah khilafah dan kepemimpinan politik kaum Muslimin tanpa penjelasan dan menyebut para dua belas Imam

p: 371

Maksum sebagai yang layak dan pantas menjadi pemimpin kaum Muslimin setelah dirinya.

5. Dari satu sisi, para Imam Maksum mencegah kaum Syi'ah untuk merujuk kepada para khalifah penindas serta hakim-hakim yang tidak berhak (tidak benar) — atau ibarat lainnya para thagut—dan dari sisi lain, poin ini tak dapat diragukan bahwa dalam kebanyakan zaman (era), kaum Syi'ah tidak begitu memiliki akses kepada para Imam Maksum.

Dengan memperhatikan premis-premis ini, wajar jika para maksum-bahkan di zaman kehadirannya, mengangkat orang-orang untuk membantu penyelesaian urusan-urusan sosial masyarakat.

Golongan ini adalah para fukaha yang memahami Islam, di mana pada masa okultasi (ghaybah), mengemban pula tanggung jawab kepemimpinan politik kaum Muslimin sejauh yang mereka mampu. (1)

Lampiran: Uraian tentang Liberalisme

Lampiran: Uraian tentang Liberalisme (2) Liberalisme atau keinginan untuk bebas adalah sekumpulan metode-metode, kebijakan-kebijakan, dan ideologi-ideologi yang bertujuan untuk menyiapkan kebebasan semaksimal mungkin bagi setiap individu. Para pendukung dan pengikut keyakinan-keyakinan serta kebijakan-kebijakan seperti ini biasanya dikatakan sebagai liberal.

Liberalisme di Eropa pada mulanya bercampur baur dengan nama partai (golongan) atau strata-strata khusus, tetapi sekarang ini, meskipun sebagian partai-partai di Eropa dan di tempat-tempat lainnya memakai titel dan label liberal, tetapi liberalisme menemukan makna yang lebih luas dan lebih universal serta lebih banyak menunjukkan suatu kecenderungan atau arah pemikiran dan politik, di mana prinsip- prinsip umumnya terdiri dari:

p: 372


1- Husain Borujerdi, Al-Badr al-Zahir fi Shalat al-Jumati wa al-Musāfir, hlm. 52–57.
2- Uraian ini (selain dari catatan kakinya) dipilih dari pengantar "Liberalisme” dalam buku Dānesy Nāmey Siyāsi ditulis oleh Dariyus Ashuri, hlm. 280-284.

1. Penghargaan dalam menyuarakan secara bebas keyakinan- keyakinan individu; 2. Kepercayaan bahwa menyuarakan kembali secara bebas keyakinan-keyakinan bagi individu dan masyarakat adalah bermanfaat; 3. Mendukung institusi-institusi sosial dan kebijakan-kebijakan yang memungkinkan penyuaraan dan ekspresi secara bebas pelbagai keyakinan.

Liberalisme sebagai sebuah sistem afiliasi dari idealitas dan tujuan-tujuan praktis, terbentuk pada abad ke-17 atau ke-18 di Inggris, dan setelah itu muncul di negara-negara lainnya dalam bentuk partai-partai dan gagasan-gagasan liberal yang entah secara terpisah berkembang atau mengikut pola percontohan Inggris...

Tumpuan liberalisme pada awalnya adalah keterbebasan dari kekuasaan diktatorial dan salah satu di antara tujuan-tujuan dasarnya adalah kebebasan dan kebolehan dalam beragama. Kaum liberal Eropa dalam bidang agama sebagian besarnya adalah tidak beriman, skeptis, dan bahkan anti agama. Pemimpin-pemimpin besar gerakan pemikir modern semuanya adalah dari golongan ini dan mereka mendukung kekuasaan rasio (akal) dalam berhadapan dengan kekuatan diktatorial rujukan-rujukan keagamaan (marājeº-e dini).

Secara filosofis, pandangan-pandangan John Locke, filsuf Inggris abad ke-18, dalam bidang pemerintahan dan hak-hak natural, telah meletakkan dasar teoretis liberalisme modern, tetapi latar belakang Liberalisme sebagai sebuah gerakan sosial politik tidak lebih dari dua setengah abad...

Renaisans dan gerakan pemurnian agama (yang dalam bahasa Parsi dinamakan pula dengan "ishlah thalab-e dini" [gerakan reformasi agama]) pada abad ke-16-khususnya dengan dibantu oleh penyebaran cara berpikir individualisme-sangat membantu perkembangan liberalisme.(1) Pandangan protestan di mana berdasarkan hal itu, setiap individu beriman dapat secara langsung-tanpa kebergantungan

p: 373


1- Salah seorang penulis Barat dengan argumen yang sama mengatakan: “Liberalisme yang baru (neo Liberalisme) muncul adalah termasuk anak dari gerakan yang bersifat religius, dan meskipun merupakan anak haram, tetapi keluarganya sama sekali tidak pernah mengingkari." George Bordeau, Liberalism, hlm. 114. Menurut penulis lainnya: "Liberalisme secara prinsip merupakan Protestanisme minus Tuhan." Anthony Arbelaster, Dzuhur wa Suqut Liberalism Garb (Rise and Decline of Liberalism in the West), terjemahan Parsi oleh Abbas Mokhber, hlm. 160.

pada pendeta dan gereja-menjalin hubungan dengan Tuhan, dalam menciptakan sikap oposisi terhadap institusi-institusi religius resmi serta membantu kemerdekaan dan kebebasan individu, memiliki signifikansi yang sangat besar...

Kekuasaan hukum dan hak-hak politik merupakan bentuk pertama dari tuntutan kebebasan-religius liberalisme di Inggris.

... Liberalisme yang dikenal pada tahun 1689 dan mendapatkan dukungan, secara mendasar memiliki fase kritis dan negatif(1) serta mendukung kebebasan-kebebasan sosial dalam menghadapi segala bentuk intervensi pemerintah khususnya raja; dan tujuan- tujuannya lebih bersifat politis ketimbang ekonomis. Di antara tujuan- tujuan politiknya, menempati sebagian prinsip-prinsip terpenting pemerintahan legal liberal; seperti kebebasan berpendapat dan hak oposisi, prinsip kekuasaan hukum, dan pemisahan kekuatan-kekuatan.

Dalam tahun-tahun ini, kebebasan-kebebasan sipil penting lainnya pun menemukan bentuk yang legal, seperti kebebasan religius pada tahun 1688 dan kebebasan pers (media) pada tahun 1695. Risalah kedua tentang kekuasaan, karya John Locke dan deklarasi kemerdekaan Amerika merupakan peninggalan-peninggalan terbesar dari periode aliran liberalisme ini.

Liberalisme ekonomi, setelah tahapan pertama yang merupakan periode kemenangan liberalisme politik, periode baru dimulai di mana di dalamnya muncul gagasan liberalisme ekonomi sebagai penyempurna liberalisme politik. Ekonom-ekonom liberal Inggris yang dikomandoi oleh Adam Smith(2) merupakan kelompok paling berpengaruh yang membentuk pandangan liberalisme ekonomi.

Menurut keyakinan mereka, mekanisme pasar perekonomian yang bekerja secara otomatis, di mana pusat penawaran atau permintaan serta obligasi adalah direktur atau direksinya merupakan garansi kebenaran dan kemajuan aktivitas ekonomi dan tak satu pun tim-baik

p: 374


1- Berdasarkan hal ini pula, terkadang liberalisme dibagi menjadi dua jenis; negatif dan positif. Silakan lihat "Liberalism" dalam: Microsoft Encanta Reference Library 2004.
2- Adam Smith (1723-1790 M): filsuf dan ekonom terkemuka Inggris.

tim monopoli-monopoli personal (privat) maupun tim pemerintah- yang boleh mencampuri pekerjaannya...

Liberalisme modern, adapun pasar bebas ekonomi dan pencarian keuntungan tanpa batas individu-individu, bukan hanya tidak mewujudkan visi-visi para perintis gerakan liberalisme, bahkan seiring dengan konsekuensi-konsekuensi revolusi industri akan membawa efek-efek tidak menyenangkan dari sisi ketimpangan-ketimpangan sosial dan ekonomi, di mana yang terpenting darinya ialah munculnya segolongan besar pekerja-pekerja (buruh) malang serta melarat dalam pabrik-pabrik baru.

Tekanan kekuatan-kekuatan sosial baru memaksa kaum liberal untuk melakukan kajian ulang dalam liberalisme ekstrem dan dalam batas-batas tertentu menerima pengawasan pemerintah guna menyiapkan keuntungan atau laba bagi semua...

Kaum utilitarian di Inggris dan kawan-kawan politik mereka menambahkan pula satu tahapan sosial dalam pandangan liberal.

Jeremy Bentham (1) dan James Mill(2)—para pendiri paham utilitarianisme,meskipun menerima ekonomi bebas dan idealitasnya, mereka menolak metode-metodenya dan berusaha menyambungkan perekonomian pasar bebas dan pencarian keuntungan individual dengan konsep-konsep pemerintahan legal serta tugas-tugasnya dan “kepuasan yang lebih banyak bagi orang-orang yang lebih banyak" mereka jadikan sebagai slogan.

Dalam hukum dan politik mereka merupakan pendukung kaidah- kaidah dan aturan-aturan umum yang lebih banyak menyiapkan kemungkinan pilihan bebas dan kebebasan praktis bagi semua. Mereka meyakini bahwa perluasan atau pemerataan pendidikan dan pengajaran serta kebebasan berpendapat dan di antaranya adalah hak memiliki perwakilan serta hak memilih, akan menyiapkan kondisi-kondisi sesungguhnya bagi kebebasan politik. Utilitarianisme memberikan suatu dasar filosofis kepada liberalisme politik serta menata liberalisme politik dan ekonomi menjadi sebuah gagasan sosial politik praktis ...."

p: 375


1- Jeremy Bentham (1748-1832 M): filsuf, ekonom, dan konsultan hukum berkebangsaan Inggris yang disebut sebagai pendiri aliran Utilitarianisme.
2- James Mill (1773-1836 M): filsuf dan ekonom berkebangsaan Inggris dan bapak dari John Stuart Mill

Kesimpulan

1. Akar dari istilah-istilah seperti sekularisme dan sekularisasi ialah istilah Latin "saeculum" yang pada dasarnya bermakna ras dan keturunan, kemudian diterapkan pula dalam makna-makna seperti abad, dunia, duniawi, dan tak beragama.

2. Sekularisasi dalam penggunaannya yang paling umum, bermakna suatu proses yang diikuti oleh hilangnya kedudukan sosial institusi-institusi keagamaan, sementara analisis-analisis natural dan rasional menggantikan analisis-analisis metafisikal.

3. Konsekuensi nyata ideologi sekularisme-yang dalam terjemahan Parsi, istilah "In Ālam Gerāi" (kecenderungan pada dunia/alam ini) dapat digunakan-adalah pemisahan agama dan pemerintahan.

4. Bukan hanya masyarakat, bahkan agama itu sendiri dengan efek fenomena-fenomena seperti demitologisasi memungkinkan menjadi sekuler (duniawi/cenderung pada alam ini).

5. Dunia modern merupakan buaian bagi kemunculan dan penyebaran aliran-aliran yang memiliki kaitan erat dengan "sekularisme" atau "kecenderungan duniawi" (in alam gerāi), sebagian di antara mereka adalah prakondisi atau konsekuensi kecenderungan ini dan sebagian lainnya merupakan sisi balik koin ini.

6. Setidaknya, sebagian tingkatan-tingkatan humanisme-satu suara dengan sekularisme-mengajak masyarakat pada kecenderungan duniawi (dalam bentuk pemberian atau penegasan prinsip pada manusia) dan menjadikan perhatian kepada metafisik tercegah atau kabur.

7. Rasionalisme-yang pada zaman pencerahan, menuntut keterbebasan dari belenggu khurafat, kembali kepada kekhususan- kekhususan orisinal kemanusiaan dan menutup mata dari kekuatan-kekuatan metafisik-adalah termasuk salah satu infrastruktur lainnya bagi sekularisme.

8. Liberalisme membantu sekularisme dengan meletakkan perbedaan antara ranah-ranah personal (individu) dan sosial,

p: 376

serta membatasi agama dalam ruang lingkup individual dan tidak menerima pemerintahan religius.

9. Menurut kebanyakan teoretikus, di samping tempat kelahirannya yang Kristen, juga tidak begitu selaras dengan doktrin-doktrin agama-agama lainnya.

10. Berbeda dengan apa yang disangkakan sebagian orang, "harapan manusia dari agama" tidak dapat disebut sebagai penentu "ruang lingkup"-nya; pembawa agama menentukan sendiri ruang lingkupnya (menyerupai seorang tabib yang menyeimbangkan batasan kebutuhan-kebutuhan dan harapan-harapan orang yang sakit).

11. Kebanyakan kaum Muslim yang cenderung pada sekularisme, memandang pembentukan pemerintahan di tangan Nabi Islam (dan para penggantinya) tak dapat diingkari, meskipun demikian, mereka menyebut pemerintahan ini bersumber dari ajakan yang bersifat merakyat dan demokratis (bukan tugas yang bersifat Ilahi).

12. Dengan mengkaji ayat-ayat dan riwayat-riwayat serta sirah para pemimpin agama Islam, dapat disimpulkan bahwa perbaikan kondisi sosial masyarakat dan pembentukan pemerintahan telah termuat dalam teks agama ini dan perhatian penuh terhadap urusan-urusan religius merupakan salah satu tugas utama pemerintah (penguasa) dalam masyarakat Islam.

Pertanyaan

1. Jelaskanlah maksud dari sekularisme dengan mengisyaratkan akar Latin-nya! 2. Apa perbedaan antara "sekularitas agama" dan "sekularitas sosial"? 3. Apakah dua istilah "laic" dan "secular" dapat disebut sepadan antara satu dengan lainnya? 4. Apa maksud dari istilah Arab "almāniyah" dan apa akar etimologisnya?

p: 377

5. Apakah kaum humanis itu harus ateis? Apa hubungan humanisme dengan sekularisme? 6. Bagaimanakah perbedaan antara manusia "mukallaf" (yang memiliki tugas) dan "muhaq" (yang memiliki hak) dapat menyiapkan dasar bagi sekularisme? 7. Dengan mengisyarahkan ciri-ciri rasionalisme abad pencerahan, jelaskan bagaimana rasionalisme dapat disebut sebagai bagian dari "pendukung pendukung pemikiran" sekularisme! 8. Siapakah kaum liberal? Dan bagaimana mereka berpikir tentang "hubungan agama dan pemerintahan"? 9. Apakah seluruh pemikir Barat menyebut sekularitas sosial sebagai suatu proses yang tak dapat dihindari? Jelaskan! 10. Apakah dalil yang dimiliki orang-orang yang menyatakan "harapan manusia dari agama adalah penentu ruang lingkupnya" bagi klaim mereka ini? Kajilah argumen kelompok ini! 11. Sambil menjelaskan pernyataan berikut ini, lakukanlah kritik atasnya! "Pemerintahan para pemimpin agama bangkit dari suatu ajakan yang seratus persen merakyat dan demokratis." 12. Dengan merujuk pada ayat-ayat dan riwayat-riwayat, tunjukkanlah tiadanya keterpisahan antara agama dan politik dalam Islam! 13. Bagaimanakah hadis-hadis yang terkait dengan kebangkitan Imam Mahdi dapat menjadi penjelasan atas hubungan agama dan politik dalam Islam?

p: 378

BAGIAN 12: AGAMA DAN MORALITAS

Point

"Dia-lah yang mengutus kepada kaum buta huruf seorang rasul di antara mereka yang membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka dan menyucikan mereka," (QS Jumu`ah [62]: 2).

"Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak (kebaikan-kebaikan) yang baik (terpuji).(1) kajian tentang relasi antara agama dan moralitas merupakan salah satu pembahasan yang memiliki ruang lingkup yang cukup luas dan berlatar belakang ribuan tahun, di mana dalam beberapa dekade terakhir kembali menjadi perhatian dari berbagai sudut dan sisi.

Sebagian menurunkan agama dan moralitas setara antara satu dengan lainnya, dan menyebut ibadah dan penghambaan tidak lain adalah bentuk pelayanan terhadap makhluk; segolongan lainnya menyatakan moralitas sebagai bagian dari agama dan sebagian lainnya dari agama mereka masukkan ke dalam moralitas. Dari sisi lain, sebagian berkeyakinan bahwa dengan tersingkirnya agama, moralitas pun akan gulung tikar dan jika Tuhan tidak ada, maka segala sesuatu menjadi boleh atau absah dan segolongan lainnya menyebut kepercayaan terhadap Tuhan agama-agama tauhid sebagai perusak moral (akhlak).

p: 379


1- Muhammad Baqir Majlisi, Bihār al-Anwār, jil. 16, hlm. 210; Alauddin Muttaqi, Kanz al-Ummāl, jil. 11, hlm. 420.

William Bartley dalam buku Morality and Religion(1) dengan dua kriteria "derivatif" dan "kombinatif" membagi relasi antara agama dan moralitas dalam bentuk enam estimasi.(2) Menurutnya, apabila kita menyebut agama dan moralitas dapat diderivasikan antara satu dengan lainnya, maka kita akan dihadapkan dengan tiga perkiraan atau estimasi di bawah ini: agama dan moralitas adalah sama persis antara satu dengan lainnya; moralitas merupakan bagian dari agama; agama merupakan bagian dari moralitas.(3) Dari sisi lain, jika agama dan moralitas tidak bisa diderivasikan antara satu dengan lainnya, maka di antara keduanya akan terjadi salah satu di antara ketiga keadaan ini: keselarasan sempurna; keselarasan partikular; ketidakselarasan sempurna. Bartley mengeluarkan estimasi keenam (ketidakselarasan sempurna agama dan moralitas) dari kisaran pembahasan dengan alasan bahwa hingga saat ini tak satu pun orang yang mendukungnya. Menurutnya, orang-orang yang kelihatan mendukung pandangan pertama dan menyebut agama sebagai moralitas itu sendiri pun memiliki maksud lain, mereka pada hakikatnya ingin menegaskan signifikansi moralitas (sebagai bagian terpenting dari agama), bukannya bahwa mereka benar-benar memahami moralitas satu dengan agama.(4) DISKUSIKAN DAN PIKIRKAN Kesatuan Agama dan Moralitas Theodore Parker (1810–1860 M) dalam makalah terkenal "Hal yang Teguh dan Tidak Teguh dalam Kristen" terkadang berbicara seakan-akan agama dalam pandangannya bukanlah sesuatu selain dari pada moralitas itu sendiri: "Kristen adalah sesuatu yang sederhana,

p: 380


1- Buku ini telah diterjemahkan ke dalam bahasa Parsi dan dijadikan sebagai tesis S-2. Terjemahan tersebut dan juga pelajaran-pelajaran Mustafa Malikian dalam tema ini-yang kadang dikemukakan dengan berpedoman pada buku tersebut-digunakan dalam penulisan bagian-bagian pada pasal ini.
2- Sosiolog dan peneliti agama berkebangsaan Amerika, J. Milton Yinger, dengan bentuk berbeda, mengemukakan empat bagian. J.Milton Yinger, The Scientific Study of Religion, hlm. 41-50.
3- Tentunya sudah cukup jelas bahwa berdasarkan ketiga perkiraan ini, agama dan moralitas saling bersesuaian.
4- William Warreen Bartley, Morality and Religion, hlm. 1-2.

sangat sederhana: moralitas murni dan orisinal."(1) Dalam kesusastraan syair dan puisi para pemikir Muslim, sebutan- sebutan dengan makna ini pun banyak ditemukan: "Ibadah bukanlah selain dari pada bakti atau layanan terhadap masyarakat, bukan pada tasbih dan sajadah serta bantalan lutut."(2) Sebagian lainnya mencari pula jejak cara pandang ini dalam kitab suci agama-agama seperti Yahudi, Kristen, dan Islam, dan sebagai contoh, mereka merujuk pada ayat al-Our'an di bawah ini:(3) "Bukanlah menghadapkan wajahmu kearah timur dan barat itu suatu kebajikan, akan tetapi sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi; dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak- anak yatim, orang-orang miskin, musafir dan orang-orang yang meminta-minta; dan memerdekakan hamba sahaya." (QS Al-Baqarah [2]: 177).

Menurut Anda, apakah penjelasan pernyataan- pernyataan semacam ini dapat dimaknai sebagai dukungan atau kecenderungan atas "kesatuan agama dan moralitas"?

Kebutuhan Moralitas kepada Agama

Berdasarkan suatu pembagian logis, kebutuhan moralitas pada agama dapat dikaji dalam empat poros:

1. Dalam definisi konsep-konsep; 2. Dalam pembenaran proposisi-proposisi; 3. Dalam penemuan proposisi-proposisi; 4. Dalam kewujudan praktis (penyiapan jaminan realisasi).(4)

p: 381


1- William Warreen Bartley, Morality and Religion, hlm. 2.
2- Sa'di Syirazi, Bustān, bait 543.
3- Lihat J. Milton Yinger, The Scientific Study of Religion, hlm. 46.
4- Prinsip pembagian ini,di mana dalam perkataan sebagian orang-orang yang berbahasa Parsi, secara lebih baik telah dijelaskan dan diperluas-bisa diperoleh dalam sumber berikut: Jonathan Berg, "How could ethics depend on religion” dalam Peter Singer (ed.), A Companion to Ethics, hlm. 525-533.

Dengan kata lain, kebutuhan moralitas pada agama bisa dalam dua bentuk: teoretis dan praktis. Dalam bentuk pertama, entah kebutuhan ini berkaitan dengan kedudukan konsepsi (definisi konsep- konsep) ataukah kedudukan afirmasi (tashdiq).(1) Kebutuhan jenis terakhir dapat pula dikemukakan dalam dua dimensi yang berbeda: Kebenaran proposisi-proposisi moralitas dan penemuan proposisi-proposisi moralitas. Untuk kejelasan perbedaan antara dua bagian terakhir-di mana secara terminologis salah satu di antaranya berkaitan dengan "posisi eksternal (maqam tsubūt)" dan yang lainnya berhubungan dengan "posisi internal (maqam itsbat)"—kita menggunakan contoh di bawah ini: pertanyaan seperti mengapa udara panas?", jika bermakna "faktor apakah yang menyebabkan panasnya udara?", maka terkait dengan "posisi eksternal (maqam tsubūt)" dan mencari tahu "sebab" dari suatu fenomena. Sementara jika maksud daripada pertanyaan ini bahwa "bagaimana engkau mengetahui panasnya udara?", maka ia sedang membahas "posisi internal (magam itsbāt)" dan sedang mencari "dalil" dari suatu klaim atau dakwaan.(2) Kebutuhan proposisi-proposisi moral terhadap agama dapat berhubungan dengan salah satu dari dua "posisi eksternal (tsubūt) dan internal (itsbat)" (atau keduanya). Sekarang, kita akan membahas dengan lebih detail keempat bagian ini:

Dalam Defenisi Konsep-konsep

Sebagian pemikir Barat berbicara tentang estimasi bahwa mungkin saja terdapat orang-orang yang dalam "mendefinisikan" konsep-konsep

p: 382


1- Pada dua posisi konsepsi (tashawwur) dan afirmasi (tashdiq), secara berurutan, kita akan berhadapan dengan pertanyaan-pertanyaan semacam ini: A) Apa kebaikan itu? B) Mengapa Jujur itu baik?
2- Dengan penjelasan lain, ketika salah seorang ahli ilmu-ilmu alam mengatakan: "Udara lebih panas pada hari-hari yang mendung daripada selain hari-hari yang mendung" Dengan pertanyaan "mengapa?!" kita sedang berupaya mengetahui sebab" proposisi (posisi ketetapan- tataran tsubūt). Akan tetapi, ketika seorang anak SD berkata: "Udara hari ini lebih panas dari kemarin". Dengan pertanyaan itu pula (mengapa?!) kita ingin mengetahui "dalil" dia atas klaimnya ini (posisi pembuktian-tataran itsbat). Tentunya sudah jelas bahwa dari setiap pertanyaan dua tafsiran berbeda-beda tidak dapat diajukan (yang sesuai dengan dua posisi ketetapan dan pembuktian). Poin yang patut diperhatikan ialah bahwa kita jangan sampai salah dengan kemiripan ungkapan-ungkapan (mengapa A adalah B?) dan mencampur adukkan kedua posisi ini antara satu dengan lainnya.

moral(1) (seperti baik, buruk, benar, dan tidak benar) menggunakan doktrin-doktrin religius dan sebagai contoh, dalam mendefinisikan kata "baik" mereka mengatakan seperti ini: "sesuatu yang diinginkan Tuhan."(2) Orang-orang yang memakai cara ini, sebelum (atau yang semestinya) menganalisis peranan "perintah dan larangan" Tuhan dalam kebaikan dan keburukan perbuatan-perbuatan, dalam mendefinisikan kebaikan dan keburukan, berpegang pada asumsi- asumsi religius. Melalui ini, mereka sedapat mungkin, menegaskan kebergantungan moralitas pada agama. Di sini, kami tidak akan membahas kekurangan-kekurangan pandangan ini(3) dan mencukupkan diri dengan menjelaskan poin ini bahwa jejak-jejak pandangan ini dapat pula dicari di tengah-tengah sebagian kalangan pemikir Muslim; sebagaimana Sa`iduddin Taftazani (722—792 H) salah seorang teolog terkemuka yang bermazhab Asy`ariah, berkata: "Kami tidak memosisikan perintah dan larangan sebagai dalil atas kebaikan dan keburukan perbuatan-perbuatan, ... melainkan menurut kami, pada dasarnya perbuatan baik ialah yang berhubungan dengan perintah dan pujian Tuhan."(4)

Dalam Benarnya Proposisi-Proposisi

Kebanyakan pemikir yang berbicara tentang relasi antara agama dan moralitas, tidak mendasarkan definisi konsep-konsep moral—jika

p: 383


1- Seperti telah diketahui bahwa segolongan filsuf etika, secara prinsip menyebut konsep-konsep moral tidak dapat didefinisikan. Silakan lihat William Frankena, Falsafah Akhlāg, terjemahan Parsi oleh Hadi Shadiqi, hlm. 215.
2- Lihat Jonathan Harrison, Our knowledge of Right and Wrong, hlm. 204; Jonathan Berg, "How Could Ethics Depend on Religion" dalam Peter Singer (ed.), A Companion to Ethics, hlm. 525. William Warreen Bartley, Morality and Religion, hlm. 8.
3- Salah seorang filsuf berkebangsaan Inggris bernama A.C. Ewing dalam buku Teach Yourself Ethics secara terperinci membahas pandangan ini dan menyebutkan permasalahan- permasalahannya lebih baik dari pemikir-pemikir lainnya. Untuk telaah lebih jauh, silakan lihat Mustafa Malikian, Taqabul Akhlāq-e Dīni va Akhlaq-e Sekular (Diktat), hlm. 23–60.
4- Saiduddin Taftazani, Syarh al-Maqasid, jil. 4, hlm. 292. Taftazani dalam tema tersebut mengisyarahkan pula perkataan dari Imamul Haramain Juwaini (419-478 H): "Pernyataan bahwa kebaikan dan keburukan tidak dapat dijangkau kecuali melalui jalan syariat" disertai dengan pengabaian karena perkataan tersebut mengira bahwa kebaikan adalah sesuatu yang terpisah dari syariat, di mana untuk memahaminya kita mesti dibantu dengan syariat. Sementara, secara prinsip perbuatan baik adalah yang pelakunya dipuji oleh syariat."

mereka memahami konsep-konsep moral tersebut dapat didefinisikan- dengan doktrin-doktrin religius. Walaupun demikian, sebagian dari golongan ini berkeyakinan bahwa apa yang menjadikan suatu perbuatan baik serta pantas dan perbuatan lainnya buruk serta tidak pantas adalah kehendak (iradah) Tuhan.

Plato (sekitar 428–347 SM) dalam risalah Euthyphro (10B-9A)- untuk pertama kalinya menuliskan sebuah laporan tentang masalah ini melalui lisan gurunya Socrates (469—399 SM): "Apakah perbuatan- perbuatan layak, menjadi pantas disebabkan mereka adalah kecintaan dewa-dewa ataukah karena mereka layak atau pantas menjadi kecintaan dewa-dewa?"(1) Orang-orang yang menyebut kebenaran proposisi-proposisi moral bergantung kepada agama, dari kedua estimasi ini, mereka memilih bagian pertama.

Pandangan ini yang oleh kalangan pemikir Barat dinamakan dengan "teori titah Ilahi" (2), telah mengemuka dalam dunia Islam dengan tema: "baik dan buruknya perbuatan mengikut syariat"(3) dan membuat terpikat segolongan teolog Muslim (Asy`ariah). Menurut Asy'ariah, sesuatu yang menjadikan perbuatan baik atau buruk, bukanlah tipologi esensial dan bersifat internal, melainkan titah atau perintah dan larangan Tuhan.

Berdasarkan hal ini, Tuhan dapat menjadikan kejujuran (perkataan benar) sebagai buruk dan kebohongan (perkataan dusta) sebagai baik: "lau akasal qadhiyah; fahassana mā qabbahahu, wa

p: 384


1- Dalam risalah Euthyphro terdapat ungkapan-ungkapan yang maknanya jauh dari apa yang dimaksudkan. Untuk telaah lebih jauh, silakan lihat William Warreen Bartley, Morality and Religion, hlm. 7.
2- Divine Command Theory. Teori titah Ilahi dalam penggunaan yang lebih luas, mencakup pula kebergantungan moralitas kepada agama dari jenis pertama (pada definisi agama).
3- Sebagian dari kalangan pemikir bersikeras dengan poin bahwa di sini dua istilah “Ilahi” dan "syar'i" dan begitu pula dengan esensial (dzāti) dan rasional (aqli)) tidak boleh dianggap sepadan antara satu dengan lainnya: dua ungkapan Ilahi dan dzāti berkaitan dengan posisi ketetapan (maqam tsubūt); dan syar'i serta aqli berhubungan dengan posisi pembuktian (magam itsbāt). Mustafa Malikiyan, Kalām-e Jadid2 (Diktat), hlm. 11-13. Perbedaan ini meskipun dari sudut pandang "pengadaan istilah” dapat disebut sebagai perbuatan baik, tetapi dalam penggunaan orang-orang terdahulu tidak dapat ditemukan bukti untuk itu. Perseteruan Asy'ariah dengan para penentangnya pada umumnya berkaitan dengan posisi ketetapan (maqam tsubūt). Kendati demikian, kedua golongan menggunakan ungkapan-ungkapan "syar'i" dan "aqli” guna menyampaikan maksud mereka. Sebagai contoh, silakan lihat Fakhruddin al-Razi, al-Barāhin dar 'Ilm Kalām, jil.1, hlm. 249; Qadhi Adhiduddin lji, al-Mawāgif, hlm. 323; Saiduddin Taftazani, Syarh al-Maqāshid, jil. 4, hlm. 282; Sayid Syarif Jurjani, Syarh al-Mawaqif, jil. 8, hlm. 184.

qabbaha mā hassanahu lam yakun mumtani an" (Jika sekiranya Tuhan membalikkan suatu perkara (qadhiyyah), yaitu menjadikan baik apa yang dibuat-Nya buruk dan membuat buruk apa yang dijadikan- Nya baik; [tentu hal ini] tidak mustahil)."(1) Sebagai bandingannya, Muktazilah dan Imamiyah tanpa melihat aspek perintah dan larangan Tuhan, memahami perbuatan-perbuatan dapat dibagi ke dalam dua bagian buruk dan baik, dan mereka berkeyakinan bahwa "kebaikan dan keburukan adalah dua sifat yang secara esensial baik dan buruk."(2) DISKUSIKAN DAN PIKIRKAN Baik dan Buruk Perbuatan-Perbuatan? Pandangan baik dan buruk syariat atas perbuatan- perbuatan telah dihadapkan dengan pelbagai permasalahan, di mana salah satu di antara mereka, dengan penjelasan ringkas Khojah Nashiruddin Thusi (597—672 H)-adalah seperti ini: "Dan jika terbukti syar`i, keduanya (yaitu baik dan buruk) akan ternafikan secara mutlak."(3) Maksudnya bahwa dengan mengingkari kebaikan dan keburukan substansial perbuatan-perbuatan, kebohongan Tuhan pun tidak bisa disebut tidak dapat diterima; dari sisi ini, guna mengenali perbuatan baik dan buruk, perkataan-perkataan-Nya pun tidak dapat dipercaya. Dengan kata lain, dengan mengingkari kebaikan dan keburukan esensial perbuatan-perbuatan, tata letak kebaikan dan keburukan akan bergeser secara keseluruhan (baik yang sifatnya syar`i maupun yang bersifat rasional).

Pemimpin golongan Asy`ariah, sebelumnya telah menjawab keberatan tersebut seperti ini: "Tuhan tidak mungkin berbohong; bukan disebabkan karena bohong

p: 385


1- Qadhi Adhiduddin Iji, al-Mawaqif, hlm. 323.
2- Muhammad bin Abdul Karim Syahrestani, al-Milal wa al-Nihal, jil. 1, hlm. 42.
3- Allamah Hilli, Kasyf al-Murād fi Syarh Tajrīd al-I'tiqād, hlm. 303.

adalah buruk, melainkan dari sisi bahwa keluarnya perbuatan ini dari-Nya adalah mustahil."(1) Menurut Anda, apakah dapat diperoleh makna yang jelas dari jawaban ini? Diskusikanlah tentang kritikan tersebut beserta jawabannya antara satu dengan yang lain! Menurut pandangan segolongan pemikir Barat, kritik atau permasalahan terpenting dari teori "titah Ilahi" ialah apa yang dinamakan dengan "fallasi penyimpulan harus dari ada. "(2) Maksud dari pada fallasi ini ialah bahwa suatu proposisi yang bersifat nilai (gadhiyyah arzeshi) tidak dapat disimpulkan dari proposisi- proposisi yang menunjukkan kenyataan (qadhaya nāzhir be wāge").(3) Dengan penjelasan lain, "Dari himpunan ratusan proposisi yang semuanya bersentuhan dengan kesesuaian dan tiadanya kesesuaian dengan kenyataan luar serta berbicara tentang sifat-sifat hakiki dan fisikal sesuatu, tidak dapat diperoleh sebuah proposisi yang berbicara tentang kebaikan dan keburukan, baik dan buruk-yang bukan merupakan sifat-sifat eksternal dan fisikal."(4)

p: 386


1- Abul Hasan Asy'ari, al-Luma, hlm. 116.
2- Sepertinya lebih benar ialah bahwa alih-alih menggunakan "hast (adalah)" baiknya kita menggunakan kata "ast (preposisi)", tetapi dengan alasan penerimaan ungkapan ini secara umum dan mengingat dalam sastra tradisional, kedua kata secara berulang-ulang diterapkan pada tempat antara satu dengan lainnya, kami menggunakan pula ungkapan yang telah populer. Untuk mengetahui salah satu dalil orang-orang yang lebih mengutamakan "ast" dari pada "hast", silakan lihat Muhsin Jawadi, Masalah Bāyad wa Hast, hlm. 24-25. Yang mengherankan ialah bahwa fallasi yang dengan menghindarinya, segolongan orang-orang Barat terjauhkan dari pandangan titah Ilahi, menyeret sebagian kalangan orang Muslim ke arah pandangan ini! Dengan penjelasan bahwa ketika "keharusan-keharusan" tidak dapat dicari akarnya pada keberadaan-keberadaan", mereka mesti dihubungkan kepada "mestinya keharusan-keharusan" dan "sumber dari segala perintah-perintah" yaitu: "la yus'alu 'anmā yaf alu”: seseorang dapat bertanya (mengapa) dalam berhadapan dengan setiap perintah moral dan dalam berhadapan dengan setiap permintaan, dapat bertanya kepada peminta: Mengapa kamu meminta? ... tasalsul (rangkaian tak terhingga) ini mesti berakhir pada suatu tempat dan untaian perintah-perintah ini mesti bergantung pada perintah induk dan pertama kali. Dan hal itu adalah tempat di mana kita sampai kepada yang memerintah (komandan), di mana perintah komandan lainnya tidak berkuasa atasnya. ... dan itu adalah raja agung itu sendiri di mana apa pun yang dilakukan dan dikatakannya adalah manis." Abdul Karim Soroush, Dānesy wa Arzesh, hlm. 309-311.
3- Berdasarkan hal ini, fallasi tersebut tidak terkhusus bagi kata "harus" dan berlaku pada semua konsep-konsep moral.
4- Abdul Karim Soroush, Dānesy wa Arzesh, hlm. 242 (dengan sedikit pengubahan).

Objek (mishdāq) paling jelas dari tindakan fallasi ini adalah perbuatan orang-orang yang menyimpulkan suatu sistem moral dari teori ilmiah bahwa "Dalam sistem alam, eksistensi-eksistensi yang tidak mampu beradaptasi dengan lingkungannya akan lenyap dan punah" dan berdasarkan itu, belas kasih dan ampunan atas mereka yang lemah dan tidak mampu disebutnya sebagai hal yang tidak benar.(1) Bagaimanapun, David Hume (1711–1776 M) yang dikenal sebagai penemu fallasi ini,(2) berkata tentang hal tersebut sebagai berikut:

Aku selalu katakan bahwa pendiri (peletak dasar) setiap sistem moral yang aku temui sampai saat ini,hingga beberapa waktu menggunakan cara umum (biasa) pemakaian dalil dan membuktikan wujud Tuhan atau mengemukakan pendapat tentang hal-hal yang bersifat manusiawi. Namun, tiba-tiba dengan takjub aku melihat bahwa di tempat proposisi-proposisi yang terbentuk dari susunan- susunan biasa "ada" dan "tiada" tak satu pun proposisi yang aku jumpai yang tidak dikaitkan dengan satu "mesti" dan "tidak mesti!" Perubahan seperti ini tidak terindra, tetapi mempunyai signifikansi yang sangat besar. ... menurut keyakinanku, perhatian sedikit ini akan meruntuhkan seluruh sistem-sistem moral awam dan menyadarkan kita kepada poin bahwa perbedaan antara keburukan dan keutamaan moral bukan semata bertumpu pada relasi-relasi antara sesuatu serta tidak dapat dipersepsi dengan akal.(3) Berdasarkan hal ini, maka kenyataan bahwa "suatu perbuatan disenangi Tuhan", tidak dapat disimpulkan bahwa "perbuatan tersebut adalah baik" dan mesti dilakukan. Dengan penjelasan yang lebih tepat, tak satu pun di antara kedua proposisi tersebut secara logis dapat menyimpulkan yang lainnya, kecuali jika kita menambahkan pula premis lainnya dalam argumen kita: "Jika suatu perbuatan disenangi Tuhan, maka pada saat itu adalah baik." Premis ini,

p: 387


1- Menurut kami, keberatan utama pengambilan kesimpulan ini, bukan fallasi yang telah disebutkan, melainkan sesuatu yang lain, di mana kami akan mengisyaratkannya dalam kritik terhadap pandangan Nietzsche.
2- Sebagian kalangan pemikir meragukan interpretasi (pemahaman) yang sudah lazim dari pernyataan-pernyataan David Hume. Silakan lihat J. Warnok, Falsafah Akhlāq dar Qarn [Contemporary Moral Philosophy], terjemahan Parsi oleh Shadiq Larijani, hlm. 204-208 (catatan penerjemah); Burton F. Porter, Deity and Morality, hlm. 12.
3- 28 David Hume, A Treatise of Human Nature, hlm. 521.

meskipun menghilangkan kecacatan pada bentuk silogisme pertama, tetapi penggunaannya itu sendiri-dengan tafsiran bahwa sesuatu yang menyebabkan suatu perbuatan menjadi "baik" adalah keinginan Tuhan-bermakna sebagai keterjatuhan dalam fallasi yang telah disebutkan.(1) Dengan penjelasan lain, dua proposisi pertama sama dengan hukum kedua proposisi ini: "A adalah B" dan "A adalah C." Jika proposisi-proposisi tersebut keduanya dari tipe "keberadaan" atau "keharusan" sekalipun, tetap saja tidak dapat disimpulkan dari yang satu ke yang lainnya. Oleh sebab itu, guna menarik suatu konklusi dari argumen, kita memerlukan proposisi yang ketiga: “Jika A adalah B, maka pada saat itu adalah C".

Dari sisi lain, mengingat konsekuen (tāli) proposisi kondisional (qadhiyah shartiyyah) ini merupakan suatu hukum yang bersifat nilai dan dari kategori "keharusan" (2) urutan konsekuen (tāli) ini terhadap anteseden (muqaddam) itu sendiri, merupakan suatu objek dari pengambilan kesimpulan "harus" dari "ada."(3) Bagaimanapun, orang-orang yang menyebut teori "titah Ilahi" terjebak dalam fallasi pengambilan kesimpulan "harus" dari "ada", memastikan poin bahwa "keharusan-keharusan" mempunyai perbedaan mendasar dengan "keberadaan-keberadaan" serta tidak dapat dirujukkan antara satu dengan lainnya, sementara "keharusan- keharusan"-baik moral maupun nonmoral-dapat disebut sebagai suatu "keberadaan-keberadaan" yang secara terminologis menghikayatkan "kemestian komparatif (dharūrat bi al-qiyās)" antara dua hal. (4) Konsep-konsep moral tidak boleh dianggap seperti halnya konsep- konsep estetika yang hanya sekedar mengungkapkan sentimen atau

p: 388


1- William Warreen Bartley, Morality and Religion, hlm. 7-9.
2- Karena di sini "C" merupakan simbol konsep-konsep seperti “baik” dan “mesti”.
3- Sesungguhnya, pengambilan kesimpulan di sini memiliki makna yang umum. Secara prinsip- menurut ungkapan sebagian di antara penulis—“Dalam istilah para logikawan modern, berlalu dari premis (muqaddam) kepada konsekuen (tāli) dalam suatu proposisi kondisional adalah termasuk sebagi suatu jenis silogisme logis. Mahdi Haeri Yazdi, Kāwushā Aql Amali, hlm. 63.
4- Sebagian pemikir tanpa berbicara tentang perujukan "keharusan-keharusan" kepada “keberadaan-keberadaan", menegaskan kebenaran penarikan kesimpulan tersebut. Silakan lihat Ahmad Ahmadi, Hast wa Bāyad, hlm. 7-15.

emosi-emosi dan selera-selera pembicara serta tidak mengabarkan suatu kenyataan riil. Ketika kita mengatakan: "Harus berkata jujur (benar)" pada dasarnya kita sedang mengabarkan relasi kemestian antara "perkataan jujur (benar)" dengan apa yang menurut kita sebagai "tujuan" dari perbuatan atau perlakuan moral ini. Jika kita ingin menjelaskan tujuan ini, kita dapat-sebagai contoh-mengatakan seperti ini: "Terdapat suatu relasi kemestian antara perkataan jujur dan pencapaian kebahagiaan."(1) Sebagian dari pemikir Barat pun, dengan analisis yang mirip, menganggap keharusan-keharusan moral dan nonmoral sinonim antara satu dengan lainnya dan menghubungkan antara "harus" dan "ada" dalam bentuk permisalan-permisalan semacam permisalan berikut:

"Seseorang yang ingin berada dalam kota London pada jam 12 dan untuk keperluan ini tak ada perantara atau kendaraan yang bisa dijangkau selain kereta api jam 10-dan dari sisi lain, naiknya ia ke dalam kereta api ini sama sekali tidak bertentangan dengan tujuan- tujuan lainnya-ia harus menggunakan kereta api ini guna mencapai tujuannya."(2) DISKUSIKAN DAN PIKIRKAN Kembalinya Keharusan-Keharusan pada Kemestian Komparatif Berdasarkan apa yang telah disebutkan (kembalinya “keharusan-keharusan" pada "kemestian komparatif" antara suatu perbuatan dengan tujuan akhirnya), lakukanlah analisis terhadap proposisi-proposisi di bawah ini (poin yang patut diperhatikan secara teliti adalah bahwa dalam diskusi biasa, terkadang penyebutan secara gamblang tujuan akhir suatu perbuatan-disebabkan kejelasannya-dihindari):

p: 389


1- Silakan lihat Muhammad Taqi Misbah Yazdi, Durūs Falsafah Akhlāg, hlm. 24-28; Mahdi Haeri Yazdi, Kāwushā Agl'Amali, hlm. 87, 102, dan 106-150. Pada sumber kedua, dalam suatu analisis yang tidak begitu akurat, digunakan istilah "dharurat bi al-ghayr (kemestian dengan yang lain)" sebagai ganti "dharurat bi al-qiyās (kemestian dengan perbandingan).”
2- J.L. Mackie, Ethics, hlm. 65-66 and 73-74.

a. Ahli kimia: guna memperoleh air, ia harus menyintesiskan oksigen dan hidrogen-dengan suatu relasi tertentu-antara satu dengan lainnya.

b. Dokter menghadapi seorang pasien, hingga sepekan Anda harus menggunakan obat-obat ini.

C. Guru ketika membimbing siswa-siswanya: pertama, kalian harus menemukan panjang dan lebar empat persegi panjang.

Berdasarkan apa yang telah lalu, sepertinya teori "titah Ilahi" tidak bisa dipermasalahkan dengan berpegang pada fallasi yang telah disebutkan, meskipun pandangan atau teori ini mempunyai banyak kekurangan-kekurangan, di mana uraian lebih jelasnya terdapat dalam pernyataan-pernyataan kebanyakan para pemikir Timur dan Barat.(1)

Dalam Menyingkap Proposisi-Proposisi

Orang-orang yang mendasarkan kebenaran proposisi-proposisi moral pada doktrin-doktrin religius dan menurut tafsiran para pemikir Muslim, mereka tidak menganggap kebaikan dan keburukan perbuatan-perbuatan sebagai sesuatu yang esensial (dzāti), dalam menyingkap proposisi-proposisi ini pun, mereka tidak punya jalan keluar kecuali berpegang pada syari`at. Akan tetapi, mereka yang dalam posisi ketetapan (maqam tsubūt, internal) menyebut kebaikan dan keburukan sebagai sesuatu yang substansial, pada posisi pembuktian (magam itsbāt, eksternal) tidaklah mesti membebankan penyingkapan perbuatan-perbuatan terpuji (baik) dan tidak terpuji (buruk) itu kepada akal.

Berdasarkan hal ini, ulama Muktazilah dan Imamiyah, meskipun dalam pembahasan sebelumnya tidak menerima kebaikan dan keburukan syar'i, di sini mereka menegaskan poin bahwa untuk memahami kebaikan dan keburukan kebanyakan perbuatan, maka hal

p: 390


1- Sebagai contoh, silakan lihat Allamah Hilli, Kasyf al-Murād fi Syarhi Tajrid al-I'tiqād, hlm. 303-305; Ja'far Subhani, Risālah fi al-Tahsin wa al-Taqbih al-Aqliyain, hlm. 61-85; Edward R. Wierenga, The Nature of God, hlm. 219-229.

itu perlu kepada dokrin-doktrin religius. Menurut mereka, kebaikan dan keburukan sebagian perbuatan-perbuatan (seperti perkataan jujur yang bermanfaat dan perkataan dusta yang merugikan) merupakan hal-hal yang bersifat badihi (self-evident); pada sebagian perbuatan- perbuatan (seperti kejujuran merugikan dan kebohongan bermanfaat) pembuktian baik dan buruknya perbuatan diperoleh dengan perenungan rasional; dan pada bagian ketiga (seperti kebanyakan di antara hukum-hukum ibadah) hanya dengan menggunakan syariat, kepantasan, dan ketidakpantasan suatu perbuatan dapat diketahui. (1) Sebagian kalangan pemikir Kristen berkeyakinan pula bahwa prinsip- prinsip moral bisa diperoleh dari tiga sumber: kitab suci, akal, dan fitrah.(2) Salah satu kritikan yang terdapat dalam pandangan Asy'ariah serta mereka yang menyebut kebaikan dan keburukan "seluruh" perbuatan- perbuatan bersifat syar`i adalah kenyataan bahwa kebanyakan kaum ateis serta orang-orang yang tidak beragama, sependapat dengan kaum Mukmin dalam memahami baik dan buruknya sebagian perbuatan, dan tentu sangat jelas bahwa keyakinan ini tidak dapat disebut bersumber dari syariat. (3) Dengan memperhatikan apa yang telah lalu dan berdasarkan metode rasionalisme moderat, apa yang dapat diterima di sini ialah kebutuhan moralitas terhadap agama dalam menyingkap "sebagian" proposisi-proposisi moral. Penerimaan atas kebaikan dan keburukan esensial perbuatan-perbuatan adalah bermakna bahwa sebagian amalan-amalan yang dilakukan di alam nyata (realitas) merupakan objek keadilan dan sebagian lainnya merupakan objek (mishdāq) kezaliman.

Akan tetapi, poin yang patut diperhatikan ialah bahwa akal seseorang boleh jadi salah atau keliru dalam menentukan objek-objek

p: 391


1- Nashiruddin Thusi, Qawāid al-Aqā'id, hlm. 78; Miqdad bin Abdullah Sayuri, Irsyād a-Thālibin, hlm. 255; Saiduddin Taftazani, Syarh al-Maqāsid, jil. 4, hlm. 283; Sayid Syarif Jurjani, Syarh al-Mawāqif, jil. 8, hlm. 183-184.
2- Michael Peterson et al., 'Aql wa I'tiqād Dīni (Dar Āmadi bar Falsafah Dīn), terjemahan Parsi oleh Ahmad Naraqi dan Ibrahim Sultani, hlm. 438-441.
3- Allamah Hilli, Kasyf al-Murād, hlm. 303; Miqdad bin Abdullah Sayuri, Irsyād a-Thālibin, hlm. 255-256; Jonathan Berg, Jonathan Berg, "How Could Ethics Depend on Religion" dalam Peter Singer (ed.), A Companion to Ethics, hlm. 530.

ini dan tidak memiliki jalan keluar selain meminta bantuan dari wahyu.

Dalam kenyataan Praktis

Dostoyevsky (1821–1881 M), penulis dan pemikir Rusia, melalui bahasa salah seorang tokoh kisah ... "saudara-saudara Karamazov", menjelaskan dan mengembangkan poin bahwa "jika Tuhan tiada, maka setiap perbuatan dibolehkan." Pernyataan singkat ini,di mana dalam pembahasan-pembahasan yang terkait dengan studi agama dan filsafat moral, menarik perhatian kebanyakan orang-merupakan penjelasan bahwa apa yang secara praktis mewujudkan moralitas atau perilaku baik dalam masyarakat adalah kepercayaan terhadap Tuhan yang mengetahui kondisi hamba-hamba-Nya dan berdasarkan keadilan, memberi pahala kepada orang-orang berperilaku baik serta ganjaran siksaan bagi orang-orang berperilaku buruk.

Prakonsepsi analisis seperti ini ialah bahwa dengan sekedar mengetahui baik atau buruknya suatu perbuatan, tidaklah cukup untuk melakukan atau meninggalkannya. Guna terwujudnya suatu perbuatan yang bersifat ikhtiari (dengan kehendak bebas), "irādah" mesti disandingkan atau dikorelasikan dengan "ilmu" dan "harapan kepada pahala" serta "rasa takut dari siksaan" dapat membantu seseorang dalam menghendaki perbuatan baik.

Dengan penjelasan lain, kebanyakan masyarakat seperti ini, yakni jika tak ada ganjaran kebaikan dan siksaan, mereka tidak akan mematuhi hukum-hukum akal dan akan menginjak-injak sifat-sifat pantas kemanusiaan. Agama Ilahi datang membantu moralitas dengan mengemukakan masalah hari kebangkitan (eskatologi), pahala, dan siksaan ukhrawi serta menyiapkan jaminan realisasinya.

Religiusitas dan Teisme bukan hanya mereformasi perilaku lahiriah, melainkan juga memperbaiki tendensi-tendensi batin kaum beriman serta memadukan "kebaikan perilaku" dengan "kebaikan pelaku". Orang-orang beriman percaya kepada Tuhan yang mengetahui keinginan atau motivasi-motivasi batin manusia dan setelah kematian, akan melangsungkan suatu peradilan di mana hakimnya sendiri tahu

p: 392

(saksi) akan batin dan lahir dari tersangka: "jauhilah maksiat kepada Tuhan dalam kesunyian-kesunyian; sesungguhnya dia saksi, juga sebagai hakim."(1) Pertanyaan yang mengemuka di sini ialah apabila seseorang- sebagai contoh-meninggalkan "kebohongan" bukan karena keburukan perbuatan ini, melainkan karena takut akan siksaan, apakah secara mendasar ia dapat disebut sebagai loyal terhadap prinsip-prinsip moral? Dalam lanjutan pasal ini, kami akan mengisyaratkan jawaban atas pertanyaan ini.

DISKUSIKAN DAN PIKIRKAN Jika Tiada Tuhan, Maka Segala Perbuatan Dibolehkan? Menurut Anda, apakah "universalitas” pernyataan ini dapat diterima bahwa "jika Tuhan tidak ada, segala perbuatan dibolehkan?" Dengan kata lain, orang-orang yang tidak memercayai adanya Tuhan, apakah dalam melakukan segala tindak kriminal dan kejahatan, termaafkan?

Moralitas dan Bantuan Kepada Agama

Moralitas, selain mendapatkan dukungan dari agama, termasuk pula sebagai penolongnya. Sebagai contoh, kepemilikan moral mulia oleh para pemimpin agama, mempunyai peran yang tak tergantikan dan tak dapat diingkari dalam mendakwahkan agama. Al-Qur'an kepada Nabi Saw. menyatakan: "Maka disebabkan rahmat dari Allah- lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu," (QS Ali 'Imrān [3]: 159).

Dalam riwayat-riwayat Islam, banyak pula ditemui makna-makna semacam ini: "Serulah masyarakat kepada agama Tuhan bukan dengan

p: 393


1- Nahj al-Balāghah, Hikmah 324.

perkataan, melainkan dengan perilaku baikmu."(1) Bantuan ini dapat pula dikaji dalam dimensi-dimensi lainnya(2) dan yang terpenting di antaranya adalah "perlunya kajian tentang pencipta alam semesta" serta "pembuktian wujud-Nya".

Salah satu dalil yang sangat ditekankan oleh para teolog Muslim dalam pembahasan tentang "urgensi mengenal Tuhan" ialah suatu dalil di mana pilar utamanya merupakan masalah moral "keharusan mensyukuri pemberi nikmat (mun`im). "(3) Para pemikir-pemikir Barat dalam membuktikan wujud Tuhan, menggunakan pula suatu argumen yang bersifat moral yang akan segera kita bahas sekarang ini.

Argumen Moral Pembuktian Wujud Tuhan

Argumen moral pembuktian wujud Tuhan yang lebih banyak dikaitkan dengan nama filsuf terkemuka berkebangsaan Jerman, Immanuel Kant (1724—1804 M), memiliki ulasan yang bermacam- macam.

Kant dalam buku "Critique on Pure Reason" menyebut argumen- argumen yang membuktikan wujud Tuhan melalui "akal teoretis" — seperti argumen-argumen ontologis dan kosmologis-sebagai sesuatu yang tidak benar dan melakukan kritik atasnya. Walaupun demikian, ia berkeyakinan bahwa berdasarkan "akal praktis" dan sebagai asumsi (prakonsepsi) hukum-hukum moral, eksistensi Tuhan (dan juga keabadian ruh) mesti diterima.

Menurutnya, "Jika manusia tidak percaya kepada Tuhan, maka ia tidak bisa loyal terhadap moral."(4) Pernyataan-pernyataan Kant di sini mengandung kekaburan dan kompleksitas. Dari sebagian pernyataan- pernyataanya terpahami bahwa dalam kajian ini ia memiliki cara pandang pragmatis serta memandang "eksistensi Tuhan" hanya sebagai sebuah "prakonsepsi" moral, suatu asumsi yang tak semestinya ia bimbangkan pembuktiannya secara meyakinkan: "Seseorang bisa

p: 394


1- Muhammad bin Ya'qub Kulainy, al-Kāfi, jil. 2, hlm. 77.
2- Silakan lihat Muhammad Taqi Misbah Yazdi, "Dīn wa Akhlāg", dalam: Qabasāt, No. 13, hlm. 33–34.
3- Silakan lihat Syekh Thusi, Al-Tibyān, jil. 4, hlm. 485; Ibn Maitsam Bahrani, Qawaid al-Marām, hlm. 29; Miqdad bin Abdullah Sayuri, Al-Nāfi' Yaum al-Hasyr fi Syarhi Bāb al-Hādi Asyar, hlm. 3.
4- Immanuel Kant, Darshā Falsafah Akhlāq [Lessons of Moral Philosophy], terjemahan Parsi oleh Manucher Shanei, hlm. 114.

percaya bahwa Tuhan itu ada, bahkan tanpa kita merasa yakin (merasa tenang) bahwa Tuhan itu ada". (1) Meskipun demikian, guna mengetengahkan suatu ulasan yang dapat diterima dari argumen tersebut, telah banyak upaya-upaya yang dilakukan dan salah satu di antaranya tegak di atas premis-premis di bawah ini:

a. Hukum-hukum moral merupakan hal-hal yang bersifat riil, bukan relatif; aturan-aturan mendasar moral (seperti benarnya keadilan dan tidak benarnya kezaliman) bersifat tetap pada seluruh kondisi dan masyarakat dan tidak mengalami perubahan.(2) b. Sumber di mana hukum-hukum riil ini berasal dan melalui batin, mengajak kita untuk melakukan perbuatan baik serta mencegah dari perbuatan-perbuatan tak pantas, entah sesuatu yang bersifat materiel atau nonmateriel.

C. Hukum-hukum alam natural tidak dapat disebut sebagai sumber aturan-aturan moral karena hukum-hukum ini berbicara tentang "keberadaan-keberadaan", bukan "keharusan-keharusan". Dengan penjelasan lain, dalam berhadapan dengan hukum-hukum alam kita tidak memiliki jalan lain selain "berserah diri", tetapi secara bebas kita dapat menolak dalam menerapkan aturan-aturan moral.

Dengan demikian, sumber hukum-hukum moral merupakan sesuatu yang lebih luas dari materi dan hukum-hukum alam natural.

d. Sesuatu yang bersifat nonmateriel tersebut bukanlah diri kita manusia, karena meskipun masing-masing di antara kita setelah beberapa waktu akan menghilang dan menyerahkan tempat kita kepada yang lain, aturan-aturan moral masih tetap.

Kesimpulan: berdasarkan apa yang telah lalu, keberadaan hukum- hukum dan aturan-aturan moral, menuntun kita kepada suatu wujud nonmateriel dan merupakan sumber dari aturan-aturan ini. (3)

p: 395


1- Immanuel Kant, Darshā Falsafah Akhlāg, hlm. 115.
2- Dalam lanjutan mukadimah pertama, guna membatalkan relativitas moral, telah diisyarahkan beberapa dalil, di mana penjelasan tentangnya kami lewatkan pada bagian lain dari buku ini.
3- Silakan lihat Michael Peterson et. al., Aql wa I'tiqad Dīnī, hlm. 163-165. Apa yang terdapat dalam sumber ini dan kami pilihkan ke dalam teks, diambil dari tulisan-tulisan seorang penulis berkebangsaan Inggris, C.S. Lewis (1898-1963 M). Untuk telaah lebih jauh, silakan lihat C.S. Lewis, Mere Christianity, hlm. 15–33.

Tiadanya keselarasan antara Klaim Agama dan Moral

Meskipun kebanyakan di antara para pemikir menekankan adanya hubungan atau korelasi antara agama dan moralitas, segolongan lainnya menegaskan tiadanya keselarasan antara keduanya. Para pendukung pandangan kedua bercabang lagi menjadi dua kelompok yang sama sekali berbeda: kaum ateis yang dengan menghitung kembali kekurangan-kekurangan etika religius; cenderung pada etika sekuler serta kaum fideis yang menyatakan agama lebih luas dari pada moralitas.

Arif berkebangsaan Denmark, Kierkegaard (1813–1855 M) tokoh paling terkenal yang menyatakan agama lebih luas dari moralitas dan dalam buku "Fear dan Trembling" menjelaskan pandangan ini. Jawara asli buku ini adalah nabi besar Ilahi, Ibrahim yang mendapat tugas dalam usia tuanya untuk mengorbankan putra yang dianugerahkan kepadanya setelah bertahun-tahun dalam penantian, dengan tangannya sendiri.

Dan Tuhan menguji Ibrahim dan berkata kepadanya: "Ishak, satu-satunya putramu yang engkau cintai ambil dan pergilah ke lembah "muriah" dan di situ bakarlah ia di atas sebuah gunung yang akan aku tunjukkan kepadamu, sebagai qurban." (1) Dengan bentuk seperti ini, ia kehilangan segala sesuatu, lebih mengerikan dari pada sekiranya tak pernah ada! Dengan demikian, Tuhan hanya mempermainkan Ibrahim! Dia dengan mukjizat-Nya mewujudkan kemustahilan dan sekarang menghancurkannya. Tak diperkirakan lagi, ini adalah kegilaan. Namun, Ibrahim tidak tertawa atasnya. ... tujuh puluh tahun penantian dalam keimanan, kesenangan singkat terwujudnya penantian, siapakah yang membawa pergi tongkat sang orang tua? Siapakah yang menghendaki sang orang tua mematahkannya dengan tangannya sendiri? ... apakah tak ada toleransi

p: 396


1- Berdasarkan kitab Taurat (Kemunculan, 22:2), seseorang yang diperintahkan untuk disembelih oleh Ibrahim adalah Ishaq. Kaum Muslimin, kebanyakan dari kalangan Ahli Sunah meyakini pula hal ini, tetapi segolongan di antara mereka dan seluruh kalangan Syi'ah, menyebut Ismail sebagai dzabihullāh. Silakan lihat Syekh Thusi, al-Tibyān, jil. 8, hlm. 516; Muhammad Husain Thabathabai, al-Mizan, jil. 7, hlm. 231-234; Fakhruddin Razi, al-Tafsir al-Kabir, jil. 26, hlm. 133- 135; Jalaluddin Suyuthi, al-Dur al-Mantsūr, jil. 7, hlm. 102-109.

kemurahan sedikit pun bagi orang tua baik dan luhur ini atau terhadap anak yang maksum?(1) Menurut Kierkegaard, "Dari sudut pandang moral ... seorang ayah harus mencintai putranya, tetapi hubungan moral ini berhadapan dengan hubungan mutlak dengan Tuhan, mengalami penurunan hingga pada tingkatan yang bersifat relatif."(2) Berdasarkan hal inilah, Ibrahim, raja iman, tanpa sedikit pun ragu meletakkan pedang (pisau) di atas leher putranya dan dengan perbuatan ini "melangkah lebih jauh dari totalitas ranah moral". (3) Ungkapan ini bermakna bahwa manusia Mukmin, menjalin hubungan dengan Tuhan yang keinginan-keinginan-Nya mutlak dan mustahil dapat terukur dengan ukuran intelek manusia.(4) Dari sisi lain, orang-orang yang cenderung kepada moral atau etika sekuler, menyebut etika religius mempunyai kekurangan-kekurangan dan konsekuensi-konsekuensi menyedihkan yang akan kami singgung, yang paling penting di antaranya sebagai berikut:

Lemahnya Fondasi-Fondasi Moralitas Akibat Keterjauhan Agama dari Akal

Segolongan orang-orang yang tidak menerima etika religius, berpijak keras pada poin bahwa proposisi-proposisi religius-bahkan proposisi seperti "Tuhan ada"—jika tidak memusuhi akal, setidaknya menjauhi akal dan dengan alasan ini, ia tidak mampu menyiapkan dasar yang kukuh bagi moralitas. Sesuatu yang lebih tinggi dari persepsi rasional (akal), kemungkinan benar dan salahnya adalah sama; dari sisi ini moral yang berdiri di atas fondasi-fondasi dasar lemah ini, tidak memiliki kekokohan dan tidak mendatangkan ketenangan psikis (jiwa) bagi seseorang. (5)

p: 397


1- Soren Kierkegaard, Tars wa Larz [Fear and Trembling), terjemahan Parsi oleh Abdul Karim Rashidiyan, hlm. 44-45.
2- Soren Kierkegaard, Tars wa Larz, hlm. 98.
3- Soren Kierkegaard, Tars wa Larz, hlm. 86.
4- Freiderick Capleston, Tārikh Falsafah [History of Philosophy], jil. 7, terjemahan Parsi oleh Dariyush Ashuri, hlm. 334.
5- Silakan lihat Mustafa Malikiyan, Kalām-e Jadid 2 (Diktat), hlm. 17–18.

Kelemahan argumen ini tampak secara baik. Para pemikir Muslim, bukan hanya dari permusuhan terhadap akal, melainkan menjauhnya fondasi-fondasi dasar agama dari akal pun mereka tidak terima dan tidak menganjurkan untuk percaya kepada proposisi- proposisi seperti ini. Dalam hal-hal yang berkenaan dengan struktur dasar (infrastruktur) agama, satu-satunya kriteria penilaian (evaluasi) dan satu-satunya penilai hakiki adalah akal dan intelek seseorang.

Hanya setelah melalui tingkatan inilah, seseorang dapat berbicara al-hal yang melampaui rasionalitas serta menerima pula proposisi-proposisi yang menjauhi akal. (1) Tentu sangat jelas bahwa proposisi-proposisi seperti ini dengan alasan berdiri di atas fondasi-fondasi yang tidak tergoyahkan, memiliki validitas yang cukup serta tidak berujung pada kegoncangan moral.

Pengetahuan Primordial llahi, Perusak Moral

Pengetahuan Primordial llahi, Perusak Moral(2) Asumsi dasar moralitas adalah ikhtiar dan kebebasan manusia.

Segolongan pembela etika sekuler, dengan mengisyarahkan kepada hakikat ini, menekankan poin bahwa jika Tuhan-sebagaimana agama-agama tauhid mengatakannya-jauh sebelumnya telah mengetahui segala sesuatu, maka tempat bagi ikhtiar manusia dan dalam kesimpulannya adalah moralitas, tidak lagi tersisa: “Jika semua perbuatan-perbuatan sebagaimana Tuhan memprediksinya akan terwujud, maka tak ada seorang pun yang mempunyai kemampuan untuk memilih atau menempuh jalan lain."(3) Hubungan antara ilmu primordial Ilahi dengan ikhtiar manusia merupakan suatu pembahasan panjang yang senantiasa menarik perhatian para pemikir Timur dan Barat. (4) Salah satu jawaban

p: 398


1- Sebagai contoh, setelah kita menerima keberadaan Tuhan, kebenaran Islam dan kemaksuman Rasulnya dengan dalil-dalil rasional, ketidakberdayaan akal membuktikan ma'ad jasmani tidak boleh kita tempatkan sebagai dalil dalam mengingkarinya. Untuk telaah lebih jauh, silakan lihat Ibn Sina, al-Syifā, al-Ilāhiyyāt, hlm. 423; Ibn Sina, al- Najāh, hlm. 291.
2- Kritik atau keberatan ini tidak terkhususkan kepada ilmu primordial Ilahi, melainkan berlaku pula dalam setiap doktrin keagamaan (seperti kepercayaan kepada qadha dan qadar serta ke pelakuan mutlak Tuhan) yang tampak tidak selaras dengan kehendak bebas (ikhtiar) manusia.
3- William E. Mann, "Philosophy of Religion", dalam Lawrence C. Becker (ed.), Encyclopedia of Ethics, vol. 2, hlm. 965.
4- Silakan lihat Muhammad Saidi Mehr, 'Ilm Pishin Ilāhī wa Ikhtiyār Insān.

sederhana-dan pada saat yang sama pasti-atas keberatan yang telah disebutkan adalah bahwa Tuhan sebagaimana ia mengetahui perbuatan-perbuatan apa yang akan dilakukan seseorang, mengetahui akan kebebasan dan ikhtiar mereka. Oleh karena itu, jika perbuatan- perbuatan ini deterministik, maka ilmu Tuhan tiada lain kecuali kejahilan. Berdasarkan hal ini, Tuhan sejak dahulu telah tahu minumnya sang penyair dan mengetahui pula bahwa berdasarkan ikhtiar ia ingin minum. Dari sisi ini, mengatakan minum bukan ikhtiar adalah bermakna tidak berdasarnya ilmu Tuhan.(1)

Agama, Pencetus Moralitas yang bersifat Niaga

Sebagian pendukung etika sekuler menamakan etika religius sebagai suatu moralitas yang bersifat niaga dan profit oriented. Hal itu dapat dijelaskan bahwa perbuatan moral yang baik dimulai dari suatu tempat di mana pencarian keuntungan-keuntungan pribadi harus disingkirkan dan tak ada tujuan lain, selain menjalankan tugas atau kewajiban; sementara agama-agama Ilahi bertumpu pada harapan atas surga dan ketakutan dari api neraka dan metode-metode perniagaan inilah yang membangun dasar perilaku moral.(2) Kritik atau keberatan ini terilhami dari etika deontologis Kantian.

Kant berkeyakinan bahwa perbuatan yang memiliki nilai positif moral hanya dilakukan atas dasar "pelaksanaan tanggung jawab" dan "penghormatan terhadap aturan". Sebagai contoh, setiap manusia di samping memiliki tanggung jawab juga mempunyai kecenderungan untuk menjaga jiwanya, tetapi penjagaan ini ketika bersumber dari kecenderungan fitrawi dan bukan dengan niat melaksanakan tanggung jawab, maka tidak termasuk sebagai suatu perbuatan moral yang baik. (3) Bahkan, tujuan seperti "mencapai kebahagiaan" pun adalah tidak mesti menjadi tanda bagi suluk-moral pemiliknya: "Seseorang harus mencari

p: 399


1- Pernyataan ini, istilahnya disebut sebagai jawaban dialektis, di mana tanpa melalui jalan panjang penalaran argumentasi, menggunakan senjata orang-orang yang melakukan kritik guna melawan diri mereka sendiri. Pada bagian keempat buku ini, kami membahas secara lebih terperinci hubungan antara pengetahuan primordial Ilahi dengan ikhtiar manusia.
2- Silakan lihat Mustafa Malikiyan, Kalām-e Jadid 2 (Diktat), hlm. 21-22.
3- Immanuel Kant, Bunyād Mā Ba datthabiah Akhlāq [Fundamental Principles of the Metaphysic of Morals), terjemahan Parsi oleh Hamid Inayat dan Ali Qaishari, hlm. 19-20.

kebahagiaannya bukan atas dasar kecenderungan, melainkan atas dasar tanggung jawab."(1) Menurut Kant:

"Kebanyakan orang-orang yang karakternya berwatak sedemikian penyayang dan simpatik di mana ... mereka merasa senang dengan kesenangan orang lain hingga pada batas di mana hal itu seolah berhubungan dengan diri mereka. Namun, saya mengatakan bahwa di sini perbuatan seperti ini seukuran apa pun selaras dengan tanggung jawab dan kebaikan, sama sekali tidak memiliki bentuk nilai kebenaran moral apa pun. ... Sekarang perhatikanlah kondisi orang bersahabat itu di mana kesedihan sedemikian menggelapkan pikirannya di mana segala bentuk rasa simpati terhadap orang ia rasakan dalam dirinya. ...

Sekarang kita asumsikan di mana orang seperti ini melepaskan dirinya dari anestesia (mati rasa) yang menyerupai mati, dan guna membantu orang lain melakukan suatu perbuatan bukan atas dasar keinginan, melainkan atas dasar pengenalan tanggung jawab, maka pada saat itu perbuatan dia ini untuk pertama kalinya akan memiliki nilai kebenaran moral."(2) Pandangan moral Kant memiliki banyak kekurangan (3) dan salah satu di antaranya adalah ketidakmampuan menjawab pertanyaan bahwa "mengapa harus melakukan atau memenuhi tanggung jawab?" Tentu sangat jelas bahwa pertanyaan itu tidak bisa dijawab seperti ini: "Kita bertanggung jawab untuk melaksanakan tanggung jawab- tanggung jawab kita" karena pertanyaan pertama itu sendiri dapat diajukan terkait dengan tanggung jawab yang kedua dan pengulangan jawaban yang sama menyebabkan pula rentetan pertanyaan- pertanyaan akan tetap berlanjut. Mungkin dikatakan bahwa proposisi "harus melaksanakan tanggung jawab" adalah suatu proposisi badihi (aksiomatis) dan analitik karena bermakna bahwa "apa yang seharusnya dilakukan (tanggung jawab), mesti dilakukan." Jawaban ini pun tidak menyelesaikan masalah dan ruang bagi pertanyaan ini tetap tersisa bahwa "tanggung jawab itu apa?" dan "keharusan suatu amal perbuatan bersumber dari mana?" Sepertinya jika pencarian

p: 400


1- Immanuel Kant, Bunyād Mā Ba da al-thabi'ah Akhlaq, hlm. 22.
2- Immanuel Kant, Bunyād Mā Ba da al-thabiah Akhlāq, hlm. 20-21.
3- Untuk telaah lebih jauh, silakan lihat Muhammad Taqi Misbah Yazdi, Durūs Falsafah Akhlāg, hlm. 88-96; Frederick Capleston, Tārīkh Falsafah, jil. 6, hlm. 351–352.

kesempurnaan fitrawi manusia serta hubungan perbuatan-perbuatan manusia dengan kebahagiaan akhirnya tidak kita perhatikan, maka kita tidak akan mampu menyiapkan jawaban jelas bagi pertanyaan- pertanyaan tersebut.

Bagaimanapun juga, menurut pandangan para pemimpin agama Islam, meskipun bentuk penghambaan dan perbuatan moral terbaik adalah tidak disertai dengan motivasi-motivasi seperti semangat atau kesenangan menuju surga dan ketakutan dari api neraka; mengingat seluruh kaum Mukmin tidak berada dalam satu tingkatan, pada tingkatan-tingkatan suluk iman dan moralitas yang lebih rendah, motivasi-motivasi semacam ini dapat diterima. (1) DISKUSIKAN DAN PIKIRKAN Kepercayaan kepada Hari Kebangkitan (Ma`ad) dan Tersebarnya Kezaliman dan Kejahatan! Sebagian orang yang melakukan kritik terhadap etika religius menyebut keyakinan atas kehidupan setelah mati dan kepercayaan terhadap api neraka sebagai penyebab menyebarnya kezaliman dan kejahatan serta penyulut api peperangan duniawi: "Aku pikir, keyakinan bahwa api neraka merupakan suatu jenis hukuman (ganjaran) bagi para pendosa adalah suatu keyakinan yang bersifat zalim; suatu keyakinan yang menyebarkan kezaliman di dunia dan membagikan ketidakadilan dan kesengsaraan bagi generasi-generasi dan bangsa-bangsa."(2) Tidak begitu jelas, bagaimana kepercayaan terhadap api ukhrawi semakin meramaikan ketidakadilan dan kesengsaraan duniawi! Kepercayaan religius bukan hanya tidak berujung pada ramainya pasar ketidakadilan, melainkan dengan menegaskan poin bahwa perilaku adil dan zalim tidak akan dibiarkan tanpa jawaban dan setiap

p: 401


1- Silakan lihat Muhammad Baqir Majlisi, Bihār al-Anwār, jil. 67, hlm. 194–198.
2- Bertrand Russell, Chera Masihi Nistam [Why I am Not Christian?], terjemahan Parsi oleh S.Thaheri, hlm. 33.

orang akan sampai pada pahala dan hukumannya yang pantas, akan menjamin terwujudnya moralitas.

Mungkin yang dimaksudkan penulis adalah hal ini, bahwa hukuman hukuman yang bersifat ukhrawi tidak selaras dengan tindakan-tindakan kriminal orang- orang yang melakukan pelanggaran dan dari segi ini termasuk zalim (1) dan keyakinan atas kebenaran perbuatan zalim semacam ini, membuka jalan bagi orang-orang beriman untuk melakukan kezaliman dan penindasan.

Diskusikanlah tentang dugaan ini beserta jawabannya antara satu dengan yang lain!

Keteguhan Etika Religius dan Perubahan pada Alam

Etika sekuler membiarkan jalan bagi relativitas terbuka dan berdasarkan itu hukum-hukum moral dapat diselaraskan dengan perubahan-perubahan yang terjadi pada alam, sementara agama tidak menerima adanya perubahan pada moralitas dan menekankan keteguhan aturan-aturan moral. Hal ini termasuk pula sebagai salah satu di antara kelemahan-kelemahan etika religius. (2) Dalam mengkritik relativitas moral, pendapat sangatlah banyak. (3) Di sini, kami akan mencukupkan diri dengan menjelaskan poin bahwa prinsip-prinsip dan fondasi-fondasi moralitas tidak akan berubah dengan perubahan-perubahan lingkungan, meskipun proses pewujudan prinsip-prinsip ini dapat bergantung pada waktu dan tempat. Sebagai contoh, etika religius mengajak kita untuk berlaku adil dan keadilan, meskipun bisa menemukan objek-objek yang berbeda pada zaman- zaman yang berbeda-beda pula, tetapi tak satu pun fenomena natural atau kemajuan ilmiah yang mengambil kebaikan perbuatan ini darinya.

p: 402


1- Untuk mengetahui jawaban atas syubhat ini, silakan lihat Murtadha Muthahhari, Adl llāhi, hlm. 225-255.
2- Mustafa Malikiyan, Kalām-e Jadid 2 (Diktat), 19-20.
3- Untuk telaah lebih jauh, silakan lihat Muhammad Taqi Misbah Yazdi, Durūse Falsafahye Akhlāg, hlm. 184-194; Louis Pojman, "Naqdi bar Nisbiyyate Akhlāqi"[An Argument Against Ethical Relativism), terjemahan Parsi oleh Mahmud Fath Ali, dalam: Naqd wa Nazar, No.13 dan 14, hlm. 324-343; Ahmad Husain Syarifi,"Nisbiyyat wa Ithlāq dar Akhlāq", dalam: Jam i az Newisandeghān, Falsafah Akhlaq, hlm. 87–104.

DISKUSIKAN DAN PIKIRKAN Kritik atas Relativitas Moral Sebagian pemikir dalam mengkritik relativitas moral berkata seperti ini: "Orang-orang yang membela relativitas moral, sebagian besarnya didasari dengan hal bahwa relativisme moral menyebabkan timbulnya toleransi, perbaikan masyarakat atau menjadi sebab bagi kelangsungan generasi. Namun, hal ini hanyalah menghadirkan kembali nilai-nilai riil moral, karena makna daripada klaim ini tidak lain adalah bahwa sebagian di antara nilai-nilai adalah lebih baik daripada nilai- nilai lainnya; misalnya, toleransi adalah lebih baik dari ketiadaan toleransi, kelangsungan generasi adalah lebih baik dari kepunahan mereka."(1) Diskusikanlah tentang kritik ini antara satu dengan lainnya! Menurut Anda, apakah tanpa mengasumsikan beberapa nilai-nilai riil (nyata), pembelaan terhadap relativitas dapat dilakukan?

Tiadanya Perhatian Etika Religius atas Kemuliaan Manusia

Menurut dugaan sebagian kalangan anti agama, etika religius telah mengabaikan kedudukan luhur manusia dan di tempat di mana manusia seharusnya dimuliakan-sebagaimana ia adalah manusia, mengajukan kriteria-kriteria yang lain. Berdasarkan hal ini, etika religius membedakan antara kerabat dan bukan kerabat serta tidak merasa iba atas kemarahan dan kemurkaan terhadap orang-orang yang tidak beragama dan bahkan kepada para penganut agama-agama lainnya.(2) Bertrand Russell (1872–1970 M) dengan membandingkan antara Socrates dan al-Masih mengatakan:

p: 403


1- Michael Peterson et. al., Aql wa I'tiqad Dīnī, hlm. 163–164.
2- Lihat Robert A. Bowie, Ethical Studies, hlm. 125-126.

Anda memandang Socrates sebagai seorang pria beradab, khususnya sikap lembut dan halus terhadap mereka yang tidak memiliki telinga mendengar darinya, menurut hemat saya, bagi seorang pemikir adalah lebih berharga memilih jalan seperti ini ketimbang jalan kemarahan dan kemurkaan. ... tetapi di dalam Injil Anda melihat bahwa al-Masih mengatakan: "Kalian wahai ular-ular dan kalian wahai generasi ular-ular sanca (python), bagaimana kalian dapat selamat dari siksaan neraka!"(1) Selain daripada itu, agama-agama Ilahi menyebut manusia sebagai kepunyaan Tuhan dan berdasarkan hal tersebut, menyebut Tuhan memiliki suatu hak khusus; sedemikian khusus sehingga Tuhan dapat menggunakan miliknya di luar dari kerangka aturan-aturan moral, bahkan memerintahkan untuk menumpahkan darah manusia tak berdosa.(2) Khaneye khod ra hami suzi besuz Kist an ku beguyat la yajuz (Rumah sendiri pun dibakarnya Siapakah orang itu yang mengatakan tak boleh)(3) Tafsiran seperti ini dari etika religius, meskipun sesuai dengan pandangan-pandangan sebagian aliran pemikiran, dalam gagasan orisinal Islam serta sirah keilmuan dan amaliyah para pemimpin maksum, justifikasi akan hal ini tidak dapat ditemukan karena:

a. Nabi-nabi Ilahi dan para Imam Maksum dalam kebaikan- kebaikan moral merupakan teladan dan kebanggaan semua orang dan menurut kesaksian data-data valid sejarah, bahkan dalam berperang dengan para musuh sekalipun, mereka tidak meninggalkan moralitas manusiawi(4) dan tidak pula menginginkan cara selain ini dari pengikut-pengikut mereka. Tentunya telah diketahui bahwa perilaku para penganut agama tidak

p: 404


1- Bertrand Russell, Chera Masihi Nistam, hlm. 32.
2- Avi Sagi and Daniel Statman, Religion and Morality, hlm. 132–133.
3- Jalaluddin Maulawi, Matsnawi Ma'nawī, Daftar 6, bait. 618.
4- Silakan lihat: Ahmad Husain Syarifi dan Hasan Yusufian, "Imam Ali a.s. wa Mukhālifān", dalam: Dānesh Nāmeye Imam Ali, jil. 6, hlm. 243-246.

mesti menjadi penjelasan atas kelakuan yang dibenarkan oleh pemimpin-pemimpin agama.

b. Meskipun Tuhan adalah pemilik dan pengada alam semesta, dengan alasan kepemilikan hikmah (kebijakan), dari-Nya tidak akan timbul perbuatan buruk serta sia-sia dan tidak memerintahkan selain sesuatu yang secara substansial adalah baik. Walaupun demikian, syarat rasionalitas adalah bahwa keterbatasan-keterbatasan akal jangan kita abaikan dan ruang bagi hal-hal yang bersifat suprarasional kita sisakan serta jangan kita tempelkan label anti akal di atas mereka.

Agama dan Promosi Moralitas Perbudakan

Friedrich Nietzsche, (1844–1900 M) filsuf berkebangsaan Jerman, dalam kebanyakan tulisan-tulisannya berbicara tentang dua jenis moralitas: moralitas para penguasa dan moralitas para budak. (1) Dalam pandangannya:

a. Agama-agama seperti Kristen dengan mendorong orang-orang kepada karakter-karakter seperti humanis (mencintai sesama jenis), pemurah dan pengasih, patuh dan berserah diri, mereka mengekang kepribadian sejati manusia serta mencegahnya untuk berkembang:(2) "Akar dari semua keburukan-keburukan adalah moralitas yang merendah layaknya budak, menahan diri, merendahkan diri, dan penguasa mutlak yang memperoleh kemenangan."(3) b. Moralitas humanis akan menghilangkan sifat egois seseorang dan "dengan hilangnya sifat egois, manusia-manusia baik (unggul) pun akan hilang".(4)

p: 405


1- Silakan lihat Friedrich Nietzsche, Cenin guft Zartusht (Thus Spoke Zarathustra], terjemahan Parsi oleh Mas'ud Anshari, hlm. 137; Friedrich Nietzsche, Farasue Nik wa Bad [Beyond Good and Evil), terjemahan Parsi oleh Dariyush Ashuri, hlm. 256 (Qath-eh. 260); Friedrich Nietzsche, Irādah Qudrat [The Will to Power), terjemahan Parsi oleh Majid Syarif, Qath-eh. 268.
2- Friedrich Nietzsche, Irādah Qudrat The Will to Powerl, Qath-eh. 205, 247, 312, 364, dan 368; Friedrich Nietzsche, Ainak ān Insān, terjemahan Parsi oleh Behruz Shafdari, hlm. 181, 182, dan 187–190.
3- Friedrich Nietzsche, Irādah Qudrat [The Will to Power), Qath-eh. 870.
4- Friedrich Nietzsche, Shāmgah But-hā (Twilight of The Idols), terjemahan Parsi oleh Abdul Ali Dastghib,hlm. 152–153.

C. Lapisan masyarakat bawah membangun moralitas budak dan dengan alasan banyaknya jumlah, mereka mampu mendesakkannya kepada lapisan masyarakat menengah dan para penguasa. (1) d. Ketimbang menghela nafas atas kesetaraan manusia,"di mana hingga saat ini tak pernah ada omong kosong yang lebih tinggi dari itu di bumi ini"(2)—kita mesti memikirkan "manusia unggul (super human)"(3) dan menjadikan perolehan "kekuasaan" sebagai judul tujuan-tujuan kemanusiaan. (4) Dalam kaitan ini, kita membutuhkan suatu filsafat yang "menjadikan yang kuat semakin kuat serta menghancurkan dan melumpuhkan bagi yang lemah atau lelah dari dunia", (5) sementara agama-agama menempuh jalan yang sama sekali berbeda:

Agama-agama para pemegang kekuasaan(6) merupakan salah satu sebab primer (asli) tertinggalnya segolongan manusia dalam suatu tingkatan yang rendah, karena sering kali apa yang semestinya hancur, mereka pertahankan. Mereka mesti teramat bersyukur! Bangkit dari tangan dan lisan, memenuhi tanggung jawab kesyukuran atas apa yang menyerupai para lelaki pendeta Kristen lakukan hingga saat ini bagi Eropa! Mereka setelah menenangkan orang-orang yang sakit dan memberi hati kepada mereka yang teraniaya dan putus harapan serta memberi tongkat dan sandaran pada orang-orang lemah dan membawa orang-orang yang kusut batin dan terhardik dari masyarakat ke biara- biara dan rumah sakit jiwa, ... guna merusak bangsa Eropa, perbuatan apa yang belum mereka lakukan! Mengubah semua nilai-nilai; inikah

p: 406


1- Friedrich Nietzsche, Shūmgah But-hā, hlm. 100; Friedrich Nietzsche, Irādah Qudrat The Will to Power), Qath-eh. 345, 400, dan 864.
2- Friedrich Nietzsche, Irādah Qudrat (The Will to Power), Qath-eh. 874.
3- Friedrich Nietzsche Cenin guft Zartusht [Thus Spoke Zarathustra], hlm. 135 dan 336; Friedrich Nietzsche, Irāde-e Qudrat [The Will to Power), Qath-eh. 765,871, 957, dan 1001.
4- Friedrich Nietzsche, Cenin guft Zartusht Thus Spoke Zarathustra), hlm. 151; Friedrich Nietzsche, Irādah Qudrat, Qath-eh. 721 dan 855.
5- Friedrich Nietzsche, Irāde-e Qudrat [The Will to Power], Qath-eh. 862.
6- Maksud Nietzsche dari agama-agama pemegang kekuasaan adalah agama-agama yang menganggap dirinya bukan sebagai “suatu perantara bagi pendidikan dan pengembangan oleh para filsuf" melainkan sebagai tujuan paling akhir".

yang semestinya mereka lakukan! Yaitu mengerdilkan orang-orang yang kuat dan menjadikan hampa harapan-harapan besar. (1) DISKUSIKAN DAN PIKIRKAN Nietzsche dan Matinya Tuhan! Gaya penulisan Nietzsche sangat memungkinkan pernyataan-pernyataannya untuk mendapatkan tafsiran beragam,(2) tetapi dalam kebanyakan hal tidak bersesuaian antara satu dengan lainnya. Sebagai contoh, Nietzsche berkali-kali berbicara tentang "matinya Tuhan". Ungkapan ini dianggap sebagai tanda keateisannya, di mana untuk membenarkannya dapat dirujukkan pada ungkapan- ungkapan yang lebih jelas dalam mengingkari Tuhan:

"Kami mengingkari Tuhan dan dengan mengingkari Tuhan, kami mangkir dari tanggung jawab. Hanya dengan melakukan perbuatan seperti ini, kami membebaskan alam."(3) "Tuhan, tidak terlihatnya ruh, keselamatan dan nonmateriel merupakan konsep-konsep di mana aku tidak pernah, bahkan di masa ketika aku masih kanak-kanak, meluangkan waktu dan perhatianku bagi mereka; mungkin juga untuk perbuatan ini, sebagaimana seharusnya, aku bukan seorang anak!"(4) Walaupun demikian, sebagian penulis, dengan merujuk pada penggunaan analogi yang terdapat dalam

p: 407


1- Friedrich Nietzsche, Farasue Nik wa Bad [Beyond Good and Evil), Qath-eh. 62.
2- Nietzsche sendiri tentang hal ini memuji dirinya, berkata: "Aku sendiri adalah satu sesuatu dan tulisan-tulisanku adalah sesuatu yang lain. Sebelum pembicaraan tentang buku-bukuku, ada baiknya pertanyaan ini aku kemukakan bahwa apakah mereka telah memahaminya atau tidak? ... sampai sekarang pertanyaan seperti ini belum tiba masanya. Masaku pun sampai sekarang belum tiba: Terdapat orang-orang yang akan lahir setelah kematian mereka.... akan tiba suatu masa di mana ... mungkin untuk menafsirkan (buku berkata seperti ini) Zoroaster (zartush) akan muncul bangku-bangku spesialisasi, tetapi benar-benar aku telah berkata aneh dan ganjil apabila aku berharap hari ini juga aku menemukan telinga-telinga dan tangan-tangan yang dapat memahami hakikat-hakikatku" (Friedrich Nietzsche, Farasue Nik wa Bad, Ainak al-Insān, hlm. 81).
3- Friedrich Nietzsche, Shamgahe But-ha [Twilight of The Idols), hlm. 91.
4- Friedrich Nietzsche, Ainak al-Insān, hlm. 52. Begitu pula, silakan lihat: hlm.77 dan 188.

buku The Gay Science(1), maksud daripada "kematian Tuhan" mereka nyatakan seperti ini: "Manusia memadamkan pelita iman kepada Tuhan di dalam qalbunya. ... sumber tertinggi kesucian, cahaya, keadilan, keindahan, dan kehidupan ia tutup dengan lumpur pemujaan diri dan terkatung-katung dalam kegelapan yang paling dalam."(2) Menurut Anda, apakah penjustifikasian ini selaras dengan pernyataan-pernyataan Nietzsche yang kami bawakan sebelumnya? Pandangan moral Nietzsche (sebagaimana pernyataan- pernyataannya tentang kematian Tuhan) telah diperhadapkan dengan suatu penilaian-penilaian yang berbeda-beda. Sebagian berkeyakinan bahwa-ketika berbicara tentang pemujaan diri dan penghinaan terhadap sesama jenis-dia hanya sekedar mengomentari proses natural alam, bukannya ingin menganjurkan sesuatu dalam ranah ini: "Nietzsche tidak ingin mendengarkan sesuatu tentang belas kasih dan rahmat serta dukungan kepada orang-orang yang menderita dan melarat. Ia mengatakan, boleh jadi mereka berkata bohong; bukannya ia sendiri tidak berhati lembut dan berbelas kasih. Mengapa Nietzsche sangatlah sensitif; dan sangat manusiawi. ... Ia mengatakan, poros dunia manusia adalah poros sesuatu yang bisa dan yang berlalu atas pemujaan diri dan pemaksaan."(3) Justifikasi ini, jika pun selaras dengan sebagian pernyataan Nietzsche, tetapi pada kebanyakan hal lainnya, tidak dapat diterima.

Pandangan moral Nietzsche adalah sama sebagaimana kebanyakan pemikir menyebut munculnya para penjahat dan pemburu kekuasaan seperti Hitler (1889–1945 M.) dan tragedi perang dunia kedua

p: 408


1- Friedrich Nietzsche, The Gay Science, diterjemahkan oleh Walter Kaufmann, hlm. 181–182 (No. 125).
2- J.P. Stren, Nietzsche, terjemahan Parsi oleh Izzatullah Fuladuvan, hlm. 13 (pengantar penulis).
3- Fredrich Nietzsche, Irādah Ma thuf be Qudrat, terjemahan Parsi oleh Muhammad Baqir Hushyar, hlm. 11 (mukadimah penerjemah).

sebagai konsekuensi yang tidak diinginkan darinya.(1) Bagaimanapun, dalam mengkaji pernyataan-pernyataan Neitzsche, ada baiknya memperhatikan beberapa poin ini sebagai berikut:

1. Pandangan Nietzsche merupakan reaksi dalam berhadapan dengan pandangan ekstrem kebanyakan golongan Kristen yang selalu menekankan iman tanpa rasionalitas serta ketaatan dan kepatuhan mutlak. Dan ketundukan dalam berhadapan dengan qadha dan qadar Ilahi mereka tafsirkan sedemikian rupa, di mana hal itu tidak akan berujung selain pada kebisuan (bungkam) dan kemalasan (lemah). Faktor ini sendiri sebagaimana telah dibahas dalam bagian dua buku ini, telah menggiring pula segolongan lainnya untuk menentang agama.

2. Pandangan moral Nietzsche, meskipun tampak memusuhi akal dan menyiksa hati, tidaklah kosong dari poin-poin yang patut direnungkan dan diambil sebagai pelajaran. Penegasan atas kemuliaan dan kehormatan manusia-yang dalam Islam banyak dipesankan tentangnya-adalah termasuk di antara poin-poin yang menguatkan pandangan ini. (2) Di samping itu, Nietzsche mengecam gereja dengan alasan menganjurkan pelenyapan insting-insting dan menyebut pengendalian atasnya sebagai cara yang benar:

Gereja-gereja dengan ketegasan penuh berperang dengan syahwat. Cara dan pengobatannya dari seorang lelaki adalah membuang atau mencampakkannya. Gereja sama sekali tidak akan bertanya bagaimana manusia dapat menjadikan keinginan atau kecenderungannya religius, indah dan bersifat malakut.

Bahkan sebaliknya, sistemnya senantiasa bertugas menghancurkan (pemujaan diri, keangkuhan, kekuasaan, dan kedengkian).

p: 409


1- Silakan lihat J.P. Stren, Nietzsche, hlm. 123 dan 128. Hitler menampakkan keterpengaruhannya dari pandangan Nietzsche dan teori Darwin dalam pernyataan-pernyataannya seperti ini: “Jika kita tidak menghormati hukum-hukum natural dan jika kita tidak mendesakkan kehendak (iradah) kita kepada yang lain dengan hukum sebagai yang paling kuat, akan datang suatu hari di mana binatang-binatang buas kembali mencabik-cabik kita dan ketika itu serangga- serangga pun akan memakan binatang-binatang tersebut dan tidak akan ada sesuatu yang tersisa di bumi keculi mikroba-mikroba" Abdul Karim Soroush, Dānesy wa Arzesh, hlm. 30, dinukil dari: Hitlers Table Talk.
2- Untuk membandingkan antara pandangan Islam dan pandangan Nietzsche, silakan lihat Murtadha Muthahhari, Insān Kāmil, hlm. 263-287.

Namun, menyerang akar syahwat, yakni menyerang akar kehidupan. Watak gereja adalah permusuhan dengan kehidupan.(1) 3. Sebagian pemikir menegaskan keterpengaruhan Nietzsche dari teori Darwin(2), dan mengatakan: "Dari pendapat Darwin, Nietzsche menerima usaha untuk tetap melangsungkan diri serta memaknainya sebagai pertarungan dan menganggap bahwa orang- orang mesti berada dalam kondisi pertengkaran (konflik) dan mengumpulkan kekuatan hingga dapat mendominasi."(3) Meskipun Nietzsche terkadang dengan keras menyerang teori Darwin dan bertumpu pada poin bahwa pilihan alam tidak menguntungkan "yang lebih kuat" dan "yang memiliki dasar lebih baik", melainkan apa yang sedang kita hadapi adalah "penghapusan contoh-contoh kebahagiaan",(4) tetapi terkadang guna menjustifikasi pandangan moralnya, ia mencari sandaran pada proses natural alam dan dengan mengisyaratkan bahwa pada alam, terdapat keberadaan- keberadaan lemah dan tak berdaya yang terinjak-injak dan membuka jalan perkembangan bagi yang memiliki daya dan kekuatan, berkata:

Kehidupan itu sendiri sama sekali tidak mengenal solidaritas dan "hak- hak kesetaraan" antara bagian-bagian benar (sehat) dan salah (sakit) dari satu organ: bagian yang sakit mesti dipisahkan atau seluruhnya akan lenyap. Simpati atau keprihatinan terhadap mereka yang sakit, hak-hak setara bagi mereka yang pijakan dasarnya lemah, hal ini adalah ketiadaan moral yang paling buruk; hal ini sendiri merupakan moralitas yang anti terhadap alam!"(5) Secara umum, orang-orang yang ingin membangun suatu sistem moral dengan memanfaatkan hukum-hukum natural (teori The Preservation of Favoured Races in the Struggle for Life Darwin dan

p: 410


1- Fredrich Nietzsche, Shamgah But-ha [Twilight of The Idols), hlm. 69.
2- Silakan lihat J.P. Stren, Nietzsche, hlm. 114 dan 183
3- Muhammad Ali Furugi, Sair Hikmat dar Urupa, hlm. 524.
4- Fredrich Nietzsche, Irādah Qudrat [The Will to Power), Qath-eh. 685. Begitu pula, silakan lihat Qath-eh 647,648, dan 684.
5- Fredrich Nietzsche, Irādah Qudrat, Qath-eh. 734.

relativitas Enstein),(1) akan dihadapkan dengan kritik mendasar bahwa alam yang tak bernyawa serta kosong dari motivasi tidak bisa menjadi dasar bagi moralitas—di mana di dalamnya, niat dan motivasi memiliki peran sentral-serta diajukan sebagai kriteria bagi kebaikan dan keburukan perbuatan-perbuatan: "Ruang lingkup hukum-hukum alam adalah ruang lingkup fenomena-fenomena yang bersifat determinis (jabri)"; dan ruang lingkup moralitas merupakan wilayah cakupan fenomena-fenomena yang bersifat pilihan dan ikhtiari. ... bahwa dalam sistem alam, yang lemah terinjak-injak, ... tidaklah dapat mewujudkan suatu sistem nilai moral bagi kita.(2) []

Kesimpulan

1. Sebagian orang menurunkan agama dan moralitas setara antara satu dengan lainnya, dan menyebut ibadah dan penghambaan tidak lain adalah bentuk pelayanan terhadap makhluk; segolongan lainnya menyatakan moralitas sebagai bagian dari agama dan sebagian lainnya, dari agama mereka masukkan ke dalam moralitas.

2. Kebutuhan moralitas kepada agama dapat dikaji dalam empat poros: a) Dalam definisi konsep-konsep; b) Dalam pembenaran proposisi-proposisi; c) Dalam penemuan proposisi-proposisi; d) Dalam kewujudan praktis (penyiapan jaminan realisasi).

3. Orang yang menyatakan bahwa definisi konsep-konsep moral (seperti baik dan buruk) tidak mungkin kecuali dengan menggunakan asumsi-asumsi keagamaan, sedapat mungkin menjadikan moralitas bergantung pada agama.

p: 411


1- Sebagian penulis, menyimpulkan relativitas moral dari teori relativitas Enstein-yang merupakan teori fisika serta mengingkari waktu dan ruang mutlak-dan mengatakan: "Teori Einstein sama sekali tidak memiliki pertentangan dengan sosiologi dan psikologi modern. Dengan menerima bahwa moralitas pun adalah relatif, maka tak perlu sia-sia mencari kemutlakan. Dengan bahu-membahu Ilmu-ilmu moralitas modern yang kokoh dapat dibangun. Moralitas ini, sebagaimana ilmu sekarang membuktikannya, mesti dipisahkan dari moralitas dunia kuno. Pengetahuan sekarang kontradiktif dengan moralitas yang memiliki dasar- dasar Ilahi dan abstraksi. Namun, bukan hanya tidak bertentangan dengan moralitas yang mempunyai dasar-dasar ilmiah yang kokoh, melainkan ia sendiri yang menyebabkan dan mewujudkannya” Mustafa Rahimi, Ya s Falsafi, hlm. 27. Begitu pula, silakan lihat Khudā dar Falsafah (Majmu' Maqalāt), terjemahan Persia oleh Bahauddin Khurramsyahi, hlm.183.
2- Muhammad Taqi Misbah Yazdi, Durūs Falsafah Akhlāg, hlm. 77.

4. Segolongan di antara kaum agamawan menyebut kebaikan dan keburukan perbuatan-perbuatan memiliki akar ketuhanan (Ilahi) dan berkeyakinan bahwa sesuatu yang menjadikan suatu perbuatan baik dan buruk, bukan tipologi esensial dan bersifat internal, melainkan titah dan larangan Ilahi.

5. Menurut kami, kebaikan dan keburukan perbuatan-perbuatan adalah esensial. Walaupun demikian, guna memahami kebaikan dan keburukan kebanyakan di antara perbuatan-perbuatan perlu kepada doktrin-doktrin religius.

6. Di samping itu, agama termasuk pula sebagai jaminan realisasi bagi moralitas. Apa yang secara praktis mewujudkan perilaku moral yang baik dalam masyarakat adalah kepercayaan terhadap Tuhan yang mengetahui kondisi-kondisi hamba-hamba-Nya dan berdasarkan keadilan memberi ganjaran pahala kepada orang- orang yang berbuat baik serta menghukum orang-orang yang berbuat buruk.

7. Moralitas, di samping memperoleh bantuan dari agama, juga termasuk pelayan atau pembantunya (pembantu agama). Sebagai contoh, kepemilikan para pemimpin agama atas moralitas yang mulia, mempunyai peran yang tak tergantikan dan tak dapat diingkari dalam menyebarkan agama.

8. Para pemikir Barat, guna membuktikan wujud Tuhan memanfaatkan pula suatu argumen yang bersifat moral, di mana ia sendiri mempunyai ulasan-ulasan beragam.

9. Terdapat dua golongan yang menganggap agama dan moralitas tidak selaras antara satu dengan lainnya: kaum ateis yang dengan menyebutkan kekurangan-kekurangan etika religius cenderung kepada etika sekuler; dan kaum fideis yang menyatakan agama lebih tinggi atau lebih luas dari moralitas.

10. Para pendukung etika sekuler menyebutkan kekurangan- kekurangan etika religius seperti ini: A) Proposisi-proposisi religius adalah anti rasionalitas atau menghindari akal; dari sisi ini, moralitas tidak boleh dibangun berlandaskan dasar-dasar ini.

B) Jika Tuhan jauh sebelumnya telah mengetahui segala sesuatu,

p: 412

tempat bagi ikhtiar manusia dan pada kesimpulannya moralitas, tidak lagi tersisa. C) Agama-agama Ilahi dengan bertumpu pada harapan atas surga atau takut dari neraka, menawarkan suatu moralitas yang sifatnya mencari kemaslahatan serta bersifat dagangan. D) Agama-berlawanan dengan proses normal alam- tidak menerima perubahan moralitas dan menegaskan konstannya kaidah-kaidah moral. E) Agama Ilahi tidak mengindahkan kehormatan manusia, karena meletakkan perbedaan antara kaum beriman dan selain mereka dan menyebut Tuhan bebas untuk mengeluarkan perintah apa pun. F). Agama-agama dengan mendorong orang-orang kepada karakter-karakter seperti humanis (mencintai sesama manusia), pemurah dan pengasih, patuh dan berserah diri, mengembangkan moralitas yang mengekang kepribadian sejati manusia serta mencegahnya untuk berkembang.

Pertanyaan

1. Sebagian dengan menggunakan dua kriteria "dapat diderivasikan" dan "kesesuaian" membagi hubungan agama dan moralitas ke dalam enam bentuk perkiraan. Jelaskanlah keenam estimasi ini! 2. Dengan menyebutkan keempat kriteria-kriteria kebutuhan moralitas terhadap agama, tunjukkanlah bagaimana pembahasan- pembahasan semacam ini terbatas ke dalam empat bagian ini! 3. Kalimat "perbuatan baik ialah apa yang diinginkan Tuhan" jika dijelaskan dengan apa yang ada dalam tingkatan konsepsi atau tashawwur (definisi konsep kebaikan) atau tashdiq (bagaimana tetapnya sifat baik bagi satu perbuatan), akan menemukan dua makna yang berbeda. Jelaskanlah kedua makna ini! 4. Apa yang dimaksud dengan teori titah Ilahi dan apa hubungannya dengan pandangan baik dan buruknya perbuatan-perbuatan secara syar'i? 5. Dengan mengisyaratkan makna dari "fallasi penyimpulan harus dari ada", Jelaskan bagaimana orang-orang menyebut teori titah Ilahi terpenjara dalam fallasi ini!

p: 413

6. Apa maksud dari pernyataan berikut: "Keharusan-keharusan adalah penjelasan dari kemestian komparatif antara suatu perbuatan dengan tujuannya"? 7. Apakah penerimaan kebaikan dan keburukan esensial perbuatan- perbuatan bermakna bahwa kita menyebut akal mandiri dalam mempersepsi kebaikan dan keburukan semua perbuatan- perbuatan? Mengapa? 8. Apa maksud dari pernyataan ini, "agama merupakan jaminan realisasi moralitas"? Apakah dapat dikatakan bahwa jika Tuhan tak ada, maka segala perbuatan dibolehkan? 9. Kemukakanlah ulasan argumen moral pembuktian wujud Tuhan dan tulislah pendapat Anda tentangnya! 10. Apakah semua orang-orang yang menyebut agama dan moralitas tidak selaras antara satu dengan lainnya adalah ateis? Jelaskan! 11. Apa maksud dari orang yang menyatakan bahwa ilmu primordial Ilahi adalah perusak moralitas? Kajilah pandangan ini! 12. Dengan mengisyaratkan makna etika deontologis Kantian, jelaskanlah apa hubungan pandangan ini dengan etika religius! 13. Bagaimana kaum relativis melakukan kritik terhadap etika religius? Tulislah salah satu di antara kritik-kritik kaum relativis moral! 14. Dalil apakah yang dimiliki orang-orang yang menuduh etika religius sebagai pengabaian atas kehormatan manusia? Lakukanlah kritik terhadap dalil-dalil mereka! 15. Apakah pandangan moral Nietzsche bisa dikatakan terpengaruh oleh pandangan ekologis Darwin? Jelaskan!

p: 414

DAFTAR PUSTAKA

A. Persia Abercrombi, Nicholas et. al., Farhang-e Jāme'-e Syināsi, Terjemahan Parsi oleh Hasan Puwian, Teheran: Intisyarat Capkhash, 1367 S.

Agha Bakshi, Ali dan Mina Afshary Rad, Farhangg 'Ulūm Siyāsi, Teheran: Nasyr Chapar, 1379 S.

Agner, Robert, Barguzideh Afkār Russell, Terjemahan Parsi oleh Abdurrahim Ghowahi, Naqd wa Barrasi az Muhammad Taqi Ja'fari, Teheran: Daftar Nasyr Farhange Islami, Cetakan Ketiga, 1374 S.

Ahmadi, Ahmad, Hast wa Bāyad, Teheran, Muassasa Tause'e Danesy wa Pazyuhesy Iran, 1380 S.

-,Pād Zahr (Dar Daf e Inkār Nuzūl Wahy), Qum, Intisyarat Zulal Kautsar, 1381 S.

_, "Huqûq Basyar wa Dharurat Ihtirām beh Muqaddasāt", dalam: Fiqh wa Huqûq Tathbiqi, Teheran, Samt, 1387 S, hlm.

12–18.

, "Aql wa Rābitha Ān bā Dīn wa Irfān", dalam: 'Ulūm Siyāsi, No. 10, Payis 1379 S, hlm. 227–238.

Ali Zamani, Amir Abbas, Khudā, Zabān wa Ma'na, Qum: Anjuman Ma`arif Islami Iran, 1381 S.

., Zabān Dīn, Qum: Daftar Tablighat Islami, 1375 S.

Alders, Leo, Ilahiyyāt Falsafi Thomas Aquinas (Philosophical Theology of Thomas Aquinas), Terjemahan Persia oleh Syahabuddin Abbasi, Teheran: Wizarat Farhang wa Irsyad Islami, 1381 S.

Alston, William et. al., Dīn wa Cesymandozhā Nū', Terjemahan Parsi oleh Gulam Muhsin Tawakkuli, Qum: Daftar Tabligat Islami, 1376 S.

Alston, William, "Burhān Hadaf Syenākhti" (Teleological Argument), dalam: Khudā Dar Falsafah, Terjemahan Parsi oleh Bahauddin Khurram syahi, Teheran: Muassasah Muthala'at wa Tahqiqat Farhangi, 1370 S, hlm. 77–93.

p: 415

- , "Dīn", dalam: Dīn wa Cesymandāz hā-e Nū, Terjemahan Parsi oleh Gulam Muhsin Tawakkuli, Qum: Daftar Tablighat Islami, 1376 S, hlm. 19–38.

Arbelaster, Anthony, Zuhur va Suqute Liberalisme Garb (Rise and Decline of Liberalisme in the West), Terjemahan Parsi oleh Abbas Mukhber, Teheran: Nasyr Markaz, 1367 S.

Aristoteles, Thabi`iyyāt (Ghuzideh), Terjemahan Parsi oleh Mahdi Farshad, Teheran: Intisyarat Amir Kabir, 1363 S.

, Metafisik (Mā ba`da al-Thabī'ah), Terjemahan Parsi oleh Syarafuddin Khurasani, Teheran: Intisyarat Hikmat, 1377 S.

Aron, Raymond, Marāhele Asāsi-e Andisyeh Dar Jāmi'ah Syināsi (Main Currents of in Sociological Thought), Terjemahan Parsi oleh Baqir Parham, Teheran: Intisyarat wa Amuzesy Ingilab Islami, Cetakan Kedua, 1370 S.

Ashlan, Adnan, "Adyān wa Mafhum Dzat Ghāi-Mushāhibah John Hick wa Sayid Husein Nahr" Terjemahan Parsi oleh Ahmad Ridha Jalili, dalam: Ma`rifat, No. 23, Zemistan 1376, hlm. 70–79.

Ashuri, Dariyush, Farhangg 'Ulūm Insāni, Teheran: Nasyr Markaz, Cetakan Ketiga, 1381 S.

_,Dānesy Nāme Siyāsi, Teheran: Intisyarat Suhrawardi wa Marwarid, 1366 S.

Astiyani, Mirza Mahdi, Ta‘liq bar Syarh Manzumah Hikmat Sabzewāri, Teheran: Intisyarat-Danesygah Teheran, Cetakan Ketiga, 1372 S.

Augustine, I'tirāfāt (Confessions), Terjemahan Parsi oleh Sayid Maitsami, Teheran: Daftar Pazyuhesy wa Nasyr Suhrawardi, Editan Kedua, 1381 S.

Ayasi , Muhammad Ali, Qur'ān wa Farhang Zamāni, Rasht, Intisyarat Kitab Mubin, 1378 S.

Azadegan, Jamsyid, Adyān Ibtidāi (Tahkik dar Tomism), Teheran: Mirats Milal, 1372 S.

Azarbaijani, Mas`ud dan Mahdi Musawi Asl, Dar Āmadi bar Rawan Syināsi Dīn, Teheran dan Qum: Samt dan Pazyuhesygah Hauzah wa Danesygah, 1385 S.

Bahmanyar bin Marzban, al-Tahshil, Diedit oleh Murtadha Muthahhari, Teheran: Intisyarat Danesygah Teheran, 1349 S.

p: 416

Barbier, Maurice, Dīn wa Siyāsat dar Andisyeh Modern, Terjemahan Parsi oleh Amir Ridhai, Teheran: Qashide Sara, 1384 S.

Barbour, Ian, 'Ilm wa Dīn (Science and Religon), Terjemahan Parsi oleh Bahauddin Khurramsyahi, Teheran: Markaz Nasyr Danesygahi, 1362 S.

Barn, Lucilla, Usturehā Yunāni (Greek Myths), Terjemahan Parsi oleh Abbas Mukhber, Teheran: Nasyr Markaz, 1375 S.

Bartley, William, Akhlāq wa Dīn (Morality and Religion), Translasi dan Annotasi oleh Zahra Khazai, Thesis Danesykade Tarbiyat Mudarris Danesygah Qum, 1373 S.

Bates, Daniel and Plog, Insān Syināsi Farhangi (Cultural Anthropology).

Terjemahan Parsi oleh Muhsin Tsulasi, Teheran: Intisyarat 'Ilm, Cetakan Kedua, 1382 S.

Bazargan, Mahdi, Akhirat wa Khudā-Hadaf Bitsat Anbiyā, Teheran:

Muassasah Khadamat Farhang Ridha, 1377 S.

Beheshty, Ahmad, "Haq wa Taklif",dalam: Kitāb Naqd, No. 1, Teheran:

Muassasa Farhangg Andisyeh Ma'ashir, 1375 S, hlm. 28–54.

Berger, Peter, "Bar Khilāfe Jaryān: Naqd Nazhariyah Sekular Syudan", Terjemahan Parsi oleh Sayyid Husain Saraj Zadeh, dalam: Chalesyhā Dīn wa Modernite, Teheran: Tharhe Nu, 1383 S, hlm. 42–56.

Biruni, Abu Rayhan, Tahqiq Mā Lil Hind, Terjemahan Parsi oleh Manucer Shaduqi Saha, Teheran: Muassasah Mothala'at wa Tahqiqat Farhangi, 1362 S.

Bordeau, George, Liberalism, Terjemahan Parsi oleh Abdul Wahab Ahmadi, Teheran: Nasyr Ney, 1378 S.

Boethius, Tasalla Falsafah (Consolation of Philosophy), Terjemahan Parsi oleh Sayeh Maitsami, Teheran: Negahe Ma'ashir, 1385 S.

Boltmann, Rudolf, Masih wa Asāthir, Terjemahan Parsi oleh Masud Uliya, Teheran: Nasyr Markaz, Cetakan Kedua, 1385 S.

Borujerdi, Mehrzad, "Aya Mitawãn Islãm ra Urfi kard?", Terjemahan Parsi oleh Ali Shadiq Zadeh, dalam: Kiyān, No. 49, Mehr wa Azar 1378 S, hlm. 40–44.

Bottimore, T.B., Jāmi'ah Syināsi (Sociology) ,Terjemahan Parsi oleh Hasan Manshur dan Hasan Husaini Kaljahi, Teheran: Amir Kabir, Cetakan Keempat, 1370 S.

p: 417

Brehier, Emile, Tārikh Falsafah [History of Philosophy], Terjemahan Parsi oleh Ali Murad Dawudi, Teheran: Markaz Nasyr Danesygah, 1374 S.

Brijanian, Mary, Farhangg Isthilahāt Falsafah wa 'Ulum Ijtimāi, Teheran:

Pazuhesygah Ulum Islami wa Mothala'at Farhangi, Cetakan Ketiga, 1381 S.

Brown, Collin, Falsafah wa Imān Masihi [Philosophy and Christian Faith), Terjemahan Parsi oleh Thathawur Mikailian, Teheran: Syarkat Intisyarat 'Ilm wa Farhangi, 1375 S.

Carrel, Alexis, Majmu'e Ātsar wa Afkār (Rah wa Rasm Zendegi), Terjemahan Parsi oleh Parvis Dabiri, Isfahan: Nasyr Nahid, Tanpa Tahun.

Cassirer, Ernest, Falsafah Raushangary [The Philosophy of The Enlightenment), Terjemahan Parsi oleh Yadullah Muwaqqan, Teheran: Intisyarat Nelufar, 1370 S.

Clover Monsema, John Hick (Ed.), Itsbāt Wujūd Khudā (Majmu' Maqālāt) (The Evidence of God in an Expanding Universe), Terjemahan Parsi oleh Ahmad Aram et al, Teheran: Sazeman-e Intisyarat wa Amuzesy Inqilabe Islami, Cetakan Kelima, 1362 S.

Copleston, Freiderick, Tārikh Falsafah [A History of Civilization), jil. 1, Terjemahan Parsi oleh Sayyid Jalaluddin Mujtabawi, Teheran:

Intisyarat Soroush va 'Ilm va Farhangi, kedua, 1368 S.

, Tārikh Falsafah [A History of Civilization), jil. 4, Terjemahan Parsi oleh Ghulamridha Awani, Teheran:

Intisyarat Soroush wa 'Ilmi wa Farhangi, 1380 S.

-, Tārikh Falsafah [A History of Civilization), jil. 6, Terjemahan Parsi oleh Ismail Saadat dan Manucer Buzurgmehr, Teheran:

Intisyarat Soroush wa 'Ilmi wa Farhangi, 1373 S.

- Tārikh Falsafah [A History of Civilization), jil. 7, Terjemahan Parsi oleh Dariyus Ashuri, Teheran: Syarkat Intisyarat Soroush wa 'Ilm wa Farhangi, 1367 S.

Danteh Aligheiri, Kamedy Ilahi [Divine Comedy], Terjemahan Parsi oleh Sujauddin Syifa, Teheran: Amir Kabir, Cetakan Kedelapan, 1378 S.

Daryabandari, Najaf, Dard bi Khuyashtani (Barrasi Mafhum Alienasion dar Falsafah Gharb), Teheran: Nasyr Parwaz, 1369 S.

p: 418

Davies, Tony, Umanism [Humanism], Terjemahan Parsi oleh Abbas Mohber, Teheran: Nasyr Markaz, 1378 S.

Davis, Brian, Dar Āmadi be Falsafah Dīn (An Introduction to Philosophy of Religion], Terjemahan Parsi oleh Maliheh Saberi, Teheran:

Markaz Nasyr Danesygah, 1378 S.

Descartes, Rene, Ta'ammulāt dar Falsafah Awwali [Meditations on First Philosophy], Terjemahan Parsi oleh Ahmad Ahmadi, Teheran:

Samt, Cetakan Ketiga, 1381 S.

Donovan, Peter, "Ahamiyate Tarjeme Zabān Majāzi dar Dīn", dalam:

Justar-hāi dar Falsafah Dīn, Terjemahan Parsi oleh Murtadha Fathi Zadeh, Qum: Intisyarat Isyraq, 1380 S, hlm. 73-90.

Dovaskieh, Rajeh, Sar Guzasyt Islām wa Sarnewesyt Insān, Terjemahan Parsi oleh Ali Akbar Kasmai, Teheran: Intisyarat Farjam, Cetakan Kedua, 1374 S.

Durant, Will, Tārikh Tamaddun [History of Civilization), jil. 1, Terjemahan Parsi oleh Ahmad Aram et. al., Teheran: Intisyarat wa Amuzesy Inqilab Islami, Cetakan Ketiga, 1370 S.

_, Tārikh Tamaddun [History of Civilization), jil. 4, Terjemahan Parsi oleh Abul Qasim Thahiri, Teheran: Intisyarat wa Amuzesy Inqilab Islami, Cetakan Ketiga, 1371 S.

-, Tārikh Tamaddun [History of Civilization), jil.6, Terjemahan Parsi oleh Fereidun Badri et. al., Teheran: Intisyarat wa Amuzesy Inqilab Islami, Cetakan Ketiga, 1371 S.

, Lazzat Falsafah [The Pleasures of Philosophy], Terjemahan Parsi oleh Abbas Zaryab Khui, Teheran: Sazeman Intisyarat wa Amuzesy Inqilab Islami, Cetakan Kelima, 1369 S.

Durant, Will dan Arill, Dars-hā Tārikh [Lessons of History], Terjemahan Parsi oleh Ahmad Bathhai, Tanpa Tempat: Tanpa Tahun.

Durkheim, Emile, Shuwar Bunyāni Hayat Dini Dīni [The Elementary Forms of Religious Life], Terjemahan Parsi oleh Baqir Parham, Teheran: Nasyr Markaz, 1383 S.

Edwards, Paul, "Burhānhā Ijmā Ām" [Common Consent Arguments], dalam: Khudā dar Falsafah, Terjemahan Parsi oleh Bahauddin Khurramsyahi, Teheran: Muassasah Muthala'at wa Tahqiqat Farhangi, 1370 S, hlm. 131–161.

p: 419

Fa'ali, Muhammad Taqi, Tajrubah Dīni wa Mukasyafah Irfāni, Teheran:

Muassasah Farhangi-e Danesy wa Andisyeh Moasher, 1380 S.

Fahruddin Razi, Muhammad bin Umar, al-Barāhin dar 'Ilm Kalām, Teheran: Intisyarat Danesygahe Teheran, 1341 S.

Fanai, Abul Qasim, Dar Amadi bar Falsafah Dīn wa Kalām Jadid, Qum:

Intisyarat Isyraq, 1375 S.

Fanai Isykawari, Muhammad, Ma`rifat Syināsi Dīnī, Teheran: Intisyarat Barg, 1374 S.

Fanari, Muhammad bin Hamzah, Mishbāh al-Uns, Terjemahan Parsi oleh Muhammad Khajui, Teheran: Intisyarat Maula, Cetakan Kedua, 1384 S.

Faramarz Qaramlaki, Ahad, Hendese Ma`rifati Kalām Jadid, Teheran:

Muassasah Farhanggi Danesy wa Andisyeh Ma'ashir, 1378 S.

Farasatkhah, Maqsud, Dīn wa Jāmiah, Teheran: Syarkat Sahami Intisyar, 1377 S.

_, Zaban Quran, Teheran: Syarkat Intisyarat Ilmi wa Farhangi, 1376 S.

Fashihi, Amanullah, Kārkard-ha Dīn dar Jāmi'ah Sunnati wa Modern, Pāyān Nāmeh Karsyināsi Arsyad, Markaz Jahani Ulum Islami, 1385 S.

Fath Ali, Mahmud et. al., "Nisbat Din wa Akhlāq" Iqtirah-Nazhar Khāhi az Mahmud Fath Ali, Hadi Shadiqi, Hasan Muallimi, dalam Qabasūt, No. 13, Paiz 1378 S, hlm. 2–29.

Feluthin (Plotinus), Dore Ātsar Feluthin, Terjemahan Parsi oleh Muhammad Hasan Lutfi, Teheran: Syarkat Sahami Intisyarat Kharazmi, 1366 S.

Fergusan, David, Rudolf Boltmann, Terjemahan Parsi oleh Insayaallah Rahmati, Teheran: Gam Nu, 1382 S.

Feurbach, Ludwig, "Khudawānd be Mutsābeh Farāfkani Zehne Basyari" [God" Was Actually Only A Human Projection), dalam: John Hick (Ed.), Itsbāte Wujūd Khudāwand, Terjemahan Parsi oleh Abdurrahim Ghowahi, Teheran: Daftare Nasyr Farhang Islami, 1381 S, hlm. 233-248.

Foulquié, Paul, Falsafah Umumi ya Mā Ba`datthabiat [Treatise on Metaphysic), Terjemahan Parsi oleh Yahya Mahdawi, Teheran:

Intisyarat Danesygah Teheran, Cetakan Keempat, 1370 S.

p: 420

Franka, William Key, Falsafah Akhlāg, Terjemahan Parsi oleh Hadi Shadiqi, Qum: Thaha, 1376 S.

Freemantle, Anne, Ashr I'tiqād [The Age of Belief], Terjemahan Parsi oleh Ahmad Karimi, Teheran: Amir Kabir, 1345 S.

Freud, Sigmund, Panj Guftār az Sigmund Freud, Terjemahan Parsi oleh Haura Rahbari, Teheran: Gam-e Nu, 1383 S.

, "Pish dar Āmadi bar Khudsiftegi" [Studies on Hysteria], Terjemahan Parsi oleh Husain Payandeh, dalam: Arganun, No.

21, Bahar 1382 S, hlm. 153-183.

, Tajzieh wa Tahlil Rawāni Jinsi, Transalasi dan Annotasi oleh Ali Dasytestani, Teheran: Kitabkhane Markazi, Tanpa tahun.

_, Tamaddun wa Malālat-hāe Ān [Civilization and Its Discontens], Terjemahan Parsi oleh Muhammad Mubsheri, Teheran: Nasyr Mahi, 1382 S.

_, Totem wa Tabo [Totem and Taboo], Terjemahan Parsi oleh Irajpur Baqir, Teheran: Intisyarat Asia, 1362 S.

"Ruūse Nazhariye Rawānkāwi" [An Outline of Psychoanalysis], Terjemahan Parsi oleh Husain Payandeh, dalam: Arganun, No. 22, Payiz 1382 S, hlm. 1-73.

, Rawānkāwi, Terjemahan Parsi oleh Nashiruddin Shahibuzzaman, Teheran: Muassasah Mathbuati Athai, Cetakan Keempat, 1344 S.

, Mafhume Sādeh Rawānkāwi, Terjemahan Parsi oleh Farid Jawahirul Kalam, Teheran: Intisyarat Marwarid, Cetakan Kelima, 1368 S.

, Muhimtarin Guzaresh-hā Āmuzesyi Tārikh Rawānkāwi, Penyusun dan Penerjemah: Said Suja Shefti, Teheran: Intisyarat Qaqnos, 1379 S.

Fromm, Erich, Insān Barāye Khistān (Pazyuhesyi dar Rawān Syināsi Akhlāq) (Man for Himself), Terjemahan Parsi oleh Akbar Tabrizi, Teheran: Intisyarat Bahjat, 1370 S.

-, Buhrān-e Rawānkāwi [Crisis of Psychoanalysis], Terjemahan Parsi oleh Akbar Tabrizi, Teheran: Intisyarat Firoze, Cetakan Keenam, 1383 S.

p: 421

Risālat Sigmund Freud [Treatise on Sigmund Freud], Terjemahan Parsi oleh Farid Jawahirul Kalam, Teheran:

Syarkat Sahami Kitabha Jibi, Cetakan Kedua, 1354 S.

., Rawānkāwi wa Dīn [Psychoanalysis and Religion], Terjemahan Parsi oleh Arsan Nazarian, Teheran: Intisyarat Puweish, Cetakan Kelima, 1363 S.

Furugi, Muhammad Ali, Sair Hikmat dar Urupa, Diedit oleh Amir Jalaluddin A'lam, Teheran: Nasyr al-Burz, 1375 S.

Geisler, Norman, Falsafah Dīn [Philosophy of Religion], Terjemahan Parsi oleh Hamid Ridha Ayatullahi, Teheran: Hikmat, 1375 S.

Ghazali, Muhammad, Kimiyā Sa'ādat, Mukaddimah: Muhammad Abbasi, Teheran; Intisyarat Thulu wa Zarrin, 1361 S.

Giddens, Anthony, Jāmiah Syināsi [Sociology], Terjemahan Parsi oleh Manucehr Shaburi, Teheran: Nasyr Ney, 1377 S.

Gilson, Etienne, Khudā wa Falsafah [God and Philosophy], Terjemahan Parsi oleh Syahram Pazuki, Teheran: Intisyarat Haqiqat, 1374 S.

-, 'Agl wa Wahy dar Qurun Wusthā [Reason and Revelation in the Middle Ages] Terjemahan Parsi oleh Syahram Pazuki, Teheran:

Muassasah Muthala'at wa Tahqiqat Farhangi, 1371 S.

- Mabāni Falsafah Masihiyat, Terjemahan Parsi oleh Muhammad Muhammad Ridhai dan Mahmud Musawi, Qum:

Daftar Tablighat Islami, 1375 S.

, Naqd Tafakkure Falsafi Gharb, Terjemahan Parsi oleh Ahmad Ahmadi, Teheran: Hikmat, Cetakan Kelima, 1377 S.

Guenon, Rene, Sait hari Kamiyat wa 'Alāim Akhiruzzamān [The Reign of Quantity and the Signs of the Times], Terjemahan Parsi oleh Ali Muhammad Kardan, Teheran: Markaz Nasyr Danesygah, Cetakan Kedua, 1365 S.

Haeri Yazdi, Mahdi, Kawūsh-hā "Aql 'Amali, Teheran: Muassasah Muthala'at wa Tahqiqat Farhangi, 1361 S.

, Kāwush-ha "Aql Nazhari, Teheran: Intisyarat Danesygah Teheran, 1347 S.

Hakikat, Abdurrafi", Tārikhe Irfān wa 'ārifān-e Irāni, Teheran: Intisyarat Kumesh, Cetakan Kedua, 1372 S.

Hamadani, Muhammad bin Mahmud, 'Ajāib Nāmeh, Diedit oleh Ja'far Mudarris Shadiqi, Teheran: Nasyr Markaz, 1375 S.

p: 422

Hamilton, Malcolm, Jāmi'ah Syināsi Dīn, Terjemahan Parsi oleh Muhsin Tsulasi, Teheran: Muassasah Farhangi Intisyarati-e Tebyan, 1377 S.

Hans J. Eysenk, Upul-e Emperaturi-e Freudi [Decline and Fall of the Freudian], Terjemahan Parsi oleh Yusuf Karami, Teheran, Samt, 1379 S.

Hartnak, Justus, Wittgenstein, Terjemahan Parsi oleh Manucehr Buzurgmehr, Teheran: Khawarazmi, Cetakan Kedua, 1356 S.

Hasan Zadeh Amuli, Hasan, Qur'ān wa 'Irfān wa Burhān az Ham Judāi Nadārand, Teheran: Muassasah Muthala'at wa Tahqiqat Farhangi, 1370 S.

Hegel, George Wilhelm Freidrich, Istiqrāre Syariat dar Madzhab Masih, Terjemahan Parsi oleh Baqir Parham, Teheran: Muassasah Intisyarat Agah, 1369 S.

Hepburne, Ronald, "Burhān Jahān Syenākhti" [Cosmological Argument], dalam: Khudā dar Falsafah (Majmu'e Maqūlāt), Terjemahan Parsi oleh Bahauddin Khurramsyahi, Teheran: Muassasah Muthala'at wa Tahqiqat Farhangi, 1370 S, hlm. 55-76.

L"Burhān-hā Tajrubah Dīni" [Religious Experience Arguments], dalam: Khudā dar Falsafah (Majmu'e Maqālāt), Terjemahan Parsi oleh Bahauddin Khurram shahi (Teheran:

Muassasah Muthala'at wa Tahqiqat Farhangi, 1370 S.), hlm.111- 129.

Hick, John, "Burhān Wujūdi", dalam: Khuda dar Falsafah, Terjemahan Parsi oleh Bahauddin Khurram syahi, Teheran: Muassasah Muthala'at wa Tahqiqat Farhangi, 1370 S, hlm. 41-53.

-, Falsafah Dīn [Philosophy of Religion], Terjemahan Parsi oleh Behzad Saleki, Teheran: Intisyarat Bainal Milal al-Huda, 1376 S.

_, Mabāhits Pluralism Dini [Problems of Religious Pluralism], Terjemahan Parsi oleh Abdurrahim Ghowahi, Teheran:

Muassasah Farhangi Entesharati-e Tebyan, 1378 S.

, (Editor), Itsbāt Wujūd Khudāwand [The Existence of God], Terjemahan Parsi oleh Abdurrahim Ghowahi, Teheran: Daftare Nasyr Farhang Islami, 1382 S.

Hijarian, Said, Az Syahid Qudsi tā Syahid Bāzāri ('Urfi Syudan Dīn dar Sepahr Siyāsat), Teheran: Tharhe Nu, 1380 S.

p: 423

Hordern, William, Rāhnamā Ilahiyyat Protestan [Guide to Protestant Theology], Terjemahan Parsi oleh Thathahvus Mikailiyan, Teheran: Syarkat Intisyarat Ilmi wa Farhangi, 1368 S.

Hospers, John, Falsafah Dīn (Naqdi bar Barāhin Wujūd Khudā be Rawesy Tahlil Falsafi), Terjemahan Parsi oleh Nasir, Qum: Markaz Muthala'at wa Tahqiqat Daftar Tabligat Islami, Tanpa Tahun.

_, Dar Amadi bar Tahlil Falsafi, Terjemahan Parsi oleh Musa Akrami, Teheran: Tharhe Nu, 1379 S.

Hubbling, H. J., "Mafāhim wa Masāil Falsafah Dīn", Terjemahan Parsi oleh Hamid Ridha Ayatullahi, dalam: Qabāsāt, No. 2, Zemestan 1375 S, hlm. 68-73.

Hume, David, Tārīkh Thabi'i Dīn [The Natural History of Religion] Terjemahan Parsi oleh Hamid Inayat, Teheran: Intisyarat Khawarazmi, Cetakan Kedua, 1386 S.

-, Tahqiq darbāre Fahm Insāni [Enquiry Concerning Human Understanding], Terjemahan Parsi oleh Manucehr Buzurgmehr, dalam: Falsafah Nazhari, Teheran: Markaz Intisyarat Ilmi wa Farhangi, Cetakan Ketiga, 1362 S, jil. 2, hlm. 113-204.

Hume, Robert, Adyān Zende Jahān [The World's Living Religion), Terjemahan Parsi oleh Abdurrahim Ghowahi, Teheran: Daftar Nasyr Farhang Islami, 1369 S.

Husaini, Sayyid Hasan, Pluralism Dīni ya Pluralism dar Din, Teheran:

Soroush, 1382 S.

Ibn Arabi, Muhyiddin, Tarjumān al-Asywāg, S. R. Nicholson, Terjemahan Parsi oleh Gul Baba Saidi, Teheran, Intisyarat Ruzaneh, 1377 S.

Ibn Khaldun, Abdurrahman bin Muhammad, Muqaddimah Ibn Khaldun, Terjemahan Parsi oleh Muhammad Parwin Gunabadi, Teheran, Syarkat Intisyarat Ilmi wa Farhangi, Cetakan Ketujuh, 1369 S.

Ibn Tufail, Zende Bidar (Hayyu bin Yaqzan), Terjemahan Parsi oleh Badiuzzaman Furuzanfar, Teheran: Banggah Tarjamah wa Nasyr Kitab, Cetakan Keempat, 1360 S.

Ibrahim Dinani, Gulam Muhsin, Asmā wa Shifāt Haq, Teheran, Intisyarat Ahl Qalam, 1375 S.

p: 424

Jacky, Stanly I. , "Ilm wa Dīn" [Science and Religion], dalam: Dīn Pazyuhi, Terjemahan Parsi oleh Bahauddin Khurramsyahi, Teheran:

Muassasah Muthala'at wa Tahqiqat Farhangi, 1372 S, hlm. 425—460.

Jalili, Sayyid Hidayat, "Wahy dar ham Zabāni ba Bashar wa ham Lisāni ba Qaum", dalam: Kiyān, No. 23, Bahman wa Isfand 1373 S, hlm. 37–44.

James, William, Din wa Rawān [Religion and Psychology], Terjemahan Parsi oleh Mahdi Qaini, Teheran: Intisyarat wa Amuzesy Inqilab Islami, 1372 S.

Jawadi Amuli, Abdullah, Awā Tawhid (Syarh Nāme Imām Khomeini be Gorbacev), Teheran: Muassasah Tanzim wa Nasyr Atsar Imam Khomeini, Cetakan Kelima, 1373 S.

, Intizhār Basyar az Dīn, Tahkik: Muhammad Ridha Mustafa Pur, Qum: Isra", 1380 S.

- , Tabyīne Barāhin Itsbāt Khudā, Qum: Isra", Cetakan Kedua, 1375 S.

, Tasnim, Qum: Isra", 1378 S.

, Haq wa Taklif dar Islām, Qum: Esra", Cetakan Kedua, 1385 S.

, Din Syināsi, Riset oleh Muhammad Ridha Mustafa Pur, Qum: Isra", 1381 S.

_,Syariat dar Āinah Marifat, Qum: Markaz Nasyr Farhangi-e Raja", Cetakan Kedua, 1373 S.

Falsafah Huqûq Basyar, Qum: Isra", 1375 S.

, (Dah Maqāleh Pairamun) Mabdā wa Ma'ād, Bija:

Intisyarat Al Zahra, Cetakan Ketiga, 1372 S.

| Nisbat Din wa Dunyā (Barrasi wa Naqd Nazhariyahe Sekularism), Qum: Isra", 1381 S.

_, Wilāyat Faqih-Wilāyat Faqāhat wa 'Adālat, Qum:

Isra", 1378 S.

Jawadi, Muhsin, Masa'lah Bāyad wa Hast, Qum: Daftar Tablighat Islami, 1375 S.

Jung, Carel Gustav, Rawān Syināsi wa Din [Psychology and Religon), Terjemahan Parsi oleh Fuad Ruhani, Teheran: Syarkat Sahami Kitabha Jibi, Cetakan Ketiga, 1370 S.

p: 425

Kant, Immanuel, Dars-hā Falsafah Akhlāq [Lessons of Moral Philosophy] ,Terjemahan Parsi oleh Manucehr Shanei Darrebidi, Teheran:

Intisyarat Naqsh wa Negar, 1378 S.

Kenik, Samuel, Jāmiah Syināsi [Sociology], Terjemahan Parsi oleh Moshfeq Hamadani, Teheran: Kitabhae Simurgh, 1355 S.

Khandan, Ali Asgar, Mughalat hāt, Qum: Daftar Tabligat Islami, 1380 S.

Khansari, Jamaluddin Muhammad, Syarh Ghurar wa Durar, Teheran:

Intisyarat Danesygah Teheran, Cetakan Keempat, 1373 S.

Khomeini (Imam), Ruhullah, Ādāb al-Shalat, Teheran: Muassasah Tanzim wa Nasyr Atsar Imam Khomeini, 1370 S.

-, Syarh Cihil Hadits, Teheran: Muassasah Tanzim wa Nasyr Atsar Imam Khomeini, Cetakan Keempat, 1373 S.

Syarh Hadits Junūd Aql wa Jahl, Teheran:

Muassasah Tanzim wa Nasyr Atsar Imam Khomeini, 1377 S.

., Shahifah Imām, Teheran: Muassasah Tanzim wa Nasyr Atsar Imam Khomeini, 1378 S.

Khudayar Mohebbi, Manucher, Bunyād Din wa Jāme'-e Syināsi, Teheran: Kitabpurusyi Zawar, 1342 S.

Khurasani, Syarafuddin, Nukhustin Filosufān Yunān, Teheran: Intisyarat wa Amusyez Inqilab Islami, Cetakan Kedua, 1370 S.

Khurramsyahi, Bahauddin, "Bāztāb Farhangg Zamāneh dar Qurān Karim- Nazhariyah Muwaqqat", dalam: Bināt, No. 5, Bahar 1374 S, hlm.90-97.

Khusropanah, Abdul Husain, Kalām Jadīd, Qum: Markaz Muthala'at wa Pazyuhesyha Farhangi Hauzah 'Ilmiyah, 1379 S.

Kierkegaard, Soren, Tars wa Larz [Fear and Trembling], Terjemahan Parsi oleh Abdul Karim Rashidiyan, Teheran: Nasyr Ney, 1378 S.

Kin, Seymour dan Eric J Sharpe, “Din Pazyuhi", dalam: Din Pazyuhi, Terjemahan Parsi oleh Bahauddin Khurramsyahi, Teheran:

Muassasah Muthala' at wa Tahqiqat Farhangi, 1372 S, jil. 1, hlm. 115-198.

King, Winston, "Din" [Religion), dalam: Dīn Pazyuhi ,Terjemahan Parsi oleh Bahauddin Khurramsyahi, Teheran: Muassasah Muthala'at wa Tahqiqat Farhangi, 1372 S, jil. 1, hlm. 79-114.

p: 426

Lahiji, Mulla Abdurrazak, Gauhar Murād, Teheran: Wizarat Farhang wa Irsyad Islami, 1372 S.

Larijani, Shadiq, "Ta'ammuli dar Kalām Jadid", dalam: Andisyeh Hauzah, No.5, Tabestan 1375 S, hlm. 96-103.

Lebon, Gustave, Tamaddun Islām wa 'Arab [Civilization of Islam and Arab], Terjemahan Parsi oleh Sayyid Hashem Husaini, Teheran: Kitabpurusyi Islamiyah, Tanpa tahun.

Lecomte Du Nouy, Pierre, Sarneweshte Basyar [Human Destiny], Terjemahan Parsi oleh Abdullah Intizam, Teheran: Intisyarat Shafi Alishah, Cetakan Kedua, 1346 S.

Legenhausen, Muhammad, Islām wa Katsrat Gerāi Dini, Terjemahan Parsi oleh Narges Jawandel, Qum: Muassasah Farhangi Thaha, 1379 S.

Litlle, Paul, Imāni Munthabiq ba Aql wa Burhān, Terjemahan Parsi oleh S. Hackiyan, Tanpa Tempat, Tanpa tahun.

Lock, John, Nāme dar Bāb Tasāhul [A Letter Concerning Toleration], Terjemahan Parsi oleh Shirzad Gulsyahi Karim, Teheran:

Nasyr Ney, Cetakan Kedua, 1383 S.

Luciano De Crescenzo, Filosufān Buzurg Yunān Bāstan [The History of Greek Philosophy], Terjemahan Parsi oleh Abbas Baqiri, Teheran:

Nasyr Ney, 1377 S.

Macquarrie, John, Ilahiyāt Eksistensialisti; Muqāyasah Heideger wa Baltman (An Existentialist Theology: A Comparison of Heidegger and Bultmann), Terjemahan Parsi oleh Mahdi Dashtebazargi, Qum: Bustan Kitab, 1382 S.

_ Tafakkur Dini dar Qarn Bistum [Twentieth-Century Religious Thought], Terjemahan Parsi oleh Abbas Syekh Sujai dan Muhammad Muhammad Ridhai, Qum: Daftar Tablighat Islami, 1375 S.

Makarim Syirazi, Nasir, Angize Paidāyesy Madzāhib, Qum: Muassasah Mathbuati Hadaf, Tanpa tahun.

Malherbe, Michel, Insān wa Adyān (Naqsy Dîn dar Zendegi Fardi wa Ijtimāi) [Man and Religons], Terjemahan Parsi oleh Mehran Tawakkuli, Teheran: Nasyr Ney, 1379 S.

Malikian, Mustafa, Taqābul Akhlāq Dini wa Akhlāq Sekular (Diktat), Qum: Kitabhaneye Muassasah Imam Khomeini, Juzwe Syumare: 1237

p: 427

Zabān-e Dini 1 (Diktat), Qum: Kitabkhaneye Muassasah Imam Khomeini, Juzwe Syumare: 807.

-, Syarh wa Barrasi Nazhariye Qabdh wa Basth Teorike Syariat (Diktat), Qum: Kitabkhaneye Muassasah Imam Khomeini, Juzwe Syumare: 973.

_ , Kalām Jadid 2 (Diktat), Qum: Kitabhaneye Muassasah Imam Khomeini, Juzwe Syumare: 799.

-, Masāil Jadid Kalāmi (Diktat), Qum: Kitabkhaneye Muassasah Imam Khomeini, Juzwe Syumare: 1349 (796).

-, Naqd wa Barrasi Burhān Nazm (Diktat), Qum:

Kitabkhaneye Muassasah Imam Khomeini, Juzwe Syumare:

862 Mardiha, Sayyid Murtadha, Defā' az Aqlaniyāt, Teheran: Naqsh wa Negar, 1380 S.

_, "Yeki bar Sar Syākh wa Bun Miburid", dalam:

Kayhān Farhangi, No.71, Bahman 1368 S, hlm. 12-15.

Maulawi, Jalaluddin, Kulliyāt Syams Tabrizi, Teheran: Amir Kabir, 1336 S.

_ , Matsnawi Ma'nawi, Diedit oleh Nicholson, Teheran:

Intisyarat Nahid, 1375 S.

Michael, Garandeu, Liberalism dar Tārīkh Andisyeh Garb, Terjemahan Parsi oleh Abbas Baqeri, Teheran: Nasyr Ney, 1383 S.

Miles, Thomas Richard, Tajrubah Dīni [Religious Experience], Terjemahan Parsi oleh Jabir Akbari, Teheran: Daftar Pazyuhesh wa Nasyr Suhrawardi, 1380 S.

Misbah Yazdi, Muhammad Taqi, "Dīn wa Akhlāq", dalam: Qabasūt, No.13,(Payiz 1378), hlm.30-37.

, Āmuzesy 'Aqāi'd, Teheran: Sazeman Tablighat Islami, 1365 S.

Āmuzesy Falsafah [Daras Filsafat], Teheran:

Sazeman Tablighat Islami,keenam, 1373 S.

, Durūs Falsafah Akhlāg, Teheran: Itthila'at, Cetakan Kedua, 1370 S.

., Rahnamā Syināsi ,Teheran: Amir Kabir, 1375 S.

__, Ma'ārif Qur'ān (1-3: Khudā Syināsi, Keyhān Syināsi, Insān Syināsi, Qum: Intisyarat dar Rah Haq, Tanpa Tahun.

p: 428

Mitalinos, "Aql wa Wahy az Didgāh Masihiyat Ortodoks-dar Guftegu bā Pedar Mitalinos", dalam: Naqd wa Nazhar, No. 2, Bahar 1374, hlm. 195-200.

Moreno, Antonio, Jung, Khudāyan wa Insān Modern [Jung, Gods and Modern Man], Terjemahan Parsi oleh Dariyush Mehrjui, Teheran: Nasyr Markaz, 1376 S.

Morisan, Cressy, Rāz Āfarinesy Insān [Man Does Not Stand Alone), Terjemahan Parsi oleh Muhammad Saidi, Teheran: Intisyarat al-Fath, 1358 S.

Mudarris Radhawi, Muhammad Taqi, Ahwāl wa Ātsār Khājah Nashiruddin Thusi, Teheran: Intisyarat Asatir, Cetakan Kedua, 1370 S.

Muhammadi, Majid, Sar bar Astāne Qudsi Deldār Gerue 'Urfi, Teheran:

Nasyr Qatre, 1377 S.

Muhammadi, Rahim, Dar Āmadi bar Jāme'-e Syināsi Aqlaniyat, Teheran:

Markaz Baz Syinasi Islam wa Iran, 1382 S.

Muin, Muhammad, Majmu' Maqūlāt, Teheran: Muassasah Intisyarat Muin, Cetakan Kedua, 1365 S.

Muqaddimah bar Ilahiyāt Ma'āshir (Majmu'e Maqālāt), Terjemahan Parsi oleh Hamayun Hemmati, Teheran: Intisyarat Naqsh Jahan, 1379 S.

Mujtahid Shabestari, Muhammad, Naqdi bar Qirā'at Rasmi az Dīn, Teheran: Tharhe Nu, 1379 S.

_, Hermeneutik Kitāb wa Sunnat, Teheran:

Tharhe Nu, 1375 S.

Muriji, Syamsullah, Sekularism wa 'Awāmil Ijtimā'i Syekl giri Ān dar Irān, Qum: Muassasah Amuzesyi wa Pazyuhesyi Imam Khomeini, 1382 S.

Mushaheb, Ghulam Muhsin (Ketua editor), Dāirat al-Ma'ārif Fārsi, Teheran: Amir Kabir, Cetakan Kedua, 1380 S.

Muthahhari, Murthada, Insān Kāmil, Teheran dan Qum: Shadra, Cetakan Kelima, 1370 S.

, Bist Guftār, Qum: Shadra, Cetakan Kelima, 1358 S.

Pairamun Jumhuri Islāmi, Teheran: Shadra, Cetakan Ketigabelas, 1379 S.

p: 429

., Dah Guftār, Teheran dan Qum: Shadra, Cetakan Kesebelas, 1375 S.

Syarh Manzhumah, Teheran: Intisyarat Hikmat 1361 S.

, 'Adl Ilahi, Teheran dan Qum: Shadra, Cetakan Kedua, 1361 S.

-, Fithrat, Teheran dan Qum: Shadra, Cetakan Kedua, 1370 S.

, Falsafah Akhlāg, Teheran dan Qum: Shadra, Cetakan Keempatbelas, 1374 S.

-, Majmu' Atsār, jil.1 ('Ilal Gerāyesh be Māddigary [Kritik atas Materialisme]), Teheran dan Qum: Shadra, Cetakan Kesepuluh, 1380 S.

, Majmu' Atsār, jil. 6 (Ushūl Falsafah wa Rawesy Realism), Teheran dan Qum: Shadra, Cetakan Kedelapan, 1380 S.

_, Majmu' Atsār, jil. 11 (Dars-hā Asfar), Teheran dan Qum: Shadra, 1384 S.

Muzhaffar, Muhammad Husain, 'Ilm Imām, Terjemahan Parsi oleh Ali Syirwani, Teheran: Intisyarat al-Zahra, Tanpa tahun.

Myenard, Levon, Syināsai wa Hasti (Existence), Terjemahan Parsi oleh Ali Murad Dawudi, Teheran: Intisyarat Dekhuda, Cetakan Ketiga, 1370 S.

Nabawian, Sayyid Mahmud, Syumul Gerāi, Qum: Huma Gadir, 1382 S.

Naqib Atthas, Sayyid Muhammad, Islām wa Dunyāwigari, Terjemahan Parsi oleh Ahmad Aram, Teheran; Muassasah Muthala'at Islami Danesygah Teheran wa Muassasah Andisyeh wa Tamaddun Islami Malezi, 1374 S.

Nasiruddin Thusi, Muhammad bin Muhammad, Fushül, Riset oleh Muhammad Taqi Danesypazoh, Teheran: Intisyarat Danesygah Teheran, 1335 S.

Nasri, Abdullah (Penyusun), Yaqin Gumsyudeh (Guftegu-hai dar Bareye Falsafah Dīn), Teheran: Soroush, 1380 S.

., Intizhār Basyar az Dīn, Teheran: Muassasah Farhanggi Danesy wa Andisyeh Ma'ashir, 1378 S.

p: 430

Khudā dar Andisyeh Basyar, Teheran:

Intisyarat Danesygah Allamah Thabathabai, 1373 S.

_, Rāz Matn, Teheran: Aftab Tause-eh, 1381 S.

Nasir Khusro Qubadiyani, Jāmi' al-Hikmatain, Teheran: Kitabkhane Thahuri, Cetakan Kedua, 1363 S.

Nietzsche, Frederich, Irādah Qudrat [The Will to Power), Terjemahan Parsi oleh Majid Sharif, Teheran: Intisyarat Jami, 1377 S.

_, Irādah Mathuf be Qudrat, Terjemahan Parsi oleh Muhammad Baqir Hoshyar, Teheran: Nasyr Feruzan, 1376 S.

, Ainak An Insān, Terjemahan Parsi oleh Behruz Shafdari, Teheran: Intisyarat Fekre Ruz, 1378 S.

____ Cenin Guft Zart usht [Thus Spoke Zarathustra], Terjemahan Parsi oleh Mas`ud Anshari, Teheran:

Intisyarat Jami, 1377 S.

_, Syāmgah But-hā [Twilight of The Idols], Terjemahan Parsi oleh Abdul Ali Dastghib, Teheran: Markaz Nasyr Sepehr, 1357 S.

, Parasuye Nik wa Bad [Beyond Good and Evil], Terjemahan Parsi oleh Dariyus Ashuri, Teheran: Intisyarat Khawarazmi, Cetakan Kedua, 1373 S.

Noss, John B., Tārikh Jāme' Adyān [Man's Religion], Terjemahan Parsi oleh Ali Ashgar Hikmat, Teheran: Intisyarat wa Amuzesy Inqilab Islami, Cetakan Kelima, 1370 S.

Nuzri, Husain Ali, Bāz Khāni-e Habermas, Teheran: Nasre Cashmeh, 1381 S.

Owen, H.P, "Ta'ārif wa Mafāhim Khudā" [God, Concepts of], dalam:

Khudā dar Falsafah, Terjemahan Parsi oleh Bahauddin Khurramsyahi, Teheran: Muassasa Muthala'at wa Tahqiqat Farhangi, 1370 S, hlm. 21–40.

Pailin, David, Mabāni Falsafah Dīn [Philosophy of Religion), Terjemahan Parsi oleh Goruhi az Mutarjeman, Editor Sayyid Mahmud Musawi, Qum: Bustan Kitab, 1383 S.

Palmer, Michael, Freud, Jung wa Dīn [Freud, Jung and Religion), Terjemahan Parsi oleh Muhammad Dehganpur dan Gulam Ridha Mahmudi, Teheran: Intisyarat Rusyd, 1385 S.

p: 431

Pascal, Blaise, Andisyeh-hā wa Risālat, Terjemahan Parsi oleh Ridha Mushayekhi, Teheran: Intisyarat Ibn Sina, 1351 S.

Pasoki, Shahram, "Muqaddimah Bāb Ilahiyyāt", dalam: Arganun, No. 5 dan 6, Bahar wa Tabestan 74, hlm. 1–10.

Payek, Nelson, "'Ilm Muthlag Khudāwand wa Ikhtiyār Insān Nāsāzgārān" (Divine Omniscience and Voluntary Action), dalam: Kalām Falsafi, Terjemahan Parsi oleh Ibrahim Sultani dan Ahmad Naraqi, Teheran: Shirath, 1374 S, hlm. 253–289.

Peter, Andrew, Marx wa Marxism, Terjemahan Parsi oleh Syujauddin Ziyaiyan, Teheran: Danesygahe Teheran, Cetakan Keenam, 1360 S.

Peterson, Michael et. al., 'Aql wa I'tiqād Dīni [Reason and Religious Belief], Terjemahan Parsi oleh Ahmad Naraqi dan Ibrahim Sultani, Teheran: Tharhe Nu, Cetakan Ketiga, 1379 S.

Plamenates, John, Ideologi, Terjemahan Parsi oleh Izzatullah Fulodwan, Teheran: Syarkat Intisyarat Ilmi wa Farhangi, 1373 S.

Platingga, Alvin, "Āyā I'tiqād be Khudā Wāqi'an Pāyeh Ast?" [Arguing God's Existence], dalam: Kalām Falsafi, Terjemahan Parsi oleh Ibrahim Sultani dan Ahmad Naraqi, Teheran: Shirat, 1374 S, hlm. 49–72.

, Khuda, Iktiyār wa Syar [God, Freedom and Evil], Terjemahan Parsi oleh Muhammad Saidi Mehr, Qum:

Muassasah Thaha, 1376 S.

-, "Khudā, Jahānhā Mumkin wa Mas'alah Syar", dalam:

Kalame Falsafi, Terjemahan Parsi oleh Ibrahim Sultani dan Ahmad Naraqi, Teheran: Shirat, 1374 S, hlm. 173—251.

_, "Ilm Muthlaq Khudawand wa Ikhtiyār Insān Sāsghārān" [Divine Foreknowledge and Human Freedom are Compatible], dalam: Kalām Falsafi, Terjemahan Parsi oleh Ibrahim Sultani dan Ahmad Naraqi, Teheran: Shirat, 1374 S., hlm. 291–303.

Plato, Daurah Atsār-e Aflatun, Terjemahan Parsi oleh Muhammad Hasan Luthf, dan Ridha Kaviani, Teheran: Syarkat Sahami Intisyarat Khawarazmi, Cetakan Ketiga, 1380 S.

Pojman, Louis, "Naqdi bar Nisbiyat Akhlāqi" "(An Argument Against Ethical Relativism), Terjemahan Parsi oleh Mahmud Fath Ali,

p: 432

dalam: Nagd wa Nazhar, No. 13-14, Zemistan wa Bahar 1376– 1377.

Poles, Daniel, Haft Nazhariyah dar Bāb Dīn [Seven Theories of Religion], Transalasi dan Kritik oleh Muhammad Aziz Bakhtiyari, Qum:

Muassasah Amuzesy wa Pazuhesy Imam Khomeini, 1382 S.

Popkin, Richard dan A. Stroll, Kulliyāt Falsafah [Philosophy Made Easy), Terjemahan Parsi oleh Sayyid Jalaluddin Mujtabawi, Teheran:

Intisyarat Danesygah Teheran, 1356 S.

Proudfood, Wine, Tajrubah Dīni [Religious Experience], Terjemahan Parsi oleh Abbas Yazdani, Qum: Muassasah Thaha, 1377 S.

Pur Jawadi, Nasyrullah, "Abdurrazzaq Kasyi wa Syaikh Isyrāq", dalam:

Mahdawi Nāmeh, Jasynāme Doktor Yahya Mahdawi, Teheran:

Intisyarat Hermes, 1378 S, hlm. 329–343.

Qaderdan Qaramalaki, Muhammad Hasan, Khudā wa Mas'alah Syar, Qum: Daftare Tabligat-e Islami, 1377 S.

Sekularism dar Masihiyat wa Islām, Qum: Daftare Tabligat-e Islami, 1379 S.

Qadhi Said Qummy, Muhammad, Kelid Behesyt, Diedit oleh Muhammad Masykuh, Teheran: Intisyarat al-Zahra, 1362 S.

Qaimi Niya, Ali Ridha, Dar Amadi bar Mansyā Din, Qum: Intisyarat Ma`arif, 1379 S.

Rabbani Golpaigani, Ali, "Ta`rife Dīn az Negāh Dīn Syināsān Islāmi", dalam: Kalām Islāmi, No. 58, Tabestan 1385 S, hlm. 14–40.

, Tahlil wa Naqd Pluralism Dīnī, Teheran: Muassasah Farhangi Danesy wa Andisyeh Ma'ashir, 1378 S.

, Naqd Mabāni Sekularism, Qum: Markaz Mudiriyat Hauzah Ilmiyah, 1382 S.

Radhakrishnan, Sarvepalli, Madzhab dar Syarq wa Gharb (East and West in Religion), Terjemahan Parsi oleh Fereidun Gurgani, Tanpa Tempat: Tanpa Tahun.

Rahim Pur Azagadi, Hasan, Aqlaniyat (Bahtsi dar Mabāni Jāmi'ah Syināsi Tose-eh), Teheran: Muassasah Farhangi Danesy wa Andisyeh Ma'ashir, 1378 S.

Rahimi, Mustafa, Ya's Falsafi, Teheran: Intisyarat Amir Kabir, Cetakan Keenam, 1356 S.

p: 433

Rajabi, Mahmud, Insān Syināsi, Qum: Muassasah Amuzesyi wa Pazyuhesyi Imam Khomeini, Editan Ketiga, 1379 S.

Rashidi Tabrizi, Yar Ahmad, Rubaiyyat Hayyam (Tharabhaneh), Diedit oleh Jalaluddin Humai, Teheran: Nasyr Huma, Cetakan Kedua, 1367 S.

Ridhai, Muhin, Teodiseh wa Adl-e Ilahi (Muqāyasa Miyān Arā Leibnitz wa Ustād Muthahhari), Teheran: Daftare Pazyuhesy wa Nasyr Suhrawardi, 1380 S.

Robertson, Ian, Dar Āmadi bar Jāmi'ah (Sociology), Terjemahan Parsi oleh Husain Behruwan, Mashad: Intisyarat Astane Quds Radhawi, Cetakan Kedua, 1374 S.

Roessau, J. J., Qarardād-e Ijtimāi [The Social Contract], Terjemahan Parsi oleh Gulam Muhsin Zirak Zadeh, Teheran: Intisyarat Adib, Cetakan Ketujuh, 1368 S.

Rosyad, Ali Akbar, Demokrasi Qudsi, Teheran: Pazyuhesygah Farhang wa Andisyehh Islami, 1381 S.

Russell, Bertrand, Tārikh Falsafah Gharb pHistory of Western Philosophy), Terjemahan Parsi oleh Najaf Daryabandi, Teheran: Kitab Parwaz, 1373 S.

, Cerā Masihi Nistam [Why I Am Not Christian?], Terjemahan Parsi oleh S. Thaheri, Teheran: Intisyarat Darya, 1349 S.

_, 'Irfān wa Mantiq [Mysticism and Logic], Terjemahan Parsi oleh Najaf Daryabandari, Teheran: Syarkat Sahami Kitabha Jibi, Cetakan Kedua, 1362 S.

Sa ‘di Syirazi, Muslih bin Abdullah, Bustān, Diedit oleh Ghulam Muhsin Yusufi, Teheran: Intisyarat Khawarazmi, Cetakan Ketiga, 1368 S.

; Kulliyāt Sa`di, Muhammad Furugi, Teheran: Amir Kabir, Cetakan Kedelapan, 1369 S.

Sabziwari, Mulla Hadi, Asrār al-Hikam, Mukaddimah dan Catatan Kaki oleh Mirza Abul Hasan Syarani, Teheran: Kitabpurusyi Islamiyah, 1380 S.

_,Diwān Asyʻār, Mukaddimah oleh Murtadha Mudarrisi Cahardahi, Teheran: Intisyarat Mahmudi, Tanpa Tahun.

p: 434

Saidi Mehr, Muhammad, 'Ilm Pisyin Ilahi wa Ikhtiyār Insān, Teheran:

Muassasah Farhangi-e Andisyehh, 1375 S.

Sajedi, Abul Fadhl, "Falsafah Dīn", dalam: Qabasāt, No. 39 dan 40, Bahar wa Tabestan 1385, hlm. 47–66.

Senai Gaznawi, Majdud bin Adam, Hadiqat al-Haqiqah, Diedit oleh Mudarris Radhawi, Teheran: Caphane Sepahr, Tanpa tahun.

Shadiqi, Hadi, Pluralism (Dīn, Haqiqat, Katsrat), Qum: Mua'wenat Umur Asatid wa Durūs Ma`arif Islami, 1377 S.

Shamisa, Sirous, Bayān, Teheran: Intisyarat Firdaus, Cetakan Keempat, 1373 S.

Shanei, Shafdar, Ārāmesy Rawāni wa Mazhab, Qum: Intisyarat Payam Islam, Tanpa Tahun.

Shankai, Mardhiah, Barrasi Tathbiqi Asmā Ilahi, Teheran: Soroush, 1381 S.

Shapiro, John Salvin, Liberalism, Ma'na wa Tārikh Ān, Terjemahan Parsi oleh Muhammad Said Hanai Kashani, Teheran: Nasyr Markaz, 1380 S.

Shiner, Lary, "Mafhume Sekular Syudan dar Pazyuhesy-hā Tajrubi" [The Concept of Secularization in Empirical Research], Terjemahan Parsi oleh Sayyid Husain Siraj Zadeh, dalam: Cālesh-hā Dīn wa Modernite, Teheran: Tharhe Nu, 1383 S, hlm. 17–41.

Singer, Peter, Hegel, Terjemahan Parsi oleh Izzatullah Fuladuwan, Teheran: Tharhe Nu, 1379 S.

Smart, Ninian dan Briyan McGay (Dialog), "Falsafah Dīn", dalam:

Kalāme Falsafi, Terjemahan Parsi oleh Ibrahim Sultani dan Ahmad Naraqi, Teheran: Shirath, 1374 S., hlm. 305—329.

Soroush, Abdul Karim et. al., Sunnat wa Sekularism, Teheran:

Muassasah Farhangi Shirath, 1381 S.

_, "Dzati wa Aradhi dar Dīn", dalam: Kiyān, No. 42, Khurdad wa Tir 1377, hlm. 4–19.

, “Ma'nā wa Mabnā Sekularism", dalam: Kiyān, No.

26, Murdad wa Shahriwar 1374 S, hlm. 4–26.

, Basth Tajrubah Nabawi, Teheran: Muassasah Farhangi-e Shirath, Cetakan Ketiga, 1379 S.

p: 435

, Darshā dar Falsafah 'Ilm al-Ijtimā, Teheran: Nasyr Ney, Cetakan Ketiga, 1379 S.

_, Shirāth-hāe Mustaqim, Teheran: Shirath, Cetakan Kedua, 1377 S.

Qabdh wa Basth Teorik Syariat, Teheran: Shirath, Ketiga, 1373 S.

,Mudāra wa Mudiriyat, Teheran: Shirath, 1376 S.

., Dānesh wa Arzesh, Teheran: Intisyarat Yaran, Cetakan Kedua, 1358 S.

Spinoza, Baruch, Akhlak (Ethics), Terjemahan Parsi oleh Muhsin Jahangiri, Teheran: Markaz Nasyr Danesygahi, 1364 S.

Stace, Walter Terence, "Dar bi Maknāi Makna hā", dalam: Naqd wa Nazhar, No. 29–30, Bahar va Tabestan, 1382 S, hlm. 108–123.

-, Din wa Negāresy Nuwin, Terjemahan Parsi oleh Ahmad Ridha Jalili, Teheran: Hikmat, 1377 S.

_, Falsafah Hegel, Terjemahan Parsi oleh Hamid Inayat, Teheran: Syarkat Sahami Kitabha Jibi, Cetakan Kelima, 1357 S.

Stewart, Anthony, Freud, Terjemahan Parsi oleh Hasan Merandi, Teheran: Tharh Nu, 1375 S.

Stewart, Daniel, Falsafah Zabān Dīni [Philosophy of Language and Religion], Terjemahan Parsi oleh Husain Nuruzi, Tabriz:

Muassasa Tahqiqat Ulum Insani, 1380 S.

Storen, J. P., Nietzsche, Terjemahan Parsi oleh Izzatullah Fuladuwan, Teheran: Tharh Nu, Cetakan Kedua, 1373 S.

Suhrawardi, Syihabuddin, Majmu'e Musannafāt Syaikh Isyrāg, jil.

3, Diedit oleh Sayyid Husain Nasr, Teheran: Muassasah Muthala'at wa Tahqiqat Farhangi, Cetakan Kedua, 1372 S.

Sujai Zend, Ali Ridha, Din, Jāmiah wa Urfi Syudan, Teheran: Nasyr Markaz, 1380 S.

., Urfi Syudan dar Tajrubah Masihi wa Islāmi, Teheran:

Markaz Bazsyinasi Islam wa Iran, 1381 S.

Sulaimani Amiri, Askary, Naqd Burhān Nāpaziri Wujūd Khudā, Qum Bustan Kitab, 1380 S.

p: 436

Swinburne, Richard, Āyā Khudāi Hast [The Existence of God], Terjemahan Parsi oleh Muhammad Jawidan, Qum: Danesygah Mufid, 1381 S.

Syahabadi, Muhammad Ali, Rāsyahat al-Bihār al-Qur'ān wa al-Itrah, al- Iman wa al-Raj ah, al Insān wa al-Fitrah, Terjemahan Parsi oleh Muhammad Syahabadi, Teheran: Nahdhat Zanan Musalman, 1360 S.

Syariati, Ali, Majmu' Atsār, Teheran: Intisyarat Qalam, ketiga, 1375 S.

_, Tārikh wa Syenākht Adyān, Teheran: Syarkat Sahami Intishar, Cetakan Keenam, 1376 S.

Syariati, Muhammad Taqi, Paideh wa Luzum Din, Qum: Intisyarat Thabathabai, Tanpa Tahun.

Syarif, Miyan Muhammad (editor), Tārikhe Falsafah dar Islām, Terjemahan Parsi oleh Tim Penerjemah Parsi, Teheran: Markaz Nasyr Danesygahi, 1370 S.

Syarifi, Ahmad Husain, "Dīn wa Akhlāq", dalam: Tim Penulis, Falsafah Akhlāg, Qum: Daftar Nasyr Ma`arif, 1385 S, hlm. 147–175.

, "Nisbiyat wa Ithlāq dar Akhlāq", dalam: Jām`i az Newisandegān, Falsafah Akhlak, Qum: Daftar Nasyr Ma`arif, 1385 S, hlm. 87–104.

Syarifi, Ahmad Husain dan Hasan Yusufian, Pazyuhesyi dar Ishmat Ma shumān, Qum dan Teheran: Pazyuheshgahe Farhang wa Andisyeh Islami, 1377 S.

, Kheradwarsi wa Dinbawāri, Teheran: Muassasah Farhangi Danesy wa Andisyeh Ma'ashir, 1379 S.

, Aql wa Wahy, Teheran:

Pazyuhesygahe Farhang wa Andisyeh Islami, 1382 S.

Syekh Bahai, Muhammad, Kasykul, Terjemahan Parsi oleh Muhammad Baqir Saidi, Teheran: Kitabpurushi Islamiyeh, 1358 S.

_, Kulliyāt Asy‘ār Farsi wa Mush wa Gurbeh, Teheran: Intisyarat Kitabpurushie Mahmudi, 1336 S.

Syibli Nu`mani, Tārikh 'Ilm Kalām, Terjemahan Parsi oleh Muhammad Taqi Fahr Dai Gilani, Teheran: Cap Ranggin, 1328 S.

p: 437

Syirwani, Ali, "Tajrubah Dīni", dalam: Justar-hāi dar Kalām Jadid, Teheran dan Qum: Samt dan Danesygahe Qum, 1381 S, hlm.

155—184.

- Syerest Insān (Pazyuhesyi dar Khudā Syināsi Fitri), Qum:

Ma`arif, 1376 S.

Tabrizi, Mulla Rajab Ali, "Itsbāte Wājib", dalam: Sayyid Jalaluddin Astiyani (editor), Muntakhabāt az Ātsār Hukama Ilahi-e Iran, Qum: Daftar Tabligat Islami, Editan Kedua, 1378 S, jil. 1, hlm.

239-283.

Talieferro, Charles, Falsafah Dīn dar Qarn Bistum [Contemporary Philosophy of Religion), Terjemahan Parsi oleh Insyaallah Rahmati, Teheran: Daftare Pazyuhesy wa Nasyr Suhrawardi, 1382 S.

Taufiqi, Husain, Asynāi bā Adyān Buzurgh, Teheran dan Qum: Samt, Thaha, dan Markaz Jahani 'Ulum Islami, 1379 S.

Thabathabai, Muhammad Husain, Ushūl Falsaf wa Rawesy Realism, Ulasan dan Catatan Kaki dari: Murtadha Muthahhari, Teheran:

Shadra, Cetakan Keempat, 1374 S.

_, Syiah dar Islām, Qum: Bunyad Ilmi wa Fikri Allamah Thabathabai, Cetakan Kedelapan, 1360 S.

_, Qur'ān dar Islām, Teheran: Dar al-Kutub al-Islamiyah, 1373 S.

Toffler, Alvin, Mouj Sewwum [Third Wave], Terjemahan Parsi oleh Shahindukht Khawarazmi, Teheran: Nasyr Nu, Cetakan Ketujuh, 1371 S.

Ubudiyat, Abdurrasul, Itsbāt Wujūd Khudā be Rawesy Ashl Maudhui, Qum: Muassasah Amuzesyi wa Pazyuhesyi Imam Khomeini, 1382 S.

_, Hasti Syināsi, Qum: Muassasah Amuzesyi wa Pazyuhesyi Imam Khomeini, Cetakan Kelima, 1379 S.

Ubidiyat, Abdurrasul dan Mujtaba Misbah, Khudā Syināsi Falsafi, Qum:

Muassasah Amuzesyi wa Pazyuhesyi Imam Khomeini, Cetakan Kelima, 1384 S.

Ujabi, Ali, Kalām Jadid dar Guzāra Andisyehā, Teheran: Muassasah Farhangi Andisyeh Ma'ashir 1375 S.

p: 438

Valle, Jean, Mā Ba`da al-Thabī'ah [Metaphysic], Terjemahan Parsi oleh Yahya Mahdawi, Teheran: Syarkat Sahami Intisyarat Khawarazmi, 1370 S.

Wach, Joachim, Jāmi'ah Syināsi Dīn [Sociology of Religion), Terjemahan Parsi oleh Jamsyid Azadegan, Teheran: Samt, 1380 S.

Warnok, J., Falsafah Akhlāq dar Qarn Hādhir [Contemporary Moral Philosophy], Translasi dan Annotasi oleh Shadiq Larijani, Teheran: Markaz Tarjemeh wa Nasyr Kitab, Cetakan Kedua, 1368 S.

Watsiq, Sayyidan, Laisiteh Cist, Teheran: Nasyr Akhtaran, 1384 S.

Weber, Max, Dīn, Qudrat, Jāmi'ah h [Religion, Power and Society], Terjemahan Parsi oleh Ahmad Tadayyun, Teheran: Intisyarat Hermes, 1382 S.

Weber, Max et. al., Aqlāniyat wa Azādi (Maqālati az Max Weber darbaraye Max Weber), Terjemahan Parsi oleh Yadullah Muwaqqan dan Ahmad Tadayyun, Teheran: Intisyarat Hermes, 1379 S.

Wiliame, Jean Paul, Jāmi'ah h Syināsi Adiyan (Sociologie des Religions), Terjemahan Parsi oleh Abdurrahim Ghowahi, disertai dengan kritik oleh Muhammad Taqi Ja'fari, Teheran: Muassasah Farhangi Intisyarat Tebyan, 1377 S.

Wilson, Bryan, "Judā Inggāri Dīn wa Dunyā" [Secularization], Terjemahan Parsi oleh Murthada As `adi, dalam: Farhang wa Din, Teheran:

Tharhe Nu, 1374 S, hlm. 124-146.

Wittgenstein, Ludwig, Pazyuhesy-ha Falsafi [Philosophical Investigations), Terjemahan Parsi oleh Fereidun Fatemi, Teheran: Nasyr Markaz, 1380 S.

Yusufian, Hasan, Niyāz be Dīn (az Cesym Andāze Imām 'Ali), Teheran:

Kanun Andisyeh Jawan, Cetakan Keempat, 1385 S.

Zunusi, Mulla Abdullah, Lama'āt al-Ilahiyah, Diedit oleh Sayyid Jalaluddin Astiyani, Teheran: Muassasah Muthala' at wa Tahqiqat Farhangi, 1361 S.

p: 439

B. Arab Abdurrahman Marhaba, Muhammad, Al-Kindi-Falsafatuhu- Muntakhabāt, Beirut dan Paris: Mansyurat Uwaidat, 1985 M.

Abu Dawud al-Sajistani, Sulaiman bin Asy`ats, Sunan Abi Dawud, Riset oleh Muhammad Muhyiddin Abdul Hamid, Tanpa Tempat, Dar al-Fikr, Tanpa tahun.

Abu Khatam al-Razi, I'lam al-Nubuwwah, Teheran: Anjuman Falsafah Iran, 1397 H.

Abu Nashr Al Farabi, Muhammad, al-Jam`u Baina al-Ra`yi al-Hakimain, Riset oleh al-Bir Nashri Nadir, Beirut: Dar al-Masyriq, Cetakan Keempat, 1985 M.

Abu Ubaidah, Muammar bin al-Mutsanna, Majaz al-Qur'ān, Riset oleh Muhammad Fuad Sazkin, Kairo: Maktabah al-Khaniji, Tanpa Tahun.

Abu Zaid, Nashr Hamid, Al-Ittijah al-'Aqli fi al-Tafsir, Beirut dan Dar al- Baidha: al-Markaz al- Syiqafi al-Arabi, Cetakan Ketiga, 1996 M.

-, Al-Khitāb al-Dīnī–Ruyah al- Naqdiyyah, Beirut:

Dar al-Muntakhab al-Arabi, 1412 H.

., Al- Nash, al-Sultah, al-Haqiqah, Beirut dan Dar al-Baidha: al-Markaz al-Syiqafi al-Arabi, 1995 M.

Abu Zuhrah, Muhammad, Ibn Hanbal; Hayatuhu wa Ashruhu, Arāuhu wa Fighuhu, Kairo: Dar al-Fikr al-Arabi, Tanpa Tahun.

Aflatun, Ozologia, Terjemahan Ibn Naimah Al-Humsha, Riset oleh Abdurrahman Badawi, Qum: Intisyarat Bidar, 1413 H.

Al-`Adzamah, Aziz, al-Almāniyah min Manzhur Mukhtalif, Beirut:

Markaz Dirasat al-Wahdah al-Arabiyah, 1992 M.

Al-`Ajluni al-Jarahi, Ismail bin Muhammad, Kasyf al-Khafa wa Muzil al-Ilbās 'anma Isytahar min al-Ahādits ‘ala al-Sinat al-Nas, Tanpa Tempat, Tanpa Tahun.

Al-Akhund al-Khurasani, Muhammad Kazim, Kifāyah al-Ushül, Ma'a Hasyiah al-Mirza Abi Al-Hasan al-Misykini, Teheran:

Kitabpurushi Islamiyah, Tanpa tahun.

Al-Allamah al-Hilli, al-Hasan bin Yusuf, Anwār al-Malakūt fi Syarh al Yāgut, Riset oleh Muhammad Najmi al- Zanjani, Tanpa Tempat:

Intisyarat Razi wa Bidar, Cetakan Kedua, 1363 S.

p: 440

, Kasyf al-Murād fi Syarh Tajrid al-I'ttiqād, Diedit oleh Hasan Hasan Zadeh Amuli, Qum: Muassasah al-Nasyr al-Islami, 1413 H.

- Manāhij al-Yaqin fi Ushūl al-Dīn, Riset oleh Muhammad Ridha al-Anshari Al-Qummi, Tanpa Tempat, Al- Muhaqiq, 1416 H.

Al-Alusi, Syihabuddin Mahmud, Ruh al-Ma'āni, Beirut: Dar Ihya al- Turats al-'Arabi, Cetakan Keempat, 1405 H.

Al-Amuli, Haidar bin Ali, al-Muqaddamāt min Kitāb Nash al-Nushūs, Diedit oleh Henry Corbin dan Usman Ismail Yahya, Teheran:

Institut Iran wa Faranseh, 1353 S.

- Jāmi al-Asrār wa Manbā' al-Anwār, Tashhih: Henry Corbin dan Usman Ismail Yahya, Teheran: Syarkat Intisyarat Ilm wa Farhangi wa Anjuman Iran Syinasi Faranseh, Cetakan Kedua, 1368 S.

Al-Amuli, Muhammad Taqi, Durar al-Fawāid (Ta‘liqah ‘ala Syarh al- Manzhumah), Teheran: Markaz Nasr al-Kitab, Cetakan Kedua, 1377 H.

Al-Arbili, Ali bin Isa, Kasyfu al-Ghummah (disertai dengan terjemahan Parsi ), Tabriz: Muhammad Baqir Ketabci, 1381 H.

Al-`Arusi al-Khuwaizi, Abdi Ali bin Jumuah, Tafsir Nur al-Tsaqalain, Diedit oleh al-Sayyid Hasyim al-Rasuli al-Mahallati, Qum: al- Mathba'ah al-Ilmiyah, Tanpa Tahun.

Al-`Askari, Abu Hilal al-Hasan bin Abdullah, al-Furuq al- Lughawiyah, Kairo: Maktabah al-Qudsi, 1353 H.

Al-Astar Abadi, Muhammad Amin, al-Fawāid al-Madaniyah, Qum:

Muassasah al-Nashr Al Islami, 1424 H.

Al Asy`ari, Abu Al Hasan Ali bin Ismail, al- Ibānah al-Ushūl al-Diyānah, Riset oleh Fauqiyah Husain Mahmud, Kairo: Dar al-Anshar, 1397 H.

_, Al-Lamaºfi al-Raddi 'ala Ahli al-Zeig wa al- Bada", Diedit oleh Hamudah Ghurabah, Kairo: al-Maktabah al-Azhariyah Lit Turats, Tanpa Tahun.

p: 441

, Maqālāt al-Islamiyyin wa Ikhtilaf al-Mushallin, Diedit oleh Halmut Riter, Wisbodn (Jerman): al-Nasyarat al Islamiyah, Cetakan Ketiga, 1400 H.

Al-`Atyamin, Muhammad bin Shalih, Syarh Lum`at al- I'tiqād Li Ibni Qudamah, Tanpa Tempat: Dar Ibn Khuzaimah, 1417 H.

Alauddin al-Muttaqi, Ali bin Hisamuddin, Kanz al-'Ummāl, Beirut:

Muassasah al-Risalah, 1409 H.

Al-Bahrani, al- Syekh Yusuf, al- Hadāiq al- Nādhirah fi Ahkām al-'Itrah al-Thāhirah, Najaf: Dar al-Kutub al-Islamiyah, 1378 H.

Al-Baqilani, Al-Qadhi Abu Bakr Muhammad bin al-Thayyib, Tamhid al-'Awāil wa Talkish al Dalāil, Riset oleh Ibaduddin Ahmad Haidar, Beirut: Muassasah al-Kutub al- Tsaqafiyah, Cetakan Ketiga, 1414 H.

Al-Bukhari, Muhammad bin Ismail, Khalq Af'alu al-'Ibād, Beirut:

Muassasah Ar Risalah, Ketiga, 1411 H.

_, Shahih al-Bukhāri, Riset oleh Qasim al- Syama'i al-Rifa'i, Beirut: Dar al-Qalam, 1407 H.

Al-Burujerdi, Husain, al-Badr al- Zahir fi Shalah al-Jumu'ah wa al- Musāfir, Qum: Mathba'ah al- Hikmah, Tanpa Tahun.

Al-Bustani, Betrus bin Bulis, Muhith al-Muhith, Beirut: Maktabah Lubnan Nasyirun, 1993 M.

Al-Dailami, Syairuwiyah bin Syahridar, Firdaus al-Akhbār, Riset oleh Fawaz Ahmad al Zumarli dan Muhammad al-Mu'tashim Billah al-Baghdadi, Beirut: Dar al-Kitab al-Arabi, 1407 H.

Al-Dasytuki al- Syirazi, Shadruddin Muhammad, al-Haqāiq al- Muhammadiyyah, Risalah fi i-Itsbāt al-Wājib Taāla, Diedit oleh Muhsin Coramqi, Qum: Muassasah Amuzyesyi wa Pazyuhesyi Imam Khomeini, 1385 S.

Al-Dzahabi, Syamsuddin Muhammad, Tārikh al-Islām, Riset oleh Umar Abdussalam Tadmari, Beirut: Dar al-Kitab al-Arabi, Cetakan Ketiga, 1417 H.

Al-Faidh al-Kasyani, Muhsin, al-Ushūl al-Ashliyah, Teheran: Sazeman Cap Danesygah Teheran, 1349 S.

_, 'Ilm al-Yaqin fi Ushūl al-Dīn, Qum: Intisyarat Bidar, 1358 S.

p: 442

Al Farabi, Abu Nashr, al-Ta'ligāt, Riset oleh Ja'far Ali Yasin, Beirut: Dar Al Manhil, 1408 H.

_, Fushūs al-Hikam, Riset oleh Muhammad Hasan Ali Yasin, Qum: Intisyarat Bidar, 1405 H.

, Fushul Muntazi'ah, Riset oleh Fauzi Metri Najjar, Beirut: Dar al-Masyriq, Cetakan Kedua, 1993 M.

Al-Firuz Abadi ,Majiduddin Muhammad, al-Qāmus al-Muhith, Beirut:

Dar Ihya al-Turats al-'Arabi, 1412 H.

Al-Ghazali, Abu Hamid Muhammad, Ihyā 'Ulūm al-Dīn, Beirut: Dar al-Kutub al-'Ilmiyah, 1406 H.

, Al-Iqtishād fi al-I'tiqād, Riset oleh Ali Bumulhil, Beirut: Dar wa Maktabah al-Hilal, 1421 H.

, Al-Qisthās al-Mustaqim, Riset oleh Ahmad Syuhan, Damaskus: Maktabah al-Turats, 1414 H.

_, Tahafut al-Falāsifah, Beirut: Dar al-Masyriq, Keempat, 1990 M.

_, Syarh Asmāullāh al-Husnā, Bagdad: al-Maktabah al- Haditsah, 1990 M.

Al-Ishfahani al-Gharawi, Muhammad Husain, Tuhfah Al-Hakim, Riset oleh Muhammad Ridha Al-Muzhaffar, Tanpa Tempat:

Muassasah Ali al-Bayt, Tanpa tahun.

Al-Jauhari, Ismail bin Hammad, al-Shihāh, Beirut: Dar al-Ilmu lil Malayiin, Cetakan Kedua, 1399 H.

Al-Jazairi, al-Sayyid Ni matullah, al-Anwār al-Nu'maniyah, Tabriz:

Mathba'ah Syarkat Cap, Tanpa Tahun.

Al-Jurjani, al-Sayyid al-Syarif Ali bin Muhammad, al-Ta`rifāt, Riset oleh Abdul Mun`im al-Hanafi, Kairo: Dar al-Rasyad, Tanpa Tahun.

_, Syarh al-Mawāqif, Qum: Mansyurat al-Syarif al-Radhi, 1412 H.

Al-Hadi, Ja'far, Allāh Khāliq al-Kaun, Di bawah pengawasan Jafar al- Subhani, Qum: Mansyurat Muassasah Sayyid al-Syuhada al- Ilmiyah, 1405 H.

Al Haitsami, Ali bin Abi Bakr, Majma' al- Zawā`id, Beirut: Dar al-Kitab al-Arabi, Cetakan Kedua, 1967 M.

p: 443

Al-Hakim al-Naisyaburi, Muhammad bin Abdullah, al- Mustadrak ‘ala al-Shahihain, Riset oleh Mustafa Abdul Qadir Atha, Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, Tanpa Tahun.

Al-Hakimi, Muhammad Ridha dan Muhammad dan Ali, al-Hayāt, Teheran: Daftar Nasyr Farhangg Islami, Cetakan Kelima, 1367 H.

Al-Hayyath, Abu Al Husain Abdurrahim bin Muhammad, al-Intishār wa al- Rad ‘ala Ibn al-Rawāndi Al-Mulhid, Riset oleh Muhammad Hijazi, Kairo: Maktabah al-Tsaqafah al-Diniyah, 1988 M.

Al Karajiki, Abu Al Fath Muhammad, Kanz al-Fawā `id ,Beirut: Dar al Adhwa, 1405 H.

Al-Kasyani, Abdurrazaq, Ta'wilāt al-Qur'ān al-Karim, (Kitab ini secara keliru dinisbahkan kepada Ibn Arabi dan diterbitkan dengan keterangan-keterangan seperti ini: Ibn Arabi, Tafsir al-Qur`ān al-Karim), Riset oleh Mushtafa Ghalib, Beirut: Dar al-Andalusi, Tanpa Tahun.

Al-Khawarazmi, Al-Muwaffaq bin Ahmad, al-Manāqib, Riset oleh Malik al-Mahmudi, Qum: Muassasah al-Nasyr al-Islami, Cetakan Kedua, 1411 H.

Al-Khufri, Syamsuddin Muhammad bin Ahmad, al-Hāsyiah al-Khufriyah ‘ala al-Syarh al-Jadid Lit Tajrid (Ta`liqah bar Ilahiyyat Syarh Tajrid Mulla Ali Qoshci), Diedit oleh Firuze Saatciyan, Teheran:

Mirats Maktub, 1382 S.

Al-Kindi, Ya`qub bin Ishaq, Rasā 'il al-Kindi al-Falsafiyah, Diedit oleh Muhammad Abu Raidah, Kairo: Mathba'ah Hisan, 1398 H.

Al-Kulaini, Muhammad bin Ya'qub, al-Kāfi, Teheran: Dar al-Kutub al- Islamiyah, Tanpa Tahun.

Al-Lahiji, Abdurrazaq, Syawariq al-Ilhām fi Syarh Tajrīd al-Kalām, Teheran: Maktabah al- Farabi, 1401 H.

Al-Lary, Abdul Husain, Al-Ma'ārif al-Salmaniyah fi Kayfiyyah 'Ilm al- Imām wa Kammiyatih, Riset oleh Muhammad Jamil Hammud, Beirut: Markaz Jawad, 1414 H.

Al-Lawasani, al-Mirza Hasan, Nur al-Afhām, Teheran: Caphaneh Haidari, 1373 H.

p: 444

Al-Madani al-Syirazi, As Sayyid Ali Khan, Riyādh al-Sālikīn fī Syarh Shahifah Sayyid al-Sājidīn, Qum: Muassasah al-Nashr al-Islami, Tanpa Tahun Al-Mahmudi,Muhammad Baqir, Nahj al-Sa'ādah fi Mustadrak Nahj al- Balāghah, Tashhih: Aziz AliThalib, Teheran: Wizarah As Tsiqafah wa Al Irsyad Al Islami, 1418 H.

Al-Majlisi,Muhammad Baqir, Bihār al-Anwār, Beirut: Dar Ihya At Tirats Al Arabi,kedua, 1403 H.

Al-Mazandarani, al-Mawla Muhammad Shalih, Syarh Ushūl al-Kafi, Catatan oleh Abu al-Hasan al-Sya'rani, Diedit oleh Ali Asyur, Beirut: Dar Ihya al-Turats al-'Arabi, 1421 H.

Al-Misbah al-Yazdi, Muhammad Taqi, Ta‘liqah 'ala Nihāyah al-Hikmah, Qum: Muassasah fi Thariq al-Haq, 1405 H.

Al-Miskawaih, Abu Ali, al-Fauz al-Ashgar, Beirut: Mansyurat Dar Maktabah al-Hayah, Tanpa Tahun Al-Muhaqqiq al-Hilli, Ja'far bin al-Hasan, al-Maslak fi Ushūl al-Dīn, Riset oleh Ridha al-Ustadi, Masyhad: Majma al-Buhuts al- Islamiyah, 1421 H.

Al-Mushtafawi, Hasan, al-Tahqiq fi Kalimāt al-Qur'ān al-Karim, Teheran: Wizarat Farhang wa Irsyad Islami, 1374 S.

Al-Muzhaffar, Muhammad Ridha, al-Mantiq, Beirut: Dar al-Ta`arif li al-Mathbu'at, Cetakan Kedua, 1988 M.

Al-Nadim (Ibn al-Nadim), Muhammad bin Ishaq, al-Fahrast, Teheran:

Intisyarat Marwi, 1350 S.

Al-Naraqi, Muhammad Mahdi, Jāmi" al-Afkār wa Nāqid al-Inzhār, Diedit oleh Majid Hadi Zadeh, Teheran: Intisyarat Hikmat, 1423 H.

Jāmi" al-Sa ādah, Diedit oleh Muhammad al- Kalantary, al-Najaf: Mathba'ah al-Zahra, 1368 H.

Al-Nawawi, Yahya bin Syarif, Syarh Shahih Muslim, Beirut: Dar Ihya al-Turats al-'Arabi, Tanpa Tahun.

Al-Nisyar, Ali Sami, Nisy`ah al-Fikr al-Falsafiyah fi al-Islam, Kairo: Dar al-Ma`arif, Cetakan Kesembilan, 1995 M.

Al Qadhi Abduljabbar bin Ahmad Al Asad Abadi, Syarh al-Ushūl al- Khamzah, Riset oleh Abdul Karim Utsman, Kairo: Maktabah Wahbah, 1408 H.

p: 445

Al-Mugni fi Abwāb al-Tawhid wa al-Adl, Kairo: Ad Dar Al Meshriyah dan Dar Al Kutub, 1380 H.

Al Qadhi Adhiduddin Al-Iji , Abdurrahman bin Ahmad, al-Mawāqif fi 'Ilm al-Kalām, Beirut: Alim al-Kutub, Tanpa Tahun.

Al Qadhi Ayyadh, Abu Al Fadhl, al-Syifā bi Ta'rifi Huqûq al-Mushtafa, Riset oleh Husain Abdul Hamid Neil, Beirut: Syarikah Dar al- Arqam, Tanpa Tahun.

Al-Qadhi Said Al-Qummi, Muhammad, Syarh Tawhid al-Shaduq, Diedit oleh Najafquli Habibi, Teheran: Wizarat Farhang wa Irsyad Islami, 1419 H.

Al-Qaishari, Dawud bin Mahmud, Syarh Fushūs Al Hikam (Mathla Khusus al-Kalām fi Ma'āni Fushūs al-Hikam), Qum: Mansyurat Anwar al-Huda, 1416 H.

Al-Qardhawi, Yusuf, al-Islām wa al-Almāniyah-Wajhan liwajhin, Beirut:

Muassasah al- Risalah, Cetakan Keempat, 1422 H.

Al-Qary, Ali, Syarh al-Fiqh al-Akbar li al-Imām Abi Hanifah, Istanbul:

Mathba'ah Utsmaniyah, 1304 H.

Al-Qurtubi, Abu Abdullah Muhammad bin Ahmad al-Anshari, Al-Jāmi li Ahkam al-Qur'ān (Tafsir Al Qurtubi), Beirut: Dar Ihya al-Turats al-Arabi, 1967 M.

Al-Qusyji, Alauddin Ali bin Muhammad, Syarh Tajrid al-'Aqāid, Qum:

Mansyurat Radhi wa Bidar, Tanpa Tahun.

Al-Raghib al-Ishfahani, al-Husain, Mufradāt Alfāz al-Qur'ān, Riset oleh Shafwan Adnan Dawudi, Beirut dan Damesyq: al-Dar al-Syamiyah dan Dar al-Qalam, 1416 H.

Al-Ray Syahri, Muhammad, Mausu`ah al-'Aqā'id al-Islāmiyah, Qum: Dar al-Hadits, 1425 H. Software, Afzār Rāyāne Ahlulbait.

Al-Sabziwari, Mulla Hadi, "Isytirākun Wujūd wa Shifat al-Ilahiyyah baina Haq wa Khalq", dalam: Majmuah Rasāilu Filusufin Kabir Mulla Hādi Sabziwari, Diedit oleh Sayyid Jalaluddin Astiyani, Teheran:

Anjuman Islami Hikmat wa Falsafah Iran, 1360 S.

_, Syarh al-Asma al-Husna, Qum: Mansyurat Maktabah al-Bashirati, Tanpa Tahun.

Syarh al-Manzhumah, Oum: Maktabah al-Mushtafawi, Tanpa Tahun.

p: 446

Al-Sajistani, Abu Sulaiman Muhammad bin Bahram, Shafwan al- Hikmah, Riset oleh Abdurrahman Badawi, Teheran: Intisyarat Bunyad Farhangg Iran, 1974 M.

Al-Sayyid al-Murtadha, Ali bin al-Husain, Tanzih al-Anbiya wa al-Aimmah, Riset oleh Faris Hassun Karim, Qum: Bustan Kitab, 1422 H.

__, Rasāil al-Syarif al-Murtadha, Riset oleh Mahdi al- Rajai, Qum: Dar al Qur`an al-Karim, 1405 H.

Al-Sayyid al-Radhi, Muhammad bin Husain, Al-Majāzat al-Nabawiyah, Riset oleh Thaha Muhammad al-Zaini, Kairo: Muassasah al- Halabi, Tanpa Tahun.

_, Talkhish al-Bayān fi Majazāt al-Qur'ān, Riset oleh Muhammad Abdul Gani Hasan, Beirut: Dar al-Adhwa, Cetakan Kedua, 1406 H.

_, Khasāis al-Aimmah, Riset oleh Muhammad Hadi al- Amini, Masyhad: Majma al-Buhuts al-Islamiyah, 1406 H.

Al-Sayuri al-Hilli, Miqdad bin Abdullah, Irsyād al- Thālibin ila Nahj al- Mustarsyidin, Riset oleh Sayyid Mahdi Rajai, Qum: Maktabah Ayatullah al-Mar`asyi, 1405 H.

_ , Al-Lawāmi" Al- Ilahiyyah fi Al-Mabāhitsa al- Kalāmiyah, Catatan oleh Muhammad Taqi al-Misbah al-Yazdi, Qum: Majma al-Fikr al-Islami, 1424 H.

_, Al-Nāfi Yauma al-Hasyr fi Syarh al-Bāb al-Hādiasyr, Riset oleh Mahdi Muhaqqiq, Teheran: Dansygah Teheran dan Danesygah McGill, 1365 S.

Al-Shadr, Muhammad Baqir, Al-Fatāwā al-Wadhihah, Qum: Markaz al- Abhatsu wa al-Dirasat al-Takhashusiyah li al-Syahid al-Shadr, 1423 H.

Al-Subhani, Ja'far, Al-Ilahiyyāt, Bikalāmi Hasan Muhammad Makki al-'Amili , Qum: Al-Markaz Al-Alami li al-Dirasat al-Islamiyah, Cetakan Ketiga, 1411 H.

, Buhutsun fi al-Milal wa al-Nihal, Qum: Lajnah Idarah al-Hawzah al- Ilmiyah, Cetakan Kedua, 1410 H.

_, Risālah fi al-Tahsin wa al- Taqbih Al-'Aqliyyin, Qum:

Muassasah al-Imam al-Shadiq, 1420 H.

p: 447

, Mafāhim al-Qur'ān, Qum: Muassasah al-Imam al- Shadiq, 1412 H.

Al-Suhrawardi, Syihabuddin, Seh Risālah al-Syaikh Isyrāg, al-Alwah al-Imādiyah, Kalimah al- Tashawuf, Al-Lamahat, Diedit dalam Najafquli Habibi, Teheran: Anjuman Falsafah Iran, 1397 H.

_, Majmu'e Mushannafāt Syaikh Isyrāg, jil. 1 dan 2, Diedit oleh Henry Corbin, Teheran: Muassasa Muthala'at wa Tahqiqat Farhanggi, Cetakan Kedua, 1372 S.

Al-Suyuthi, Jalaluddin Abdurrahman, Al-Dur al-Mantsūr fi al-Tafsir al- Ma`tsūr, Beirut: Dar al- Fikr, 1414 H.

_, Shaun al-Mantiq wa al-Kalām al-Fanni al-Mantiq wa al-Kalām, Catatan oleh Ali Sami al-Nisyar, Makkah Al- Mukarramah: Abbas Ahmad Al-Baz, Tanpa Tahun.

Al-Syahristani, Muhammad bin Abdul Karim, al-Milal wa al-Nihal, Riset oleh Muhammad Sayyid Kilany, Beirut: Dar al-Ma`rifah, Cetakan Kedua, 1395 H.

-, Nihāyah al-Aqdām fi 'Ilm al-Kalām, Diedit oleh al Fard Jium, Kairo: Maktabah al-Mutanabbih, Tanpa Tahun.

Al-Syaikh al-Bahāi, Muhammad bin Al Husain al-Amili, al-Arba'una Haditsan, Qum: Muassasah al-Nasyr al- Islami, 1415 H.

_, Al-Urwah al-Wutsqa (Tafsir Surah Al Hamd), Diedit oleh Akbar Irani Qummi, Qum: Dar al-Qur`an al-Karim, 1412 H.

Al-Syaikh al-Mufid, Muhammad bin Muhammad bin al-Nu'man, Mushannafāt al-Syaikh al- Mufid, Qum: al-Mutamir al-Amili li Alfiyah al-Syaikh al-Mufid, 1413 H.

Al-Syaikh al-Shaduq, Muhammad bin Ali bin Babawaih, Al-Amāli Qum: al-Mathba'ah al- Hikmah, 1373 H.

___ , Al-Tawhid, Diedit oleh al- Sayyid Hasyim al-Husaini al-Tehrani, Qum: Muassasah al-Nasyr Al Islami,keempat, 1415 H.

, 'Uyūn Akhbār al-Ridhā, al-Najaf: al-Mathba'ah al Haidariyah, 1390 H.

Al-Syaikh al-Thusi, Muhammad bin al-Hasan, al-Iqtishād, Qum:

Mathba'ah al-Khayyam, 1400 H.

p: 448

, Al-Tibyān fi Tafsir al-Qur'ān, Riset oleh Ahmad Habib Qashir al-Amili, Najaf: Mathba'ah al-Nu'man, 1381 H.

Al-Taftazani, Saiduddin, Syarh al-'Aqāid al-Nasafiyah, Riset oleh Ahmad Hijazi al-Siqa, Kairo: Maktabah al-Kulliyat al-Azhariyah, 1408 H.

_, Syarh al-Maqāsid, Riset oleh Abdurrahman Umairah, Qum: Mansyurat al-Syarif al-Radhi, 1409 H.

Al-Tauhidi, Abu Hayyan, Al-Muqabisāt, Riset oleh Muhammad Taufiq Husain, Teheran: Markaz Nasyr Danesygah, Cetakan Kedua, 1366 S.

Al-Tehrani, al-Syaikh Agha Buzargh, al-Dzuriah ila Tashānif al-Syi`ah, Beirut: Dar al- Adhwa, Cetikan Ketiga, 1403 H.

Al-Thabarsi, al-Fadhil bin al-Hasan, Majma al-Bayān fi Tafsir al-Qur'ān, Teheran: Intisyarat Nasyir Khusruw, Cetakan Kedua, Tanpa Tahun.

Al-Thabathabai, Muhammad Husain, al-Mizān fi Tafsir al-Qur'ān, Qum:

Muassasah Mathbua't Ismailiyan, Cetakan Kedua, 1393 H.

__, Bidāyah al-Hikmah, Qum: Muassasah al-Nasyr al-Islami, Cetakan Ketiga Belas, 1416 H.

_, Nihāyah Al Hikmah, Edit dan Catatan oleh Ghulamridha al- Fayyadhi, Qum: Muassasah Amuzesyi wa Pazyuhesyi Imam Khomeini, 1378 S.

Al-Tsa'labi, Ahmad bin Mahmud, Tafsir al-Tsa labi, Riset oleh Abi Muhammad bin Asyur, Beirut: Dar Ihya al-Turats al-Arabi, 1422 H. Software Rayanei Ahlulbait.

Al-Turmuzi, Muhammad bin Isa, Sunan al-Turmuzi, Kairo: Dar al- Hadits, Tanpa Tahun.

Al-Zamakhsyari, Mahmud, Al-Kassyāf, Beirut: Dar al-Kitab al-Arabi, Cetakan Ketiga, 1407 H.

Al-Zubaidi, Muhammad Murtadha, Tāj al-'Arus min Jawāhir al-Qāmus, Beirut: Mansyurat Dar Maktabah al-Hayat, Tanpa Tahun.

Badawi, Abdurrahman, al-Difā' an al-Qur'ān Dheddun al-Muntaqidiyah, Tanpa Tempat: Maktabah Madbuli al-Shagir, Tanpa Tahun.

Dhahir, Adil, Al-Asās al-Falsafiyah Li al-Māniyah, Beirut: Dar al-Saqi, 1993 M.

p: 449

Fakhruddin al-Razi, Muhammad bin Umar, al-Tafsir al-Kabir (Mafātih al-Ghaib), Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1411 H.

, Al-Mabāhits al-Masyriqiyah, Teheran: Maktabah al- Asadi, 1996 M.

_, Al-Mathālib al-'Aliyah min al-'Ilm al-Ilahi, Riset oleh Ahmad Hijazi al- Siqa, Beirut: Dar al-Kitab al-'Arabi, 1407 H.

-, Al-Muhasshal (Muhasshal Afkār al-Mutaqaddimin wa al-Mutahkhirin), Riset oleh Samij Dagim, Beirut: Dar al-Fikr al-Albani, 1992 M.

Fakhruddin al-Razi, Muhammad bin Umar dan Nashiruddin Thusi, Syarh al-Isyārat Qum: Mansyurat Maktabah Ayatullah al- Marasyi, 1404 H.

Haji Khalifah, Mustafa bin Abdullah, Kasyf al-Dzunun 'an Asāmi al- Kutub wa al-Funun, Beirut: Dar al-Fikr, 1410 H.

Ibn Abi Al Hadid, Syarh Nahj al-Balāghah, Riset oleh Muhammad Abu Al Fadhil Ibrahim, Beirut: Dar Ihya al-Turats al-'Arabi, 1387 H.

Ibn Abi Al Izzu Al Hanafi, Ali, Syarh At Thahawiyah Fi Al Aqidah As Salafiyah, Riset oleh Adurrahman Umairah, Riyadh: Maktabah al-Ma'arif, Cetakan Kedua, 1407 H.

Ibn Abi Jumhur Al Ihsai Muhammad bin Ali, “Awāli al-Laali, Riset oleh Mujtaba Al Iraqi, Qum: Mathba`ah Sayyid al-Syuhada, 1403 H.

Ibn Abi Khatam, Abdurrahman bin Muhammad, Tafsir al-Qur'ān al-'Azhim, Riset oleh As`ad Muhammah al-Tayyib, Beirut: al- Maktabah al-Ashriyah, Cetakan Kedua, 1419 H.

Ibn al-'Arabi, Muhyiddin, al-Futuhāt al-Makkiyah, Beirut: Dar Shadir, Tanpa tahun.

, Dzahāir al-A‘lāq (Syarh Tarjuman al-Asywāq), Riset oleh Khalil Umaran al-Manshur, Beirut, Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1420 H.

Ibn al-Jauzi, Abdurrahman, Dafu Syubah al-Tasybih bi Akaffi al-Tanzih, Riset oleh Hasan al-Saqqaf, al-Urdun: Dar al-Imam al-Nawawi, Cetakan Keempat, 1421 H.

Zād al-Masir fi 'Ilm al-Tafsir, Beirut: Dar Ibn Jazm, 1423 H.

p: 450

Ibn Asakir, Ali bin al-Hasan, Tabyīn Kidzb al-Muftarā fi mā Nasaba Ilā al-Imām Abi Al-Hasan Al-Asy`ari, Riset oleh Ahmad Hijazi, al- Siqa, Beirut: Dar al-Jail, 1416 H.

Ibn al-Turkah, Shainuddin Ali bin Muhammad, Tamhīd al-Qawā'id, Disertai catatan dari: Agha Muhammad Ridha Qumshei dan Mirza Mahmud Qummi, Mukaddimah dan Diedit oleh Sayyid Jalaluddin Astiyani, Teheran: Anjuman Islami Hikmat wa Falsafa Iran, 1360 S.

Ibn Hajar al-'Asqalani, Ahmad bin Ali, Fath al-Bāri Bi Syarh al-Bukhāri, Beirut: Dar Ihya al- Turats al-'Arabi, Cetakan Keempat, 1408 H.

Ibn Hanbal, Ahmad, Musnad Ahmad bin Hanbal, Tanpa Tempat: Tanpa Penerbit, Tanpa Tahun.

Ibn Hazm al-Andalusi, Abu Muhammad Ali, al-Fashl fi al-Milal wa al-Ahwa wa al- Nihal, Mesir: al-Mathbah al-'Adabiyah, 1317 H.

Ibn Hibban, Muhammad, Shahih Ibn Hibbān (Bi Tartibi Ibn Balbān), Riset oleh Syuaib al- Arnawuth, Beirut: Muassasah Ar Risalah, Cetakan Kedua, 1414 H.

Ibn Khaldun, Abdurrahman, Tārikh Ibn Khaldun, Beirut: Dar al-Kutub al-'Ilmiyyah, 1413 H.

Ibn Majah, Muhammad bin Yazid al-Qazwini, Sunan Ibn Majah, Riset oleh Muhammad Fuad Abdul Baqi, Tanpa Tempat, Dar al-Fikr, Tanpa Tahun.

Ibn Maimun, Musa, Dalālat al-Hairin, Riset oleh Husain Atay, Ankara:

Maktabah al- Tsaqafah al-Diniyyah, Tanpa tahun.

Ibn Maitsam al-Bahrani, Maitsam bin Ali, Syarh Nahj al-Balāghah, Teheran: al-Mathba'ah al-Haidariyah, 1378 H.

_, Qawā'id al-Marām fi Ilm al-Kalām, Qum:

Mathba'ah Mehr, 1398 H.

Ibn Najim al-Mishri, Zainuddin, Al-Balhr al-Raig, Riset oleh Zakaria Umairat, Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1418 H. Software Rayanei Ahli Bayt.

Ibn Qayyim al-Jauziah, Miftāhu Dar al-Sa'ādah, Kairo: Dar al-Hadits, 1414 H.

Ibn Qutaibah, Abdullah bin Muslim, Ta'wil Muhktalaf al-Hadīts, Diedit oleh Muhammad Zuhra al-Najjar, Beirut: Dar al-Jail, 1393 H.

p: 451

Ibn Rusyd, Muhammad bin Ahmad, Fashl al-Magāl wa Taqrir ma Baina al-Syariah wa al Hikmah min al-Ittishāl, Catatan oleh al-Bir Nashri Nadir, Beirut: Dar Al Masyriq, Cetakan Ketujuh, 1995 M.

Ibn Sina, Abu Ali Husain bin Abdullah, al-Isyārat wa al-Tanbihat, Uraian oleh Nashiruddin al-Thusi, Riset oleh Sulaiman Dunya, Beirut: Muassasah al-Nu'man, Cetakan Kedua, 1413 H.

, Al-Syifā (al-Ilahiyyāt), Riset oleh Ibrahim Mazkur, Kairo: al- Haiat al-'Ammah Lisyu'uni al-Muthabi' Al Amiriyah, 1380 H.

, Al-Ta‘ligāt, Riset oleh Abdurrahman Badawi, Kairo: al-Haiat al-Mishriyah al-'Ammah Lil Kitab, 1392 H.

, Al-Mabdā wa al-Ma'ād, Teheran: Intesyarat Danesygah Teheran, 1363 S.

, Al-Najāt, Kairo: Mathba'ah al-Sa'adah, Cetakan Kedua, 1357 H.

Ibn Syu'bah al-Harrani, al-Hasan bin Ali, Tuhaf al-'Uqūl an Ali al-Rasul, Beirut: Muassasah al- A'lami Lil Mathbuat, Cetakan Kelima, 1394 H.

Ibn Taimiyyah, Ahmad, Dar Ta`arūdh al-Aql wa al-Naql, Riset oleh Muhammad Rusyad Salim, Riyadh: Dar al-Kunuz al-'Adabiyah, Tanpa tahun.

, Majmū'ah al-Fatāwā, Riset oleh Amir al-Jazr dan Anwar al-Baz, Riyadh: Dar al-Wafa, 1428 H.

Ibn Thawus, Sayyid Radhiuddin, al-Tarāif fi Ma`rifah Madzahib al- Tawāif, Qum: Mathba'ah al-Khayyam, 1400 H.

Ibn Yasin bin Abdullah, Muhammad, al-Kaukab al-Azhar Syarh al- Fiqh al-Akbar Lil Imām al-Syāfi^i, Baghdad: Maktabah al-Fikr al-'Arabi, 1986 M.

Laland, Andariyah, Mausu'at Laland al-Falsafiyah, Ta`rib Khalil Ahmad Khalil, Beirut wa Baris: Mansyurat Uwaidat, 1996 M.

Mir Damad, Muhammad Baqir, al-Qabasāt, Teheran: Muassasah Muthala'a Islam Danesygah Mcgil, 1356 H.S.

Muslim bin Al-Hajjaj al-Naisaburi, Shahih Muslim, Riset oleh Muhammad Fuad Abdulbaqi, Tanpa Tempat: Dar Ihya al-Kutub al-'Arabiyah,1374 H.

Nashiruddin al-Thusi, Muhammad, Talkhish al-Muhasshal (Naqd al- Muhasshal), Beirut: Dar al- Adwa, kedua, 1405 H.

p: 452

Qawā`id al-'Aqā'id, Riset oleh Ali Rabbani al- Gulpaigani, Qum: Markaz Mudiriyat Hauzah 'Ilmiyah, 1416 H.

Oaduh, An am Ahmad, Al-Almaniyah fi Al Islam, Beirut: Dar As Sirah, 1995 M.

Quthbuddin al-Rawandi, Said bin Hibatullah, Minhaj Al Barā`ah fi Syarh Nahj al-Balāghah, Riset oleh Abdul Latif al-Kuhkamari, Qum: Maktabah Ayatullah al-Mar`asyi, 1406 H.

Quthbuddin al-Syirazi, Mahmud bin Mas`ud, Durrat al-Taj, Diedit oleh Sayyid Muhammad Masykuh, Teheran: Hikmat, Cetikan Ketiga, 1369 S.

Syarh Hikmah al-Isyrāg, Qum: Intisyarat Bidar, Tanpa Tahun Shadr al-Muta`allihin al-Syirazi, Muhammad, Al-Hikmah al-Muta`aliyah fi al-Asfar al-'Aqliyah Al Arba`ah, Beirut: Dar Ihya al-Turats al- Arabi, Cetakan Keempat, 1410 H.

__, Al-Syawāhid al-Rububiyyah fi al-Manāhij al- Sulukiyah, Ma`a taliqat Mulla Hadi Sabziwari, Tashhih:

Jalaluddin Astiyani, Masyhad: Intisyarat Danesygahe Mashhad, 1346 H.

, Al-Mabdā wa al-Ma'ād, Teheran: Bunyad Hikmat Islami Shadra, 1381 H.s.

, Syarh Ushul Al Kafi, Diedit oleh Muhammad Khajawi, Teheran: Muassasa Muthala'at wa Tahqiqat Farhanggi, 1363 S.

Wajdi, Muhammad Farid, Dairat al-Ma'ārif al-Qur`an al-'Isyrin, Tanpa Tempat: Mathba'ah Dairah al-Ma'ārif al-Qur`an al-Isyrin, Cetakan Ketiga, 1356 H.

C. Inggris Abbagnano, Nicola, "Humanism", translated by Nino Langiulli, in: Paul Edwards (Ed.), The Encyclopedia of Philosophy, vol. 4, pp. 69-72.

Abu-Deeb, Kamal, "Studies in the Majaz and Metaphorical Language of the Quran", in: Issa 1. Boultata (Ed.), Literary Structures of Religious Meaning in the Quran, Survey: Curzon, 2000, pp. 310- 353.

p: 453

Adam, D. S., "Theology" in: James Hastings (ed.), Encyclopedia of Religion and Ethics, vol. 12, pp. 293-300.

Adler, Mortimer J., How to Think about God, New York: Bantam Books, 1988.

Alston, William P., "Religion, Naturalistic Reconstructions of", in: Paul Edwards (Ed.), The Encyclopedia of Philosophy, vol. 7, pp. 145-147.

., "Religion, Psychological Explanation of", in: Paul Edwards (Ed.), The Encyclopedia of Philosophy, vol. 7, pp. 148-150.

_, "Religious Language", in: Routledge Encyclopedia of Philosophy, London and New York: Routledge, 1998, vol.8, pp.

255-260.

-, "Response to Hick", in: Faith and Philosophy, vol. 14, No.3, July 1997, pp.287-288.

, Perceiving God (The Epistemology of Religious Experience), Ithaca and London: Cornell University Press, 1991.

_, "God and Religious Experience", in: Brian Davies (Ed.), Philosophy of Religion, Washington: Georgetown University Press, 1998, pp. 65-69.

-, "Religion", in: Paul Edwards (Ed.), The Encyclopedia of Philosophy, New York: Macmillan, 1972, vol. 7, pp. 140-145.

Anselm, Basic Writings, trans. by S. N. Deane, USA: Open Court, 2nd edition, 1962.

Aquinas, Thomas, Summa Contra Gentiles, vol. 1, trans. by Anton C.

Pegis, London:

University of Notre Dame Press, 1975.

, Summa Contra Gentiles, vol. 2, trans. by James F.

Anderson, London: University of Notre Dame Press, 1975.

_, Summa Theologica, Translated by Fathers of the English Dominican Province, Benziger Bros. edition, 1947 (Source:

http://www.ccel.orgiccel/Aquinas/summa.htm).

Summa Theologica (A Concise Translation), edited by Timothy McDermott, USA: Christian Classics, 1991.

Argyle, Michael, Psychology and Religion, London and New York:

Routledge, 2000.

p: 454

Augustine, On Free Choice of the Will, trans. by Thomas Williams, Cambridge: Hackett Publishing Company, 1993.

Bartley, William Warreen, Morality and Religion, Macmillan: St Martin's Press, 1971.

Berg, Jonathan, "How Could Ethics Depend on Religion" in: Peter Singer (ed.), A Companion to Ethics, (Oxford: Blackwell, 1993) pp. 525- 533.' Berger, Peter L. (Ed.), The Desecularization of the World, Washington:

Ethics and Public Policy Center, 1999.

Bijlefeld, Willem A., "Reinach, Salomon", in: Mircea Eliade (Ed.), The Encyclopedia of Religion, vol. 12, pp. 264-265.

Bloesch, Donald G., God the Almighty, USA: InterVarsity Press, 1995.

Bowie, Robert A., Ethical Studies, UK: Nelson Thomes, 2001.

Brightman, Edgar Sheffield, A Philosophy of Religion, New York:

Prentice-Hall, 1940.

Brown, L. B., The Psychology of Religious Belief, London: Academic Press, 1987. Bruce, Steve, Politics and Religion, Cambridge: Polity Press, 2003.

Burnham, Sylvester, "Higher Criticism, The", in: The Encyclopedia Americana, New York: Americana Corporation, 1957, vol. 14, pp. 183-184.

Calhoun, Robert L., "The Place of Language in Religion", in: Abernethy and Langford (Eds.), Philosophy of Religion, New York: The Macmillan Company, 1962, pp. 296-306.

Chadwick, W. Owen, "Religion and Science in the Nineteenth Century", in: Philip P. Wiener (ed.), Dictionary of the History of Ideas, New York: Scribeners, 1973, VOL. 4, pp. 106-108.

Cicero, The Nature of the Gods, trans. by Horace C. P. McGregor, England: Penguin Books, 1972.

Clifford, Michael D., "Psychotherapy and Religion", in: Mircea Eliade (Ed.), The Encyclopedia of Religion, New York: Macmillan, 1993, vol.

12, pp. 75-81.

Clifford, W. K., "The Ethics of Belief', in: William L. Rowe and William J. Wainwright (Eds.), Philosophy of Religion, Florida: HBJ, 1989, pp. 400-406.

p: 455

Copleston, Frederick, Aquinas, USA: Penguin Books, 1959.

Comer, Mark, Signs of God (Miracles and their Interpretation), UK and USA: Ashgate, 2005. Crockett, Clayton (Ed.), Secular Theology, London and New York: Routledge, 2001.

Davis, Caroline Franks, The Evidential Force of Religious Experience, Oxford: Clarendon Press, 1989.

Davis, Winston, "Sociology of Religion", in: Mircea Eliade (Ed.), The Encyclopedia of Religion, vol. 13, pp. 393-401.

Descartes, Rene, The Philosophical Writings, trans. by John Cottingham, et al, Cambridge: University Press, 1991.

Driver, Tom F., "Drama: Modem Western Theater", in: Mircea Eliade (Ed.), The Encyclopedia of Religion, vol. 4, p. 474-479.

Durkheim, Emile, The Elementary Forms of Religious Life, trans. by Karen E. Fields, New York: The free Press, 1995.

Ferre, Frederick, "Analogy in Theology", in: Paul Edwards (ed.), The Encyclopedia of Philosophy, New York: Macmillan, 1972, vol.

1, pp. 94-97.

Flew, Antony and Alasdair MacIntyre (Eds.), New Essays in Philosophical Theology, New York: The Macmillan Company, 1955.

Flew, Antony, "Divine Omnipotence and Human Freedom" in: Flew and MacIntyre (eds.), New Essays in Philosophical Theology (New York: The Macmillan Company, 1955), pp. 144-169.

Fogelin, Robert J. , Wittgenstein, London and New York: Routledge, 1987.

Ford, David F. (Ed.), The Modern Theologians, Oxford: Blackwell, 1997.

Freud, Sigmund, Totem and Taboo, trans. by James Strachey, London:

Routledge, 1960.

Gerrish, B. A., "Erasmus, Desiderius", in: Mircea Eliade (ed.), The Encyclopedia of Religion, vol. 5, pp. 135-137.

_, "Schleiermacher, Friedrich" in: Mircea Eliade (ed.), The Encyclopedia of Religion, New York: Macmillan, 1993, vol. 13, pp. 108-113.

Gill, J., "Nicholas V, Pope", in: New Catholic Encyclopedia, vol. 10, pp.

443-445.

Gillett, H. M., “Fatima", in: New Catholic Encyclopedia, vol. 5, pp. 855- 856.

p: 456

Habermas, Jurgen, The Theory of Communicative Action, trans. by Thomas McCarthy, Boston: Beacon Press, 1984.

Harrison, Jonathan, Our Knowledge of Right and Wrong, London:

Routledge, 2002 (1971).

Harrisville, Roy A. and Walter Sunberg, The Bible in Modern Culture, Michigan: Eerdmans Co., 1995.

Hartshorne, Charles, The Logic of Perfection, USA: Open Court, 1991 (1962).

," The Mystery of Omnipotence Is Too Deep for Human Reason" in: Urban and Walton (eds.), The Power of God - Readings on Omnipotence and Evil, New York: Oxford University Press, 1978, pp. 249-251.

Hass, W. P. "Humanism, Secular", in: New Catholic Encyclopedia, vol.

7, pp. 226-229.

Hick, John H., "Jesus and the World Religions", in: John Hick (Ed.), The Myth of God Incarnate, London: SCM Press, 1977, pp. 165-185.

_, "Revelation", in: Paul Edwards (ed.), The Encyclopedia of Philosophy, vol. 7, pp. 189-191.

, "Religious Pluralism", in: Mircea Eliade (ed.), The Encyclopedia of Religion, (New York: Macmillan, 1993), VOL.

12, pp. 331-333.

_,"Can God Create a World in Which All Men Always Freely Choose the Good?" in: Urban and Walton (eds.), The Power of God, New York: Oxford University Press, 1978, pp. 217-222.

, Disputed Questions in Theology and the Philosophy of Religion, USA: Yale University Press, 1993.

-, God and the Universe of Faiths, London: Macmillan, 1988.

-, Philosophy of Religion, New Jersey: Prentice Hall, 4th edition, 1990.

Hitchcock, James, What is Secular Humanism?, Michigan: Servant Books, 1982.

Hocking, William Ernest, Meaning of God in Human Experience (A Philosophic Study of Religion), New Haven: Yale University Press, 1912.

p: 457

Hodgson, Peter C. (Ed.), Hegel Lectures on the Philosophy of Religion, trans. by R. F. Brown, et al, Berkeley: University of California Press, 1984.

Hospers, John, An Introduction to Philosophical Analysis, London:

Routledge, 4th edition, 1997.

Hume, David, A Treatise of Human Nature, London: Penguin Books, 1969.

, Dialogues Concerning Natural Religion, London and New York:

Routledge, 1991. Jaki, Stanley L, "Science and Religion", in: Mircea Eliade (Ed.), The Encyclopedia of Religion, New York: Macmillan, 1993, vol. 13, pp. 121-133.

James Clark, Kelly, Return to Reason, Grand Rapids: Eerdmans, 1990.

James, William, A Pluralistic Universe, Lincoln and London: University of Nebraska Press, 1996.

_, The Varieties of Religious Experience, New York: The Modem Library, 1994.

Kant, Immanuel, Critique of Practical Reason, trans. by Mary Gregor, Cambridge: Cambridge University Press, 1999.

_, Critique of Pure Reason, trans. by J. M. D.

Meiklejohn, New York: Prometheus Books, 1990.

Kenny, Anthony, The God of Philosophers, Oxford: Clarendon Press, 1992 (1979).

Kessler, Gary E. (Ed.), Philosophy of Religion, Belmont: Wadsworth Publishing Company, 1999.

Klubertanz, G. P. "Analogy", in: New Catholic Encyclopedia, vol. 1, pp.

461-465.

Kung, Hans, On Being a Christian, trans. by Edward Quinn, London:

Collins, 1977.

Leftow, Brian "God, Concepts Of" in: Routledge Encyclopedia of Philosophy, vol. 4, pp. 93-102.

"Immutability" in: Routledge Encyclopedia of Philosophy, vol. 4, pp. 710-714. Lenzer Gertrud (ed.), Auguste Comte and Positivism (The Essential Writings), New Brunswick and London: Transaction Publishers, 1998.

p: 458

Lewis, C(live) S(taples), Mere Christianity, London: Fontana'Books, 1959 (1952).

Lewis, Charlton T., A Latin Dictionary, Oxford: Oxford University Press, 1996.

Locke, John, The Works of John Locke, London: Routledgeffhoemmes Press, 1997.

Lucretius, Titus, The Way Things are, trans. by Rolfe Humphries, in:

Mortimer J. Adler (ed.) Great Books, VOL. 11, pp. 1-91.

MacGregor, Geddes, Dictionary of Religion and Philosophy, New York:

Paragon House, 1989.

Mackie, J. L., Ethics (Inventing Right and Wrong), London: Penguin Books, 1985 (1977).

,"Evil and Omnipotence" in: Urban and Walton (eds.), The Power of God-Readings on Omnipotence and Evil, New York:

Oxford University Press, 1978, pp. 17-31.

Mann, William E., "Philosophy of Religion", in: Lawrence C. Becker (Ed.), Encyclopedia of Ethics, vol. 2, pp. 965-969.

__,"Simplicity and Immutability in God", in: Thomas, vol.

Morris (Ed.), The Concept of God (Oxford: Oxford University Press, 1987), pp. 253-267 ..

Mascall, E. L., "The Doctrine of Analogy", in: Abernethy and Langford (Eds.), Philosophy of Religion, (New York: The Macmillan Company, 1962), pp. 365-379.

Mavrodes, George L, "Some Puzzles Concerning Omnipotence" in:

Linwood Urban and Douglas N. Walton (eds.), The Power of God - Readings on Omnipotence and Evil, New York: Oxford University Press, 1978, pp. 131-134 McGrath, Alister E. (Ed.), The Christian Theology Reader, Oxford and Cambridge: Blackwell, 2000.

McGuire, M. R. R., "Higher Criticism", in: New Catholic Encyclopedia, vol. 6, pp. 1102-1103. McIntire, C. T., "Christian Views”, in:

Mircea Eliade (ed.), The Encyclopedia of Religion, vol. 6, pp. 394- 399.

Merriam-Webster's Collegiate Dictionary, USA: Merriam-Webster, 10th ed, 1998.

p: 459

Mesle, C. Robert, Process Theology (A Basic Introduction), USA: Chalice Press, 1993 Mondin, B., "Analogy, Theological Use or', in: New Catholic Encyclopedia, vol. 1, pp. 465-468.

Needleman, Jacob, et al. (Eds.), Religion for a New Generation, New York: Macmillan Publishing Company, 2nd edition, 1977.

Nicholls, William, Systematic and Philosophical Theology, USA: Penguin Books, 1969.

Nietzsche, Friedrich, The Gay Science, trans. by Walter Kaufmann, New York: Vintage Books, 1974, pp. 181-182 (No 125).

Otto, Rudolf, The Idea of the Holy, trans. by John W. Harvey, London:

Oxford University Press, 2nd edition, 1958.

Owen, H. P. "God, Concepts of", in: Paul Edwards (ed.), The Encyclopedia of Philosophy, vol. 3, pp. 344-348.

Pals, Daniel L., Seven Theories of Religion, New York and Oxford: Oxford Universiy Press, 1996.

Parsons, Keith M., God and the Burden of Proof, New York: Prometheus Books, 1989.

Pascal, Blaise, Pensees, trans. by A. J. Krailsheirner, London and New York: Penguin Books, 1966.

Peterson, Michael, et al., Reason and Religious Belief, New York: Oxford University Press, 1991.

Plantinga, Alvin, "God, Arguments for the Existence of" in: Routledge Encyclopedia of Philosophy, VOL. 4, pp. 85-93.

Porter, Burton F., Deily and Morality (wilh regard to the Naturalisttc Fallacy), London: George Allen and Unwin Ltd., 1968.

Potvin, R. H., "Secularization", in: New Catholic Encyclopedia, vol. 13, p. 38-39.

Proudfoot, Wayne, Religious Experience, Berkeley: University of California Press, 1985.

Rahner, Karl, "Religious Inclusivism", in: Michael Peterson, et al. (Eds.), Philosophy of Religion, New York and Oxford: Oxford University Press, 1996.

p: 460

Rescher, Nicholas, Process Metaphysics (An Introduction to Process Philosophy), New York: State University of New York Press, 1996.

Richard H. Popkin, "Relativism" in: Mircea Eliade (Ed.), The Encyclopedia of Religion, vol. 12, pp. 274-275.

Robertson and Donaldson (Eds.), The Ante-Nicene Fathers, Edinburgh:

TandT Clark, 1996.

Rousseau, Jean Jacques, The Social Contract, in: Mortime J. Adler (Ed.) Great Books, vol. 35, pp. 387-439.

Rowe, J. G., "Pius II, Pope", in: New Catholic Encyclopedia, vol. 11, pp.

393-394.

Russell, Bertrand, Why I am not a Christian?, London: George Allen and Unwin ltd, 1975. Sagi, Avi and Daniel Statman, Religion and Morality, translated from Hebrew by Batya Stein, Amsterdam:

Rodopi, 1995.

Sanford, David, "Degrees of Perfection, Argument for the Existence of God" in: Paul Edwards (ed.), The Encyclopedia of Philosophy, vol. 2, pp. 324-326.

Schleiermacher, Friedrich, On Religion, trans. by Richard Crouter, Cambridge: Cambridge University Press, 1993.

Schmitz, Kenneth L., "Restitution of Meaning in Religious Speech", in:

Frederick Ferre, et al. (eds.), The Challenge of Religion, New York: The Seabury Press, 1982.

Schulte, Joachim, Wittgenstein, trans. by William Brenner and John Holley, Albany: State University of New York, 1992.

Scriven, Michael, "The Presumption of Atheism", in: Louis Pojman (Ed.), Philosophy of Religion, (California: Wadsworth 1987), pp. 364- 372.

Sharpe, Eric J., "Comparative Religion" in: Mircea Eliade (Ed.), The Encyclopedia of Religion (New York: Macmillan, 1993), vol. 3, pp. 578-580.

Smart, Ninian, The Religious Experience, New York: Macmillan Publishing Company, 4th edition, 1991.

Smith, John E., "Philosophy and Religion", in: Mircea Eliade (ed.), The Encyclopedia of Religion, (New York: Macmillan, 1993), vol. 11, pp. 295-305.

p: 461

Smith, Jonathan Z. (ed.), The Harper Collins Dictionary of Religion, New York: Harper San Francisco, 1995.

Swinburne, Richard, The Existence of God, Oxford: Clarendon Press, 1991 (1979).

Taylor, Richard, "Delibration and Foreknowledge" in: Bernard Berofsky (Ed.), Free Will and Determinism, New York: Harper and Row, 1966, pp. 277-293.

Tillich, Paul, The Shaking of Foundation, New York: Charles Scribner's sons, 1948.

Wainwright, William J., "The Cognitive Status of Mystical Experience", in: William L. Rowe and William 1. Wainwright (eds.), Philosophy of Religion, Florida: HBJ, 1989, pp. 362-385.

Waterhouse, Eric S., "Secularism", in: James Hastings (ed.), Encyclopedia of Religion and Ethics, vol. II, p. 347-350.

Whalen, W. I., "Eddy, Mary Baker" in: New Catholic Encyclopedia, vol.

5, pp. 101-102.

Whitehead, Alfred North, Process and Reality An Essay in Cosmology, New York: The Macmlllan Company, 1930(1929).

Wierenga, Edward R., The Nature of God, London: Cornell University Press, 1989.

Williams, Bernard, “Rationalism", in: Paul Edwards (ed.), The Encyclopedia of Philosophy, vol. 7, pp. 69-75.

Wilson, Bryan R., "Secularization", in: Mircea Eliade (ed.), The Encyclopedia of Religion, vol. 13, p. 159-165.

Wilson, John F. and Thomas P, Slavens, Research Guide to Religious Studies, Chicago: American Library Association, 1982.

Wittgenstein, Ludwing, Philosophical Investigation, trans. by G. E. M.

Anscombe, New York: Macmillan Publishing Company, 1968.

Wolf, Susan, "Life, Meaning of" in: Routledge Encyclopedia of Philosophy, VOL. 5, pp. 630-633.

Wulff, David, Psychology of Religion, New York: John Wiley and Sons, 1991.

Yinger, J. Milton, The Scientific Study of Religion, New York: Macmillan Publishing Co., 1970.

p: 462

Indeks

argumen kosmologis 77, 78, 83,

110, 112

argumen shiddiqin 62, 66, 72, 73,

74, 76, 79, 109, 110, 112

Argument 67,77, 83, 86, 88, 89, 91,

94, 403, 415, 423, 432, 461

Aristoteles 32, 85, 86, 108, 110, 113,

118, 119, 163, 248, 253, 311,

416

Auguste Comte 28, 29, 59, 353, 458

Augustine 143, 152, 158, 168, 265,

416, 454

Ayatullah Husein Burujerdi 371

Abdul Jabbar Mu'tazili xvi, 120

Abu al-Hasan Asy`ari 130, 233

Abu al-Hasan Bashri Mu'tazili 233

Abu Hamid al-Ghazali 137, 326,

331

Abu Hamid Isfahani 68, 69

Abu Nasr al-Farabi 233

Abu Raihan al-Biruni 131

Ahmad bin Hanbal 46, 271, 450

Ahriman 156, 157, 159, 169

Ahuramazda 156

Alexis Carell 188

Alexis Carrel 12, 188

Alfred Jules Ayer 241

Ali Abdurrazik 366

Alienasi 45

Ali Rabbani Gulpaigani 327

aliran Deisme 283

al-Kindi 77, 83, 90, 105, 252, 444

Allamah Thabathabai 4, 5, 21, 62,

73, 74, 76, 77, 97, 117, 221,

225, 228, 431, 438

Anselm 67, 68, 69, 70, 71, 103, 109,

112, 125, 136, 235, 454

Anthony Stewart 26, 36, 38, 41, 42,

44

Antony Flew 17, 168

antroposentrisme 284

Aquinas 17,57, 68, 78, 86, 89, 102,

105, 107, 108, 116, 118, 132,

135, 136, 137, 142, 146, 147,

158, 236, 237, 238, 239, 245,

254, 415, 454, 455

B.A. Gerrish 16, 354

bahasa urf 217

Baruch Spinoza 162

Bertrand Russel 25, 61, 62

Bertrand Russell 24, 26, 30, 82, 167,

258, 402, 404

Blaise Pascal 12,64

Bunda Teresa 291

Cicero 89, 105, 106, 455

Clifford Geertz 186

D

Daniel L. Pals 25, 37, 38, 47, 48, 49,

50, 51, 52, 53, 186

Dante 311, 312

David F. Ford 16

David Hume 25, 54, 65, 79, 80, 81,

91, 92, 93, 96, 110, 152, 166,

p: 463

Frederick Robert Tennant 17

Fredrick Tennant 91

G

Gaunilo 69

Ghulistan 96

195, 196, 197, 200, 202, 280,

387

Definisi naturalistis 4

Definisi psikologis 3

Definisi sosiologis 4

Denis Diderot 257, 358

Descartes 68, 71, 72, 98, 135, 166,

419, 455

disparitas 283

Dostoyevsky 392

Durkheim 27, 49, 50, 51, 52, 53,

54, 58, 59, 194, 196, 285, 286,

419, 455

Н

Hans J. Eysenk 35, 40, 423

Hegel 13, 44, 45, 68, 423, 435, 436,

457

Herbert Spencer 360

Hospers 69, 80, 93, 94, 95, 156, 424,

457

Humanisme 284, 305, 353, 354, 355

Hume 25, 54, 65, 79, 80, 81, 91, 92,

93, 94, 96, 110, 111, 112, 113,

152, 154, 165, 166, 195, 196,

197, 200, 202, 280, 387, 424,

457

Hushuli 100, 113

Eksklusivisme 310, 311, 312, 318,

325, 339, 341

Emeil Brouner 17

Emile Durkheim 27, 49, 50, 51, 52,

53, 58, 59, 194, 285, 286

Empedocles 118

Epicure 25, 152

Erich Fromm 26, 35, 41, 45, 183,

184

Ernest Remnant 23

esensial 16, 35, 44, 63, 68, 70, 71,

109, 131, 136, 160, 165, 173,

182, 313, 325, 337, 354, 365,

366, 384, 385, 390, 391, 412,

414

Euthyphro 384

I

lan Barbour 31, 155, 156, 166, 220,

249, 278, 279, 282, 283, 300,

359

Ibn Abil Hadid Mu'tazili 122

Ibn Hazm Andalusia 157

Ibn Maimun 132, 135, 138, 139,

140, 155, 158, 161, 162, 163,

165, 230, 231, 232, 233, 451

Ibn Maitsam Bahrani xvi, 7, 84,

119, 124, 394

Ibn Miskawaih 86

Ibn Qutaibah 46, 224, 225, 246, 451

Ibn Rusyd 86, 228, 229, 252, 311,

451

Ibn Taimiyyah 248, 251, 270, 272,

273, 274, 452

Ibrahim bin Sayyar 135

Fakhrurazi 234

Farabi 79, 118, 119, 138, 139, 158,

233, 234, 235, 290, 440, 442,

444

Filsuf 72, 89, 107, 135, 162, 187,

233

Frederick Copleston 24, 61, 86, 205

p: 464

ilmu hudhuri 63, 97, 99, 104, 111, Khajah Nashiruddin Thusi 74

298, 306

Khayyam Naishabury 141

Imam Khomeini xviii, 101, 102, kimia-e saadat 167

103, 425, 426, 427, 428, 429, konsep 2,5, 6, 21, 27, 29, 35, 44, 65,

433, 434, 438, 442, 449

66, 67, 68, 69, 70, 72, 79, 88,

Immanuel Kant 68, 79, 90, 107, 98, 100, 108, 109, 115, 116,

112, 280, 394, 395, 400

120, 124, 141, 148, 162, 229,

Inkarnasi 316

232, 234, 235, 280, 299, 309,

Inklusivisme 313, 314, 318, 339, 342, 356, 359, 365, 375, 381,

342

382, 383, 384, 386, 388, 389,

Iqbal Lahore 284, 298

408, 412, 413

Islām wa Ushūl al-Hukm 366 kontingen 76, 77, 79, 81, 84, 87,

109, 163, 168, 169, 174, 185

Kumpani 69

James J. Prizer 5

L

James Mill 375

Jean Paul Sartre 187

Laisisasi 350

Jeremy Bentham 375

Leibnitz 56, 98, 162, 165, 167, 434

Jerman 13, 17, 44, 45, 49, 107, 184, Leibniz 68

235, 278, 291, 394, 405, 441 Liberalisme 359, 360, 372, 373, 374,

John Hick 3, 13, 14, 24, 45, 54, 62,

375, 377, 416

64, 67, 68, 69, 72, 78, 81, 83, Logika 65, 99, 248

89, 91, 106, 107, 108, 165, Ludwig Feurbach 44, 45

169, 170, 219, 226, 238, 241,

M

243, 312, 313, 314, 315, 316,

317, 326, 329, 330, 331, 332, MacIntyre 17, 168, 456

333, 416, 418, 420, 457

Mahdi Haeiri Yazdi 69

John Hospers 69, 80, 93, 95, 156 Malcolm Hamilton 24, 30, 36, 38,

John Mackie 168

40, 42, 43, 44, 45, 48, 49, 50,

52, 53, 54, 183, 186, 187, 188,

190, 194, 195, 196, 199, 361

Kalām Jadid 14, 15, 16, 17, 18, 19. Malik bin Anas 270

20. 188. 193. 199. 216. 279. Manzhumah 74, 76, 77, 88, 98, 159.

420, 426, 427, 428, 438

430, 441, 446

Karl Bart 17, 68

Martin Luther 265

Karl Gustav Jung 40

Max Weber 49, 156, 185, 250, 439

Karl Marx 2, 45, 48, 49, 58, 59, 194,

Meister Eckhart 295

200, 214

Michael Peterson 14, 62, 64, 69, 77,

Karl Rahner 313, 314, 339

78, 79, 83, 94, 96, 105, 125,

Kaum Brahma 181

128, 129, 133, 135, 142, 158,

p: 465

169, 172, 226, 227, 239, 240, Nietzsche 405, 406, 407, 408, 409,

241, 242, 243, 255, 256, 260, 410, 411, 414, 436, 459

261, 279, 287, 291, 296, 297, Ninian Smart 47

298, 314, 315, 331, 391, 396, Nubuwwah 183, 196, 440

403, 460

Miguel Unamuno 12

Misdaq 66

Oedipus 34, 37, 39, 42, 43, 58, 59

mufasir 97, 164, 341

ontologi 70

Muhammad Ali Furughi 30

Muhammad Husein Gharawi Isfa-

hani 69

Paul Tilich 17, 192, 227

Muhammad Mahdi Naraqi 69, 84,

Paulus 89, 255

120, 122, 123, 137, 138, 139, Plato 85. 89. 113. 158, 265, 311,

147, 161

326, 384, 432

Muhammad Ridha Qumsyei 69

Plotinus 116, 420

Muhammad Taqi Ja'fari 415, 439

Pluralisme 310, 313, 314, 315, 316,

Muhammad Taqi Misbah Yazdi 76,

317, 318, 319, 320, 321, 323,

97. 101. 120. 164. 180. 199.

325, 326, 327, 328, 330, 331,

232, 285, 389, 394, 400, 403,

335, 340

411

premis 27, 54, 64, 67, 69, 71, 75,

Mulla Hadi Sabzewari 74, 76, 77,

76, 77, 78, 79, 84, 87, 92, 101,

88, 119, 120, 122, 127, 130,

106, 108, 109, 110, 111, 153,

154, 158, 159, 160, 161, 164,

159, 163, 164, 165, 173, 182,

235

264, 267, 320, 371, 372, 387,

Mulla Muhammad Mahdi Naraqi

388, 395

120

proposisi-proposisi fitrawi 99, 100

Mulla Muhsin Faidh Kasyani 104,

proposisi-proposisi kesadaran 99

119, 127, 135, 236, 264

proposisi-proposisi primer 99, 100

Mulla Rajab Ali Tabrizi 116, 233,

Protagoras 329, 353

234

Murtadha Muthahhari 15, 26, 27,

30, 32, 33, 48, 52, 74, 84, 86,

88, 92, 95, 97, 101, 125, 160,

Qadhi Said 116, 117, 122, 149, 231,

169, 185, 194, 200, 204, 289,

232, 233, 246, 433, 445

Qadhi Said al-Qummi 116, 117, 122

303, 402, 409, 416, 438

Qadhi Said Al-Qummy 231

Qawā id al-Tawhīd 68

Outhbuddin Rawandi 122

Nashihat Ahl al-Imān fi Raddi ala

Mantiqi Yunānin 248

Nasir Khusruw 196

p: 466

136, 264, 269, 270, 447

Syekh Isyraq 120, 161

Syibli Nu'mani 14, 437

syurur 115

T

Rene Guenon 358

Reason and Religious Belief 6, 255,

256, 260, 261, 266, 287, 432,

460

Relativitas 162, 260, 327, 328, 403

Religius 240, 292, 294, 297, 354,

364, 402, 404

Roland Barthes 335

Roma 24, 89

Rudolf Bultmann 17

Rumi 55, 161, 171, 329, 330, 331,

346

Taftazani xvi, 100, 127, 233, 264,

383, 384, 391, 448

Tahapan filosofis 29

Tahapan ilmu 30

Tahapan rabbani 29

Tennant 17,91

Teologi Filsafat 17, 18

Teologi Modern 13, 16, 17, 19, 20

teori Darwin 93, 94, 95, 96, 111,

113, 186, 409, 410

teosentrisme 284

Teosentrisme 284

Terma kosmologis 77, 109

Terminologi 249, 344

Sa`iduddin Taftazani 383

Schleiermacher 16, 17, 278, 281,

282, 296, 456, 461

Sekularisasi 345, 349, 361, 376

sekularisme 343, 345, 346, 347,

349, 350, 351, 352, 355, 356,

357, 359, 361, 366, 369, 376,

377, 378

sekuler 344, 345, 346, 347, 349,

354, 360, 376, 396, 397, 398,

399, 402, 413

Shadr al-Muta allihin 63, 76, 109,

117, 160, 164, 452

Shadr al-Muta`allihin al-Syirazi 76

Shirah 271

Sigmund Freud 25, 26, 33, 34, 35,

36, 38, 39, 41, 43, 51, 183,

421, 422

Socrates 89, 239, 265, 311, 314, 384,

404

Soren Kierkegaard 204, 397

Spinoza 68, 118, 162, 166, 436

suprainsani 5, 238

Swinburne 142, 286, 287, 288, 289,

291, 292, 437, 461

Syahristani xvi, 118, 120, 121, 130,

The Elementary Forms of Religious

Life 27, 50, 51, 52, 53, 286,

419, 455

The Future of an Illusion 25

The Gay Science 408, 459

The Protestant Ethic and the Spirit of

Capitalism 49

Thomas Aquinas 17,57, 68, 78, 86,

102, 105, 116, 118, 132, 135,

136, 137, 142, 146, 147, 158,

237, 238, 239, 245, 254, 415

Titus Lucretius 24, 25

Tomisme 39

Totemisme 51, 58

Uni Soviet 102

Ushūl Falsafah wa Rawesy Realism

p: 467

73, 125, 430

Utilitarianisme 375

330

Wittgenstein 9, 423, 439, 456, 461,

462

W

Y

Ya qub Ibn Ishaq al-Kindi 83, 90

Z

Will Durant 1, 194, 197, 254, 265

William Bartley 380

William James 4, 155, 169, 170,

184, 189, 190, 192, 203, 278,

296

William Paley 91

William P. Alston 37, 40, 279, 297,

Zamakhsyari 126, 273, 322, 449

Zoroaster 2, 124, 156, 174, 330, 407

p: 468

tentang Pusat

Bismillahirohmanirrohim

هَلْ یَسْتَوِی الَّذِینَ یَعْلَمُونَ وَالَّذِینَ لَا یَعْلَمُونَ

Apakah sama antara orang yang berpengetahuan dan tidak berpengetahuan?

Quran Surat Az-Zumar: 9

Selama beberapa tahun sekarang, Pusat Penelitian Komputer ghaemiyeh telah memproduksi perangkat lunak seluler, perpustakaan digital, dan menawarkannya secara gratis. Pusat ini benar-benar populer dan didukung oleh hadiah, sumpah, wakaf dan alokasi bagian yang diberkati dari Imam AS. Untuk layanan lebih lanjut, Anda juga dapat bergabung dengan orang-orang amal di pusat tersebut di mana pun Anda berada.
Tahukah Anda bahwa tidak semua uang layak dibelanjakan di jalan Ahl al-Bayt (as)?
Dan tidak setiap orang akan memiliki kesuksesan ini?
Selamat untukmu.
nomor kartu :
6104-3388-0008-7732
Nomor rekening Bank Mellat:
9586839652
Nomor rekening Sheba:
IR390120020000009586839652
Dinamakan: (Lembaga Penelitian Komputer Ghaemieh)
Setorkan jumlah hadiah Anda.

Alamat kantor pusat:

Isfahan, Jl. Abdurazak, Bozorche Hj. Muhammad Ja’far Abadei, Gg. Syahid Muhammad Hasan Tawakuli, Plat. No. 129/34- Lantai satu.

Website: www.ghbook.ir
Email: info@ghbook.ir
Nomor Telepon kantor pusat: 031-34490125
Kantor Tehran: 021-88318722
Penjualan: 09132000109
Pelayanan Pengguna: 09132000109